Rencong Masih Tajam: ada senjata yang ingin dibuat lebih tajam dan diam-diam: Surat Keputusan Kemendagri.
KH. Akhmadi Thaha, Senin, 16 Juni 2025 10:42 WIB
Catatan Cak AT
Di Aceh, rencong adalah lambang kehormatan dan ketegasan. Tapi ternyata, ada senjata yang ingin dibuat lebih tajam dan diam-diam: Surat Keputusan Kemendagri. Tanpa perlu berbunyi atau diasah, SK bisa mencabut empat pulau dari pangkuan Aceh.
Keempat pula —Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek— digergaji Menteri Dalam Negeri lalu dipindah ke Sumatera Utara, secepat petir di tengah musim paceklik. Hanya dengan selembar kertas bernomor 30022/2138/2025, hilanglah empat pulau dari peta Aceh, seperti dicoret pakai penghapus putih milik birokrasi pusat.
Bisa jadi ini bukan kejadian perdana dalam sejarah geografi politis kita. Tapi yang membuat kasus ini menjadi lebih dari sekadar drama birokrasi adalah fakta: secara historis, geografis, dan sosiologis, keempat pulau itu jelas lebih dekat ke Aceh dan jelas milik Aceh.
Itu tercatat di perjanjian Helsinksi. Juga ada di perjanjian resmi 1992, disahkan oleh kedua gubernur dan disaksikan Mendagri saat itu Rudini, yang menyatakan keempat pulau milik Aceh. Namun, ternyata tinta birokrasi hari ini mau lebih sakti dari dokumen negara semalam.
Tidak perlu perang, tidak perlu musyawarah. Cukup tanda tangan dan stempel. Selesai sudah sejarah. Menyadari kekacauan ini, meski agak terlambat, pada 3 Juni 2025, sejumlah pejabat, dari DPR RI, DPD, hingga Forkopimda Aceh, mendadak tampil menyatakan penolakan.
Mereka menjadikan laut Aceh Singkil jadi panggung politik terbuka. Di atas speedboat, dengan gaya gabungan antara ekspedisi penjajakan dan parade kemerdekaan, mereka demo bersama. Ada spanduk, doa bersama, orasi, dan tentu saja sesi foto untuk media sosial.
Tapi mari kita jujur: apakah ini tidak terlambat? Di saat SK sudah berumur dua bulan lebih, dan publik Aceh mulai membara, baru muncul pernyataan dan manuver simbolik. Sebelumnya? Sepi. Sunyi. Seolah keempat pulau itu tak pernah ada di benak para elite.
Tapi, tak apa terlambat, daripada dicatat merah dalam sejarah. Namun, kalau benar peduli, gugatan hukum ke MA atau interpelasi DPR seharusnya berjalan bersamaan. Sayangnya, lebih banyak suara di atas gelombang dan medsos daripada langkah nyata di ruang sidang.
Sekali lagi, tak apa. Tokh, kepemilikan Aceh atas keempat pulau sesungguhnya lebih kuat. Kesepakatan tahun 1992 antara Gubernur Sumatera Utara, Raja Inal Siregar, dan Gubernur Aceh, Ibrahim Hasan, menjadi tonggak penting dalam menyelesaikan sengketa empat pulau di wilayah Singkil.
Dengan mediasi Menteri Dalam Negeri saat itu, Rudini, kedua belah pihak menyetujui bahwa Pulau Panjang, Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, dan Lipan sepenuhnya masuk dalam wilayah Aceh. Sengketa lama selesai saat itu.

Dokumen tersebut menegaskan bahwa Sumatera Utara tidak berhak lagi mengklaim wilayah tersebut maupun mengeluarkan izin usaha di sana. Pengelolaan sumber daya alam menjadi hak penuh Aceh, dan kerja sama antar-provinsi hanya diperbolehkan dalam ranah teknis.
Kekuatan hukum kesepakatan ini tidak terbantahkan. Ia diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan telah mendapat legitimasi Mahkamah Agung melalui Putusan No. 01.P/HUM/2013, yang menolak gugatan Sumatera Utara.
Dokumen ini juga tercatat sebagai arsip resmi di Kementerian Dalam Negeri. Meski demikian, klaim ulang oleh pemerintah Sumut di era berikutnya, termasuk oleh Bobby Nasution, menunjukkan upaya pembangkangan terhadap kesepakatan yang sah dan mengikat.
Aceh, yang berpegang pada prinsip hukum dan penghormatan terhadap sejarah, menegaskan bahwa pelanggaran semacam ini bisa dibawa ke forum internasional jika diperlukan. Posisi Gubernur Aceh Muzakir Manaf cukup kuat untuk membela, meskipun kini diajak “berdamai”?
Tapi, apa sebetulnya alasan Kemendagri kali ini? Hanya evaluasi administratif. Sebuah istilah yang bisa berarti apa saja: dari revisi …
Suwun