Memahami Hakikat Diri: Hati, Ruh, Nafsu, dan Akal dalam Perspektif Imam Al-Ghazali
Tim Redaksi Walisongo, Rabu, 11 Juni 2025 09:54 WIB
Pernahkah kita merenungkan siapa diri kita sesungguhnya? Tak hanya sekadar jasad, manusia adalah entitas kompleks dengan dimensi spiritual yang mendalam. Imam Al-Ghazali, dalam mahakaryanya Ihya Ulumiddin, mengupas tuntas empat elemen fundamental yang membentuk hakikat diri kita: hati (qalb), ruh, nafsu, dan akal. Pemahaman yang keliru tentang keempatnya bisa jadi pangkal berbagai masalah dalam hidup. Yuk, kita selami lebih dalam!
Hati: Lebih dari Sekadar Gumpalan Daging
Ketika kita bicara hati, pikiran kita mungkin langsung tertuju pada organ pemompa darah di dada kiri. Itu benar, namun Al-Ghazali menyebutnya hati jasmani. Hati ini hanyalah seonggok daging yang bahkan dimiliki hewan dan orang mati. Fungsinya lebih kepada aspek medis, bukan spiritual.
Al-Ghazali mengajak kita melihat hati dalam makna kedua, yaitu latifah rabbaniyah ruhaniyah (substansi halus yang bersifat ketuhanan dan rohani). Inilah hakikat sejati manusia, yang memahami, mengetahui, dan mengenal. Ia yang diajak bicara Tuhan, yang akan dihisab, ditegur, dan dituntut. Keterkaitannya dengan hati jasmani ini sangat misterius, begitu halusnya sehingga sulit dijangkau akal. Ibaratnya, seperti sifat yang melekat pada benda, atau pengguna alat dengan alatnya. Inilah yang kita sebut “hati” dalam konteks spiritual, yang perlu kita kenali sifat dan keadaannya agar bisa berinteraksi (bermuamalah) dengan baik.

Ruh: Energi Kehidupan dan Hakikat Diri
Kata ruh juga memiliki dua makna. Pertama, ruh jasmani, yaitu uap halus yang bersumber dari rongga hati jasmani, lalu menyebar ke seluruh tubuh melalui urat nadi. Ruh ini yang memberikan kehidupan, indra perasa, penglihatan, pendengaran, dan penciuman pada anggota tubuh kita. Ini adalah domain para dokter yang mengobati fisik.
Namun, yang lebih penting bagi kita adalah ruh dalam makna kedua, yaitu latifah yang memahami dan mengetahui. Ini sama dengan hati spiritual yang dibahas sebelumnya. Inilah yang Allah maksudkan dalam firman-Nya:
قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي
“Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhanku.'” (QS. Al-Isra’: 85)
Ini adalah urusan ketuhanan yang begitu agung, sehingga banyak akal tidak mampu memahami hakikatnya secara mendalam.
Nafsu: Musuh Terbesar atau Kekuatan Pendorong?
Nafsu seringkali menjadi kambing hitam atas segala keburukan. Benar, dalam satu makna, nafsu memang merujuk pada kekuatan amarah (ghadab) dan syahwat (hasrat) yang menjadi sumber sifat-sifat tercela dalam diri manusia. Para sufi sering mengatakan, “Tidak ada pilihan lain kecuali memerangi nafsu dan menghancurkannya.” Inilah musuh terbesar kita, yang berdiam di antara dua lambung kita, sebagaimana disabdakan Nabi ﷺ:
أَعْدَى عَدُوِّكَ نَفْسُكَ الَّتِي بَيْنَ جَنْبَيْكَ
“Musuhmu yang paling memusuhi adalah nafsumu yang berada di antara kedua lambungmu.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Kitab Az-Zuhd dari hadis Ibnu Abbas)
Namun, Al-Ghazali juga menjelaskan nafsu dalam makna kedua, yaitu hakikat sejati manusia itu sendiri, yang kita sebut jiwa atau diri. Nafsu ini memiliki sifat-sifat berbeda tergantung keadaannya:
- Nafsu Muthmainnah (Jiwa yang Tenang): Jiwa yang tunduk pada perintah Allah dan terbebas dari gejolak syahwat. Inilah jiwa yang dipanggil kembali kepada Tuhan dengan rida dan diridai, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً
“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan rida dan diridai.” (QS. Al-Fajr: 27-28)
- Nafsu Lawwamah (Jiwa yang Mencela): Jiwa yang belum sepenuhnya tenang, namun mulai melawan nafsu syahwat dan mencela diri sendiri saat berbuat salah atau lalai, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ
“Dan aku bersumpah demi jiwa yang mencela (dirinya sendiri).” (QS. Al-Qiyamah: 2)
- Nafsu Ammarah bis-Su’ (Jiwa yang Memerintahkan Keburukan): Jiwa yang menyerah pada tuntutan syahwat dan bujuk rayu setan, seperti yang Allah firmankan, mengisahkan tentang Nabi Yusuf AS atau istri Al-Aziz:
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan.” (QS. Yusuf: 53)
Jadi, nafsu dalam makna pertama (ghadab dan syahwat) adalah tercela, sedangkan nafsu dalam makna kedua (hakikat diri) adalah terpuji karena ia adalah esensi diri kita yang mampu mengenal Allah.

Akal: Cahaya Pengetahuan dan Pemahaman
Terakhir, akal. Kata ini juga memiliki dua makna:
- Akal sebagai ilmu: Yaitu pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu, yang tempatnya di hati spiritual.
- Akal sebagai yang memahami ilmu: Yaitu hati spiritual itu sendiri, sebagai entitas yang mengerti dan mengetahui.
Akal adalah yang pertama kali Allah ciptakan, sebagai cahaya yang memampukan kita memahami, sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
أَوَّلُ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْعَقْلَ
“Yang pertama kali diciptakan Allah adalah akal.” (Hadis ini disebutkan dalam Kitab Ilmu)
Dalam riwayat disebutkan bahwa Allah berfirman kepadanya: “Datanglah!” Maka ia datang. Dan Allah berfirman: “Pergilah!” Maka ia pergi. Ilmu adalah sifat yang melekat pada akal, bukan akal itu sendiri. Dengan akal inilah kita dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk.
Hati sebagai Raja, dan Pasukannya
Al-Ghazali menggunakan perumpamaan yang indah untuk menjelaskan hubungan antara hati dan elemen-elemen lain. Hati ibarat raja di dalam sebuah kota (tubuh). Raja ini memiliki dua jenis pasukan:
- Pasukan yang terlihat (lahir): Yaitu anggota tubuh kita seperti tangan, kaki, mata, telinga, lidah, dan lainnya. Mereka adalah pelayan yang tunduk sepenuhnya pada perintah hati.
- Pasukan yang tidak terlihat (batin): Inilah yang lebih menarik. Pasukan batin ini dibagi lagi menjadi tiga jenis utama:
- Pendorong (iradah): Yaitu syahwat (untuk mendapatkan manfaat) dan ghadab (untuk menolak bahaya).
- Penggerak (qudrah): Kekuatan yang menggerakkan anggota tubuh untuk mencapai tujuan, tersebar di otot dan urat.
- Pemaham (ilmu/idrak): Yaitu indra-indra kita (penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, sentuhan) dan kekuatan batin di otak seperti khayal, hafalan, pemikiran, dan ingatan.

Dalam perumpamaan lain, Al-Ghazali menggambarkan:
- Jiwa (hati spiritual) seperti raja di kerajaannya (tubuh).
- Akal seperti menteri bijaksana dan penasihat yang tulus.
- Syahwat seperti budak jahat yang membawa makanan, tapi penuh tipu daya.
- Ghadab seperti kepala polisi yang tegas.
Seharusnya, raja (hati) mengandalkan menteri bijaksana (akal) dan menggunakan kepala polisi (ghadab) untuk mendisiplinkan budak jahat (syahwat). Jika hati dikuasai syahwat, maka akal akan diperbudak untuk mencari cara memuaskan nafsu, bukan sebaliknya. Ini seperti seorang penunggang kuda yang bodoh, dengan kuda yang liar (syahwat) dan anjing yang ganas (ghadab), pasti akan celaka.
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا يَعْلَمُ جُنُودَ رَبِّكَ إِلَّا هُوَ
“Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu kecuali Dia.” (QS. Al-Muddatstsir: 31)
Dan juga:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Allah Ta’ala juga berfirman tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan:
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ
“Maka pernahkah engkau melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan dibiarkan sesat oleh Allah berdasarkan ilmu-Nya?” (QS. Al-Jatsiyah: 23)
Dan perumpamaan orang yang mengikuti hawa nafsunya:
وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ
“Dan ia mengikuti hawa nafsunya, maka perumpamaannya seperti anjing, jika engkau menyerang dia, dia menjulurkan lidahnya, dan jika engkau membiarkannya, dia menjulurkan lidahnya juga.” (QS. Al-A’raf: 176)
Sebaliknya, bagi orang yang menahan nafsu dari hawa nafsu, Allah berfirman:
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
“Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari hawa nafsunya, maka sesungguhnya surga itulah tempat tinggalnya.” (QS. An-Nazi’at: 40-41)
Ada pula hadis yang diriwayatkan dari Jabir tentang kembali dari jihad kecil ke jihad besar:
رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ
“Kami kembali dari jihad kecil menuju jihad besar.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Az-Zuhd)
Merefleksikan Diri di Era Kini
Pemahaman ini sangat relevan dengan kehidupan kita saat ini. Di tengah derasnya informasi dan godaan dunia, kita seringkali merasa ditarik oleh berbagai keinginan (syahwat) dan emosi (ghadab). Tanpa kendali akal dan bimbingan hati spiritual, kita bisa tersesat.
Imam Al-Ghazali mengingatkan kita untuk senantiasa “berjihad” melawan nafsu, menggunakan akal sebagai penuntun, dan menjaga hati spiritual agar selalu terhubung dengan Ilahi. Inilah perjalanan sejati manusia menuju kebahagiaan abadi. Mari kita jadikan Ihya Ulumiddin sebagai panduan untuk memahami diri, agar kita bisa menjadi hamba yang lebih baik dan lebih dekat kepada-Nya.
