Surat Ir. Soekarno No. 1 dari Ende: Kritis terhadap Sayyid yang membanggakan nasab, Penegasan Tauhid dan Kesetaraan
Tim Redaksi Walisongo, Jumat, 20 Juni 2025 00:07 WIB
Berikut adalah surat Ir. Soekarno kepada T. A. Hassan yang ditulis dari Ende pada 1 Desember 1934:
SURAT-SURAT ISLAM DARI ENDEH
No. 1. Endeh, 1 Desember 1934
Assalamu’alaikum,
Jikalau saudara-saudara memperkenankan, saya minta saudara mengasih hadiah kepada saya buku-buku yang tersebut di bawah ini:
- Pengajaran Shalat
- Utusan Wahabi
- Al-Muchtar
- Debat Talqien
- Al-Burhan compleet
- Al-Jawahir
Kemudian daripada itu, jika saudara-saudara ada sedia, saya minta sebuah risalah yang membicarakan soal “sayid”. Ini buat saya bandingkan dengan alasan-alasan saya sendiri tentang hal ini. Walaupun Islam zaman sekarang menghadapi soal-soal yang beribu-ribu kali lebih benar dan lebih sulit daripada soal “sayid” itu, maka toh menurut keyakinan saya, salah satu kecelaan Islam zaman sekarang ini, ialah pengeramatan manusia yang menghampiri kemusyrikan itu. Alasan-alasan kaum “sayid”, misalnya mereka punya brosur “Bukti Kebenaran”, saya sudah baca, tetapi tak bisa meyakinkan saya. Tersesatlah orang yang mengira, bahwa Islam mengenal suatu “aristokrasi Islam”. Tiada satu agama yang menghendaki kesama-rataan lebih daripada Islam. Pengeramatan manusia itu, adalah salah satu sebab yang mematahkan jiwanya sesuatu agama dan umat, oleh karena pengeramatan manusia itu, melanggar tauhid. Kalau tauhid rapuh, datanglah kebencanaan!
Sebelum dan sesudahnya terima itu buku-buku, yang saya tunggu-tunggu benar, saya mengucap beribu-ribu terima kasih.
Wassalam,
SUKARNO

Surat Ir. Soekarno dari Ende , Flores, NTT ini bukan sekadar permintaan buku, melainkan sebuah pernyataan sikap dan pemikiran mendalam tentang prinsip-prinsip fundamental Islam. Soekarno menunjukkan minatnya yang besar terhadap literatur keagamaan, mencerminkan dahaganya akan ilmu dan pemahaman Islam yang komprehensif. Daftar buku yang diminta—mulai dari “Pengajaran Shalat” hingga “Utusan Wahabi”—mengindikasikan bahwa ia ingin mendalami fikih, akidah, dan isu-isu kontemporer yang relevan pada masanya.
Namun, bagian paling krusial dari surat ini adalah kritiknya terhadap fenomena “sayid” dan pengeramatan manusia. Soekarno dengan tegas menyatakan bahwa praktik semacam itu menghampiri kemusyrikan dan menjadi salah satu “kecelaan Islam zaman sekarang.” Ia telah membaca argumen dari kaum “sayid” namun tidak merasa yakin. Gelar sayyid saat itu dipakai oleh keluarga Ba’alawi, yang sekarang dikenal dengan sebutan “Habib”
Poin utama Soekarno adalah bahwa Islam tidak mengenal “aristokrasi Islam”. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa “tiada satu agama yang menghendaki kesama-rataan lebih daripada Islam.” Baginya, pengeramatan manusia adalah pelanggaran terhadap tauhid, dan jika tauhid rapuh, “datanglah kebencanaan!” Ini adalah peringatan keras dari Soekarno tentang bahaya penyimpangan akidah.
Kritik Soekarno ini sangat relevan dengan konteks saat itu, dan bahkan hingga kini, ketika ada kelompok-kelompok tertentu, seperti keluarga Ba’alawi, yang cenderung membanggakan dan mengutamakan nasab mereka yang diklaim sebagai keturunan Rasulullah SAW. Soekarno melihat penekanan berlebihan pada nasab sebagai bentuk pengeramatan yang bertentangan dengan esensi ajaran Islam tentang kesetaraan dan keesaan Allah.
Pandangan Soekarno didukung kuat oleh ajaran dasar Al-Qur’an dan Hadits yang menekankan kesetaraan manusia di hadapan Allah dan melarang pembanggakan nasab.
1. Kesetaraan Berdasarkan Takwa
Islam mengajarkan bahwa satu-satunya tolok ukur kemuliaan seseorang di sisi Allah adalah ketakwaannya, bukan garis keturunannya.
Al-Qur’an, Surat Al-Hujurat Ayat 13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”
Ayat ini adalah fondasi utama bagi prinsip kesetaraan dalam Islam, menegaskan bahwa asal-usul genetik tidak menentukan kedudukan spiritual.
2. Larangan Membanggakan Nasab
Rasulullah SAW sendiri secara eksplisit melarang umatnya untuk membanggakan nasab, mengingatkan bahwa semua manusia memiliki asal yang sama.
Hadits dari Abu Hurairah: Rasulullah SAW bersabda:
لَا تَفَاخَرُوا بِأَنْسَابِكُمْ فَإِنَّ النَّاسَ كُلَّهُمْ لِآدَمَ وَآدَمُ مِنْ تُرَابٍ
“Janganlah kalian saling membanggakan nasab kalian, sesungguhnya semua manusia itu berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah.” (HR. Ahmad)
Hadits ini menekankan kesederhanaan asal-usul manusia dan meniadakan alasan untuk merasa superior berdasarkan garis keturunan.
3. Amal Lebih Utama dari Nasab
Bahkan bagi kerabat terdekat Rasulullah SAW, beliau menegaskan bahwa amal perbuatanlah yang akan menjadi penentu keselamatan di akhirat, bukan nasab.
Hadits dari Abu Hurairah: Ketika Fathu Makkah, Rasulullah SAW bersabda:
يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ مِنَ اللَّهِ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا
“Wahai sekalian orang Quraisy, belilah diri kalian dari Allah (dengan beramal saleh), sungguh aku tidak dapat menolong kalian sedikitpun dari (siksaan) Allah.” (HR. Muslim)
Dan kepada putri beliau sendiri:
يَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ اعْمَلِي فَإِنِّي لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا
“Wahai Fatimah putri Muhammad, beramallah (saleh), karena sungguh aku tidak dapat menolongmu sedikitpun dari (siksaan) Allah.” (HR. Muslim)
Ini adalah penegasan kuat bahwa tanggung jawab individu atas amalnya adalah mutlak, dan nasab tidak dapat menjadi jaminan penyelamat.

Pesan Sunan Ampel: “Ojo Gumunggung Karo Nasab”
Pesan Sunan Ampel: “Ojo gumunggung karo nasab, sebab dadi sirnane barokah” (Janganlah membanggakan nasab, karena akan menghilangkan keberkahan) sangat selaras dengan kritik Soekarno dan ajaran Islam yang universal.
Pernyataan ini mencerminkan kearifan lokal yang menguatkan prinsip-prinsip syariat:
- Menjaga Tauhid: Pengeramatan nasab berpotensi menggeser fokus dari Allah SWT sebagai satu-satunya yang patut disembah dan dihormati sepenuhnya.
- Mendorong Amal: Ketika nasab dijadikan kebanggaan, ada risiko orang merasa tidak perlu beramal keras karena merasa sudah memiliki “keistimewaan” dari keturunan. Ini menghilangkan motivasi untuk mencapai takwa sejati.
- Membangun Persatuan Umat: Membanggakan nasab dapat menciptakan sekat-sekat sosial, rasa superioritas, dan potensi perpecahan di antara umat. Prinsip kesetaraan justru mendorong persatuan dalam keragaman.
Hilangnya keberkahan (“sirnane barokah”) dapat diartikan sebagai berkurangnya manfaat dan kebaikan dalam hidup, baik secara spiritual maupun sosial, karena seseorang telah menyimpang dari tujuan utama penciptaan dan prinsip-prinsip agama yang luhur.

Perbedaan Pendekatan dengan Keluarga Wali Songo dan Ir. Soekarno
Perdebatan mengenai nasab Ba’alawi ini sangat kontras dengan sikap yang ditunjukkan oleh keluarga Wali Songo dan juga Ir. Soekarno sendiri.
- Dzuriyah Wali Songo (termasuk Ir. Soekarno yang memiliki darah keturunan Wali Songo): Para Wali Songo, meskipun banyak di antara mereka diyakini memiliki silsilah yang terhubung ke Nabi Muhammad SAW melalui jalur Sayyid/Syarif, tidak pernah membanggakan nasab mereka di muka publik. Sebaliknya, mereka lebih menekankan dakwah, amal saleh, akhlak mulia, dan keteladanan. Pesan Sunan Ampel, “Ojo gumunggung karo nasab, sebab dadi sirnane barokah,” adalah bukti nyata dari filosofi ini. Mereka menggunakan pengaruh spiritual dan keilmuan mereka untuk menyebarkan Islam dengan damai dan membangun peradaban, bukan untuk mengklaim superioritas genetik atau memaksa orang lain untuk mempercayai sebagai keturunan Nabi SAW. Penelusuran nasab mereka lebih bersifat internal untuk menjaga silsilah keluarga, bukan untuk pamer atau mencari pengakuan publik atas dasar keturunan.
- Ir. Soekarno: Sebagaimana terlihat jelas dalam suratnya, Soekarno sangat menentang “pengeramatan manusia” dan gagasan “aristokrasi Islam” berdasarkan keturunan. Ini adalah sikap yang konsisten dengan ajaran Islam tentang kesetaraan dan tauhid, serta dengan tradisi para Wali Songo yang mengutamakan amal dan ketakwaan di atas nasab. Sikap Soekarno menunjukkan kekhawatiran bahwa klaim nasab yang berlebihan dapat mengarah pada kemusyrikan dan melemahkan fondasi agama.
Perbedaan mendasar terletak pada:
Sikap terhadap Pengakuan Publik: Keluarga Wali Songo tidak memaksakan apalagi menuntut orang lain untuk mempercayai nasab mereka. Mereka membiarkan bukti amal dan pengaruh baik yang berbicara. Sebaliknya, sebagian pihak yang membanggakan nasab Ba’alawi cenderung menuntut pengakuan dan terkadang bahkan mengklaim keistimewaan yang berlebihan.
Tujuan Penekanan Nasab: Bagi sebagian Ba’alawi, nasab ditekankan untuk menunjukkan status kemuliaan dan keistimewaan, bahkan terkadang untuk menuntut penghormatan khusus. Bagi keluarga Wali Songo dan Soekarno, nasab (jika ada) adalah bagian dari sejarah pribadi dan keluarga, tetapi bukan untuk dibanggakan atau dijadikan alat legitimasi kekuasaan spiritual/sosial.
Fokus Dakwah: keluarga Wali Songo dan Soekarno fokus pada pengajaran Islam yang substantif (tauhid, syariah, akhlak), persatuan umat, dan pembangunan masyarakat. Sedangkan penekanan berlebihan pada nasab dapat mengalihkan fokus dari esensi ajaran Islam.
Baca juga:https://id.m.wikisource.org/wiki/Surat-Surat_Islam_dari_Ende