Menguak Tirai Hakikat: Pesan Sunan Drajat dalam Kitab Syekh Majnun

Buya Munawwir Al-Qosimi, Jumat, 20 Juni 2025 00:09 WIB

Dalam khazanah spiritual Nusantara, nama Sunan Drajat bersinar terang sebagai salah satu Wali Songo. Beliau tak hanya menyebarkan ajaran Islam, tapi juga meninggalkan warisan kearifan yang mendalam. Salah satu mutiara kebijaksanaannya dapat kita temukan dalam dawuh (ucapan) beliau yang termaktub dalam Manuskrip Drajat :Kitab Syekh Majnun, yang menyimpan intisari pemikiran sang Sunan.

Dawuh Sunan Drajat itu berbunyi:

“Tinon asri marbuk wangi. Punika maksih rorasan. Yen sira nyuwun weruh jatine, den jati sira mimitra.”

Makna Harfiah Dawuh Sunan Drajat

Untuk memahami pesan Sunan Drajat, mari kita bedah arti setiap bagiannya secara harfiah:

  • “Tinon asri marbuk wangi.”
    • Tinon: Terlihat, tampak, dipandang.
    • Asri: Indah, elok, mempesona.
    • Marbuk: Harum semerbak, sangat memikat hingga memabukkan.
    • Wangi: Harum.
    • Makna: Terlihat indah, harum semerbak, dan sangat memikat. (Menggambarkan keindahan duniawi yang mempesona).
  • “Punika maksih rorasan.”
    • Punika: Itu, itu semua.
    • Maksih: Masih.
    • Rorasan: Kulit luar, lapisan luar, bungkus, hal-hal yang bersifat tampak atau zahir.
    • Makna: Itu semua hanyalah lapisan luar.
  • “Yen sira nyuwun weruh jatine,”
    • Yen: Jika.
    • Sira: Kamu, engkau.
    • Nyuwun weruh: Meminta tahu, ingin mengetahui.
    • Jatine: Hakikat sejatinya, kebenaran intinya.
    • Makna: Jika engkau ingin mengetahui hakikat sejatinya,
  • “Den jati sira mimitra.”
    • Den jati: Maka sungguh-sungguh, sesungguhnya.
    • Sira: Kamu, engkau.
    • Mimitra: Mengenali dirimu sendiri, bersahabat dengan dirimu.
    • Makna: Maka kenalilah dirimu terlebih dahulu.

Terjemahan Harfiah: “Pandanglah keindahan (dunia) ini yang harum memabukkan. Itu semua hanyalah lapisan luar. Jika engkau ingin mengetahui hakikat sejatinya, maka kenalilah dirimu terlebih dahulu.”

Analisis Dawuh dalam Perspektif Tasawuf

Dawuh Sunan Drajat ini, jika kita selami dari kacamata tasawuf (ilmu yang mengkaji perjalanan spiritual untuk mendekatkan diri kepada Allah), menyampaikan dua pilar utama: menyingkap tabir dunia dan menyelami hakikat diri.

1. Pesona Dunia sebagai Hijab (Tabir)

Bagian pertama dawuh, “Tinon asri marbuk wangi. Punika maksih rorasan,” menggambarkan betapa memikatnya dunia fana ini. Keindahan dunia, gemerlap harta, pesona rupa, dan segala kenikmatan indrawi diibaratkan “harum yang memabukkan.” Sunan Drajat mengingatkan kita bahwa semua itu hanyalah “rorasan” — lapisan luar atau bungkus semata.

Baca Juga  Sunan Drajat dan Kesetaraan Ilmu: Suara Progresif dari Wali Tanah Jawa

Dalam tasawuf, ini disebut dunia sebagai hijab (penghalang) yang bisa memalingkan hati dan pandangan seorang salik (penempuh jalan spiritual) dari tujuan sejatinya, yaitu Allah SWT.

Imam Al-Ghazali, dalam karyanya Ihya’ Ulumiddin, banyak membahas bahaya hubbud dunya (cinta dunia) yang berlebihan. Beliau menjelaskan bahwa perhiasan dunia bisa menjadi penghalang tebal untuk mencapai makrifatullah (pengenalan kepada Allah). Jika dunia tidak dipahami sebagai sarana, ia akan menjadi tujuan yang mengikat jiwa kita.

Dalil dari Al-Qur’an: Allah SWT berfirman:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali ‘Imran: 14)

Ayat ini menegaskan bahwa segala yang indah di dunia ini hanyalah “kesenangan hidup di dunia.” Para sufi diajarkan untuk tidak terpaku pada “kesenangan” ini, melainkan menembus “rorasan” menuju hakikat Ilahi.

2. Kunci Gerbang Hakikat: Mengenali Diri (Makrifatun Nafs)

Puncak dawuh Sunan Drajat ada pada kalimat: “Yen sira nyuwun weruh jatine, den jati sira mimitra.” Ini adalah petunjuk penting untuk memahami ilmu hakikat dan makrifat. Jika seseorang ingin tahu “jatine” (hakikat sejati segala sesuatu, termasuk hakikat Tuhan), maka syarat mutlaknya adalah “den jati sira mimitra” — kenalilah dirimu terlebih dahulu.

Dalam tasawuf, konsep “mengenali diri” (makrifatun nafs) adalah fondasi utama dan gerbang menuju makrifatullah (pengenalan kepada Allah SWT). Konsep ini didukung oleh sebuah hadis yang sangat populer di kalangan sufi:

Baca Juga  Sunan Drajat dan Kesetaraan Ilmu: Suara Progresif dari Wali Tanah Jawa

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ

“Barangsiapa mengenal dirinya, sungguh ia mengenal Tuhannya.”

Mengapa mengenal diri menjadi kunci dalam tasawuf menurut ulama sufi:

  • Diri sebagai Mikrokosmos (Alam Saghir) dan Manifestasi Ilahi: Para sufi meyakini bahwa manusia adalah alam kecil (alam saghir) yang mencerminkan alam besar (alam kabir), bahkan mencerminkan Asma’ dan Sifat Allah. Dengan menyelami batin, seorang salik dapat menemukan jejak-jejak ketuhanan. Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitabnya Al-Ghunyah li Thalibi Tariqil Haqq menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna karena di dalamnya terkumpul seluruh hakikat alam semesta dan rahasia-rahasia Ilahi. Mengenal diri berarti mengenal rahasia rububiyah (ketuhanan) yang ditiupkan ke dalam ruh manusia.

Allah swt berfirman:

وَنَفَخْتُ فِيهِ مِن رُّوحِي

“Dan telah Kutiupkan ke dalamnya ruh-Ku.” (QS. Al-Hijr: 29) Ayat ini menjadi dasar bahwa ada “percikan” Ilahi dalam diri manusia, yang memungkinkannya mengenal Penciptanya jika ia mau menyelaminya.

  • Pembersihan Hati (Tazkiyatun Nafs) sebagai Syarat Mengenal Diri Sejati: Mengenal diri juga berarti introspeksi mendalam untuk mengidentifikasi dan membersihkan penyakit-penyakit hati (amradhul qulub) seperti hubbud dunya (cinta dunia), riya’ (pamer), ujub (kagum pada diri sendiri), takabbur (sombong), hasad (dengki), dan sifat tercela lainnya. Sifat-sifat negatif ini berfungsi sebagai hijab yang menghalangi penglihatan batin terhadap hakikat Ilahi. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin menekankan bahwa penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) adalah syarat mutlak untuk mencapai makrifatullah. Ia mengibaratkan hati yang kotor seperti cermin berkarat; tidak akan mampu memantulkan cahaya kebenaran. Hanya hati yang bersih yang dapat menerima tajalli (manifestasi) Ilahi.

Allah swt berfirman:

قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا – وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا

“Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9-10) Ayat ini jelas mengaitkan keberuntungan (keberhasilan spiritual) dengan penyucian jiwa, yang merupakan bagian penting dari mengenal diri.

  • Jalan Menuju Makrifatullah (Pengenalan kepada Allah): Tujuan akhir dari mengenal diri adalah makrifatullah, yaitu pengenalan yang mendalam dan intim terhadap Allah SWT. Ini bukan hanya pengenalan akal atau hafalan, melainkan melalui pengalaman batin, penyaksian spiritual (kasyf), dan penghayatan kehadiran Ilahi dalam setiap aspek kehidupan. Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili, salah satu pendiri tarekat Syadziliyah, mengajarkan bahwa makrifat tidak dicapai hanya dengan ilmu lahir, melainkan dengan riyadhah (latihan spiritual) dan mujahadah (perjuangan melawan nafsu) untuk membersihkan hati. Hanya hati yang bersih dan jiwa yang tenang yang dapat mencapai tingkatan musyahadah (penyaksian) akan kebesaran dan keindahan Tuhan.
  • Kesadaran akan Fitrah Ilahiah dan ‘Kembali’ kepada Allah: Mengenal diri membawa pada kesadaran akan fitrah ilahiah manusia, yaitu kecenderungan alami untuk mencari dan mencintai Tuhannya. Dengan membersihkan diri dari kotoran duniawi, fitrah ini akan bersinar terang, membimbing jiwa kembali menuju asalnya, yaitu hadirat Ilahi. Ibnu Atha’illah Al-Sakandari dalam Kitab Al-Hikam menyatakan: “Bagaimana mungkin hati disinari, padahal bentuk-bentuk alam semesta tercermin padanya? Atau bagaimana mungkin ia menempuh perjalanan menuju Allah, padahal ia masih terbelenggu oleh syahwat-syahwatnya?” Ini menunjukkan bahwa pengenalan diri adalah proses melepaskan belenggu duniawi agar hati dapat leluasa bergerak menuju Allah.
Baca Juga  Sunan Drajat dan Kesetaraan Ilmu: Suara Progresif dari Wali Tanah Jawa

Kesimpulan

Dawuh Sunan Drajat adalah warisan kearifan yang tak lekang oleh waktu, mengandung intisari ajaran tasawuf yang sangat relevan. Beliau mengajak kita untuk tidak terperdaya oleh “rorasan” (lapisan luar) dunia yang fana, melainkan fokus pada pencarian “jatine” (hakikat sejati). Kunci untuk membuka gerbang hakikat ini adalah dengan “mimitra” (mengenali diri) secara mendalam.

Proses mengenal diri dalam tasawuf adalah perjalanan tazkiyatun nafs yang berkelanjutan, yaitu membuang sifat-sifat buruk dan menghidupkan sifat-sifat terpuji. Ini bertujuan agar hati menjadi cermin bersih yang siap menerima cahaya makrifatullah. Dengan demikian, dawuh Sunan Drajat adalah sebuah peta jalan spiritual bagi siapa saja yang ingin melampaui alam materi dan mencapai kedekatan yang hakiki dengan Sang Pencipta.

Sharing is Caring