Mengenal dan Berinteraksi dengan Allah: Sebuah Refleksi Mendalam

Tim Redaksi Walisongo, Senin, 9 Juni 2025 21:36 WIB


Dalam kehidupan ini, mengenal Allah adalah fondasi utama bagi seorang mukmin. Interaksi kita dengan-Nya bukan sekadar rutinitas ibadah, melainkan sebuah perjalanan hati yang penuh ketakwaan, kepercayaan, rasa syukur, dan keikhlasan. Mari kita selami lebih dalam hakikat interaksi dengan Sang Pencipta, sebagaimana dinasihatkan oleh seorang ahli hikmah yang diriwayatkan dalam kitab Adabun Nufus karya Al-Harits Al-Muhasibi, halaman 35-38, yang diterbitkan oleh Dar al-Jail, Beirut, Lebanon.

Sang ahli hikmah memulai nasihatnya dengan seruan universal: “Saya menasihati Anda dan diri saya, dan siapa pun yang mendengar perkataan saya, untuk bertakwa kepada Allah, Yang menciptakan hamba-hamba-Nya, kepada-Nya tempat kembali, dan dengan-Nya ada kebenbasan dan petunjuk.”

Landasan Takwa: Mengenal Kedekatan dan Kekuasaan-Nya

Bertakwa kepada Allah berarti memahami kedekatan-Nya dan kekuasaan-Nya atas diri kita. Ini adalah takwa yang lahir dari kesadaran bahwa Dia senantiasa bersama kita, mengetahui setiap gerak-gerik dan bisikan hati. Keimanan kita kepada-Nya haruslah iman orang yang mengakui keesaan-Nya, keunikan-Nya, dan keazalian-Nya. Bukti-bukti keesaan-Nya begitu nyata: dari keindahan kerajaan-Nya yang terhampar di alam semesta, hingga kesempurnaan ciptaan-Nya yang tiada cela. Ayat-ayat dan dalil-dalil yang tak terhitung jumlahnya membuktikan ketuhanan-Nya, ketetapan kehendak-Nya, serta kebaikan pengaturan-Nya. Segala ciptaan dan perintah adalah milik-Nya, Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.

Pilar Kepercayaan: Husnuzan dan Ketenteraman Hati

Setelah takwa, pilar berikutnya adalah kepercayaan yang kokoh kepada Allah. Ini adalah kepercayaan orang yang berprasangka baik kepada-Nya, tanpa ada sedikit pun keraguan atau kecurigaan. Orang yang percaya sepenuhnya akan membenarkan janji-Nya, yakin akan jaminan-Nya, dan hatinya akan merasakan ketenangan dari segala kegelisahan. Dalam hati mereka, ancaman Allah terasa agung, mendorong mereka untuk senantiasa berhati-hati.

Bersamaan dengan kepercayaan, rasa syukur menjadi bagian tak terpisahkan. Syukuri Allah seperti orang yang telah memahami betapa besar karunia-Nya, betapa banyak pemberian-Nya, dan kebaikan-Nya yang tiada henti. Renungkanlah nikmat-nikmat-Nya yang lahir dan batin, yang bersifat khusus maupun umum.

Kunci Keikhlasan: Membersihkan Amal dari Segala Cacat

Inti dari setiap ibadah dan amal adalah keikhlasan. Ikhlaslah kepada Allah seperti orang yang tahu bahwa Dia tidak akan menerima amal kecuali jika bersih dari segala cacat dan semata-mata dilakukan karena Allah, tanpa ada sekutu. Ini berarti tidak menyekutukan seorang pun dalam amal kita selain Dia.

Peringatan penting di sini adalah tentang riya’ atau menyekutukan makhluk dalam beramal. Ini terjadi ketika seseorang berhias diri di hadapan manusia saat melakukan kebaikan, berdusta dalam amalnya, atau berbuat riya agar dihormati dan diagungkan. Ia mungkin mencari pujian atas perkataannya yang indah atau kebaikan yang tampak dari amalnya, entah ia sadar atau tidak.

Tidak ada yang selamat dari keburukan riya’ kecuali orang yang menjauhinya dan beramal tanpa keinginan diketahui oleh makhluk. Jika pun ada yang mengetahui amalnya tanpa ia inginkan, maka keikhlasannya teruji dari ketidaksukaannya terhadap pujian atas amal tersebut. Jika ia dipuji namun tidak menyukainya, janganlah ia merasa senang. Dan jika ia merasa senang, janganlah kesenangan itu karena tujuan duniawi.

Jujur dan Bertawakal Sepenuh Hati

Kejujuran dalam perkataan dan perbuatan adalah cerminan dari kesadaran bahwa Allah mengetahui setiap inci dari diri kita: yang tersembunyi, yang rahasia, yang terang-terangan, dan bahkan apa yang tersimpan dalam hati.

Kemudian, bertawakallah kepada Allah sebagaimana tawakal orang yang percaya sepenuhnya pada janji-Nya dan merasa tenteram dengan jaminan-Nya. Tawakal ini lahir dari keyakinan akan kesetiaan-Nya, keridaan terhadap takdir-Nya, penyerahan diri pada perintah-Nya, keimanan akan takdir-Nya, serta keyakinan yang tulus akan surga dan neraka-Nya.

Rasa Takut dan Harap yang Seimbang

Takut kepada Allah adalah rasa takut yang muncul dari pemahaman akan keperkasaan-Nya, kerasnya siksaan-Nya, azab-Nya yang pedih, serta dampak dan balasan bagi siapa pun yang melanggar perintah-Nya dan durhaka kepada-Nya. Ketahuilah bahwa tidak ada penolong bagi yang Dia tinggalkan, dan tidak ada kebaikan yang mampu menandingi bimbingan, perlindungan, dan penjagaan-Nya. Tak ada yang mampu bersabar menghadapi siksaan dan hukuman-Nya, serta perubahan nikmat-nikmat-Nya.

Namun, rasa takut ini harus diimbangi dengan harapan kepada Allah. Harapkanlah Dia seperti orang yang membenarkan janji-Nya dan telah melihat pahala-Nya. Syukurilah Dia seperti orang yang diterima kebaikannya, diperbaiki amalnya, dan dianugerahi dari limpahan karunia serta kemuliaan-Nya yang melebihi apa yang layak ia dapatkan.

Malu dan Patuh pada Syariat-Nya

Rasa malu kepada Allah adalah malu yang timbul dari kesadaran akan begitu banyaknya karunia dan pemberian-Nya, sementara kita menyadari kekurangan diri dalam bersyukur, sedikitnya kesetiaan pada janji-Nya, dan ketidakmampuan menunaikan hak-Nya. Meski demikian, kita senantiasa merasakan keindahan penutupan aib-Nya, keagungan keselamatan, berlanjutnya nikmat, kebaikan-Nya yang terus-menerus, kesabaran-Nya yang luar biasa, dan pemaafan-Nya.

Akhirnya, ingatlah bahwa Allah telah mewajibkan kewajiban-kewajiban yang tampak dan tersembunyi. Dia telah menetapkan syariat-syariat yang ditunjukkan kepada kita dan diperintahkan untuk kita laksanakan. Dia menjanjikan pahala besar bagi yang melaksanakannya dengan baik, dan mengancam dengan siksaan pedih bagi yang melalaikannya. Ini semua adalah rahmat dan kasih sayang-Nya kepada kita.

Maka, laksanakanlah kewajiban-kewajiban-Nya, patuhilah syariat-syariat-Nya, ikutilah sunah Nabi ﷺ, serta teladanilah jejak para sahabat Nabi. Hiasi diri dengan adab-adab mereka, ikuti jalan mereka, dan jadikan petunjuk mereka sebagai pedoman. Berwasilah kepada Allah dengan mencintai mereka dan mencintai siapa pun yang mencintai mereka, karena merekalah orang-orang yang kembali kepada-Nya, menuju tujuan-Nya, dan dipilih oleh-Nya untuk menemani Nabi-Nya sebagai kekasih dan sahabat.

Semoga refleksi ini menginspirasi kita untuk senantiasa memperbaiki interaksi dengan Allah, demi meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.

Sharing is Caring