Syekh Junaid al-Batawi: Cucu Sunan Ampel, Sang Intelektual Dunia yang Menjadi Imam Masjidil Haram

Tim Redaksi Walisongo, Minggu, 15 Juni 2025 08:05 WIB

Walisongo.net dengan bangga mempersembahkan ulasan mendalam mengenai salah satu permata intelektual dari Tanah Air, Syekh Junaid al-Batawi. Seringkali, masyarakat Betawi identik dengan humor dan ceplas-ceplos, yang terkadang menutupi kedalaman intelektual yang mereka miliki. Padahal, sejak abad ke-18, kiprah intelektual Betawi sudah diakui bahkan di Tanah Suci dan memiliki peran besar dalam membangun fondasi keislaman di Indonesia. Salah satu poros utamanya adalah Syekh Junaid al-Batawi, ulama kelahiran Pekojan, Jakarta Barat, yang jaringannya meluas ke seluruh penjuru dunia Islam pada awal abad ke-19. Kisah beliau bukan hanya tentang keilmuan, tetapi juga tentang sebuah warisan silsilah yang menghubungkannya langsung dengan para pendiri peradaban Islam di Nusantara.

Menguak Silsilah Syekh Junaid: Jejak Para Raja dan Ulama

Syekh Junaid al-Batawi tidak hanya dikenal karena keilmuannya yang mendalam, tetapi juga karena silsilah keturunannya yang luar biasa, menunjukkan garis darah biru yang mengalir dalam dirinya. Silsilah ini menghubungkannya dengan tokoh-tokoh penting dalam sejarah Islam di Jawa, termasuk para pendiri Kesultanan Demak dan bahkan salah satu Wali Songo.

Berikut adalah runtutan silsilah beliau yang berhasil didokumentasikan, menampilkan mata rantai kebangsawanan dan keilmuan:

  • Syekh Junaid bin
  • Imam Damiri bin
  • Imam Habib bin
  • Raden Abdul Muhit bin
  • Pangeran Cakrajaya Nitikusuma (Adiningrat IV) bin
  • Raden Arya Jipang / Arya Penangsang (Sayid Husein) bin
  • Raden Bagus Surawiyata / Raden Sekar Seda Lepen (Sayid Ali) bin
  • Raden Fattah (Sayid Hasan), pendiri Kesultanan Demak.

Yang paling menarik dari silsilah ini adalah pernikahan Raden Fattah dengan Dewi Murtashimah / Asyikah / Ratu Panggung binti Makhdum Sunan Ampel Al Bukhari Al Kazhimi Al Husaini. Ini menandakan adanya korelasi erat antara garis keturunan Raden Fattah dengan Sunan Ampel, salah satu Wali Songo yang sangat krusial dalam penyebaran Islam di Jawa. Dengan demikian, Syekh Junaid al-Batawi memiliki ikatan darah langsung sebagai cucu dari Sunan Ampel, memperkuat posisinya sebagai figur sentral dalam jaringan keilmuan Islam Nusantara.

Selain silsilah di atas, Raden Fattah Demak juga diketahui memiliki garis keturunan dari pihak lain, yang semakin memperkaya akar keilmuan dan keagamaan beliau:

  • Raden Fattah Demak bin
  • Retna Siu Ban X binti
  • Syekh Abdullah Darqom / Syekh Bentong bin
  • Syekh Hasanudin Quro Al Jailani Al Hasani.
Baca Juga  Jejak Islam di Balik Kemegahan Majapahit: Dua Nisan Saksi Bisu Awal Mula Penyebaran di Era Hayam Wuruk

Silsilah ini semakin memperkuat pemahaman kita tentang betapa dalamnya akar keilmuan dan keagamaan dari Raden Fattah, yang merupakan cikal bakal Kesultanan Demak. Nama Syekh Abdullah Darqom atau Syekh Bentong serta Syekh Hasanudin Quro Al Jailani Al Hasani menunjukkan adanya hubungan dengan para ulama besar yang memiliki sanad keilmuan yang kuat. Ini menegaskan bahwa Syekh Junaid al-Batawi lahir dari lingkungan yang kental dengan tradisi keilmuan Islam dan memiliki silsilah yang terhubung dengan ulama-ulama besar di Nusantara maupun di Timur Tengah.

Hijrah ke Makkah dan Gemilang Kiprahnya sebagai Intelektual Dunia

Data otobiografi Syekh Junaid al-Batawi memang tidak banyak terdokumentasi di tanah air. Namun, keberadaan dan pengaruh keilmuan beliau justru terkuak secara signifikan dalam catatan perjalanan orientalis terkemuka asal Belanda, C. Snouck Hurgronje (1936 M). Setelah berhasil menyusup ke Makkah pada 21 Januari 1885 dan tinggal selama tujuh bulan, Hurgronje menulis dalam jurnalnya, Mecca In The Latter Part Of 19th Century, bahwa di Makkah pada perempat ketiga abad ke-19, ada “sesepuh” (Nestor) para ulama Jawa yang berasal dari Tanah Betawi bernama “Junaid” yang sudah menetap selama 50 tahun. Diperkirakan, beliau sudah bermukim di Makkah sejak tahun 1834, tanpa diketahui pasti kapan waktu hijrahnya. Jika data ini akurat, berarti Syekh Junaid berhijrah ke Makkah dalam usia yang cukup matang, sekitar 30 tahun, membawa serta kekayaan intelektual dan spiritual dari Nusantara.

Sebagai seorang Imam Masjidil Haram, posisi Syekh Junaid al-Batawi sangatlah prestisius dan menunjukkan pengakuan atas keilmuan serta integritasnya. Rakhmad Zailani Kiki dkk dalam Genealogi Intelektual Ulama Betawi (2018), menyebutkan bahwa Syekh Junaid Al-Batawi adalah sosok yang sangat berpengaruh di Makkah. Beliau terkenal di seantero dunia Islam Sunni dan mazhab Syafi’i sepanjang abad ke-18 dan 19. Ini bukan hanya pencapaian pribadi, tetapi juga mengharumkan nama Indonesia di kancah global.

Baca Juga  Dakwah Pertama Nabi kepada Keluarga: Titik Awal Dakwah Terang-Terangan

Ridwan Saidi mengungkapkan, Syekh Junaid al-Batawi memiliki banyak murid yang kemudian menjadi ulama terkemuka di tanah air bahkan dunia Islam. Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi, pengarang Tafsir Al-Munir dan 37 kitab karangan lainnya yang masih diajarkan di berbagai pesantren Indonesia dan di luar negeri. Murid Syekh Junaid lainnya adalah Syekh Ahmad Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi, seorang imam, khatib, dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i. Berkat keluasan ilmunya, beliau diberi gelar “Syekh al-Masyāyikh” atau “Gurunya para guru”, sebuah gelar kehormatan yang menunjukkan posisi sentral Syekh Junaid dalam lingkaran keilmuan Islam. Murid Syekh Junaid lainnya adalah KH. Abdul Karim Tebuwung Dukun Gresik, yang dikenal sebagai “Guru Ulama Pantura” atau “Sunan Drajat Tebuwung.”

Penghormatan Abadi dari Keluarga Kerajaan Saudi

Kiprah dan pengaruh Syekh Junaid al-Batawi begitu besar hingga saat Makkah ditaklukkan pada tahun 1925 M dan diadakan perjanjian gencatan senjata antara Raja Ali bin Husein dengan Raja Ibnu Saud, keluarga Syekh Junaid masuk dalam daftar resmi pemerintah kerajaan yang diberi hak istimewa. Hal ini karena mereka telah menjalin hubungan baik dengan penguasa Makkah sebelumnya. Keturunan keluarga Betawi ini terdeteksi sejak 1987 M sampai sekarang dan masih tetap dalam perlindungan Kerajaan Saudi Arabia.

Ini adalah bukti konkret betapa besar kehormatan yang diberikan kepada Syekh Junaid dan keturunannya. Bahkan, konon keluarga besar Syekh Junaid yang bermukim di Jeddah biasa mengadakan acara Maulid dan Isra Miraj, meskipun kegiatan-kegiatan sejenis sangat “tabu” dilakukan kalangan ulama dan penguasa Arab Saudi karena perbedaan ideologi. Ini menunjukkan betapa terhormatnya nama Syekh Junaid al-Betawi di kalangan keluarga kerajaan, bahkan hingga saat ini, menunjukkan pengaruh spiritual dan sosialnya yang melampaui batas-batas politik dan mazhab.

Saking dihormatinya Syekh Junaid di Makkah, Buya Hamka (dalam Shahab, 2009) menulis, ketika Syarif Ali (putra Syarif Husin) ditaklukkan oleh Ibnu Saud, salah satu syarat penyerahannya adalah meminta “keluarga Syekh Junaid tetap dihormati setingkat dengan keluarga Raja Ibnu Saud.” Persyaratan ini diterima oleh Ibnu Saud, sebuah pengakuan yang tak ternilai harganya atas kontribusi dan kedudukan Syekh Junaid dalam sejarah Islam.

Baca Juga  Jejak Islam di Balik Kemegahan Majapahit: Dua Nisan Saksi Bisu Awal Mula Penyebaran di Era Hayam Wuruk

Akhir Hayat dan Warisan yang Tak Lekang Oleh Waktu

Sama halnya dengan tahun kelahirannya, tahun meninggalnya Syekh Junaid juga tak diketahui pasti. Menurut Direktur Islam Nusantara Center (INC), A Ginanjar Sya’ban, beliau meninggal pada akhir abad ke-19 Masehi. Adapun makam Syekh Junaid, kata Dosen Filologi dari Universitas Padjajaran itu, berada di kompleks Pemakaman Al-Ma’la, tak jauh dari Masjidil Haram, tempat pemakaman para tokoh besar Islam.

Alwi Shahab, budayawan Betawi, menulis tahun 1840 M sebagai tahun wafat Syekh Junaid di usianya yang ke 100 tahun di Tanah Suci. Namun, Ridwan Saidi meragukan analisis ini, karena pada tahun 1894-1895, ketika Snouck Hurgronje berhasil menyusup ke Makkah, Syekh Junaid diketahui masih hidup dalam usia yang sangat lanjut. Perbedaan data ini tidak mengurangi keagungan Syekh Junaid, justru menambah misteri dan kekaguman akan usianya yang panjang dan produktif.

Terlepas dari semua fakta ini, Syekh Junaid merupakan sosok teladan hebat yang mengabdikan sebagian besar usianya demi perkembangan khazanah Islam. Berkat kiprahnya yang sangat harum di dunia Islam internasional, nama Betawi pun turut harum. Syekh Junaid al-Batawi menjadi sosok yang sangat dihormati dan kini namanya diabadikan sebagai nama jalan di Jakarta Barat, menggantikan nama Jalan Lingkar Luar Barat di Rawa Buaya, Cengkareng.

Kisah Syekh Junaid al-Batawi adalah pengingat yang kuat bahwa kekayaan intelektual dan spiritual masyarakat Betawi jauh melampaui stereotip yang ada. Beliau adalah bukti nyata bahwa Indonesia, khususnya Betawi, telah melahirkan ulama-ulama besar yang berperan penting dalam peta keilmuan Islam dunia. Semoga kisah inspiratif ini dapat memotivasi kita untuk terus menggali dan menghargai warisan intelektual para leluhur. [wallahu a’lam bish showab]

Sharing is Caring