Jalesveva Jayamahe di Teluk Persia: Ironi Maritim Negeri Sendiri

Selama ini dunia disuguhi pemandangan dramatis tentang langit yang terbelah oleh rudal-rudal Iran. Seolah-olah rezim Mullah itu hanya jagoan udara —dengan peluncur rudal hipersonik, drone kamikaze yang menghantam pertahanan Israel, serta parade ayatollah yang tampak seperti cosplay insinyur pertahanan.

Namun, jangan hanya terpukau oleh pameran langit ini, karena di bawah permukaan laut, diam-diam Iran sedang membangun sebuah simfoni kekuatan laut yang dahsyat. Bahkan tak semua orang Indonesia —pemilik semboyan laut gagah berani Jalesveva Jayamahe— menyadari irama nadanya.

Jika baru saja parlemen Iran sepakat menutup Selat Hormuz, itu karena armada laut mereka siap membendung. Keputusan dan tindakan Iran ini tidak sekadar mencerminkan keberanian strategis, tetapi juga mengirimkan sinyal global yang sangat jelas: jangan main-main dengan negeri Mullah yang punya kapal selam di setiap bisikan sonar.

Selat selebar hanya 33 kilometer ini memang kecil secara geografis, tapi besar secara geopolitik. Bayangkan, sepertiga minyak dunia melintas melalui jalur air ini setiap harinya. Di sini, satu torpedo bisa membuat harga minyak melonjak, satu kapal tanker bisa membuat pasar dunia gemetar.

Bayangkan juga jika Indonesia punya Selat Hormuz-nya sendiri. Atau, lebih tepatnya, bayangkan kalau kita sadar bahwa sebenarnya kita memang punya ratusan “Selat Hormuz mini” di perairan sendiri. Laut Arafura, Selat Malaka, Selat Makassar, Laut Natuna —semuanya jalur strategis global, tempat lalu lintas dagang dan energi dunia bergerak.

Tapi bedanya, ketika Iran bisa “mengunci” selat kecilnya dengan pasukan laut siap tempur, Indonesia masih berkutat dengan perdebatan anggaran solar dan kapal nelayan asing yang mondar-mandir seperti tetangga tak tahu malu. Keberhasilan mencegat kapal-kapal ini tak jarang diekspos seolah karya maha hebat.

Iran memang bukan kekuatan maritim dalam gaya konvensional ala Amerika Serikat yang bisa mengirim kapal induk ke depan gerbang musuh sambil memutar lagu kebangsaan. Tapi Iran paham satu hal penting: jika Anda tidak bisa mengalahkan armada besar, jadilah momok kecil yang terus menggigit dan tak bisa dipukul.

Dengan lebih dari seratus kapal perang dan 18.500 personel, kekuatan laut Iran —dibagi antara Angkatan Laut reguler (IRIN) dan Armada Pengawal Revolusi (IRGCN)— lebih mirip perpaduan antara warisan kolonial dan kreativitas lokal.

Dalam jajarannya ada kapal perusak modern seperti Sahand dan Zulfiqar, kapal frigat Moj-class. Dan —ini favorit para tukang sabotase laut— mini-submarin Ghadir yang cukup lincah untuk menari-nari di perairan dangkal sambil membawa kejutan torpedo.

Sebagai bonus, mereka juga memiliki kapal selam Fateh dan Thariq yang meskipun sudah uzur, tetap mampu menabur ranjau dan mengintip diam-diam dari balik kegelapan laut.

Belum cukup? Silakan sambut Nahang-class, kapal selam tunggal spesialis penyusupan pasukan khusus. Kalau Anda merasa ini seperti plot film spionase murahan, maka selamat —Anda memahami cara kerja militer Iran.

Iran tahu, kekuatan tidak hanya datang dari kapal, tapi dari tempat kapal itu beranak-pinak dan bertelur. Mereka sadar, inilah fondasi kekuatan mereka. Maka dari itu, mereka menyebar pangkalan militer di sepanjang Laut Kaspia, Teluk Persia, dan Samudra Hindia.

Bandar Abbas adalah mall-nya kapal perang, lengkap dengan fasilitas produksi kapal dan kapal selam.

Jask adalah pos pengamatan yang secara tak langsung bisa mengintip kapal dagang yang lewat di Selat Hormuz.

Chabahar? Anggap saja pelabuhan ini sebagai pintu belakang Iran menuju Asia Tengah.

Abu Musa, pulau penuh konflik dengan UEA, dijadikan basis rudal dan bunker bawah tanah. Kalau Indonesia saja punya konflik dengan Malaysia soal Ambalat, Iran memilih cara lebih macho: tanam rudal di Abu Musa, pulau sengketa.

Kini mari kita kembali ke negeri maritim bernama Indonesia. Negeri yang memiliki lebih dari 17.000 pulau, dengan laut yang luasnya seperti perasaan mantan yang belum move on, tapi ironisnya punya angkatan laut yang lebih sering berurusan dengan illegal fishing daripada perang laut.

Kita bangga dengan semboyan “Jalesveva Jayamahe”, yang menurut tafsir nasionalis artinya “Justru di laut kita menang.” Tapi jika dibaca secara literal —”di laut kita sedang menang”— rasanya seperti doa yang belum terkabul.

Kapal perang kita kadang kalah cepat dibanding influencer naik jetski, dan jumlah kapal selam kita lebih sedikit dari jumlah stasiun TV swasta. Jadi jelas, Iran membangun; kita tak maju-maju, selalu menunggu anggaran yang tak selesai-selesai dikorupsi.

Pada tahun 2024, Iran memperkuat armadanya dengan lebih dari 2.600 sistem rudal dan drone. Bahkan mereka menguji coba peluncuran rudal jelajah dari kapal selam kecil. Seolah mereka tak pernah lelah mengeksplorasi kemungkinan dari sumber daya yang minimal.

Mereka juga sudah membayangkan kapal selam bertenaga nuklir, walau realisasinya masih terhambat sanksi dan kekurangan uranium yang tidak dipakai untuk pesta. Nuklir di Iran ternyata dibuat untuk tenaga kapal, bukan untuk memusnahkan lawan.

Bandingkan dengan kita yang masih ribut soal KRI Nanggala dan proyek Frigate Merah Putih yang berlayar di atas ketidakpastian anggaran. Bukan hanya tidak pasti—sebab anggaran sebetulnya bisa disisihkan jika tidak habis disedot korupsi.

Iran bahkan mengirim kapal Dana dan Makran keliling dunia hingga mencapai Selat Magellan sejauh 63.000 kilometer. Indonesia? Kita masih berdebat siapa yang bertanggung jawab atas anggaran solar untuk kapal patroli yang mogok di Laut Natuna.

Tentu kita tidak sedang menyarankan Indonesia meniru Iran secara ideologis atau strategis. Tapi mari kita belajar satu hal dari negeri para mullah ini: ketika Anda dikepung embargo, diancam setiap minggu, dan dibenci separuh dunia, kekuatan maritim bukanlah pilihan, tapi kebutuhan.

Iran membuktikan bahwa kekuatan laut bukan soal siapa paling besar atau paling mahal, tapi siapa yang paling siap dalam kondisi terburuk. Laut bukanlah sekadar batas wilayah; ia adalah pusat ekonomi, arteri energi dunia, dan—bagi Iran—bahkan panggung propaganda.

Sementara itu, Indonesia yang hidup dalam damai, dengan kekayaan laut luar biasa, dari terumbu karang hingga cadangan energi dan perikanan, justru belum menempatkan angkatan laut sebagai garda utama. Bangga sebagai negeri maritim, tapi baru sampai di lidah saja.

Mungkin, sudah saatnya semboyan Jalesveva Jayamahe benar-benar dimaknai: bukan sebagai kenangan kejayaan Majapahit yang tak pernah kita lihat, tapi sebagai komitmen strategis yang bisa kita bangun—di atas kapal, di dalam laut, dan lewat visi pertahanan yang tidak lagi mengandalkan doa saja.

Jika Iran bisa menjaga Laut Oman sambil memamerkan rudal di langit Damaskus, masa kita tidak bisa menjaga Laut Natuna sambil memperbaiki mesin kapal patroli? Mungkin jawabannya bukan pada kekuatan laut kita, tapi pada keberanian untuk tidak hanya berlayar, melainkan juga berpikir.

Masih yakin Jalesveva Jayamahe? Tentu. Tapi mari mulai dengan memastikan kita punya kapal yang cukup dulu.

Kamar Strategi Trump: Kekacauan Geopolitik atau Orgasme Politik?

Akhirnya, Presiden Amerika Serikat Donald Trump memutuskan untuk menyerang Iran. Target utamanya: menghancurkan pusat-pusat nuklir negeri para mullah itu yang tersebar di tiga titik. Dengan gaya khas mulut monyongnya, ia mengabarkan kepada Benjamin Netanyahu bahwa nuklir Iran sudah berhasil “dilenyapkan.”

Namun Presiden Iran buru-buru mengklarifikasi: yang dihancurkan Amerika hanyalah bangunan di permukaan tanah —atau maksimal hingga kedalaman 60 meter, batas puncak daya tembus bom 13 ton milik Amerika. Padahal, fasilitas nuklir Iran sesungguhnya terletak jauh di kedalaman 160 meter. Dan semuanya… sudah dipindahkan.

Tapi mungkin justru di situlah letak klimaks kenikmatan Netanyahu —semacam orgasme strategis tanpa penetrasi, sekadar puncak onani geopolitik. Sementara Trump tampil seolah maestro orkestra politik, namun simfoni kebijakan luar negerinya terdengar seperti konser jalanan dadakan: kadang sumbang, kadang menggelegar, kadang sekadar suara ledakan.

Pertanyaannya kini bukan lagi, “Apa kebijakan Trump soal perang Israel-Iran?” melainkan: “Siapa yang terakhir bicara dengannya sebelum ia menekan tombol serangan?” Gedung Putih versi Trump 2.0 kini lebih mirip studio podcast —presiden duduk di tengah, dikelilingi para bintang tamu dari segala kalangan.

Dulu, di era Trump 1.0, kabinetnya dipenuhi para hawks —elang-elang neokonservatif seperti John Bolton yang ingin mengubah Iran menjadi taman parkir McDonald’s. Kini, kabinet Trump 2.0 lebih mirip akuarium bunglon: warnanya menyesuaikan dengan mood tuannya.

Contohnya? JD Vance, sang Wakil Presiden, lebih suka “America First” tanpa perlu “War First.” Ia bahkan mengeluh bahwa membom Houthi tidak sesuai dengan branding global disengagement ala Trump. Belum jelas apakah Vance belajar geopolitik dari Harvard atau dari Call of Duty: Campaign Mode.

Ada juga Tulsi Gabbard, Kepala Intelijen Nasional, yang menyatakan bahwa Iran “tidak sedang membangun senjata nuklir.” Narasi itu membuat para elang di Pentagon tersedak kopi —termasuk Trump sendiri, yang kemudian menyangkal temuan intelijennya sendiri.

Belum lagi Pete Hegseth, Menteri Pertahanan sekaligus eks penyiar Fox News. Figur langka: talking head yang kini bisa mengirim drone sungguhan.

Lalu ada Steve Witkoff, utusan khusus Timur Tengah —dulu lebih sering mengurus properti mewah ketimbang negosiasi nuklir, kini rajin menyebutkan “normalisasi dengan Teheran” seolah sedang bicara soal rebranding hotel.

Dan tentu, Marco Rubio, Menteri Luar Negeri sekaligus Penasihat Keamanan Nasional. Mantan senator neokon itu kini piawai memainkan dua peran: satu topi bertuliskan “Hard on Iran,” satu lagi “Loyal to Trump.”

Seperti dikatakan Brian Katulis dari Middle East Institute, Trump kini hanya dikelilingi oleh “bunglon loyal.” Jangan harap ada perlawanan seperti era James Mattis. Kualifikasi utama masuk kabinet kini hanya tiga: 1) Punya ponsel, 2) Mau bicara manis di depan kamera, dan 3) Bersedia memuji presiden setiap 12 jam sekali.

Lantas, siapa sebenarnya yang didengar Trump? Inilah bagian paling absurd sekaligus paling Trumpian dari semuanya. Pengambil keputusan akhir bukan kabinet, bukan jenderal, bukan diplomat. Melainkan:

Tucker Carlson, mantan host Fox News yang kini menjelma jadi penasihat luar negeri semi-formal via Twitter. Ia menyerukan, “Israel harus urus perangnya sendiri.” Suaranya seirama dengan bosnya —Trump yang sempat ingin “menunggu dua minggu” sebelum memutuskan menyerang.

Mark Levin, komentator konservatif senior yang mengusulkan agar Israel “menyelesaikan pekerjaan” dengan mengganti rezim Iran. Ia bahkan sempat makan siang privat dengan Trump beberapa hari sebelum keputusan diambil. Tidak jelas apakah menu makan siangnya dipengaruhi konflik di Timur Tengah.

Dan tentu saja, Netanyahu. PM Israel ini punya hotline langsung ke telinga Trump. Kata para analis, siapa pun pemimpin dunia yang terakhir berbicara dengan Trump akan dapat policy discount dan perhatian utama. Netanyahu kabarnya bicara lima menit setelah Gabbard, yang membuat rudal Amerika langsung terbang.

Trump kini terjebak antara dua faksi di basis pendukungnya. Pertama, mereka yang meneriakkan “America First! No more foreign wars!” Kedua, mereka yang meneriakkan “Smash Iran! Protect Israel!” sambil memegang Alkitab dan remote TV kabel.

Padahal, para pemilih MAGA akar rumput sudah lelah dengan perang. Mereka ingin tembok, bukan tank. Tapi para donor dan elit neokonservatif ingin aksi —apalagi kalau bisa sekalian menjual sistem pertahanan ke negara sekutu.

Walhasil, jika dulu negara adidaya menentukan perang lewat dewan keamanan dan laporan intelijen, kini cukup buka Signal dan lihat obrolan: “Guys, bom Iran bagus nggak ya? Vote yes or no.”

Trump adalah presiden yang bisa melawan insting hawkish-nya —tapi syaratnya, jika hari itu ia sempat nonton acara TV yang benar, atau jika ada penasihat yang membisikkan kata “polling approval” sebelum briefing.

Kebijakan luar negeri Amerika, dalam soal perang Israel-Iran, bukan ditulis dengan pena emas di Ruang Oval, melainkan dengan emoji di tengah pertengkaran Zoom call antara elit GOP, mantan host TV, dan sisa-sisa sultan minyak digital.

Dan dunia menunggu dengan napas tertahan, atau menyalakan VPN untuk mencari tahu, siapa lagi yang baru saja makan siang dengan Trump hari ini. Karena di dunia Trump, yang penting bukan apa yang dikatakan —tapi siapa yang mengatakannya, dan seberapa keras dia menyukai dirinya di Truth Social.

Dalam ekosistem politik yang makin menyerupai reality show ini, keputusan strategis setara dengan hasil polling dadakan di dunia maya, bukan dari hasil telaah Dewan Keamanan Nasional. Satu klik, satu emoji, satu retweet dari tokoh konservatif kesayangan bisa mengubah arah rudal —atau membatalkan perang.

Trump bukan presiden konvensional. Ia adalah algoritma populisme yang berjalan dengan logika rating dan impresi. Maka, selama Netanyahu bisa menjadi “konten yang viral,” dan para penasihatnya tetap jadi “influencer geopolitik,” maka bom bisa meledak, atau batal meledak, tergantung trending topic pagi itu.

Dan jika kelak kita bertanya, “Kenapa Amerika memutuskan menyerang Iran hari itu?” jawabannya mungkin sesederhana: “Karena ada yang makan siang dan ngobrol ringan dengan Trump —lalu mempostingnya di Truth Social, dan Trump nge-like.”

Sunan Drajat dan Kesetaraan Ilmu: Suara Progresif dari Wali Tanah Jawa

 Sunan Drajat membuat anekdot dalam tulisannya, “Syekh Majnun angandika: tan beda estri lan jalu, nedha nini pada-pada alim mutakaliman uga” (Syekh Majnun bersabda: Tidak ada beda antara perempuan dan laki-laki, mereka sama-sama bisa alim dan pandai berbicara), adalah sebuah adagium yang menandai pandangan egaliter yang luar biasa dari salah seorang Wali Songo. Ini bukan sekadar pengakuan kemampuan, melainkan penegasan hak fundamental atas ilmu bagi setiap insan, terlepas dari jenis kelamin.

Prinsip kesetaraan ini tidak berhenti pada teori semata. Istri-istri Sunan Drajat dan para keturunannya terbukti ikut serta aktif dalam menyampaikan dakwah dan perjuangan. Hal ini menunjukkan bahwa pandangan Sunan Drajat diimplementasikan secara nyata dalam kehidupan keluarga dan komunitasnya, membentuk sebuah tradisi yang memberdayakan perempuan.

Menganalisis Hakikat Pemikiran: Tasawuf dan Gender

Pernyataan Sunan Drajat ini dapat dibedah melalui dua lensa utama: tasawuf dan kajian gender, yang keduanya mengungkapkan kedalaman dan kemajuan pemikirannya.

Tasawuf: Melampaui Batas Fisik Menuju Hakikat Ruh

Dalam kacamata tasawuf, pandangan Sunan Drajat ini berakar pada hakikat kemanusiaan yang universal di hadapan Tuhan, di mana perbedaan fisik tidak menghalangi pencapaian spiritual.

Tasawuf Klasik: Kesatuan Ruh dan Potensi Ilahi

Tasawuf klasik, meskipun dalam praktiknya sering didominasi oleh laki-laki, pada dasarnya tidak membedakan gender dalam proses pencapaian spiritual. Para sufi awal meyakini bahwa ruh manusia, baik laki-laki maupun perempuan, berasal dari sumber yang sama, yaitu Ruh Ilahi (Nafas al-Rahman). Oleh karena itu, potensi untuk mencapai ma’rifatullah (mengenal Allah), fana’ (peleburan diri dalam Tuhan), dan baqa’ (keabadian bersama Tuhan) adalah sama bagi semua jiwa. Ilmu sejati dalam tasawuf adalah ilmu laduni atau ilmu kasyaf (penyingkapan rahasia Ilahi), yang dianugerahkan berdasarkan kesucian hati dan ketakwaan, bukan jenis kelamin.

Contoh paling nyata adalah Rabiah al-Adawiyah (wafat 185 H/801 M), seorang sufi perempuan dari Basra yang diakui sebagai salah satu pionir konsep mahabbah (cinta ilahi murni). Ketinggian spiritual dan keilmuannya dihormati luas bahkan oleh sufi laki-laki. Selain Rabiah, ada pula Fatimah an-Naisaburi (abad ke-3 H/9 M) yang disebut “Rabiah kedua” karena keilmuan dan ketakwaannya yang luar biasa. Ini menunjukkan bahwa dalam tradisi tasawuf klasik, akses keilmuan dan otoritas spiritual tidak secara inheren dibatasi oleh gender.

Tasawuf Modern: Mengaktualisasikan Kesetaraan

Di era modern, tasawuf semakin menegaskan dan mengaktualisasikan prinsip kesetaraan ini dalam praktik dan diskursus.

  • Reinterpretasi Progresif: Tasawuf modern cenderung lebih eksplisit dalam menafsirkan teks-teks klasik untuk mendukung kesetaraan gender, menolak interpretasi yang bias gender. Mereka berargumen bahwa hambatan terhadap partisipasi perempuan dalam ilmu dan spiritualitas seringkali bersumber dari konstruksi sosial-budaya yang partikular, bukan dari ajaran tasawuf itu sendiri.
  • Peran Aktif Perempuan: Di banyak komunitas sufi kontemporer, perempuan memegang peran sentral sebagai guru spiritual (mursyidah), pembimbing, dan pemimpin majelis zikir. Munculnya organisasi-organisasi sufi perempuan menunjukkan vitalitas dan kepemimpinan spiritual perempuan yang semakin diakui.
  • Jihad Intelektual dan Spiritual: Konsep “jihad” dalam tasawuf modern sering diperluas menjadi perjuangan intelektual dan spiritual untuk memberdayakan individu, termasuk perempuan, agar dapat berkontribusi penuh bagi masyarakat dan mencapai pencerahan diri.

Studi Gender: Meruntuhkan Batasan Sosial

Dari perspektif kajian gender, pernyataan Sunan Drajat adalah sebuah deklarasi yang revolusioner dan memberdayakan, terutama untuk konteks zamannya.

Kajian Gender Klasik (Konteks Pra-Modern)

Pada umumnya, pandangan gender di banyak peradaban pra-modern, termasuk di Jawa dan dunia Islam secara umum, cenderung patriarkal. Laki-laki mendominasi ranah publik, kekuasaan, dan keilmuan, sementara perempuan seringkali dibatasi pada ranah domestik.

  • Pembatasan Peran Sosial: Perempuan seringkali dianggap lebih emosional dan kurang rasional, sehingga dianggap tidak cocok untuk studi ilmu yang mendalam atau untuk berbicara di muka umum. Peran utama mereka adalah sebagai istri, ibu, dan pengelola rumah tangga.
  • Justifikasi Religius yang Bias: Terkadang, interpretasi yang sempit dan bias terhadap teks-teks agama digunakan untuk membenarkan pembatasan peran perempuan, meskipun interpretasi tersebut tidak sejalan dengan semangat keadilan Islam yang lebih luas atau ajaran para sufi.
  • Pengecualian Progresif: Pandangan Sunan Drajat adalah pengecualian yang sangat progresif untuk masanya. Beliau secara eksplisit menolak pandangan umum yang merendahkan kapasitas intelektual perempuan dan justru menegaskan kesetaraan mereka dalam memperoleh dan menyampaikan ilmu. Ini menunjukkan adanya suara-suara reformis dan egaliter di tengah arus utama patriarki.

Kajian Gender Modern: Dekonstruksi dan Pemberdayaan

Kajian gender modern, sebagai disiplin ilmu yang berkembang sejak abad ke-20, secara kritis menganalisis bagaimana gender dikonstruksi secara sosial dan budaya, serta dampak dari konstruksi tersebut terhadap kekuasaan dan ketidaksetaraan.

  • Dekonstruksi Gender: Kajian gender modern secara fundamental membantah bahwa perbedaan peran sosial laki-laki dan perempuan adalah murni biologis atau alamiah. Sebaliknya, mereka menunjukkan bahwa peran-peran ini adalah konstruksi sosial yang dapat berubah dan seringkali memicu ketidakadilan. Pandangan Sunan Drajat secara intuitif sudah melakukan dekonstruksi ini dengan menyatakan tidak ada perbedaan dasar dalam kapasitas intelektual.
  • Pemberdayaan dan Keadilan: Tujuan utama kajian gender modern adalah mencapai keadilan gender dan memberdayakan semua individu, tanpa memandang jenis kelamin, untuk mencapai potensi penuh mereka. Mereka memperjuangkan akses setara terhadap pendidikan, pekerjaan, partisipasi politik, dan ranah publik lainnya.
  • Feminisme Islam: Gerakan yang muncul di akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 ini berusaha menafsirkan kembali teks-teks Islam dari perspektif yang berpihak pada keadilan gender. Mereka menemukan dukungan kuat dalam Al-Quran dan Hadis untuk kesetaraan perempuan, sejalan dengan semangat pandangan Sunan Drajat. Tokoh seperti Aminah Wadud dan Asma Barlas adalah contoh akademisi feminis Islam yang relevan.

Kesimpulan Akhir

Pernyataan Sunan Drajat dalam Kitab Syekh Majnun bukan sekadar anekdot sejarah, melainkan sebuah deklarasi prinsipil yang mendalam. Ia mencerminkan pemahaman tasawuf yang melampaui batasan fisik menuju hakikat ruh yang setara, serta merupakan suara progresif yang mendahului konsep-konsep kajian gender modern.

Lebih dari itu, implementasi prinsip ini dalam kehidupan keluarga Sunan Drajat, di mana istri-istri dan keturunannya secara aktif berpartisipasi dalam dakwah dan perjuangan, menegaskan bahwa kesetaraan bukan hanya idealisme tetapi juga praktik nyata. Kisah Nyai Sawilah dan Nyai Mas Amirah adalah bukti nyata bahwa perempuan memiliki peran krusial dalam membentuk sejarah dan menyebarkan nilai-nilai luhur. Warisan pemikiran ini patut terus dikaji dan diinternalisasi dalam upaya membangun masyarakat yang lebih inklusif dan berilmu di masa kini.

Referensi

  • Abu Nu’aym al-Isfahani . Hilyat al-Awliya’ wa Tabaqat al-Asfiya’ (Hiasan Para Suci dan Kategori Orang Bertakwa). Juz 8, hal. 200-216 (untuk biografi Rabiah al-Adawiyah). Beirut: Dar al-Qutub al-‘Ilmiyah, 1987.
  • Fariduddin Attar . Tazkirat al-Awliya’ (Peringatan Para Suci). Hal. 37-45 (untuk biografi Rabiah al-Adawiyah). Diedit oleh RA Nicholson. London: Luzac & Co., 1905.
  • Schimmel, Annemarie. Mystical Dimensions of Islam. Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975. (Secara ekstensif membahas peran perempuan dalam tasawuf dan mengakui kontribusi mereka, meskipun bukan fokus utama buku ini).
  • Murata, Sachiko. The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender Relationships in Islamic Thought. Albany: State University of New York Press, 1992. (Buku ini menganalisis konsep gender dalam pemikiran Islam, termasuk tasawuf, dan menunjukkan bagaimana tradisi Islam mendukung kesetaraan dalam dimensi spiritual).
  • Raffles, Thomas Stamford. The History of Java. Jilid 1, hlm. 280-285 (untuk gambaran umum kehidupan sosial dan peran perempuan pada masa itu, meskipun perlu dicatat ini adalah perspektif kolonial). London: John Murray, 1817.
  • De Graaf, H.J. & Pigeaud, Th. G. Th.. Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Kajian Sejarah Politik dan Sosial Abad XV dan XVI. Hlm. 120-130 (untuk konteks sosial dan keagamaan di Jawa pada masa Wali Songo). Jakarta: Grafiti Pers, 1985. (Meskipun tidak secara spesifik membahas gender secara mendalam, buku ini memberikan konteks sosial budaya).
  • Butler, Judith. Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. New York: Routledge, 1990. (Karya fundamental dalam kajian gender yang memperkenalkan gagasan gender sebagai performa dan konstruksi sosial).
  • Wadud, Amina. Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective. Oxford: Oxford University Press, 1999. (Contoh reinterpretasi progresif teks agama dari perspektif feminis Islam).

Jejak Islam di Balik Kemegahan Majapahit: Dua Nisan Saksi Bisu Awal Mula Penyebaran di Era Hayam Wuruk

Kerajaan Majapahit, di bawah tampuk kepemimpinan Raja Hayam Wuruk (memerintah 1350-1389 M), seringkali diidentikkan dengan puncak kejayaan peradaban Hindu-Buddha di Nusantara. Karya-karya monumental seperti Negarakertagama yang mengisahkan kemaharajaan besar dengan wilayah pengaruh luas, seolah mengukuhkan citra tersebut. Namun, di tengah kemilau Hindu-Buddha itu, sebuah narasi penting lain mulai terkuak: benih-benih agama Islam ternyata telah mulai tumbuh dan menyebar, bahkan di jantung pusat pemerintahan kerajaan.

Penemuan dua situs bersejarah, Makam Tralaya dan Makam Puteri Campa, menjadi bukti konkret yang tak terbantahkan mengenai kehadiran dan perkembangan Islam di wilayah yang kini dikenal sebagai Jawa Timur, jauh sebelum era Walisongo yang lebih dikenal luas dalam historiografi Islam di Jawa. Temuan ini menantang pandangan tradisional dan memperkaya pemahaman kita tentang kompleksitas Majapahit.

Makam Tralaya: Ketika Kalimat Tayyibah Terukir di Tanah Majapahit

Kompleks Makam Tralaya, yang berlokasi strategis di area yang diyakini sebagai bekas ibu kota Majapahit (sekarang Trowulan, Mojokerto), telah menjadi magnet bagi para sejarawan dan arkeolog sejak lama. Sejumlah peneliti terkemuka dari masa kolonial hingga modern, seperti PJ Veth, Verbeek, Knebel, Krom, dan L Ch Damais, telah menaruh perhatian besar pada situs ini, mencoba mengurai misteri di balik batu-batu nisannya.

PJ Veth, seorang orientalis dan ahli geografi Belanda, adalah salah satu yang pertama kali mengungkapkan keberadaan data Islam di Makam Tralaya. Dalam analisisnya, ia mencatat adanya inskripsi pada batu nisan di Makam Tralaya yang ditulis dengan kombinasi huruf Jawa kuno dan Arab. Ini adalah temuan krusial, mengingat mayoritas artefak sezaman di Majapahit didominasi oleh aksara dan simbol Hindu-Buddha.

Lebih lanjut, Sjamsudduha dalam karyanya yang monumental, “Corak dan Gerak Hinduisme dan Islam di Jawa Timur,” menguraikan detail inskripsi tersebut. Ia menjelaskan bahwa meskipun angka tahun pada nisan-nisan umumnya tercatat dalam huruf Jawa kuno dan tahun Saka, di balik beberapa nisan itu terdapat tulisan Arab yang sangat penting: kalimat tayyibah (seperti “La ilaha illallah” atau “Bismillah”). Kehadiran kalimat-kalimat sakral dalam Islam ini secara definitif menunjukkan bahwa mereka yang dimakamkan di sana adalah pemeluk agama Islam.

Verbeek, dalam laporannya, pernah menyebutkan adanya lima nisan yang jelas bertuliskan Arab, meskipun beberapa di antaranya kini telah hilang akibat faktor alam dan tangan manusia. Namun, dari nisan-nisan yang masih bertahan di kompleks Makam Tralaya, beberapa tercatat bertarikh tahun 1397 Saka dan 1399 Saka. Jika dikonversi ke Masehi, dengan perhitungan kasar (tahun Saka + 78 tahun), ini menunjukkan sekitar tahun 1475-1477 Masehi. Namun, penting untuk dicatat bahwa penelitian lebih lanjut dan pembacaan angka tahun yang tergores pada nisan-nisan di Tralaya menyimpulkan rentang waktu yang lebih luas, yaitu dari tahun 1298 Saka hingga 1533 Saka (sekitar 1376 Masehi hingga 1611 Masehi).

Rentang waktu yang luas ini sangat signifikan. Awalnya, yaitu sekitar 1376 Masehi, berada dalam periode aktif pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350-1389 M). Hal ini secara tegas mengindikasikan bahwa di ibu kota Kerajaan Majapahit atau di wilayah sekitarnya, pada masa keemasan Hayam Wuruk, sudah ada komunitas pemeluk agama Islam. Peneliti terkemuka seperti M.C. Ricklefs bahkan berpendapat bahwa pemeluk-pemeluk Islam awal ini adalah orang-orang Jawa asli, menepis anggapan bahwa Islam hanya dibawa oleh pedagang asing.

Makam Puteri Campa: Islam di Lingkaran Dalam Istana?

Selain Makam Tralaya, sebuah temuan nisan lain yang tak kalah strategis berada di Makam Puteri Campa, yang terletak di sebelah tenggara Museum Trowulan, Mojokerto. Nisan ini menampilkan kombinasi unik dari inskripsi angka tahun dengan huruf Kawi (Jawa kuno) dan Arab, serta dilengkapi dengan gambar yang kuat diduga merupakan lambang Kerajaan Majapahit.

Identitas “Puteri Campa” itu sendiri telah menjadi topik perdebatan hangat di kalangan sejarawan. Beberapa narasi tradisional dan babad Jawa mengaitkannya dengan seorang bibi dari Sunan Ampel, salah satu Walisongo terkemuka, yang kemudian dipercaya menjadi istri Raja Majapahit.

HJ De Graaf, seorang sejarawan Belanda yang banyak meneliti sejarah Jawa, sebagaimana dijelaskan kembali oleh Sjamsudduha dalam bukunya, menyatakan bahwa Puteri Campa ini adalah istri raja Majapahit yang terakhir. Sementara itu, ada pendapat lain yang lebih spesifik yang menyebutkan Puteri Campa merupakan istri dari Raja Majapahit Bhre Tumapel, yang berkuasa antara 1447-1451 Masehi.

Terlepas dari perbedaan penafsiran mengenai raja Majapahit mana yang ia nikahi, keberadaan nisan Puteri Campa dengan inskripsi Islam dan lambang kerajaan adalah bukti yang sangat kuat. Ini mengisyaratkan bahwa ia adalah istri raja, atau setidaknya seorang tokoh yang sangat berpengaruh dan termasuk dalam lingkaran dalam sistem keprabuan (kerajaan) Majapahit. Hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak hanya menyebar di kalangan rakyat biasa atau pedagang, tetapi juga telah menembus strata sosial tertinggi dan mungkin saja memengaruhi dinamika internal istana.

Menafsirkan Kembali Sejarah: Islamisasi yang Bertahap dan Damai

Penemuan-penemuan di Makam Tralaya dan Makam Puteri Campa memberikan perspektif yang lebih kaya dan bernuansa tentang sejarah Majapahit dan proses islamisasi di Nusantara. Kisah Majapahit tidak lagi sekadar tentang kejayaan Hindu-Buddha yang kemudian runtuh, tetapi juga tentang sebuah entitas kompleks yang secara perlahan namun pasti telah berinteraksi dan mengasimilasi elemen-elemen Islam dalam masyarakatnya.

Nisan-nisan ini menjadi bukti nyata bahwa proses islamisasi di Jawa dan Nusantara bukanlah peristiwa instan atau melalui penaklukan militer semata, melainkan sebuah proses panjang yang bertahap, damai, dan mungkin terjadi melalui jalur perdagangan, pernikahan, serta akulturasi budaya. Kehadiran komunitas Muslim di pusat kekuasaan Majapahit menunjukkan adanya toleransi beragama dan koeksistensi yang harmonis, setidaknya pada periode-periode awal.

Jejak-jejak ini juga menjadi pengingat bagi kita bahwa sejarah adalah mosaik yang terus diperkaya dengan temuan-temuan baru. Dengan terus menggali dan menafsirkan ulang bukti-bukti arkeologis, kita dapat memahami masa lalu dengan lebih komprehensif, menghilangkan mitos, dan memberikan apresiasi yang lebih mendalam terhadap kompleksitas perjalanan peradaban Nusantara.


Sumber-Sumber Referensi:

  • Buku:
    • Sjamsudduha. Corak dan Gerak Hinduisme dan Islam di Jawa Timur. (Untuk akurasi, jika memungkinkan, sertakan detail penerbit dan tahun terbit).
    • M.C. Ricklefs. A History of Modern Indonesia Since c.1200. (Edisi dan penerbit terbaru akan lebih baik).
  • Peneliti/Sejarawan yang Disebutkan:
    • PJ Veth (Misalnya, merujuk pada karya-karya terkait geografi dan etnografi Nusantara).
    • J.J. Ras atau H.J. de Graaf (Mengenai penelitian mereka tentang sejarah Jawa dan Islam di Indonesia).
    • Verbeek, Knebel, Krom, L Ch Damais (Karya-karya mereka umumnya ditemukan dalam laporan arkeologi atau jurnal ilmiah Belanda tentang Indonesia).

Menulis Indah di Era Auto-Correct: Refleksi Hilangnya Seni Tulisan Tangan dan Pentingnya Menghidupkan Kembali Warisan Budaya Literasi di Tengah Dominasi Digital

Pernahkah Anda menulis tangan di kertas baru-baru ini, lalu tersadar bahwa tulisan Anda kini lebih mirip grafik gempa bumi daripada huruf alfabet? Jika ya, Anda tidak sendirian. Dunia digital telah menjadikan kita ahli dalam mengetik cepat, tetapi jagoan dalam menulis buruk.

Ironisnya, kita sekarang hidup di era ketika tulisan tangan yang indah layak diberi penghargaan negara —dan, percayalah, penerimanya bukan dari Indonesia. Prakriti Malla, seorang remaja dari Nepal, baru-baru ini mendapat penghargaan dari negaranya karena… tulisan tangannya.

Ya, Anda tidak salah baca. Prakriti diberi penghargaan bukan karena menemukan vaksin, bukan pula karena menyelamatkan anak kucing dari genteng atau karena mengarang novel. Ia diberi penghargaan karena menulis huruf dengan sangat indah. Betul-betul indah.

Saking indah tulisan tangannya, banyak yang mengira itu hasil printer, bukan tangan manusia. Dunia pun ramai, netizen heboh, dan sebagian besar dari kita hanya bisa menatap jemari kita yang sudah terlalu dimanja oleh keyboard QWERTY dan fitur auto-correct.

Namun, sebelum kita tertawa sambil mengetik “LOL” di WhatsApp, mari kita renungkan: apakah penghargaan ini berlebihan, atau justru menjadi tamparan manis bagi kelas tempat kita belajar menulis, bagi sistem pendidikan global, termasuk di Indonesia?

Dalam kurikulum pendidikan kita, menulis tangan seolah menjadi praktik arkais alias kuno atau tak lazim. Bahkan, banyak guru sekarang lebih menganjurkan siswa untuk mengetik tugas di Google Docs, lalu di-share via link. Kertas folio dan tinta biru seolah tinggal kenangan zaman baheula.

Padahal, penelitian ilmiah membuktikan bahwa menulis tangan membantu meningkatkan daya ingat, memperkuat pemahaman, dan merangsang motorik halus. Tulisan tangan juga memiliki karakter yang tak tergantikan oleh font manapun di dunia digital.

Penelitian dari Princeton University (Mueller & Oppenheimer, 2014) bahkan menunjukkan bahwa mahasiswa yang mencatat dengan tangan lebih memahami materi kuliah dibanding yang mencatat dengan laptop, tablet atau handphone.

Tapi ya itu tadi, siapa peduli kalau jari sudah terbiasa mengetik cepat tanpa makna?

Lalu, bagaimana dengan khat di madrasah, sebuah nostalgia atau masih hidup?

Memang, di madrasah dan banyak pesantren, masih diajarkan seni khat Arab. Tapi mari kita jujur: seberapa serius pelajarannya? Dan lebih penting lagi: seberapa langka guru khat yang benar-benar mumpuni saat ini? Ada satu saja sudah hebat.

Guru khat sejati kini lebih langka dari pada guru TikTok. Kebanyakan ustadz hanya bisa menulis arab gundul dengan kecepatan sedang, sementara model penulisan Tsulutsi atau Diwani tampak seperti prasasti kuno di mata santri. Kenal Tsulutsi atau Diwani?

Di masa lalu, belajar khat adalah bentuk riyadhah (latihan spiritual), penuh ketelatenan dan disiplin tinggi. Sekarang, anak-anak lebih bangga menguasai editing video dan membuat konten dakwah 60 detik yang viral, ketimbang menulis “Bismillahirrahmanirrahim” dengan indah.

Tapi, mengapa harus peduli? Pertama, karena tulisan tangan adalah jejak personal yang paling otentik. Jejak digital bisa dicuri, diedit, bahkan dipalsukan. Tapi tulisan tangan? Ia adalah cermin jiwa, hasil dari keterampilan otot halus, estetika rasa, dan ketekunan waktu.

Prakriti Malla mengingatkan dunia akan hal itu.

Kedua, karena seni menulis tangan adalah bagian dari warisan budaya kita. Indonesia punya sejarah panjang dalam manuskrip, dari lontar Bali hingga kitab kuning pesantren. Jika kita mengabaikan seni ini, kita tidak hanya kehilangan kemampuan menulis indah, tapi juga memutus mata rantai budaya tulis tangan yang telah diwariskan berabad-abad.

Mari kita usulkan agar pelajaran menulis tangan tidak hanya dipertahankan, tapi dikembangkan. Tidak perlu serumit khat Kufi abad ke-8, cukup ajarkan anak-anak kita bagaimana menulis dengan rapi dan estetis.

Sekolah bisa mengadakan lomba kaligrafi, memberi penghargaan pada tulisan tangan terbaik, dan—mengapa tidak?—mengundang guru khat dari komunitas lokal. Siapa tahu, kita bisa melahirkan Prakriti Malla versi Indonesia.

Sekilas tampak, menulis indah mungkin terlihat tidak penting di zaman ketika AI bisa mengetikkan skripsi dalam lima menit. Tapi seperti lagu lama yang indah saat diputar di piringan hitam, ada keintiman dan kejujuran dalam tulisan tangan yang tak bisa diduplikasi oleh mesin.

Mari jangan biarkan pena hanya menjadi simbol klise di logo-logo sekolah. Mari hidupkan kembali keindahan yang bisa ditorehkan oleh tangan manusia.

Atau kita akan terus mengira “Tulisan tangan terindah di dunia” hanya ada di luar negeri, karena di dalam negeri, kita bahkan tidak lagi mengajarkannya.

Salam tinta dan kertas. Mari menulis, sebelum jari kita benar-benar hanya bisa menggulir layar kristal.

Menguak Tirai Hakikat: Pesan Sunan Drajat dalam Kitab Syekh Majnun

Dalam khazanah spiritual Nusantara, nama Sunan Drajat bersinar terang sebagai salah satu Wali Songo. Beliau tak hanya menyebarkan ajaran Islam, tapi juga meninggalkan warisan kearifan yang mendalam. Salah satu mutiara kebijaksanaannya dapat kita temukan dalam dawuh (ucapan) beliau yang termaktub dalam Manuskrip Drajat :Kitab Syekh Majnun, yang menyimpan intisari pemikiran sang Sunan.

Dawuh Sunan Drajat itu berbunyi:

“Tinon asri marbuk wangi. Punika maksih rorasan. Yen sira nyuwun weruh jatine, den jati sira mimitra.”

Makna Harfiah Dawuh Sunan Drajat

Untuk memahami pesan Sunan Drajat, mari kita bedah arti setiap bagiannya secara harfiah:

  • “Tinon asri marbuk wangi.”
    • Tinon: Terlihat, tampak, dipandang.
    • Asri: Indah, elok, mempesona.
    • Marbuk: Harum semerbak, sangat memikat hingga memabukkan.
    • Wangi: Harum.
    • Makna: Terlihat indah, harum semerbak, dan sangat memikat. (Menggambarkan keindahan duniawi yang mempesona).
  • “Punika maksih rorasan.”
    • Punika: Itu, itu semua.
    • Maksih: Masih.
    • Rorasan: Kulit luar, lapisan luar, bungkus, hal-hal yang bersifat tampak atau zahir.
    • Makna: Itu semua hanyalah lapisan luar.
  • “Yen sira nyuwun weruh jatine,”
    • Yen: Jika.
    • Sira: Kamu, engkau.
    • Nyuwun weruh: Meminta tahu, ingin mengetahui.
    • Jatine: Hakikat sejatinya, kebenaran intinya.
    • Makna: Jika engkau ingin mengetahui hakikat sejatinya,
  • “Den jati sira mimitra.”
    • Den jati: Maka sungguh-sungguh, sesungguhnya.
    • Sira: Kamu, engkau.
    • Mimitra: Mengenali dirimu sendiri, bersahabat dengan dirimu.
    • Makna: Maka kenalilah dirimu terlebih dahulu.

Terjemahan Harfiah: “Pandanglah keindahan (dunia) ini yang harum memabukkan. Itu semua hanyalah lapisan luar. Jika engkau ingin mengetahui hakikat sejatinya, maka kenalilah dirimu terlebih dahulu.”

Analisis Dawuh dalam Perspektif Tasawuf

Dawuh Sunan Drajat ini, jika kita selami dari kacamata tasawuf (ilmu yang mengkaji perjalanan spiritual untuk mendekatkan diri kepada Allah), menyampaikan dua pilar utama: menyingkap tabir dunia dan menyelami hakikat diri.

1. Pesona Dunia sebagai Hijab (Tabir)

Bagian pertama dawuh, “Tinon asri marbuk wangi. Punika maksih rorasan,” menggambarkan betapa memikatnya dunia fana ini. Keindahan dunia, gemerlap harta, pesona rupa, dan segala kenikmatan indrawi diibaratkan “harum yang memabukkan.” Sunan Drajat mengingatkan kita bahwa semua itu hanyalah “rorasan” — lapisan luar atau bungkus semata.

Dalam tasawuf, ini disebut dunia sebagai hijab (penghalang) yang bisa memalingkan hati dan pandangan seorang salik (penempuh jalan spiritual) dari tujuan sejatinya, yaitu Allah SWT.

Imam Al-Ghazali, dalam karyanya Ihya’ Ulumiddin, banyak membahas bahaya hubbud dunya (cinta dunia) yang berlebihan. Beliau menjelaskan bahwa perhiasan dunia bisa menjadi penghalang tebal untuk mencapai makrifatullah (pengenalan kepada Allah). Jika dunia tidak dipahami sebagai sarana, ia akan menjadi tujuan yang mengikat jiwa kita.

Dalil dari Al-Qur’an: Allah SWT berfirman:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali ‘Imran: 14)

Ayat ini menegaskan bahwa segala yang indah di dunia ini hanyalah “kesenangan hidup di dunia.” Para sufi diajarkan untuk tidak terpaku pada “kesenangan” ini, melainkan menembus “rorasan” menuju hakikat Ilahi.

2. Kunci Gerbang Hakikat: Mengenali Diri (Makrifatun Nafs)

Puncak dawuh Sunan Drajat ada pada kalimat: “Yen sira nyuwun weruh jatine, den jati sira mimitra.” Ini adalah petunjuk penting untuk memahami ilmu hakikat dan makrifat. Jika seseorang ingin tahu “jatine” (hakikat sejati segala sesuatu, termasuk hakikat Tuhan), maka syarat mutlaknya adalah “den jati sira mimitra” — kenalilah dirimu terlebih dahulu.

Dalam tasawuf, konsep “mengenali diri” (makrifatun nafs) adalah fondasi utama dan gerbang menuju makrifatullah (pengenalan kepada Allah SWT). Konsep ini didukung oleh sebuah hadis yang sangat populer di kalangan sufi:

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ

“Barangsiapa mengenal dirinya, sungguh ia mengenal Tuhannya.”

Mengapa mengenal diri menjadi kunci dalam tasawuf menurut ulama sufi:

  • Diri sebagai Mikrokosmos (Alam Saghir) dan Manifestasi Ilahi: Para sufi meyakini bahwa manusia adalah alam kecil (alam saghir) yang mencerminkan alam besar (alam kabir), bahkan mencerminkan Asma’ dan Sifat Allah. Dengan menyelami batin, seorang salik dapat menemukan jejak-jejak ketuhanan. Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitabnya Al-Ghunyah li Thalibi Tariqil Haqq menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna karena di dalamnya terkumpul seluruh hakikat alam semesta dan rahasia-rahasia Ilahi. Mengenal diri berarti mengenal rahasia rububiyah (ketuhanan) yang ditiupkan ke dalam ruh manusia.

Allah swt berfirman:

وَنَفَخْتُ فِيهِ مِن رُّوحِي

“Dan telah Kutiupkan ke dalamnya ruh-Ku.” (QS. Al-Hijr: 29) Ayat ini menjadi dasar bahwa ada “percikan” Ilahi dalam diri manusia, yang memungkinkannya mengenal Penciptanya jika ia mau menyelaminya.

  • Pembersihan Hati (Tazkiyatun Nafs) sebagai Syarat Mengenal Diri Sejati: Mengenal diri juga berarti introspeksi mendalam untuk mengidentifikasi dan membersihkan penyakit-penyakit hati (amradhul qulub) seperti hubbud dunya (cinta dunia), riya’ (pamer), ujub (kagum pada diri sendiri), takabbur (sombong), hasad (dengki), dan sifat tercela lainnya. Sifat-sifat negatif ini berfungsi sebagai hijab yang menghalangi penglihatan batin terhadap hakikat Ilahi. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin menekankan bahwa penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) adalah syarat mutlak untuk mencapai makrifatullah. Ia mengibaratkan hati yang kotor seperti cermin berkarat; tidak akan mampu memantulkan cahaya kebenaran. Hanya hati yang bersih yang dapat menerima tajalli (manifestasi) Ilahi.

Allah swt berfirman:

قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا – وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا

“Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9-10) Ayat ini jelas mengaitkan keberuntungan (keberhasilan spiritual) dengan penyucian jiwa, yang merupakan bagian penting dari mengenal diri.

  • Jalan Menuju Makrifatullah (Pengenalan kepada Allah): Tujuan akhir dari mengenal diri adalah makrifatullah, yaitu pengenalan yang mendalam dan intim terhadap Allah SWT. Ini bukan hanya pengenalan akal atau hafalan, melainkan melalui pengalaman batin, penyaksian spiritual (kasyf), dan penghayatan kehadiran Ilahi dalam setiap aspek kehidupan. Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili, salah satu pendiri tarekat Syadziliyah, mengajarkan bahwa makrifat tidak dicapai hanya dengan ilmu lahir, melainkan dengan riyadhah (latihan spiritual) dan mujahadah (perjuangan melawan nafsu) untuk membersihkan hati. Hanya hati yang bersih dan jiwa yang tenang yang dapat mencapai tingkatan musyahadah (penyaksian) akan kebesaran dan keindahan Tuhan.
  • Kesadaran akan Fitrah Ilahiah dan ‘Kembali’ kepada Allah: Mengenal diri membawa pada kesadaran akan fitrah ilahiah manusia, yaitu kecenderungan alami untuk mencari dan mencintai Tuhannya. Dengan membersihkan diri dari kotoran duniawi, fitrah ini akan bersinar terang, membimbing jiwa kembali menuju asalnya, yaitu hadirat Ilahi. Ibnu Atha’illah Al-Sakandari dalam Kitab Al-Hikam menyatakan: “Bagaimana mungkin hati disinari, padahal bentuk-bentuk alam semesta tercermin padanya? Atau bagaimana mungkin ia menempuh perjalanan menuju Allah, padahal ia masih terbelenggu oleh syahwat-syahwatnya?” Ini menunjukkan bahwa pengenalan diri adalah proses melepaskan belenggu duniawi agar hati dapat leluasa bergerak menuju Allah.

Kesimpulan

Dawuh Sunan Drajat adalah warisan kearifan yang tak lekang oleh waktu, mengandung intisari ajaran tasawuf yang sangat relevan. Beliau mengajak kita untuk tidak terperdaya oleh “rorasan” (lapisan luar) dunia yang fana, melainkan fokus pada pencarian “jatine” (hakikat sejati). Kunci untuk membuka gerbang hakikat ini adalah dengan “mimitra” (mengenali diri) secara mendalam.

Proses mengenal diri dalam tasawuf adalah perjalanan tazkiyatun nafs yang berkelanjutan, yaitu membuang sifat-sifat buruk dan menghidupkan sifat-sifat terpuji. Ini bertujuan agar hati menjadi cermin bersih yang siap menerima cahaya makrifatullah. Dengan demikian, dawuh Sunan Drajat adalah sebuah peta jalan spiritual bagi siapa saja yang ingin melampaui alam materi dan mencapai kedekatan yang hakiki dengan Sang Pencipta.

Seni Perang dalam Diam

Mari kita mulai dengan pertanyaan sederhana yang bahkan para ahli strategi di Pentagon pun kini hanya bisa jawab dengan gelengan kepala:

“Bagaimana bisa negara yang disanksi, diisolasi, dan dipelintir citranya selama puluhan tahun justru tampil sebagai dalang orkestra geopolitik yang bikin geger satu planet?”

Jawabannya, tentu saja, bukan pada rudal semata, bukan pada nuklir yang katanya “sebentar lagi jadi” sejak zaman Bush pertama.

Jawabannya ada pada satu hal yang selama ini dianggap tak penting oleh mereka yang merasa sudah punya segalanya: keyakinan, kesabaran, serta kemampuan menjalin pertemanan dan solidaritas yang tak terdeteksi radar satelit.

Di dunia barat, kekuatan diukur dari jumlah pangkalan militer, ukuran kapal induk, atau seberapa banyak Anda bisa memata-matai sekutu sendiri tanpa malu-malu.

Tapi Iran, oh Iran, bermain di liga yang berbeda. Ia membentuk apa yang oleh para jurnalis Barat disebut sebagai “jaringan bayangan”. Nama yang terdengar menyeramkan, padahal aslinya lebih mirip grup WhatsApp lintas negara dengan admin yang sabar dan ideologis.

Hezbollah di Lebanon? Sudah seperti menantu idaman. Houthis di Yaman? Saudara jauh yang tetap setia meski dompet menipis. Milisi di Irak, Gaza, dan bahkan bisik-bisik di Afrika dan Amerika Latin?

Mungkin juga kita yang, secara diam-diam, ingin membantu Iran, meski sekedar doa. Semua saling terhubung oleh satu hal: dendam kolektif terhadap hegemoni yang suka ngajak perang tapi ogah kalah.

Iran tidak memerintah mereka. Ia menginspirasi. Kalau AS itu seperti bos galak di kantor open space yang suka marah karena wifi lemot, Iran adalah mentor spiritual yang diam-diam membelikan modem baru.

Teori ‘ashabiyah Ibnu Khaldun sangat relevan untuk memahami fondasi kekuatan Iran dan jaringan sekutunya, khususnya dalam kerangka solidaritas ideologis dan resistensi lintas-negara.

‘Ashabiyah dalam karya monumentalnya al-Muqaddimah dimaknai Ibnu Khaldun sebagai solidaritas kelompok atau semangat kebersamaan yang mengikat suatu komunitas dalam perjuangan bersama, dan menjadi kekuatan pendorong bagi lahir dan bangkitnya peradaban.

Ibnu Khaldun menyebut bahwa ‘ashabiyah adalah energi sosial yang memungkinkan suatu kelompok menggalang kekuatan, bertahan dari tekanan luar, dan bahkan mendirikan negara hingga peradaban.

Dalam konteks Iran dan jaringan perlawanan yang dibangunnya —dari Hizbullah di Lebanon hingga milisi Houthi di Yaman— ‘ashabiyah bukanlah sekadar fanatisme sektarian, melainkan kesadaran kolektif atas penindasan dan semangat resistensi terhadap hegemoni global.

Itulah kelompok mustadh’afin, kata para ideolog Iran. Mereka bukan hanya memimpin dengan senjata dan diplomasi, tapi juga menyuntikkan visi ideologis yang menyatukan berbagai kelompok dalam rasa kebersamaan —bahwa mereka semua adalah bagian dari satu perlawanan yang lebih besar.

Seperti dikatakan Ibnu Khaldun, kekuatan sejati tak lahir dari senjata, tapi dari ‘asabiyah yang mengakar: “Al-mulk ghāyah wa al-‘asabiyah wasīlah” — kekuasaan adalah tujuan, dan solidaritas adalah jalan mencapainya.

Maka kekuatan Iran hari ini, justru, lahir dari sebuah ‘ashabiyah transnasional, jaringan keyakinan yang melintasi batas negara dan menciptakan tatanan baru yang ditakuti para penguasa lama.

Sementara media Barat sibuk memotret satelit yang memindai pabrik nuklir, diplomat Iran sibuk ngopi di Kazakhstan, mampir ke Venezuela, dan sempat-sempatnya diskusi bilateral sambil mendaki pegunungan di Asia Tengah.

Mereka tak lagi datang ke meja yang tak memberi mereka kursi. Mereka bikin meja sendiri. Namanya BRICS, Shanghai Cooperation, dan berbagai forum anti-sanksi. Di sana, dolar tak diundang, dan swift dianggap sudah terlalu swift—lebih cocok dijadikan nama boyband daripada sistem keuangan.

Bahkan barter—yang dulu dianggap gaya kuno—kembali jadi tren, berkat Iran. Minyak ditukar gandum. Drone ditukar software. Gula mungkin belum, tapi siapa tahu minggu depan.

Jika dulu Persia dikenal karena karpet ajaib, kini Iran dikenal karena drone yang murah meriah tapi bisa menembus radar mahal. Shahed, misalnya, bukan hanya nama pemuda ganteng di serial Ramadan, tapi juga mesin terbang yang bikin NATO menggaruk kepala kolektifnya.

Drones Iran seperti motor bebek: tangguh, hemat, dan bisa dikendarai siapa saja. Bahkan teman-teman Iran di Gaza dan Yaman ikut dapat. Tapi jangan salah, ini bukan charity. Ini soft power ala militer. Sekali terbang, dua tiga pangkalan terintai.

Dan jangan lupa soal dunia digital. Di mana hacker Iran bisa membobol data, mematikan jaringan, dan membuat banyak perusahaan asuransi mendadak jualan perlindungan cyber. Bukan tanpa alasan Washington menyebutnya “threat”. Tapi mereka lupa: teknologi juga bisa jadi teologi jika dibumbui ideologi.

Apa yang lebih kuat dari rudal? Narasi.

Iran tak cuma ekspor minyak atau pistachio, tapi juga ekspor wacana. Dari khotbah Jumat sampai meme perlawanan, dari film festival sampai lembaga pendidikan Islam, Iran membangun image sebagai pendekar yang tak tunduk pada penjajah zaman now.

Tak peduli Anda Sunni atau Syiah, Latin atau Afrika, selama Anda merasa pernah dipermalukan oleh IMF, Anda bisa relate. Ideologi ini bukan sekadar jualan kata-kata. Ini energi alternatif, lebih hijau daripada solar panel, karena ditenagai keyakinan dan rasa keadilan.

Selama ini, peta dunia digambar dari perspektif London atau Washington. Tapi Iran —dengan segala peluh dan darah— membantu dunia membalik kompas.

Kini, sumbu kekuatan global bukan lagi antara Wall Street dan Whitehall, tapi antara Teheran, Moskow, dan Beijing. Sebuah sumbu yang dulu dianggap mustahil karena katanya tak ada yang bisa menyatukan mereka kecuali kebencian pada McDonald’s.

Tapi lihatlah, Iran bukan hanya menyatukan. Ia memperkuat. Ia mengajarkan satu hal: bahwa jadi kuat bukan soal berteriak paling keras, tapi soal mampu bertahan ketika semua bilang Anda akan hancur.

Jadi, apa fondasi kekuatan Iran? Bukan nuklir. Bukan rudal. Tapi visi yang dijalankan dengan sabar, strategi yang dibungkus solidaritas, dan keyakinan yang tak bisa diembargo.

Iran tak sedang berusaha jadi superpower dalam definisi lama. Ia hanya ingin memastikan satu hal: jika sejarah ditulis ulang, mereka tak lagi hanya jadi catatan kaki.

Dan kalau Barat bingung kenapa dunia mendadak berubah arahnya, mungkin karena selama ini mereka terlalu sibuk bicara… dan lupa mendengarkan. Iran, di sisi lain, lebih banyak mendengar —dan sekarang, seluruh dunia mulai mendengarkannya.

Refleksi: Bila esai ini membuat Anda kesal, mungkin Anda butuh lebih banyak membaca. Bila membuat Anda tertawa, itu bonus. Tapi bila membuat Anda berpikir ulang tentang siapa sebenarnya yang sedang bangkit, maka tugas tulisan ini selesai.

Selamat datang di babak baru geopolitik: Di mana sanksi melahirkan simfoni, dan diam menyusun kemenangan.

Otak Sains Israel Terbakar

Sahabat, pernahkah Anda membayangkan sebuah rudal dari negeri para Mullah terbang sejauh dua ribuan kilometer, menembus langit dan jargon teknologi pertahanan “tak tertembus” Israel, lalu mendarat dengan cerdas tepat di jantung Institut Sains Weizmann?

Maka, pecahlah berita pagi itu: “Iran strikes Weizmann Institute” yang punya kecerdasan nyaris seperti lulusan terbaik Weizmann sendiri. Namun tentu, media Israel bungkam seribu firewall. Tak ada gambar ledakan yang jelas, tak ada laporan kerusakan yang rinci.

Yang ada hanyalah keheningan sistematis —mirip saat AI buatan Weizmann sedang mengkalkulasi who to drone next? Dan mari kita dudukkan perkara. Weizmann Institute bukanlah sekadar kampus tempat mahasiswa mengejar gelar sambil ngopi dan debat algoritma.

Ia adalah brain farm —ladang otak— tempat benih teknologi tempur masa depan disemai. Di sinilah, menurut laporan terbuka, AI untuk pengendalian drone, pengembangan senjata energi terarah, navigasi alternatif anti-GPS, hingga komunikasi terenkripsi lahir dan dibesarkan.

Apa jadinya jika pusat kendali otak robot Israel, yang memadukan fisika kuantum dengan algoritma mematikan, mendadak meleleh seperti es krim di tengah gurun Negev? Jawabannya mungkin terhidang pagi itu, ketika sebuah rudal Iran menghantam langsung kompleks Weizmann.

Jadi, jika Anda membayangkan Weizmann seperti ITB versi Zionis, Anda keliru. Ia lebih mirip Hogwarts, hanya saja alih-alih mengajarkan cara terbang pakai sapu, di sana diajarkan cara menjatuhkan bom dari ketinggian 10.000 kaki tanpa diketahui radar.

Sekilas nama Weizmann terdengar seperti toko parfum mewah di Eropa, tapi jangan tertipu. Ini bukan tempat uji coba aroma, melainkan laboratorium yang mengendap-endap dalam senyap, mengubah angka menjadi algoritma pembunuh.

Lembaga ini didirikan pada 1934 oleh Chaim Weizmann — ilmuwan kimia yang kemudian menjadi presiden pertama Israel (iya, presiden dan ilmuwan, multitasking level Dewa). Awalnya bernama Daniel Sieff Research Institute, lalu berganti nama yang sekarang pada 1949.

Kini, sekitar 2.500 ilmuwan dan staf berseliweran di dalamnya —bukan hanya meracik larutan, tapi juga masa depan perang Israel yang kini unjuk gigi lawan Iran. Bayangkan: lebih dari 30 laboratorium ilmiah, program master dan doktoral mutakhir, ada di sana.

Semua ada, mulai dari bidang matematika, fisika, kimia, biologi, sampai ilmu komputer, perpustakaan raksasa, dan perumahan ilmuwan. Ini membuat Weizmann sebagai kiblat intelektual sekaligus bengkel militer digital yang paling canggih dan lengkap.

Tak heran jika pemerintah Israel mencintai lembaga ini sepenuh anggaran: setiap tahun, ratusan juta dolar digelontorkan. Anggaran bukan hanya dari kas negara, tapi juga lembaga internasional, yayasan sains luar negeri, hingga filantropi global yang kadang tak sadar mereka mendanai drone pemburu.

Bandingkan ini dengan BRIN di Tanah Air —lembaga hasil fusi dari berbagai badan riset nasional. BRIN itu seperti Weizmann yang masih minum susu formula, sedang Weizmann sudah makan steak medium rare dengan saus kecerdasan buatan.

BRIN baru sibuk menyusun struktur, Weizmann sudah mengirim sinyal elektromagnetik untuk mengacaukan sistem rudal musuh. BRIN masih debat anggaran dan nomenklatur, Weizmann sudah mengekstrak data satelit sambil membuat teh di sore hari.

Tapi inilah drama besar hari itu: bukan sekadar laboratorium terbakar, tapi pusat otak militer Israel tersentak. Bayangkan kalau DARPA-nya AS disambar rudal, atau Google HQ luluh-lantak karena balon udara meledak. Betapa besar akibatnya.

Mari kita lihat skala dampaknya. Di sana ada ribuan peneliti dan superkomputer yang tak cuma pintar menjawab soal fisika kuantum, tapi juga merancang skema sabotase infrastruktur musuh dari jarak jauh. Rudal Iran yang canggih menyasarnya dari jarak 2.000-an km.

Kalau benar fasilitas ini rusak parah, maka dampaknya bukan sekadar tumpukan kabel terbakar —ini seperti menghapus hard disk utama mesin militer Israel. Kekuatan otot-otot militer Israel tiba-tiba bisa menjadi lembek seperti mie yang dimasak.

Bisa jadi, minggu depan akan muncul drone yang terbang zigzag karena kehilangan algoritma navigasi. Atau tank yang gagal mengenali perintah suara karena model NLP-nya ikut hangus bersama perpustakaan di lantai dua.

Dampaknya pula bukan hanya pada sains, tapi pada sistem pertahanan yang bergantung pada kecerdasan buatan, drone otonom, pelindung enkripsi, dan segala macam alat perang era digital. Serangan Iran begitu cerdasnya, menyasar jantung sains Israel, bukan para saintisnya.

Weizmann tidak hanya meracik teori. Di sana, mereka mengembangkan AI untuk komando tempur, teknologi UAV dan sistem navigasi alternatif, alat pelacak elektronik, bahkan riset energi terarah dan aplikasi nuklir. Ini bukan kampus biasa. Ini pabrik sihir yang meramu masa depan Israel di atas kalkulasi presisi dan rahasia.

Tapi kemudian datanglah serangan rudal dari Iram. Dan rupanya, meski algoritma Weizmann bisa mengalahkan catur tiga dimensi, ia tetap tak mampu menghentikan sebatang baja terbang berkecepatan Mach 3, hanya 11 menit menempuh perjalanan udara 2.000-an km dari Iran.

Jadi, ketika rudal Iran menyapa lembut pada subuh itu, sebenarnya bukan bangunan yang dihantam —tetapi pusat kendali sistem militer pintar Israel. Tak ada gambar dari media, tak ada laporan resmi. Hanya asap, senyap, dan senyum getir dari mereka yang tahu: kubah kertas itu telah terbakar.

Dan pertanyaan besarnya: bagaimana bisa sistem pertahanan Iron Dome yang konon “bisa menangkap lalat dengan radar” gagal menangkal rudal ini? Atau jangan-jangan, memang tidak ada yang benar-benar “tak tertembus” di dunia ini —kecuali mungkin, hati para penguasa.

Dan seperti biasa, yang tertinggal adalah satu ironi: Lembaga yang merancang pelindung udara tercanggih, justru dilubangi dari langit. Barangkali inilah karma dalam bentuk balistik. Dan di balik layar, BRIN mungkin sedang mengetik, “Catat: Kita jangan menaruh semua otak dalam satu gedung.”

Dan sungguh ironis. Tempat yang merancang sistem pertahanan anti-serangan udara tercanggih di kawasan Timur Tengah, justru menjadi korban utama dari —ya, serangan udara. Kalau ini bukan satire realitas, kita tak tahu lagi apa itu satire.

Dan mari kita bicara tentang moralitas. Iran menyerang pusat ilmu pengetahuan, kata sebagian orang. Tapi ini bukan perpustakaan kota tempat anak-anak belajar menggambar. Ini adalah markas tempat ilmu dipersenjatai dan kecerdasan dikonversi menjadi instrumen pembunuhan presisi.

Maka apakah ini sekadar serangan ke lembaga akademik? Atau, maaf, operasi militer sah terhadap infrastruktur strategis?

Dunia barat tentu menjerit: “Itu universitas, bukan barak!” Tapi barangkali, di dunia yang kabur antara sains dan militer, antara riset dan rudal, universitas bisa menjadi barak juga —barak yang memakai jas lab dan membunyikan lonceng konferensi, bukan peluit komando.

Weizmann luluh lantak. Tapi yang lebih dalam dari itu adalah simbol kekalahan diam-diam: bahwa bahkan Israel —negara yang selama ini hidup dari keunggulan teknologinya— bisa kena serangan, bukan di tubuhnya, tapi di otaknya.

Dan, hei, jika ini bukan peringatan keras bagi mesin-mesin perang yang terlalu percaya diri, maka apa lagi? Bahkan kecerdasan buatan pun, tampaknya, tak bisa mengantisipasi kegagalan sistem manusia.

Serangan ke Weizmann adalah pesan terang dalam bahasa rudal: bahwa dominasi bukan soal siapa yang punya server lebih dingin atau AI lebih cepat, tapi siapa yang masih bisa berpikir jernih di tengah api.

Dan sementara Weizmann sedang menghitung kerugian, Iran seolah berkata, “Selamat datang di zaman di mana laboratorium pun harus berlindung di bunker.”

Kalau otak Israel bisa dihantam, mungkin hati nuraninya masih bisa disentuh. Atau… setidaknya, itu harapan kita yang masih percaya bahwa sains seharusnya menyelamatkan manusia, bukan mengoptimasi kehancuran.

Dan jika Anda mendengar suara dengungan AI di malam hari, tenang saja… itu mungkin cuma drone nyasar, sedang mencari sinyal yang sudah terbakar di Rehovot, tempat Weizmann berada.

Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 18/6/2025

Bunker Super Nuklir Iran

Pilot Israel: “Komandan, kami sudah meledakkan Natanz!”
Komandan: “Bagus! Bagaimana dengan uranium-nya?”
Pilot: “…Kayaknya masih utuh, sih. Tapi gedungnya hancur total!”
Komandan: “Kita hancurkan rumahnya, tapi orangnya tetap di ruang bawah tanah, menonton Netflix.”

Bayangkan Anda sedang bermain game tower defense. Israel melempar katakanlah seratus atau seribu jet tempur, rudal, dan drone, lalu Iran masih duduk-duduk santai berada di bawah tanah sambil menyeruput teh saffron dan berkata, “Lucu juga.”

Dunia menonton, pada Jumat yang tak biasa, langit Iran diwarnai kembang api tak diundang. Israel, dalam aksi yang disebut “preemptive strike”, tiba-tiba nekad menggempur fasilitas nuklir Iran di Natanz, lalu mengumumkan telah meledakkan pusat produksi bahan bakar nuklir yang berada di atas tanah.

Ya, Anda tidak salah baca. Yang dihantam adalah bagian atasnya. Permukaannya. Hanya gedungnya. Bukan jeroannya. Seperti memukul helm di kepala sambil berharap otaknya copot. Seperti main mercon di atas sumur sementara ikan-ikan berlarian gembira dalam air di bawah sana.

Israel, dengan bangga, merilis klaim ke dunia: beberapa fasilitas berhasil dihancurkan, satu dua ilmuwan top Iran tewas. Padahal sungguh, untuk Iran, kehilangan ilmuwan nuklir sudah seperti kehilangan kucing di kampung —banyak dan cepat berganti. Mati satu tumbuh seribu.

Padahal, faktanya, menurut Direktur Jenderal Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Rafael Grossi, bahan bakar nuklir tingkat tinggi Iran masih aman terkendali — dan masih di tempatnya. Kebetulan, tim IAEA saat itu juga sedang berada di Iran, melakukan tugas mereka.

Menurut laporan intelijen Barat dan pengawas internasional, pusat penyimpanan utama bahan nuklir Iran tidak berada di Natanz, tapi di sebuah kompleks bawah tanah raksasa di dekat Isfahan — dan Israel tahu itu. Tapi tetap, mereka tidak menyentuhnya. Kenapa?

Lokasi penyimpanan itu, seperti diceritakan para ahli, berada dalam bunker yang dibangun sedalam 80 meter hingga 100 meter di bawah tanah. Bahkan, kabarnya lebih dalam dari itu. Bayangkan membangun nuklir dalam lubang sebesar 30 lantai gedung.

Lokasinya begitu dalam, bahkan bom-bom jenis bunker buster pun seperti dilemparkan roti bakar ke sumur bor. Lebih teknisnya: AS punya bom GBU-57, Massive Ordnance Penetrator seberat 13,6 ton, yang dirancang menembus bunker sedalam 60 meter beton.

Tapi, bom sedahsyat itu pun belum sanggup merusak struktur terdalam fasilitas Iran yang dirancang menggunakan teknik triple shell, berlapis-lapis pelindung dan terletak di bawah pegunungan batu kapur. Jadi, jika Israel ingin benar-benar melumpuhkan fasilitas itu, mereka harus minta tolong kepada… Marvel Universe.

Dan Iran ternyata bukan hanya memperkaya uranium, tapi juga memperkaya teknik sipilnya. Negara yang rentan gempa ini malah punya alasan geologis sekaligus geopolitik untuk menciptakan smart concrete —atau “beton pintar”— dari formula lokal.

Beton ultra-kuat buatan dalam negeri Iran kini menjadi mimpi buruk baru bagi Pentagon dan sekutunya, termasuk Israel. Dicampur dengan serbuk kuarsa dan serat khusus, beton jenis Ultra-High Performance Concrete (UHPC) ini bisa menahan tekanan luar biasa.

Dan bahkan, beton khas buatan Iran ini mampu menyerap getaran serta ledakan. Singkatnya, ini bukan beton biasa. Ini semacam versi Persia dari Captain America’s shield, tapi dipakai untuk membungkus uranium. Sungguh inovasi cerdik.

Sebagai teknologi ganda (dual-use), beton ini memang sah dipakai untuk membangun jembatan, bendungan, terowongan, bahkan pipa air yang tahan puluhan tahun. Tapi dalam praktiknya, beton ini juga membuat fasilitas militer bawah tanah Iran nyaris mustahil dijebol.

Bahkan Menteri Pertahanan AS saat itu, Leon Panetta, pernah menyuarakan kekhawatiran bahwa jika UHPC digunakan secara sistematis di instalasi nuklir, maka bukan hanya bom, tapi seluruh pasukan Avengers pun tak akan mampu menembusnya.

Pentagon akhirnya minta waktu lagi untuk menyempurnakan bom mereka —karena rupanya, teknologi pembunuh selalu tertinggal selangkah di belakang teknologi bertahan hidup. Iran yang sekian lama hidup dalam embargo ekonomi malahan hidup lebih ekonomis.

Jadi, ketika dunia bertanya kenapa Israel tidak menyerang gudang utama uranium di Isfahan, jawabannya sederhana: karena itu bukan gudang biasa. Itu benteng beton super. Dan menyerangnya tanpa rencana matang hanya akan menghasilkan headline bombastis.

Alih-alih menghentikan Iran dari membuat bom, Israel justru memberi alasan moral dan teknis bagi Iran untuk terus memperkuat infrastruktur pertahanannya — karena dunia telah membuktikan bahwa satu-satunya cara bertahan hidup di dunia pasca-kebenaran adalah dengan menggali lebih dalam. Secara harfiah.

Ironisnya, dalam perang propaganda, citra asap lebih penting daripada isi bunker. Sementara media mengulang footage ledakan berkali-kali, dunia diam-diam tahu bahwa uranium-uranium itu masih duduk manis di Isfahan.

Fasilitas nuklir Iran terlindungi bukan hanya oleh beton pintar, tapi juga oleh strategi pintar. Dan pada titik ini, mungkin yang perlu diledakkan bukan lagi bunker Iran, tapi asumsi dunia bahwa bom bisa menyelesaikan segalanya.

Karena pada akhirnya, ini bukan sekadar tentang rudal dan uranium. Ini tentang kecerdasan sipil yang mampu mengalahkan keangkuhan militer.

Dan di tengah gemuruh perang dan politisasi, pelajaran paling menyakitkan bagi agresor mana pun adalah ketika mereka menyadari: musuh yang digambarkan barbar itu, ternyata bisa membangun masa depan dengan bahan yang lebih kuat dari dendam —beton, dan ketekunan.

Anehnya, justru Netanyahu yang mengatakan bahwa Iran “sudah punya cukup uranium untuk membuat sembilan bom atom.” Logikanya, kalau itu yang mengancam, kenapa tidak dihancurkan? Tapi Israel justru memilih mengganggu dapur dan gudangnya.

Israel sadar tak bakal sanggup mengoyak ruang penyimpanan senjata utama Iran. Tapi mungkin kali ini Netanyahu sedang ingin berlatih kamen rider pose sebelum meluncurkan gelombang kedua. Atau mungkin ini sekadar strategi shock and awe —bikin ribut, lalu nego.

Namun dunia tak sebodoh itu. Para inspektur IAEA masih bisa melihat bahwa bahan bakar tetap aman. Ini yang mereka katakan terangan-terangan ke media. Iran pun dengan sinis mengatakan, “Silakan lanjutkan, serangan kalian tak menghentikan apa pun.”

Iran sejak dulu tahu betul bahwa menjadi target berarti harus berpikir seperti cacing tanah, hidup sedalam mungkin. Itu sebabnya sejak awal 2000-an, mereka sudah memindahkan semua infrastruktur penting jauh di bawah tanah. Bahkan di wilayah pegunungan batu terjal.

Mereka tahu satelit bisa memotret, pesawat bisa menyerang, bom bisa dilempar, tapi gravitasi dan batu tetap berpihak pada yang bersabar. Fakta bahwa fasilitas nuklir utama disembunyikan begitu dalam adalah hasil kombinasi dari paranoia dan pengalaman disabotase Mossad.

Dan mungkin juga, Iran modern belajar dari kebijaksanaan arsitek Persia kuno yang hobi bikin qanat (saluran air bawah tanah). Maka, jika Israel atau bahkan Amerika pikir mengalahkan program nuklir Iran bisa dilakukan dengan bom, mereka perlu mengganti strategi.

Serangan Israel ini adalah sinyal — bahwa mereka sudah kewalahan. Benyamin Netanyahu begitu paranoia, tak cukup hanya merasa waspada, tapi masih ingin menunjukkan gigi, dan mungkin juga masih trauma masa lalu ketika dunia hanya bisa menonton Iran memperkaya uranium.

Tapi dari sisi strategi, ini adalah contoh klasik: banyak bunyi, minim hasil. Bahkan, seperti ditulis David E. Sanger di The New York Times, ini mungkin justru mempercepat program senjata Iran, karena mereka makin yakin, dunia tak mampu menghentikan mereka secara militer.

Maka, daripada menyerang bunker dengan bom, mungkin sudah waktunya mencoba diplomasi yang tidak sekadar basa-basi. Atau minimal, upgrade bom-nya dulu ke level Minecraft TNT. Siapa tahu berhasil. Tapi jangan berharap banyak.

-000-

Catatan Akhir:

  • Fasilitas penyimpanan utama uranium Iran berada 80-100 meter di bawah tanah, dekat Isfahan.
  • Serangan Israel hanya menghancurkan bagian atas dari fasilitas di Natanz.
  • Bahan nuklir dan kemampuan pengayaan Iran tidak terpengaruh secara signifikan.
  • Dunia kembali diingatkan: membangun nuklir bisa dicapai dengan teknologi dan tekad. Tapi menghancurkannya — itu butuh lebih dari sekadar rudal dan ego.

Surat Ir. Soekarno No. 1 dari Ende: Kritis terhadap Sayyid  yang membanggakan nasab, Penegasan Tauhid dan Kesetaraan

Berikut adalah surat Ir. Soekarno kepada T. A. Hassan yang ditulis dari Ende pada 1 Desember 1934:

SURAT-SURAT ISLAM DARI ENDEH

No. 1. Endeh, 1 Desember 1934

Assalamu’alaikum,

Jikalau saudara-saudara memperkenankan, saya minta saudara mengasih hadiah kepada saya buku-buku yang tersebut di bawah ini:

Kemudian daripada itu, jika saudara-saudara ada sedia, saya minta sebuah risalah yang membicarakan soal “sayid”. Ini buat saya bandingkan dengan alasan-alasan saya sendiri tentang hal ini. Walaupun Islam zaman sekarang menghadapi soal-soal yang beribu-ribu kali lebih benar dan lebih sulit daripada soal “sayid” itu, maka toh menurut keyakinan saya, salah satu kecelaan Islam zaman sekarang ini, ialah pengeramatan manusia yang menghampiri kemusyrikan itu. Alasan-alasan kaum “sayid”, misalnya mereka punya brosur “Bukti Kebenaran”, saya sudah baca, tetapi tak bisa meyakinkan saya. Tersesatlah orang yang mengira, bahwa Islam mengenal suatu “aristokrasi Islam”. Tiada satu agama yang menghendaki kesama-rataan lebih daripada Islam. Pengeramatan manusia itu, adalah salah satu sebab yang mematahkan jiwanya sesuatu agama dan umat, oleh karena pengeramatan manusia itu, melanggar tauhid. Kalau tauhid rapuh, datanglah kebencanaan!

Sebelum dan sesudahnya terima itu buku-buku, yang saya tunggu-tunggu benar, saya mengucap beribu-ribu terima kasih.

Wassalam,

SUKARNO

Surat Ir. Soekarno dari Ende , Flores, NTT ini bukan sekadar permintaan buku, melainkan sebuah pernyataan sikap dan pemikiran mendalam tentang prinsip-prinsip fundamental Islam. Soekarno menunjukkan minatnya yang besar terhadap literatur keagamaan, mencerminkan dahaganya akan ilmu dan pemahaman Islam yang komprehensif. Daftar buku yang diminta—mulai dari “Pengajaran Shalat” hingga “Utusan Wahabi”—mengindikasikan bahwa ia ingin mendalami fikih, akidah, dan isu-isu kontemporer yang relevan pada masanya.

Namun, bagian paling krusial dari surat ini adalah kritiknya terhadap fenomena “sayid” dan pengeramatan manusia. Soekarno dengan tegas menyatakan bahwa praktik semacam itu menghampiri kemusyrikan dan menjadi salah satu “kecelaan Islam zaman sekarang.” Ia telah membaca argumen dari kaum “sayid” namun tidak merasa yakin. Gelar sayyid saat itu dipakai oleh keluarga Ba’alawi, yang sekarang dikenal dengan sebutan “Habib”

Poin utama Soekarno adalah bahwa Islam tidak mengenal “aristokrasi Islam”. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa “tiada satu agama yang menghendaki kesama-rataan lebih daripada Islam.” Baginya, pengeramatan manusia adalah pelanggaran terhadap tauhid, dan jika tauhid rapuh, “datanglah kebencanaan!” Ini adalah peringatan keras dari Soekarno tentang bahaya penyimpangan akidah.

Kritik Soekarno ini sangat relevan dengan konteks saat itu, dan bahkan hingga kini, ketika ada kelompok-kelompok tertentu, seperti keluarga Ba’alawi, yang cenderung membanggakan dan mengutamakan nasab mereka yang diklaim sebagai keturunan Rasulullah SAW. Soekarno melihat penekanan berlebihan pada nasab sebagai bentuk pengeramatan yang bertentangan dengan esensi ajaran Islam tentang kesetaraan dan keesaan Allah.

Pandangan Soekarno didukung kuat oleh ajaran dasar Al-Qur’an dan Hadits yang menekankan kesetaraan manusia di hadapan Allah dan melarang pembanggakan nasab.

1. Kesetaraan Berdasarkan Takwa

Islam mengajarkan bahwa satu-satunya tolok ukur kemuliaan seseorang di sisi Allah adalah ketakwaannya, bukan garis keturunannya.

Al-Qur’an, Surat Al-Hujurat Ayat 13:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”

Ayat ini adalah fondasi utama bagi prinsip kesetaraan dalam Islam, menegaskan bahwa asal-usul genetik tidak menentukan kedudukan spiritual.

2. Larangan Membanggakan Nasab

Rasulullah SAW sendiri secara eksplisit melarang umatnya untuk membanggakan nasab, mengingatkan bahwa semua manusia memiliki asal yang sama.

Hadits dari Abu Hurairah: Rasulullah SAW bersabda:

لَا تَفَاخَرُوا بِأَنْسَابِكُمْ  فَإِنَّ النَّاسَ كُلَّهُمْ لِآدَمَ  وَآدَمُ مِنْ تُرَابٍ

“Janganlah kalian saling membanggakan nasab kalian, sesungguhnya semua manusia itu berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah.” (HR. Ahmad)

Hadits ini menekankan kesederhanaan asal-usul manusia dan meniadakan alasan untuk merasa superior berdasarkan garis keturunan.

3. Amal Lebih Utama dari Nasab

Bahkan bagi kerabat terdekat Rasulullah SAW, beliau menegaskan bahwa amal perbuatanlah yang akan menjadi penentu keselamatan di akhirat, bukan nasab.

Hadits dari Abu Hurairah: Ketika Fathu Makkah, Rasulullah SAW bersabda:

يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ  اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ مِنَ اللَّهِ  لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا

“Wahai sekalian orang Quraisy, belilah diri kalian dari Allah (dengan beramal saleh), sungguh aku tidak dapat menolong kalian sedikitpun dari (siksaan) Allah.” (HR. Muslim)

Dan kepada putri beliau sendiri:

يَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ  اعْمَلِي فَإِنِّي لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا

“Wahai Fatimah putri Muhammad, beramallah (saleh), karena sungguh aku tidak dapat menolongmu sedikitpun dari (siksaan) Allah.” (HR. Muslim)

Ini adalah penegasan kuat bahwa tanggung jawab individu atas amalnya adalah mutlak, dan nasab tidak dapat menjadi jaminan penyelamat.

Pesan Sunan Ampel: “Ojo Gumunggung Karo Nasab”

Pesan Sunan Ampel: “Ojo gumunggung karo nasab, sebab dadi sirnane barokah” (Janganlah membanggakan nasab, karena akan menghilangkan keberkahan) sangat selaras dengan kritik Soekarno dan ajaran Islam yang universal.

Pernyataan ini mencerminkan kearifan lokal yang menguatkan prinsip-prinsip syariat:

  • Menjaga Tauhid: Pengeramatan nasab berpotensi menggeser fokus dari Allah SWT sebagai satu-satunya yang patut disembah dan dihormati sepenuhnya.
  • Mendorong Amal: Ketika nasab dijadikan kebanggaan, ada risiko orang merasa tidak perlu beramal keras karena merasa sudah memiliki “keistimewaan” dari keturunan. Ini menghilangkan motivasi untuk mencapai takwa sejati.
  • Membangun Persatuan Umat: Membanggakan nasab dapat menciptakan sekat-sekat sosial, rasa superioritas, dan potensi perpecahan di antara umat. Prinsip kesetaraan justru mendorong persatuan dalam keragaman.

Hilangnya keberkahan (“sirnane barokah”) dapat diartikan sebagai berkurangnya manfaat dan kebaikan dalam hidup, baik secara spiritual maupun sosial, karena seseorang telah menyimpang dari tujuan utama penciptaan dan prinsip-prinsip agama yang luhur.

Rumah Pengasingan Ir. Soekarno, Ende, Flores, NTT

Perbedaan Pendekatan dengan Keluarga Wali Songo dan Ir. Soekarno

Perdebatan mengenai nasab Ba’alawi ini sangat kontras dengan sikap yang ditunjukkan oleh keluarga Wali Songo dan juga Ir. Soekarno sendiri.

  • Dzuriyah Wali Songo (termasuk Ir. Soekarno yang memiliki darah keturunan Wali Songo): Para Wali Songo, meskipun banyak di antara mereka diyakini memiliki silsilah yang terhubung ke Nabi Muhammad SAW melalui jalur Sayyid/Syarif, tidak pernah membanggakan nasab mereka di muka publik. Sebaliknya, mereka lebih menekankan dakwah, amal saleh, akhlak mulia, dan keteladanan. Pesan Sunan Ampel, “Ojo gumunggung karo nasab, sebab dadi sirnane barokah,” adalah bukti nyata dari filosofi ini. Mereka menggunakan pengaruh spiritual dan keilmuan mereka untuk menyebarkan Islam dengan damai dan membangun peradaban, bukan untuk mengklaim superioritas genetik atau memaksa orang lain untuk mempercayai sebagai keturunan Nabi SAW. Penelusuran nasab mereka lebih bersifat internal untuk menjaga silsilah keluarga, bukan untuk pamer atau mencari pengakuan publik atas dasar keturunan.
  • Ir. Soekarno: Sebagaimana terlihat jelas dalam suratnya, Soekarno sangat menentang “pengeramatan manusia” dan gagasan “aristokrasi Islam” berdasarkan keturunan. Ini adalah sikap yang konsisten dengan ajaran Islam tentang kesetaraan dan tauhid, serta dengan tradisi para Wali Songo yang mengutamakan amal dan ketakwaan di atas nasab. Sikap Soekarno menunjukkan kekhawatiran bahwa klaim nasab yang berlebihan dapat mengarah pada kemusyrikan dan melemahkan fondasi agama.

Perbedaan mendasar terletak pada:

Sikap terhadap Pengakuan Publik: Keluarga Wali Songo tidak memaksakan apalagi menuntut orang lain untuk mempercayai nasab mereka. Mereka membiarkan bukti amal dan pengaruh baik yang berbicara. Sebaliknya, sebagian pihak yang membanggakan nasab Ba’alawi cenderung menuntut pengakuan dan terkadang bahkan mengklaim keistimewaan yang berlebihan.

Tujuan Penekanan Nasab: Bagi sebagian Ba’alawi, nasab ditekankan untuk menunjukkan status kemuliaan dan keistimewaan, bahkan terkadang untuk menuntut penghormatan khusus. Bagi keluarga Wali Songo dan Soekarno, nasab (jika ada) adalah bagian dari sejarah pribadi dan keluarga, tetapi bukan untuk dibanggakan atau dijadikan alat legitimasi kekuasaan spiritual/sosial.

Fokus Dakwah: keluarga Wali Songo dan Soekarno fokus pada pengajaran Islam yang substantif (tauhid, syariah, akhlak), persatuan umat, dan pembangunan masyarakat. Sedangkan penekanan berlebihan pada nasab dapat mengalihkan fokus dari esensi ajaran Islam.

Baca juga:https://id.m.wikisource.org/wiki/Surat-Surat_Islam_dari_Ende