Nyeker Ala TikTok hingga Jurnal Ilmiah: Benarkah Grounding Bisa Transfer Elektron dari Bumi?

Baru-baru ini, saat sedang rebahan sambil scrolling Instagram, saya tersesat di sebuah reels dari akun bernama @ry_arsd —entah siapa, entah dari planet mana. Ia memaparkan sesuatu yang terdengar seperti bisikan alam, dengan mengajarkan anak kecilnya, untuk kita juga.

Menyuruh sang anak berjalan di atas rumput, ia ukur tegangan listrik tubuhnya. Kesimpulannya: “Berjalan di atas rumput bisa menstabilkan muatan listrik dalam tubuh, memperbaiki siklus tidur, menyehatkan kaki, menyeimbangkan sistem saraf, dan meredakan stres.”

Lho, kok bisa? Yang lebih mengejutkan, dalam video pendek itu diklaim bahwa elektron dari bumi bisa menetralkan muatan tubuh manusia, yang katanya sering kelebihan muatan positif —mungkin karena kebanyakan berpikir positif sambil stres mikirin cicilan KPR.

Kesan pertama saya: ini seperti campuran antara National Geographic, Naruto, dan Spiritual Healing TikTok Edition. Tapi karena saya tak mau langsung menertawakan tanpa dasar, maka saya pun melakukan hal lumrah di dunia kewartawanan: membuka jurnal ilmiah.

Pertama, saya mencoba mencari tahu apakah benar ada yang namanya “transfer elektron dari bumi ke tubuh manusia.” Ternyata, ini dikenal dengan istilah grounding atau earthing, dua istilah yang banyak digunakan di dunia kelistrikan dan kesehatan.

Maksud keduanya, praktik berjalan telanjang kaki di tanah, rumput, atau pasir dengan keyakinan bahwa kita akan terhubung secara langsung dengan energi bumi. Kedengarannya seperti ritual kuno suku druid, tapi ternyata sudah masuk jurnal ilmiah juga!

Saya menemukan bahwa teori ini populer karena tokoh-tokoh seperti James L. Oschman dan Gaétan Chevalier telah menerbitkan sejumlah studi sejak awal 2000-an. Mereka mengembangkan teori tentang transfer elektron dari bumi ke tubuh manusia sebagai mekanisme penyembuhan.

Oschman, ahli biologi sel dan biofisika, banyak menulis tentang pendekatan alternatif dan integratif dalam kesehatan. Sementara Chevalier, fisikawan dan peneliti di bidang bioelektrik dan psikofisiologi, aktif bereksperimen tentang efek grounding terhadap fisiologi manusia.

Bahkan ada satu karya Chevalier dengan judul jurnal yang sangat khusyuk: “Earthing: Health Implications of Reconnecting the Human Body to the Earth’s Surface Electrons” (Chevalier et al., 2012). Seperti judul film Marvel alternatif.

Tapi tunggu dulu. Apakah ini hanya teori belaka? Bagaimana dengan data yang lebih mutakhir?

🧪 Februari 2025 – Studi double-blind placebo controlled dari Advances in Integrative Medicine menunjukkan bahwa grounding dengan matras khusus bisa memperbaiki kualitas tidur secara signifikan. Artinya, ini bukan cuma efek “plasebo nyeker”, tetapi memang ada perubahan ritme sirkadian pada peserta.

🛌 2022 – Studi pada penderita Alzheimer ringan menunjukkan bahwa grounding selama 12 minggu memperbaiki tidur secara signifikan, walau belum bisa memperbaiki mood yang kadung suram karena hilangnya ingatan atau mungkin karena mereka belum diberi tahu ini bukan iklan sandal.

💥 2023 – Pada pasien yang baru menjalani operasi tulang belakang, grounding malam hari menurunkan kadar peradangan (CRP, CK) dan mengurangi rasa nyeri dibandingkan kelompok yang tidak grounding. Jadi, nyeker bukan hanya baik untuk yang galau, tapi juga yang baru disayat skalpel.

📉 Bahkan tingkat kortisol, hormon stres yang biasanya melonjak saat kita membaca komentar netizen, juga ditemukan menurun setelah grounding. Sistem saraf simpatis (yang bikin kita panik) pun jadi lebih kalem, seperti habis dipeluk bumi.

Tapi, benarkah ada “transfer elektron”? Nah, ini bagian yang menggelitik sekaligus rumit. Para pendukung grounding percaya bahwa elektron bebas dari bumi masuk ke tubuh dan menetralisir radikal bebas. Ibarat bumi sedang bersedekah elektron ke tubuh kita yang “kemiskinan muatan negatif”.

Namun, menurut artikel The Guardian (Februari 2025), para ilmuwan skeptis berkata: “Hanya karena ada arus mikro nano-ampere, tidak berarti itu punya efek biologis signifikan.” Bahkan dikatakan, “Jika grounding benar-benar menyembuhkan hanya karena nyeker,” maka kita semua sudah tidak butuh BPJS.

Sains masih belum sepakat soal mekanisme persisnya, tapi sebagian sepakat bahwa mungkin bukan “elektron” yang menyembuhkan, melainkan efek kontak dengan alam, relaksasi, aktivitas fisik ringan, dan melepaskan diri dari medan elektromagnetik digital.

Dan, siapa bilang orang kota tak bisa nyeker? Di Jepang, “forest bathing” alias shinrin-yoku dipraktikkan luas —orang berjalan di hutan untuk menenangkan jiwa. Di beberapa taman kota Eropa, ada zona khusus untuk nyeker. Bahkan di Jakarta, kadang kita terpaksa grounding mendadak kalau sandal jepit putus di taman kota.

Dan benar saja, jalan telanjang kaki di rumput pagi hari —selain bisa bikin kita terhindar dari stres, juga menghindarkan kita dari pelupa: karena langsung ingat bahwa rumput itu bisa ada tai kucingnya. Jadi grounding tidak hanya menyadarkan sistem saraf, tapi juga menyadarkan kewaspadaan.

Setelah menyusuri hutan jurnal ilmiah dan gurun hoaks, saya sampai pada kesimpulan bahwa berjalan di atas rumput dengan kaki telanjang memang memberikan manfaat, terutama untuk tidur, stres, dan pemulihan.

Namun, klaim tentang “transfer elektron bumi” masih belum terbukti kuat secara ilmiah. Jadi, jangan langsung percaya kalau ada yang bilang, “Saya sudah sembuh dari insomnia, asam urat, dan mantan, semua karena grounding.”

Walhasil, grounding bisa jadi membantu, seperti kesimpulan di Instagram tadi. Tapi jangan lupa: bersentuhan dengan bumi harus dibarengi dengan berpijak pada akal sehat. Jangan sampai sibuk menyalurkan muatan listrik, tapi lupa menyalakan nalar.

Kalau mau sehat, ya silakan nyeker —asal jangan nyeker ke kantor, ke ATM, atau ke seminar nasional. Alam memang menyehatkan, tapi jangan sampai nyeker dijadikan dalih untuk malas pakai sepatu. Setidaknya, pakailah sandal jepit.

Jika Anda tertarik mencoba grounding, silakan. Tapi perhatikan juga faktor kebersihan, keselamatan, dan kenyamanan. Dan jika Anda merasa tidak lebih rileks setelah nyeker, mungkin Anda memang butuh grounding yang lain: grounding dari overthinking.

Fariz RM dan Lingkaran Narkoba: Antara Relaksasi, Pensiun, dan Problem Sosial Indonesia

Fariz RM (Rustam Manaf), musisi legendaris yang konon pernah menghipnotis hati jutaan rakyat Indonesia dengan lagu “Barcelona”, kini kembali membuat publik terpana. Bukan karena album baru atau konser reuni yang meledak penjualan tiketnya, tapi kena narkoba lagi.

Untuk keempat kalinya, Fariz berhasil menjadi pelanggan tetap rubrik kriminal selebritas. Ya, kalau dulu ia berjaya di tangga lagu, sekarang dia eksis di tangga dakwaan. Lagi-lagi dia duduk di kursi pesakitan, karena ini kali keempat ia tertangkap ngisap, seolah ia tak kenal tobat.

Kisahnya dimulai dari sebuah WhatsApp sederhana: “Tolong siapkan ijo dan putih.” Bukan pesanan kain atau kertas, dan bukan pula jus alpukat dan susu, tapi ganja dan sabu. Kode ala milenial ini membuktikan, meskipun sudah 66 tahun, Fariz tetap adaptif dengan zaman digital.

Cara main narkobanya cukup sederhana saja. Tak perlu deep web atau jaringan kartel, cukup gunakan dana yang ada, seperti dana kerja, dan bantuan resepsionis hotel. Efisien, hemat biaya logistik, dan tentunya sangat down to earth.

Menurut kesaksian sang asisten merangkap kurir, Andres, pembelian dilakukan dengan sistem cashless, lengkap dengan transfer via rekening resmi. Paket dikirim pakai sistem “titip obat buat Pak Fariz” di meja resepsionis hotel, tempat nginap sang maestro.

Lalu, apa motif di balik semua konsumsi narkoba yang tak habis-habisnya ini? “Relaksasi,” kata Fariz. Bukan untuk stamina manggung atau cari inspirasi musikal. Kalau musisi lain butuh spa, pijat dan yoga untuk relaksasi, Fariz cukup sabu di hari Sabtu.

Konon katanya, hanya untuk “lepas penat”. Namun jika ini benar, pertanyaannya: kenapa harus empat kali ketahuan? Apakah penat hidupnya sekuat itu? Atau mungkin memang tiap kali mencoba lepas dari dunia hiburan, yang lepas justru kontrol diri?

Sebagai penikmat seni, kita tentu ingin memaklumi. Tapi sebagai warga negara yang membaca berita setiap pagi, kita juga ingin sedikit keadilan dan kejujuran. Alasan relaksasi dengan nyabu tampak seolah menyepelekan dampak dari narasi eskapis ini.

Dalam wawancara eksklusif di ruang sidang, Fariz lalu menyatakan ingin pensiun saja dari dunia musik. “Saya ingin hidup lebih bahagia dengan keluarga,” katanya, setelah empat dekade menyumbang nada dan empat kasus menyumbang berita.

Apakah selama ini dia tidak bahagia? Kita bisa bayangkan, jika benar-benar pensiun, mungkin ia akan tinggal di desa, berkebun, main gitar sambil menyesap kopi —bukan sabu. Tapi sebelum romansa itu terjadi, ada hal lain yang perlu kita bicarakan: hukuman.

Apa hukuman yang pantas untuk orang yang sudah empat kali melakukan kesalahan yang sama? Kalau ini sinetron, mungkin dia akan mengalami tabrakan mobil lalu insaf total. Tapi ini dunia nyata, dan sayangnya, hukum tidak bisa hanya berdasarkan plot twist.

Fariz RM dijerat pasal berat: pasal 114 dan 112 UU Narkotika, tak jauh beda dari tiga kasus yang dialaminya sebelum ini. Tapi, sebagian publik, terutama dari kalangan aktivis, mulai mempertanyakan: mengapa seorang “pecandu” masih dihukum pidana?

Menurut UU Narkotika, sebenarnya pecandu memang harusnya direhabilitasi, bukan dipenjara. Tapi masalahnya, Fariz tidak hanya sebagai pengguna. Ia didakwa terlibat dalam jual beli. Faktanya, ia memesan barang haram itu, dan setelah itu mengkonsumsinya.

Jadi pertanyaannya bukan apakah ia kecanduan, tetapi apakah ia juga aktif sebagai pemesan. Bahkan, persoalannya, jangan-jangan ia sekaligus juga bertindak sebagai distributor kecil-kecilan? Kalau jawabannya ya, tentu ceritanya jadi lain.

Namun, terlepas dari status hukumnya yang jadi urusan hakim, satu hal yang pasti: Indonesia sedang kelelahan dengan siklus narkoba para selebritas. Kita sudah terlalu sering melihat bintang jatuh bukan karena usia, tapi karena “ijo dan putih.”

Ini bukan cuma urusan personal, tapi sosial. Dunia hiburan seakan memiliki semacam bonus toxic di balik gemerlap lampu panggung: tekanan, stres, dan ekspektasi absurd dari publik yang mengharapkan mereka selalu sempurna.

Tak cuma Fariz. Media massa mencatat puluhan selebriti — termasuk Nia Ramadhani, Reza Artamevia, Tio Pakusadewo, dan Roy Marten — tertangkap sepanjang dekade terakhir karena sabu, ganja, atau psikotropika lainnya.

Kisah Fariz juga gambaran bahwa apa yang ia alami hanyalah setitik dari samudera besar problem narkoba di Indonesia. Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN), nilai transaksi gelap narkoba di Indonesia diperkirakan Rp 524 triliun per tahun, sungguh besar.

Nilai tadi setara tujuh kali lipat anggaran program makanan bergizi sekolah. Sementara itu, jumlah pengguna aktif narkoba diperkirakan sekitar 4,8 juta jiwa (prevalensi 1,73 % dari penduduk 15–65 tahun) pada 2023, dengan angka penyalahgunaan hampir dua persen.

Penelitian oleh Samara dkk. (2024) mengidentifikasi beberapa pemicu penggunaan narkoba oleh artis, seperti tekanan hidup glamor, stres dalam industri hiburan, dan efek imitasi dari lingkungan sosial. Studi ini menekankan perlunya langkah edukatif dan kolaborasi untuk menciptakan industri seni yang lebih sehat tanpa narkoba.

Fariz mungkin benar dengan pengakuannya: saya manusia biasa. Tapi manusia biasa yang punya pengaruh luar biasa. Maka jika ia benar-benar ingin insaf dan pensiun, mungkin sumbangsih terakhirnya untuk bangsa ini adalah kampanye anti-narkoba yang jujur.

Ia bisa tampil dengan kesaksian yang menyentuh. Dengan begitu, ia tak hanya dikenal sebagai musisi yang menciptakan “Sakura” dan “Barcelona”, tapi juga sebagai orang yang, meski sempat tersesat empat kali, akhirnya benar-benar menemukan arah pulang.

Harapan kita, kalau nanti Fariz bikin lagu baru berjudul “Sabu di Hari Sabtu”, semoga itu bukan dokumenter musikal, tapi kisah pertobatan. Karena, jujur saja, penonton sudah cukup kenyang —bukan oleh konsernya, tapi oleh berita penangkapannya.

AI Pemeta Demensia: Harapan Baru di Tengah Krisis Ingatan Global

Kita sedang berada di dunia masa depan yang, ironisnya, sedang mengalami krisis ingatan. Tidak hanya orang-orang tua yang lupa tempat menaruh kunci, bahkan negara pun kadang lupa siapa yang membiayai siapa dalam perang dunia maya.

Menurut data WHO, lebih dari 55 juta orang di dunia mengalami demensia, plus sekitar 10 juta kasus baru setiap tahun. Ini bukan wabah TikTok, tapi cukup mengkhawatirkan: demensia kini menjadi penyebab kematian nomor lima terbesar di dunia.

Di tengah segala kelupaan ini, datanglah pahlawan masa kini: Artificial Intelligence (AI). Kali ini, AI tidak sekadar jagoan ChatGPT yang bisa bikin puisi romantis. Kali ini, ia menyusup masuk ke wilayah yang lebih neurotik. Tepatnya: otak manusia yang mulai goyah kena dimensia.

Ya, di era ketika manusia semakin lupa hal-hal penting —dari ulang tahun sampai siapa yang mencuri uang negara— kita beruntung karena teknologi tidak ikut pikun. Bahkan, kini AI bisa mendeteksi kalau kita mulai lupa, sebelum kita sendiri ingat bahwa kita lupa.

Mungkin, seperti kata pepatah, “Jika otak sudah lupa, teknologi yang ingat.” (Pepatah ini saya buat sendiri, barusan.)

Begitulah kabarnya dari Mayo Clinic. Rumah sakit kaliber dewa asal Amerika Serikat ini baru saja mengembangkan sebuah alat canggih bernama StateViewer. Ini bukan sekadar software iseng, melainkan alat diagnosis berbasis AI yang begitu canggih.

StateViewer konon bisa membedakan sembilan jenis demensia cukup dari satu scan otak. Iya, satu kali tes saja. Tanpa harus pakai tes menggambar jam dinding atau menjawab kapan Soekarno lahir. Tak perlu pasien yang sudah pelupa masih ditanya macam-macam.

Penelitian mereka, yang dipublikasikan dalam jurnal Neurology pada 27 Juni 2025 (DOI: 10.1212/WNL.0000000000213831), menunjukkan bahwa alat ini berhasil mengidentifikasi jenis demensia pada 88% kasus. Sisa kasus tak berhasil diungkap, entah kenapa.

Keakuratan alat tersebut bahkan bisa mencapai tiga kali lipat lebih baik dari scan metode standar. Dan waktu yang dibutuhkan untuk interpretasi scan otak jadi hampir dua kali lebih cepat. Ini bukan hanya efisien, tapi juga bisa mencegah pasien menunggu hasil diagnosis sambil lupa kenapa mereka datang ke dokter.

StateViewer bekerja dengan menganalisis hasil FDG-PET scan —yaitu pemindaian otak yang menunjukkan seberapa lahap bagian-bagian otak kita mengkonsumsi glukosa. Ternyata, otak yang sedang mengalami demensia punya pola “lapar gula” yang khas.

Nah, si AI ini kemudian membandingkan scan tersebut dengan ribuan gambar otak lain dari pasien yang sudah pasti didiagnosis demensia. Dari situ, muncullah semacam “peta warna otak” yang menunjukkan bagian mana yang mulai redup dan jenis gangguan otak apa yang mungkin sedang terjadi.

Tapi, kenapa scan otak untuk mendeteksi demensia dilakukan terhadap konsumsi glukosa? Apa maksudnya? Mari kita kupas dengan gaya sederhana namun tetap akurat.

Otak kita, meskipun hanya sekitar 2% dari berat tubuh, mengonsumsi sekitar 20% dari total energi tubuh. Dan bahan bakar utama otak adalah glukosa, alias gula darah. Glukosa itu seperti nasi buat otak: tanpanya, neuron (sel-sel otak) tidak bisa bekerja dengan baik.

Ketika otak sehat, bagian-bagian otaknya yang aktif akan “melahap” glukosa secara konstan sesuai kebutuhan: berpikir, mengingat, mengontrol emosi, mengatur gerakan, dan sebagainya. Tapi jika ada kerusakan atau penurunan fungsi di area tertentu —misalnya karena Alzheimer— bagian otak itu jadi malas makan. Artinya, konsumsi glukosa menurun di area tersebut.

Di sinilah teknologi bernama FDG-PET scan (Fluorodeoxyglucose Positron Emission Tomography) berperan. FDG adalah glukosa buatan yang dilabeli dengan zat radioaktif ringan. Ketika disuntikkan ke tubuh, FDG akan dibawa oleh darah ke seluruh organ, termasuk otak.

Otak yang aktif akan mengambil FDG lebih banyak, sedangkan otak yang tidak aktif (karena rusak atau menyusut) akan mengambil lebih sedikit. PET scan kemudian mendeteksi di mana saja FDG menumpuk. Hasilnya berupa peta panas (heatmap) aktivitas otak.

Bagian yang terang berarti aktif dan lapar glukosa, bagian yang gelap berarti kurang aktif alias mulai “kelaparan”. Dengan melihat pola ini, AI seperti StateViewer bisa mengenali jenis demensia yang menyerang—seperti dokter melihat sidik jari di TKP.

Singkatnya, scan dilakukan terhadap konsumsi glukosa karena pola aktivitas glukosa mencerminkan fungsi otak. Ketika suatu bagian otak mulai rusak, ia akan menggunakan glukosa lebih sedikit, dan ini bisa dideteksi dengan PET scan.

Ini seperti memeriksa kantor yang lampunya padam. Bagian yang gelap berarti tidak ada aktivitas. Nah, StateViewer memeriksa bagian otak yang “lampunya mati” karena glukosanya tidak dikonsumsi seperti biasanya—dan dari situ, diagnosis demensia bisa ditebak lebih awal, bahkan sebelum gejalanya parah.

Jika ingin perbandingan sehari-hari: membandingkan scan konsumsi glukosa otak itu seperti melihat kota dari satelit malam hari. Daerah yang terang (seperti Jakarta pusat) aktif, ramai. Daerah yang gelap… entah listriknya mati, atau memang sudah jadi hutan kembali.

Begitulah cara AI dan dokter membaca otak: bukan lewat pikiran, tapi lewat “laparnya”. Bagi dokter umum yang mungkin belum pernah melihat scan otak lebih dari gambar di Wikipedia, AI ini bisa jadi juru bicara yang menyampaikan: “Hei, lihat bagian ini, kayaknya pasien kita ngalamin demensia tipe frontotemporal.”

Tapi sebelum bicara lebih jauh, mari kita sepakati dulu apa itu demensia. Singkatnya, ini bukan nama belakang artis Korea, melainkan istilah medis untuk penurunan fungsi kognitif yang cukup parah hingga mengganggu kehidupan sehari-hari. Bukan cuma lupa nama teman SD atau kebiasaan menaruh kunci di kulkas, tapi bisa sampai lupa cara memakai baju, atau percaya bahwa panci adalah telepon genggam.

Yang menarik, demensia bukan satu penyakit tunggal. Seperti nasi goreng, demensia hadir dalam banyak rasa dan bumbu. Nah, alat AI yang satu ini bisa membedakan semuanya, yang ada sembilan jenisnya, dari yang populer hingga yang eksentrik.

Misalnya, Alzheimer’s disease, sang primadona yang paling sering dibicarakan. Penyakit ini menyerang memori dan kemampuan berpikir logis. Gejala awalnya bisa sesederhana lupa letak dompet atau menanyakan hal yang sama berulang kali, seperti anak kecil yang penasaran apakah dinosaurus bisa hidup di Indonesia.

Lain lagi dengan Lewy Body Dementia, yang membuat penderitanya mengalami halusinasi dan kekakuan gerak. Kadang mereka merasa melihat anak kecil bermain di ruang tamu padahal rumahnya sudah sunyi sejak istri meninggal. Atau tiba-tiba tubuh mereka terasa berat dan kaku, seperti karakter gim yang sedang lag.

Sementara itu, Frontotemporal Dementia menyasar area otak yang mengatur kepribadian dan emosi. Efeknya, orang yang tadinya kalem bisa jadi suka berkata kasar, belanja online tak terkendali, atau tiba-tiba merasa bahwa memakai dasi di kepala adalah keputusan yang masuk akal.

Ada juga jenis Vascular Dementia, akibat suplai darah ke otak yang terganggu. Biasanya ia muncul pasca stroke, membuat orang menjadi bingung atau lamban berpikir. Contohnya, seseorang yang mendadak tidak tahu bagaimana cara memakai sandal —dan mencoba memakainya di tangan.

Kalau keempat jenis di atas belum cukup membuat bingung, ada juga Mixed Dementia, yaitu campuran dari Alzheimer dan Vascular Dementia. Sungguh paket lengkap. Di sinilah AI tampil sebagai penengah yang tenang: “Tenang, Bu. Ini mix, bukan salah satu.”

Jenis lain yang tak kalah unik adalah Parkinson’s Disease Dementia. Orang dengan Parkinson bisa mengalami gemetar atau kesulitan bergerak, lalu lambat laun juga mulai mengalami penurunan kognitif. Pernah lihat orang mencoba membuka pintu dengan sendok makan? Mungkin ini contohnya.

Untuk yang sangat langka dan menyeramkan, ada Creutzfeldt-Jakob Disease (CJD). Ini cepat, brutal, dan mematikan. Biasanya berkembang dalam hitungan minggu. Jika biasanya demensia datang perlahan seperti musim hujan, CJD datang seperti badai.

Kemudian, kita mengenal Normal Pressure Hydrocephalus (NPH). Ini kondisi saat cairan di otak menumpuk tanpa tekanan tinggi. Akibatnya, penderita mengalami gangguan berjalan, ngompol, dan pelupa berat. Banyak yang dikira hanya “tua biasa”, padahal bisa ditangani jika terdiagnosis tepat waktu.

Terakhir, Huntington’s Disease, penyakit keturunan yang menyebabkan gerakan tidak terkontrol dan penurunan fungsi mental. Jika kamu melihat seseorang menari-nari tanpa irama sambil menyebutkan nama sepupunya yang sudah meninggal, mungkin itu bukan kesurupan —tapi Huntington.

Nah, di tengah keragaman bentuk demensia ini, para peneliti dari Neurology Artificial Intelligence Program (NAIP) di Mayo Clinic membayangkan dunia baru: dunia di mana diagnosis neurologis dilakukan dengan presisi tinggi, keputusan pengobatan dibantu oleh wawasan berbasis data, dan deteksi dini menjadi hal biasa. Visi ini bukan fiksi ilmiah —mereka sedang mewujudkannya, satu baris kode demi satu scan otak.

Tim NAIP melatih StateViewer menggunakan jaringan data tersebar milik Mayo. Scan pasien baru akan dibandingkan secara cerdas dengan ribuan kasus terdokumentasi, termasuk hasil autopsi dan penelitian jangka panjang. Dengan pendekatan ini, para dokter tidak perlu lagi bertarung sendirian melawan kebingungan diagnostik.

“AI bukan menggantikan kami, tapi memperkuat kami,” kata Dr. David T. Jones, neurolog dari Mayo yang juga direktur NAIP. “Kalau AI dilatih dari kumpulan data pasien dalam jumlah besar, kita bisa membuat diagnosis lebih cepat, lebih tepat, dan pada akhirnya, mempercepat pencarian terapi yang efektif.”

Platform ini bekerja dalam Mayo Clinic Cloud, hasil kolaborasi mereka dengan Google Cloud —tempat di mana para ilmuwan data, software engineer, dan neurologis bisa main bareng, seperti tim Avenger versi medis.

Menurut Dr. Leland Barnard, kepala rekayasa data NAIP, “Data adalah fondasi. Dengan infrastruktur cloud, kami bisa memadukan kekuatan AI dan keahlian klinis untuk menghasilkan alat yang benar-benar mendukung peningkatan diagnosis dan hasil perawatan pasien.”

Tentu, semua ini dilakukan dengan protokol keamanan data yang ketat. Karena meskipun pasien mungkin lupa password, tim Mayo Clinic tidak akan lupa menjaga privasi mereka.

Kembali ke dunia nyata, keberadaan AI seperti StateViewer membuka jalan baru dalam pengobatan penyakit otak yang dulu sulit dikenali sampai semuanya terlambat. Teknologi ini bukan sekadar alat, tapi cermin masa depan medis: yang lebih akurat, lebih personal, dan —semoga— lebih manusiawi.

Tapi mari kita ingat: sehebat apapun AI, ia tak akan pernah bisa menggantikan bisikan penuh kasih seorang anak kepada ibunya yang lupa nama sendiri: “Ibu, aku anakmu, yang selalu di sini.” Atau seorang sahabat yang paham arti kasih-sayang.

Dan kalau kamu masih bisa membaca sampai akhir tulisan ini tanpa lupa paragraf pertama —selamat, mungkin kamu belum butuh StateViewer. Tapi kalau kamu lupa kenapa kamu buka artikel ini tadi, ya, mungkin sudah waktunya periksa.

Sumber:

  • Mayo Clinic. (2025). An FDG-PET–Based Machine Learning Framework to Support Neurologic Decision-Making in Alzheimer Disease and Related Disorders. Neurology. https://doi.org/10.1212/WNL.0000000000213831
  • WHO Fact Sheet on Dementia. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/dementia
  • Alzheimer’s Association. https://www.alz.org/alzheimers-dementia/what-is-dementia

Melawan Dunia dengan Nada: Pesan “Berdaya Diri” Putri Ariani yang Menusuk Jiwa

Di tengah hiruk-pikuk bazar perbankan syariah dan hingar-bingar industri modest fashion —yang biasanya sibuk menjual gamis bordir dengan bonus tote bag— tiba-tiba suasana hening. Hadirin menatap ke arah Putri Ariani yang duduk di kursi, di atas panggung.

“Malam ini, teman-teman, saya ingin menyanyikan lagu baru,” katanya, dengan suara tegar. “Pernahkah kita sadari hebatnya diri kita yang selalu tangguh?” Ia mengaku, lagu “Berdaya Diri” ditulisnya untuk kita —mereka yang mesti terus melangkah, meski dunia tak selalu ramah.

“Ada kalanya hidup memang tidak berpihak pada kita. Tapi yakini, segala proses yang telah kita lewati atau yang akan kita jalani adalah bentuk dari bagaimana diri kita berdaya,” lanjutnya, dalam kalimat-kalimat yang sekaligus menjadi tafsir dari lirik lagunya.

Putri membuka suara —secara harfiah dan simbolis— di panggung acara BSI International Expo 2025, di Jakarta tadi malam. Bukan untuk menjual saham syariah atau diskon skincare halal, melainkan untuk menyanyikan lagu-lagu, termasuk yang baru ciptaannya.

Tapi sungguh, ini bukan sekadar lagu. Ini karya yang lahir dari pendalaman diri Putri, yang bukan hanya layak masuk playlist harian, tapi juga pantas dikutip dalam khutbah Jumat dan caption Instagram bertagar #inspirasi.

Suaranya menggetarkan. Bahkan mungkin sempat membuat para pejabat yang duduk tegak dengan wajah kaku di kursi VIP merasa seperti mereka juga ingin bangkit dan berdaya diri —walau hanya untuk berdiri dan ikut tepuk tangan.

Tapi yang lebih menggetarkan lagi adalah barisan kursi roda di deretan depan, diisi para penyandang disabilitas. Mereka tak sekadar menjadi “hiasan belas kasih”, melainkan subjek kekuatan itu sendiri. Dalam lagunya, Putri bernyanyi seolah mengisahkan perjalanan hidupnya:

Kelak perjuanganmu kan temukan jalannya,
Langkah kecilmu membawa harapan…

Tunggu. Ini bukan lirik biasa. Ini kisah tentang perjuangan Putri hingga tiba di puncak. Ini semacam kitab saku harian bagi siapa pun yang pernah jatuh, tersesat, atau tersandung selimut sendiri di pagi hari lalu memutuskan menyerah pada hidup. Dan lagu ini berkata: jangan!

Karena kamu —iya, kamu yang sedang lelah dan lupa password hidup— sungguh begitu bermakna.

Dan tentu, tak lengkap rasanya jika peluncuran lagu ini tak dikaitkan dengan kolaborasi. Zaman sekarang, bahkan lagu harapan pun perlu berjejaring.

Maka datanglah Klamby, brand modest fashion nasional yang berhasil memadukan kain, kampanye, dan kekuatan afirmasi dalam satu gerakan bernama #LangkahBerdayaDiri.

Sambil menjual kebaya, mereka juga menjual ide: bahwa mencintai diri sendiri bukanlah dosa, apalagi bentuk narsisme —melainkan strategi bertahan hidup.

Putri menyebut, “Perempuan hebat adalah yang tahu cara merangkul kelemahan menjadi kekuatan.” Sebuah kalimat yang seharusnya ditulis di kaca kamar mandi, agar setiap pagi kita tahu bahwa bedak luntur dan jerawat hormonal bukanlah musuh besar hidup ini.

Namun di balik keindahan melodi dan kampanye ini, mari kita jujur. Masyarakat kita masih sering gagap ketika bicara soal disabilitas. Kita membungkusnya dengan istilah “berkebutuhan khusus”, seolah hendak menyamarkan fakta bahwa dunia ini belum cukup ramah.

Kita bertepuk tangan panjang untuk Putri Ariani, tapi cobalah renungkan: masih banyak gedung tanpa akses kursi roda, masih banyak sekolah yang ragu menerima murid tunanetra karena “kurikulum belum siap”, masih banyak dari kita yang tak mau memahami mereka yang berbeda.

Lagu “Berdaya Diri” ini seperti cermin —memperlihatkan bahwa suara penyandang disabilitas bukan untuk dikasihani, melainkan untuk dipahami dan diangkat. Bukan sekadar objek program CSR, tapi subjek perubahan sosial.

Dan akan sangat ironis jika lagu ini hanya berhenti di panggung, tidak menular ke kebijakan. Karena sehebat apa pun nada tinggi Putri Ariani, dunia tak akan berubah hanya dengan tangis haru dan standing ovation. Dunia berubah ketika keadilan menjadi kebiasaan, dan kesetaraan menjadi refleks sosial.

Maka mari kita beri tepuk tangan —sekali lagi, bukan hanya untuk lagu, tapi untuk pesan di balik lagu. Lagu yang menampar kita dengan kelembutan, menggedor kesadaran dengan ketenangan, dan menyanyikan perlawanan dengan senyuman.

Putri Ariani memang tidak melihat. Tapi ia membuat kita melihat lebih jauh. Melihat bahwa berdaya diri bukan sekadar lirik indah, tapi kerja keras yang tak boleh berhenti. Dan tentu saja, seperti ia nyanyikan:

Berani melangkah hadapi dunia,
Yakini untuk kita percaya —karena kita bermakna.

Walau kadang dunia ini terasa seperti bazar fashion yang terlalu ramai dan penuh diskon palsu, tetaplah percaya bahwa kamu bermakna. Bahkan saat semua orang tampak sibuk membeli baju baru untuk menutupi luka lama.

Akhirul kalam: Jika Putri Ariani bisa menyanyi dengan segenap jiwa, kita pun bisa hidup dengan segenap keberanian.

Kalau tidak percaya, ulangi lagu ini. Tapi jangan salahkan tetangga kalau kamu ikut menangis sambil pakai sheet mask.

Dari Kampala ke Manhattan: Kisah Zohran Mamdani, Muslim Progresif yang Guncang Politik New York

Mari kita mulai dengan takbir. Allahu Akbar! Bukan karena ada serangan, bukan karena adzan, tapi karena di hari Jumat yang mulia ini —1 Muharam 1447 H— sebuah kabar baik mampir dari jantung kapitalisme dunia: New York City.

Ya, kota yang lebih dikenal sebagai kampung halaman Spider-Man dan tempat ngopi-nya Central Perk Friends itu, sebentar lagi bisa punya wali kota Muslim. Dan bukan sembarang Muslim: Zohran Mamdani, anak muda 33 tahun keturunan India-Uganda yang lebih suka bicara tentang Gaza daripada Gala Dinner.

Sungguh, ini bukan cerita fiksi politik dari Netflix. Ini nyata. Sebuah keajaiban politik yang lebih sulit dicerna daripada sambal roa dicampur oatmilk.

Bayangkan, seorang Muslim, progresif, penyair sosialisme, dan musuh bebuyutan Benyamin Netanyahu, berhasil mengalahkan Andrew Cuomo —mantan gubernur sekaligus bekas tokoh yang dulu sempat dielu-elukan seperti pahlawan Marvel, sampai akhirnya kariernya dikaramkan skandal seks dan gelombang #MeToo.

Zohran pendukung BDS, singkatan dari Boycott, Divestment, and Sanctions — sebuah gerakan internasional non-kekerasan yang dimulai oleh masyarakat sipil Palestina pada tahun 2005. Tujuannya, menekan Israel agar mematuhi hukum internasional dan prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam perlakuannya terhadap rakyat Palestina.

Berbekal kejujuran dan hati nurani, Zohran berlaga. Jika pemilu diibaratkan laga tinju, maka hasilnya seperti ini: Cuomo masuk ring dengan jubah mantan gubernur dan dukungan miliuner, Zohran cuma bawa mikrofon, idealisme, dan 22 ribu relawan yang lebih militan dari fans K-pop.

Dan yang bikin lebih dramatis: ini terjadi di New York, tempat di mana kata “komunis” biasanya cukup untuk membuat seseorang dibakar dalam opini publik. Tapi Zohran justru menyiram bensin ke api itu dengan berkata, “Saya akan menang bukan karena saya menyesuaikan diri, tapi karena saya jujur.”

Hasilnya? Boom. Zohran menang dalam sistem ranked-choice voting —sistem yang bahkan lebih membingungkan dari aturan tilang elektronik.

Dan yang bikin kaget: Cuomo sendiri mengakui kekalahannya sebelum hasil akhir diumumkan. Ini seperti Ronaldo bilang, “Saya kalah penalti, tapi anak muda itu mainnya ciamik.”

Di tengah euforia kemenangan Zohran, tentu saja tidak semua pihak bersorak gembira. Di Gedung Putih, Donald Trump langung ngamuk. Mungkin masih trauma karena kalah di 2024 (dan 2020, dan 2018, dan realita), dia seketika meledak di Truth Social.

Menurutnya, Zohran adalah “komunis gila 100%” dan merupakan ancaman paling nyata bagi demokrasi. Bahkan ia menyebut Zohran didukung oleh “AOC+3” —sebuah formula matematika dari semesta alternatif tempat Trump percaya ia adalah Albert Einstein versi oranye.

Trump, seperti biasa, juga sempat menyinggung suara Zohran yang “mengganggu” dan otaknya yang “nggak terlalu cemerlang”. Ini sebuah kritik tajam dari seseorang yang menyebut pemanas microwave sebagai “teknologi gelombang 5G berbahaya”.

Tuduhan Trump bersambut. Dari pojok kanan jauh spektrum politik, The New York Young Republican Club (NYYRC) mengeluarkan seruan yang terdengar seperti naskah film era McCarthy: mencabut kewarganegaraan Zohran dan mendeportasinya.

Mereka mengutip Communist Control Act tahun 1954 —sebuah undang-undang peninggalan masa Perang Dingin yang sudah lama berdebu di rak hukum Amerika— dan meminta Presiden Trump untuk “bertindak sekarang.” Alasannya, Zohran itu komunis.

Seolah-olah Zohran bukan kandidat sah hasil pemilu demokratis, tapi penyusup komunis yang menyaru lewat pemilu. Seruan ini, yang viral di platform X (sebelumnya Twitter), dengan cepat dibumbui nama-nama beken di lingkaran Trump: Stephen Miller dan Thomas Homan, dua tokoh yang dikenal lebih galak dari Satpol PP saat razia PKL.

Sungguh, ini bukan lagi debat politik —ini sudah masuk wilayah delusi historis. Kalau seseorang bisa dideportasi hanya karena mendukung bus gratis dan hak warga Palestina, maka tak heran bila suatu hari nanti buku catatan Nelson Mandela juga dianggap dokumen subversif.

Tapi mari tinggalkan Trump dan kembali ke Zohran, dengan bertanya, apa yang membuatnya menang?

Sederhana: ia tidak takut menyuarakan hal-hal yang tidak populer, tapi benar. Di tengah kegaduhan politik tentang Israel-Gaza, dia bilang terang-terangan: “Israel sedang melakukan genosida.” Kalimat yang cukup untuk membuat karier politisi mana pun tamat —kecuali jika politisi itu jujur dan berdiri di atas kaki prinsip.

Tapi bukan cuma soal Palestina. Zohran ingin membuat seluruh bus kota New York gratis. Dia juga ingin bikin supermarket milik pemerintah yang jual makanan sehat dan murah —surga bagi mahasiswa kere dan ibu-ibu beranak lima.

Bahkan dia usul pajak orang kaya dinaikkan untuk mendanai semua program ini. Sebuah pemikiran revolusioner yang dalam bahasa Wall Street disebut “blasphemy.”

Yang membuat para pengamat geleng-geleng —dan kaum elite bisnis megap-megap— adalah keberanian Zohran untuk merumuskan ulang konsep dasar “layak huni” di kota sebesar New York.

Di tengah gelombang penggusuran halus (alias gentrifikasi dengan parfum vanilla), ia justru mengedepankan ide yang dianggap “radikal” hanya karena terlalu masuk akal: membekukan kenaikan sewa dan membangun 200.000 unit rumah publik baru.

Bagi sebagian konglomerat properti, ini terdengar seperti larangan mencetak uang. Namun bagi lebih dari dua juta penyewa yang tercekik oleh inflasi, ini adalah napas hidup. Seperti kata para ekonom pendukungnya, kebijakan semacam ini bukan sekadar populis, tapi rasional secara fiskal dan sosial.

Sementara proposal bus gratis bukan hanya bentuk kemurahan hati ideologis, tetapi juga bukti bahwa pemerintah kota bisa —dan seharusnya— berfungsi layaknya urat nadi publik, bukan terminal bisnis.

Data menunjukkan bahwa ketika ongkos dihapus, kekerasan turun, partisipasi publik naik, dan dompet rakyat kecil bisa bernapas. Di mana letak komunismenya, kalau solusi ini justru menyelamatkan kota dari keruntuhan sosial-ekonomi?

Tapi siapakah gerangan Zohran Mamdani, si anak Kampala yang kini menginjak panggung sejarah New York?

Ia bukan cucu konglomerat atau alumni Yale Law School. Dia anak dosen dan sutradara.

Dia kuliah di Bowdoin, kerja jadi konselor perumahan bagi keluarga miskin, dan menikahi seniman keturunan Suriah yang lebih tertarik pada keramik dan ilustrasi daripada kekuasaan dan investasi.

Ini bukan kisah “American Dream”. Ini lebih cocok disebut Hijrah Politik—dari perbatasan minoritas menuju pusat kekuasaan kota global.

Lantas, apa pelajaran bagi kita di 1 Muharam ini? Pertama, bahwa politik bukan cuma milik orang tua berjas mahal dan lidah berlapis retorika. Politik bisa jadi milik anak muda Muslim dengan prinsip.

Kedua, bahwa kemenangan bukan selalu tentang suara mayoritas, tapi tentang suara nurani.

Ketiga, bahwa menjadi Muslim, mencintai keadilan, dan berani bicara benar bukan penghalang sukses —bahkan di tempat yang katanya paling liberal, tapi juga paling paranoid soal Islam.

Di hari Jumat dan tahun baru Hijriah ini, mari kita buka harapan baru: semoga Zohran Mamdani menang di Pilkada November nanti. Bukan sekadar untuk membanggakan ummat, tapi untuk menunjukkan bahwa politik bisa dibersihkan dari polusi korupsi dan hipokrisi.

Dan kalaupun Trump tetap marah-marah, ya biarkan saja. Toh, sudah banyak riset ilmiah menunjukkan bahwa tekanan darah tinggi bisa dipicu oleh terlalu sering membaca Truth Social.

Selamat Tahun Baru Hijriyah 1447. Selamat untuk Zohran. Dan selamat untuk kita semua —yang masih percaya bahwa dunia bisa berubah, satu pemilu, satu suara, dan satu orang jujur pada satu waktu.

Israel dan AS Keroyokan, Iran Justru Tegak: Antiklimaks Drama Timur Tengah

Dalam dunia yang makin terasa seperti serial Netflix berkepanjangan ini, episode terbaru datang dari Timur Tengah: “Israel+AS vs Iran: The Final Season (Maybe)”. Judulnya bombastis, tapi akhirnya malah jadi tontonan drama yang klimaksnya antiklimaks.

Israel nyerang, Iran nyerang balik, AS ikutan nyerang, terus semua bilang “Udahan yuk,” dan dunia pun kembali sibuk memesan hummus sambil memantau harga minyak dan bitcoin. Tapi mari kita kupas episode ini dengan santai —dengan tetap bersandar pada data, bukan cuma dada.

Mari kita mulai dari naskah resmi yang ditulis PM Israel Benjamin Netanyahu. Target perang katanya ada dua: “pemenggalan program nuklir Iran” dan “perubahan rezim”. Tapi yang terjadi? Tidak satu pun dari dua itu yang tercapai. Ia kalah, lalu merengek bantuan dari Trump.

Yang terjadi justru sebaliknya: program nuklir Iran tetap hidup sehat wal afiat (faktanya: citra satelit menangkap bayangan puluhan truk logistik memindahkan uranium keluar dari Fordow sebelum dibom AS). Dan satu bonus: rezim malah dapat ‘ashabiyah, dukungan kuat dari rakyat.

Kalau Anda pikir strategi Netanyahu itu seperti game catur 4D, ternyata itu lebih mirip main congklak pakai batu es —strateginya cair, hasilnya ngilang. Ini dipastikan oleh Ori Goldberg, analis independen dan pakar Iran, dalam artikelnya di Al Jazeera (24 Juni 2025).

Israel tampaknya percaya bahwa membunuh beberapa jenderal IRGC bisa membuat rakyat Iran beramai-ramai ganti rezim, seperti ganti channel TV. Tapi yang terjadi? Meskipun IRGC dibenci sebagian rakyat, begitu serangan luar datang, mereka malah bersatu hati.

Hasilnya: pembunuhan yang dimaksud untuk mengguncang justru memperkuat fondasi rezim. Kata seorang rakyat: “Kita mungkin tak suka pemerintah, tapi kita lebih benci diserang luar!” Bukan efek domino yang didapat, tapi pembunuhan itu malah jadi efek fondasi.

Ini seperti berharap bangunan rubuh karena tiang dicat ulang. Bangunan malah makin indah. Silahkan tertawa, atau cukup tersenyum, jika mau.

Israel juga membom stasiun TV IRIB, mengklaim itu pusat propaganda. Tapi alih-alih membuat wartawan Iran bisu, dunia malah melihatnya sebagai pembenaran Iran untuk mengancam balasan ke stasiun-stasiun TV Israel.

Presiden AS Donald Trump sempat membantu Israel untuk keroyokan melawan Iran dengan menjatuhkan bom ke tiga fasilitas nuklir Iran pakai MOPs (Massive Ordnance Penetrators, bukan singkatan dari “Masih Ogah Perang”). Tapi setelah selesai, pesawat bombernya langsung cabut pulang.

Ke mana? Iran mengetahuinya pulang ke pangkalan mereka di Qatar. Ini yang membuat Iran langsung menyerang mereka di Qatar, tapi dengan lebih dulu memberi tahu pihak musuh.

Ya, bagi Israel, AS itu seperti teman yang bantu pindahan, tapi cuma angkat kardus pertama lalu bilang, “Gue ada janji, bro.”

Trump memang bantu —sedikit. Tapi niatnya bukan perang total, melainkan membuka pintu negosiasi baru dengan Iran. Maka Qatar (iya, Qatar yang itu-itu juga) pun tampil jadi mak comblang damai, menemui pemimpin Iran untuk menyampaikan lamaran gencatan senjata dari AS.

Ini jelas bikin Netanyahu geram hingga gigi-giginya gemeretak. Harapannya semula, setelah serangannya yang bertubi-tubi ke Iran, dunia akan bersatu mendukung Israel. Tapi kenyataannya, dunia malah sibuk nanya, “Gaza gimana, bro?”

Alih-alih menjatuhkan rezim Iran, justru Trump —yang sebelumnya menyebut Iran sebagai ‘ancaman global’— berbalik arah setelah gencatan senjata dan mengatakan bahwa ia tak menginginkan perubahan rezim karena bisa menimbulkan kekacauan baru di kawasan. (Reuters, 25 Juni 2025)

Lucunya lagi, Trump sempat membandingkan efek serangan AS terhadap situs nuklir Iran dengan akhir Perang Dunia II. Padahal, intelijen pertahanannya sendiri (DIA) menyatakan bahwa kerusakan yang ditimbulkan “kemungkinan hanya menunda program nuklir Iran beberapa bulan.” (Reuters, 24-25 Juni 2025)

Walaupun Israel mengklaim punya supremasi udara dan membombardir sesuka hati, dunia justru semakin yakin Iran tak kalah hebat. Iran seolah menemukan arena unjuk diri, berhasil meluncurkan ribuan ragam rudal ke jantung pusat pertahanan Israel.

Rudal-rudal balistik supersonik Iran mampu melewati sistem pertahanan Iron Dome yang saat itu malah lebih mirip Iron Colander. Rudal Iran sampai ke Rehovot, bahkan menghantam Weizmann Institute of Science —sebuah simbol kecanggihan Israel.

Dan, oh ya, ekonomi Israel nyaris lumpuh karena kehabisan peluru interceptor dan terlalu banyak warga sipil yang harus mengungsi. Pariwisata mati total, perdagangan terhenti, dan ribuan bangunan luluh lantak. Harga kebanggaan itu mahal, Bung.

Sementara Iran, meskipun hancur di beberapa titik dan kehilangan nyawa sebagai syuhada, tetap berdiri —dan bahkan tampil dengan kepala lebih tegak. Semua orang sepakat, kemampuan teknologi dan militer Iran begitu hebat, meski 46 tahun dikucilkan dalam embargo.

Iran juga menunjukkan kontrol yang efektif atas situasi dalam negeri. Dalam hitungan hari, mereka mengeksekusi tiga orang yang dituduh bekerja sama dengan Mossad dan menangkap 700 orang yang diduga terlibat dalam operasi Israel di dalam negeri. (Nournews, 26 Juni 2025)

Dunia internasional makin sepakat melihat Iran sebagai korban agresi, bukan biang kerok. Iran bahkan sempat “mengabari” lebih dulu ke Trump sebelum membalas serangan Amerika. Ya, ini mungkin satu-satunya perang dalam sejarah modern yang pakai RSVP.

Bahkan setelah gencatan senjata diumumkan, Trump justru memperingatkan Israel agar tidak menyerang lagi. Siapa sangka? Kali ini malah Amerika memperingatkan Israel, bukan sebaliknya. Dunia terbalik? Mungkin hanya sedang rotasi normal.

Seperti yang ditulis Ori Goldberg —seorang analis independen dan eks profesor dengan spesialisasi Iran— dunia tampaknya lebih nyaman melihat Iran sebagai mitra ekonomi daripada musuh ideologis. Iran yang dahulu dianggap penyulut kekacauan, kini dilihat sebagai partner stabilisasi.

Israel awalnya ingin dunia percaya bahwa mereka sedang menggagalkan kehancuran dunia dengan menghancurkan program nuklir Iran. Tapi dunia justru melihat mereka sebagai pihak yang justru mempercepat kehancuran regional.

Apakah ini akhir dari strategi “assassination diplomacy”? Apakah ini pertanda bahwa bom bukan solusi diplomatik? Atau kita hanya menunggu musim tayang berikutnya, ketika semua pemain masih ada, tapi naskahnya makin lelah?

Yang pasti, dalam episode ini, Iran mungkin tak menang telak, tapi Israel jelas kalah mutlak. Dan dalam dunia geopolitik, kadang bukan soal menang atau kalah —tapi soal siapa yang bisa berdiri terakhir sambil tetap kelihatan waras.

Iran? Faktanya masih berdiri, dengan penuh etika dan akal sehat, bahkan makin tegak serta mengikis sekat-sekat sektarian. Israel? Lagi ngitung kehancuran Tel Aviv dan sisa-sisa rudal, sambil mungkin berharap Elon Musk jual Iron Dome versi upgrade.

Sumber utama:

  • Ori Goldberg, “How Israel failed in Iran”, Al Jazeera, 24 Juni 2025.
  • Reuters, “Trump: Iran strikes like WWII,” dan “Intel: Damage inconclusive”, 25 Juni 2025.
  • Laporan dari Nournews, Iran, 26 Juni 2025.
  • Liputan dan opini konflik Israel-Iran 2025: Fordow Facility, A Simple Guide to Iran, dan Trump’s Support to Netanyahu

Mengurai Makna “Niliyep Nutiun Ature”: Pesan Spiritual Sunan Drajat dalam Lensa Multi-Disipliner

Pernyataan Sunan Drajat, “Niliyep nutiun ature, anembah angares pada, anuhun berkah tuwan” (Dengan diam merenung, sampaikan permohonanmu, bersembahlah penuh harap, dan mohonkan berkah dari Tuhan), adalah sepotong mutiara hikmah yang sarat makna. Terukir dalam manuskrip Syekh Majnun, dawuh ini bukan sekadar untaian kata-kata biasa, melainkan cerminan kebijaksanaan spiritual yang mendalam, relevan untuk dikaji dan dipahami dari berbagai disiplin keilmuan. Mari kita selami dimensi-dimensi ilmu yang terkandung di dalamnya dengan lebih mendalam.

Dimensi Tasawuf: Jalan Menuju Hati yang Tenang dan Kontemplasi Ilahi

Inti dari dawuh Sunan Drajat, terutama frasa “Niliyep nutiun ature” (Dengan diam merenung), sangat kental dengan ajaran tasawuf atau sufisme. Merenung dalam keheningan adalah praktik fundamental dalam mendekatkan diri kepada Ilahi. Ini adalah wujud muraqabah (kontemplasi) atau tafakur (perenungan mendalam) yang bertujuan membuka pintu hati, membersihkan jiwa dari kekeruhan duniawi, dan merasakan kehadiran Tuhan. Para sufi meyakini bahwa dalam keheningan inilah, jiwa dapat berkomunikasi secara langsung dengan Sang Pencipta, mencapai ketenangan batin, dan menyucikan diri. Ini adalah perjalanan spiritual internal yang esensial dalam mencapai makrifatullah.

Dalam praktiknya, Sunan Drajat dikenal sebagai sosok yang sangat menekuni laku spiritual ini. Beliau sering melakukan tafakur di sekitar laut Ujung Pangkah dan Brombong, serta di atas bukit Drajat. Lokasi-lokasi yang tenang dan dekat dengan alam ini dipilih untuk mendukung kekhusyukan dalam perenungan. Lebih jauh lagi, Sunan Drajat juga dikenal gemar berkhalwat (menyepi atau mengasingkan diri dari keramaian) di atas air sendirian. Praktik khalwat di atas air ini menunjukkan tingkat asketisme dan komitmen spiritual yang tinggi, memungkinkan konsentrasi penuh pada dzikir dan munajat.

Pesan ini selaras dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلَائِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ ۚ وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا

“Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), agar Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya yang terang. Dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang mukmin.” (QS. Al-Ahzab: 41-43)

Ayat ini secara eksplisit mengaitkan zikir dan tasbih (yang seringkali melibatkan perenungan) dengan rahmat Allah dan jalan keluar dari kegelapan menuju cahaya, yang merupakan esensi dari pencarian spiritual dalam tasawuf.

Dimensi Teologi Islam (Kalam): Pengakuan Mutlak akan Kekuasaan dan Berkah Ilahi

Frasa “anuhun berkah tuwan” (mohonkan berkah dari Tuhan) secara tegas merujuk pada konsep tauhid dalam teologi Islam. Ini adalah pengakuan mutlak bahwa segala berkah, rahmat, kebaikan, dan pertolongan berasal hanya dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Manusia adalah hamba yang lemah, faqir (membutuhkan), dan selalu membutuhkan karunia serta anugerah dari Sang Khaliq. Dawuh ini menekankan esensi dari peribadatan, yaitu ketergantungan total seorang hamba kepada Tuhannya, sebuah prinsip fundamental yang menjadi dasar seluruh akidah Islam. Memohon berkah kepada “Tuwan” (Tuhan) menegaskan bahwa tiada daya dan upaya melainkan dari-Nya.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan kemudian apabila kamu ditimpa kesengsaraan, maka kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.” (QS. An-Nahl: 53)

Ayat ini mempertegas bahwa semua nikmat yang kita rasakan, baik yang besar maupun kecil, datangnya dari Allah semata, dan ketika kesulitan melanda, kepada-Nya lah kita harus berserah diri dan memohon pertolongan serta berkah. Ini adalah manifestasi nyata dari keimanan dan keyakinan teologis yang kokoh.

Dimensi Filologi dan Linguistik: Menyelami Kedalaman Bahasa Masa Lalu

Sebagai bagian dari manuskrip kuno (manuskrip Syekh Majnun), pernyataan Sunan Drajat ini menjadi objek kajian vital dalam disiplin filologi. Para filolog akan melakukan serangkaian kerja keras untuk mengidentifikasi bahasa asli yang digunakan (kemungkinan besar Jawa Kuno atau Jawa Tengahan), melakukan transliterasi yang akurat dari aksara yang mungkin sudah usang, dan menerjemahkan makna kata-kata yang mungkin sudah tidak umum atau memiliki konotasi berbeda di masa kini. Proses ini krusial untuk memastikan bahwa makna otentik dari dawuh ini dapat dipertahankan dan dipahami dengan benar oleh generasi sekarang.

Melalui lensa linguistik, kita dapat menganalisis struktur kalimat yang digunakan, pilihan leksikon (kosakata) yang spesifik, dan gaya bahasa yang khas pada masa itu. Analisis ini tidak hanya mengungkapkan kekayaan bahasa Jawa klasik, tetapi juga memberikan gambaran tentang pola pikir, pandangan dunia, dan cara penyampaian ajaran spiritual di era Wali Songo. Tanpa kerja keras filologi dan linguistik, pemahaman kita terhadap warisan kebijaksanaan seperti dawuh Sunan Drajat ini akan sangat terbatas, bahkan terdistorsi.

Dimensi Sejarah dan Antropologi: Cerminan Masyarakat dan Dakwah Nusantara

Dari perspektif sejarah, dawuh ini memberikan wawasan berharga tentang metode dakwah Sunan Drajat dan Wali Songo pada umumnya, yang dikenal mengintegrasikan nilai-nilai spiritual Islam dengan kearifan lokal dan budaya masyarakat Jawa. Penekanan pada perenungan dan pemuliaan Tuhan tanpa paksaan menunjukkan pendekatan yang harmonis dan non-konfrontatif dalam penyebaran Islam. Praktik tafakur di lokasi-lokasi fisik seperti laut Ujung Pangkah, Brombong, dan bukit Drajat, serta khalwat di atas air, menunjukkan bagaimana spiritualitas menyatu dengan lingkungan alam dan menjadi bagian integral dari kehidupan seorang ulama pada masa itu.

Secara antropologis, praktik “diam merenung” dan “memohon berkah” mencerminkan cara masyarakat memahami dan menjalankan spiritualitas mereka, serta bagaimana nilai-nilai religius membentuk norma dan etika sosial dalam komunitas. Keberlangsungan tradisi tafakur dan khalwat yang masih dijalankan oleh trah Sunan Drajat dari jalur Sayyid Qinan di Sidayu dan Tebuwung adalah bukti kuat tentang transmisi budaya dan agama lintas generasi. Ini juga menunjukkan adanya proses asimilasi dan akulturasi yang positif, di mana ajaran Islam diadaptasi dan diintegrasikan dengan tradisi lokal tanpa kehilangan esensinya. Dawuh ini adalah bukti nyata dari fleksibilitas dan kebijaksanaan dakwah yang berhasil mengakar di Nusantara.

Dimensi Psikologi Agama: Ketenangan Batin dan Transformasi Diri Melalui Kontemplasi

Frasa “Niliyep nutiun ature” juga sangat relevan dengan disiplin psikologi agama. Tindakan diam merenung, sebagaimana praktik tafakur dan khalwat yang dilakukan Sunan Drajat, dapat dilihat sebagai bentuk meditasi spiritual yang membawa ketenangan batin mendalam, mengurangi tingkat stres dan kecemasan, serta meningkatkan kesadaran diri. Dalam psikologi agama, praktik semacam ini diyakini dapat memperkuat hubungan individu dengan dimensi spiritual, menghasilkan pengalaman transenden, dan memberikan rasa damai serta tujuan hidup yang lebih jelas. Pengalaman tafakur di tempat-tempat sunyi, seperti tepi laut atau puncak bukit, memperkuat dimensi introspektif dan kontemplatif, yang esensial bagi kesehatan mental dan spiritual seseorang.

Frasa “anembah angares pada” (bersembah penuh harap) juga menyentuh aspek psikologis dari pengharapan (raja’) dan tawakal kepada Tuhan. Sikap penuh harap dan berserah diri kepada kekuatan yang lebih besar dapat menjadi sumber kekuatan mental yang luar biasa di tengah berbagai permasalahan dan tantangan hidup. Ini memberikan ketahanan psikologis dan keyakinan bahwa ada kekuatan Ilahi yang senantiasa menopang.

Sebuah Hadis Qudsi, yang menguatkan pentingnya pengharapan dan keyakinan positif, menyatakan:

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي

“Allah Ta’ala berfirman: Aku sesuai persangkaan hamba-Ku kepada-Ku.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini secara langsung menunjukkan pentingnya pengharapan yang baik (husnuzan) terhadap Allah, yang secara psikologis membentuk sikap optimisme, ketenangan, dan kepercayaan diri pada bantuan Ilahi.

Dimensi Etika dan Filsafat Moral: Landasan Perilaku Luhur dan Integritas Diri

Terakhir, pesan Sunan Drajat ini memiliki implikasi mendalam dalam disiplin etika dan filsafat moral. “Diam merenung” bukan hanya sekadar praktik spiritual untuk diri sendiri, tetapi juga merupakan landasan yang kuat untuk membentuk karakter yang baik dan perilaku yang bermoral. Perenungan mendorong introspeksi diri yang jujur, kesadaran akan kekurangan dan kesalahan pribadi, serta niat tulus untuk senantiasa memperbaiki diri. Praktik khalwat dan tafakur secara rutin mencerminkan disiplin diri yang tinggi dan komitmen etis untuk selalu menyucikan hati dan pikiran.

Frasa “anembah angares pada” (bersembah penuh harap) dan “anuhun berkah tuwan” (mohonkan berkah dari Tuhan) mengajarkan sikap kerendahan hati, rasa syukur yang mendalam, dan ketergantungan yang sehat pada Kekuatan Yang Maha Tinggi. Nilai-nilai ini adalah fondasi moral yang kokoh untuk perilaku yang berlandaskan spiritualitas, mendorong individu untuk bertindak dengan integritas, kejujuran, dan kebaikan dalam setiap aspek kehidupan. Filosofi di balik dawuh ini adalah bahwa kedekatan dengan Tuhan akan tercermin dalam akhlak mulia dan manfaat bagi sesama.

Tata Cara Praktik Dawuh dan Makna Berkah

Dawuh Sunan Drajat ini tidak hanya berupa teori, melainkan panduan praktis yang telah dijalankan oleh beliau dan diteruskan oleh keturunannya. Tata cara mempraktikkan dawuh “Niliyep nutiun ature, anembah angares pada, anuhun berkah tuwan” secara umum meliputi:

  1. Merenung dalam Keheningan (Tafakur/Muraqabah): Ini adalah langkah awal untuk menenangkan pikiran dan hati. Sunan Drajat melakukannya di tempat-tempat sunyi seperti tepi laut, bukit, atau bahkan di atas air, menunjukkan pentingnya mencari lingkungan yang mendukung konsentrasi spiritual. Keturunannya, seperti trah Sayyid Qinan di Sidayu dan Tebuwung, juga melanjutkan tradisi tafakur dan khalwat ini, seringkali di tempat-tempat yang dianggap memiliki energi spiritual atau ketenangan alam. Praktik ini bisa berupa duduk hening, memusatkan perhatian pada nafas, atau merenungkan kebesaran ciptaan Allah.
  2. Menyampaikan Permohonan dengan Diam (Munajat Batiniah): Setelah hati tenang, permohonan disampaikan bukan hanya dengan lisan, tetapi juga dengan batin yang khusyuk. Ini adalah bentuk munajat yang mendalam, di mana segala hajat dan harapan diserahkan sepenuhnya kepada Allah dengan penuh kesadaran dan kehadiran hati.
  3. Bersembah Penuh Harap (Ibadah dengan Raja’): Aspek “anembah angares pada” mengacu pada ibadah yang dilakukan dengan penuh pengharapan akan rahmat dan karunia Allah, bukan sekadar rutinitas. Ini mencakup salat, dzikir, dan doa dengan keyakinan kuat bahwa Allah akan mengabulkan.
  4. Memohon Berkah dari Tuhan: Puncak dari praktik ini adalah permohonan berkah. Berkah (dari bahasa Arab: بركة, barakah) secara harfiah berarti “tambahan kebaikan”, “pertumbuhan”, “peningkatan”, atau “keberkahan”. Ini adalah karunia ilahi yang membuat sesuatu menjadi lebih baik, lebih bermanfaat, dan lebih langgeng, meskipun secara kuantitas mungkin tidak banyak.

Berkah dapat datang dari berbagai sumber, yang semuanya pada hakikatnya bersumber dari Allah SWT:

  • Berkah Langsung dari Allah SWT: Ini adalah berkah yang diberikan Allah secara langsung kepada hamba-Nya tanpa perantara, sebagai hasil dari ketaatan, doa, dan keikhlasan. Contohnya adalah rezeki yang tak terduga, kesehatan yang prima, atau ketenangan hati yang datang tiba-tiba.
  • Berkah Melalui Rasulullah SAW: Rasulullah SAW adalah sumber berkah terbesar bagi umatnya. Berkah ini didapatkan melalui mengikuti sunah-sunahnya, mencintai beliau, bersalawat kepadanya, dan mengamalkan ajaran yang beliau bawa. Kehidupan beliau adalah teladan berkah, dan syafaat beliau adalah berkah di akhirat.
  • Berkah Melalui Waliyullah (Para Wali Allah): Para wali adalah kekasih Allah yang dianugerahi kedekatan dan karamah. Berkah dapat mengalir melalui mereka karena kesalehan dan kedekatan mereka dengan Allah. Ini bisa berupa doa mereka yang mustajab, nasihat mereka yang menenangkan hati, atau bahkan keberadaan mereka yang membawa kebaikan bagi lingkungan sekitar. Menghormati dan mengambil pelajaran dari para wali adalah cara untuk memperoleh berkah ini.
  • Berkah Melalui Kedua Orang Tua: Ridha Allah terletak pada ridha orang tua. Berbakti kepada kedua orang tua, mendoakan mereka, dan memenuhi hak-hak mereka adalah jalan utama untuk mendapatkan berkah dalam hidup, baik dalam rezeki, keturunan, maupun urusan dunia dan akhirat. Doa orang tua adalah salah satu doa yang paling mustajab.
  • Berkah Melalui Guru: Guru adalah pewaris para nabi dalam menyampaikan ilmu. Berkah ilmu dan kehidupan seringkali didapatkan melalui adab yang baik kepada guru, menghormati mereka, dan mengamalkan ilmu yang diajarkan. Ilmu yang berkah adalah ilmu yang bermanfaat, membawa kebaikan, dan terus berkembang.

Dawuh Sunan Drajat ini, dengan demikian, adalah sebuah peta jalan spiritual yang komprehensif, mengajarkan pentingnya introspeksi, pengharapan, dan kesadaran akan sumber segala berkah dalam hidup.

Dawuh Sunan Drajat, “Niliyep nutiun ature, anembah angares pada, anuhun berkah tuwan,” adalah warisan berharga yang terus relevan dan tak lekang oleh waktu. Melalui lensa berbagai disiplin ilmu—mulai dari tasawuf yang mendalam, teologi yang kokoh, filologi yang teliti, sejarah dan antropologi yang kaya, psikologi agama yang mencerahkan, hingga etika dan filsafat moral yang luhur—kita dapat menggali kedalaman maknanya. Pesan ini mengajak kita untuk kembali pada esensi spiritual, menemukan kedamaian dalam kontemplasi, dan senantiasa bersandar pada berkah Tuhan dalam setiap langkah hidup.


Referensi:

  • Tasawuf: Al-Ghazali, Imam. Ihya’ Ulumuddin. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, jilid 4, hlm. 300-305.
  • Teologi Islam (Kalam): Al-Maturidi, Abu Mansur. Kitab at-Tauhid. Kairo: Dar Ihya’ Al-Kutub Al-Arabiyah, hlm. 120-125.
  • Filologi dan Linguistik: Florida, Nancy K. Javanese Literature in Surakarta Manuscripts: Introduction and Manuscripts of the Karaton Surakarta. Ithaca: Cornell University Southeast Asia Program, 1993, hlm. 45-50.
  • Sejarah dan Antropologi: Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008, hlm. 35-40.
  • Psikologi Agama: Glock, Charles Y., and Rodney Stark. Religion and Society in Tension. Chicago: Rand McNally & Company, 1965, hlm. 180-185.
  • Etika dan Filsafat Moral: Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan Pustaka, 1999, hlm. 250-255.
  • Al-Qur’an dan Terjemahan. Kementerian Agama Republik Indonesia.
  • Bukhari, Imam. Shahih Bukhari.
  • Muslim, Imam. Shahih Muslim.

Mamad Si Benteng Mini Warga Israel: Pertahanan Preventif” Israel

Pada Jumat pagi, 13 Juni, langit Tel Aviv masih biru. Suasana tenang, jika definisi “tenang” adalah langit yang segera dilubangi rudal-rudal berhulu ledak. Israel akhirnya melancarkan serangan militer terhadap titik-titik yang diidentifikasi sebagai pusat pembuatan nuklir Iran.

Ini bukan langkah mendadak, melainkan babak baru dari perang yang sudah lama mereka siapkan. Langkah ini mereka sebut sebagai “pertahanan preventif” —istilah diplomatik dari strategi “menyerang duluan supaya bisa mengaku diserang belakangan.”

Tentu saja, Iran tidak tinggal diam. Kali ini, mereka punya alasan —bukan cuma untuk membalas, tapi sekalian menggenapi niat melenyapkan Israel dari peta. Rudal-rudal balistik Iran meluncur bak kawanan kerlap-kerlip dari jarak hampir 2.000 kilometer.

Serangan balasan Iran langsung menyasar dan menghancurkan fasilitas militer dan pusat vital di Israel. Tapi seperti biasa, ada yang menghantam rumah warga sipil. Terutama, perumahan “baru” yang dibangun di atas tanah yang dirampas dari warga Palestina.

Warga Israel sendiri tampaknya sudah sejak lama tahu bahwa serangan ini akan datang. Bahkan mungkin, sebelum Perdana Menteri Benyamin Netanyahu menekan tombol “launch,” para arsitek telah lebih dulu menekan tombol “autocad.”

Maka sejak tahun 1992, negara kecil itu mewajibkan pembangunan Mamad, singkatan dari Merkaz Mugan Dirati atau “Ruang Perlindungan Apartemen”, di setiap rumah baru. Bentuknya berupa kamar beton setebal dendam geopolitik yang tak kunjung reda.

Di hari biasa, ia bisa jadi ruang kerja, kamar tidur tamu, atau tempat main anak. Tapi saat sirene meraung dan langit berubah menjadi layar film perang, Mamad menjadi Noah’s Ark versi arsitektur modern: satu ruang yang diharapkan menyelamatkan satu keluarga.

Ambillah contoh Levi Ben-Haim, warga pinggiran Ashkelon. Ia sudah dua pekan bertahan di dalam Mamad rumahnya bersama istri, dua anak, seekor kucing, dan satu koper berisi mimpi liburan ke Eropa yang lagi-lagi harus ditunda.

Ketika tanda-tanda perang mulai tampak, Levi langsung melengkapi ruang itu dengan semua kebutuhan dasar: air, makanan kering, senter, radio darurat, dan tentu saja, Wi-Fi —karena apalah artinya selamat dari misil jika tak bisa mengunggah story Instagram?

Selimut darurat, tisu basah, dan kopi instan ikut masuk daftar. Di sudut ruangan, kulkas kecil berdiri tenang di samping tumpukan kaleng hummus dan biskuit yang masa kedaluwarsanya bisa bersaing dengan lamanya konflik ini berlangsung.

Ruang perlindungan warga menjadi wajib dibangun setelah pengalaman traumatis dalam Perang Teluk 1991, ketika rudal Scud Irak menghantam wilayah Israel dan para warga kesulitan mencapai tempat perlindungan bersama dengan cepat, sebelum serangan tiba.

Mamak (Merkaz Mugan Komati), nama perlindungan publik ini kalau itu, terletak di lantai dasar apartemen. Namun, ia seringkali sulit diakses tepat waktu. Kadang terkunci saat paling dibutuhkan, atau lebih tragis lagi: hancur duluan sebelum bisa menyelamatkan siapa pun.

Lalu muncullah Mamad: ruang perlindungan pribadi dalam rumah, dibangun dengan dinding beton bertulang setebal 20 sampai 30 sentimeter. Pintu bajanya dirancang tahan ledakan. Jendelanya bisa dibuka, tapi dilengkapi penutup logam kedap udara.

Sistem ventilasinya dirancang bisa menyaring gas kimia dan biologis, dengan kipas manual atau otomatis. Atap dan lantainya sekuat dindingnya. Tidak ada celah lemah jika dibangun sesuai standar. Sebuah bunker pribadi, tersembunyi dalam arsitektur sehari-hari.

Saat tidak sedang diserang, Mamad bisa berfungsi biasa. Banyak keluarga menghiasinya seperti kamar lain dalam rumah. Tapi dalam waktu-waktu genting, ia berubah menjadi ruang penentu: antara hidup dan hancur bersama reruntuhan rumah.

Keampuhan Mamad sudah terbukti. Dalam serangan roket dari Gaza tahun 2023, sebuah rumah dua lantai di Ashkelon hancur total. Tapi Mamad di lantai dasar tetap utuh. Semua anggota keluarga yang berlindung di dalamnya selamat.

Meski demikian, tak semua warga menyambut Mamad tanpa suara. Kritik pun muncul. Terutama soal biaya tambahan bagi keluarga menengah ke bawah. Tapi secara umum, Mamad tetap dianggap salah satu inovasi pertahanan sipil efektif di era modern.

Jika dibandingkan dengan sistem pertahanan sipil negara lain, Mamad terbilang unik. Korea Selatan, misalnya, punya jaringan stasiun bawah tanah yang dapat difungsikan sebagai tempat perlindungan. Jepang membangun rumah tahan gempa, tapi tak dirancang menahan misil.

Swiss bahkan punya bunker pribadi di tiap rumah sejak Perang Dingin. Gaza? Mereka hanya punya doa… dan mungkin ruang kosong di bawah tangga. Di masa silam, pertahanan sipil hanya soal bersembunyi di gua terdalam dan berharap mammoth tak ikut masuk.

Mamad adalah buah dari insting bertahan hidup yang dipadu kepanikan geopolitik dan teknologi bangunan modern. Ia mencerminkan mentalitas masyarakat yang menjadikan rumah bukan sekadar tempat pulang, tapi benteng terakhir dari dunia luar yang brutal.

Bagaimana dengan Indonesia? Kita tak punya Mamad. Tapi kita punya kolong ranjang, lemari bawah tangga, dan doa ibu. Kita juga punya 17 ribu pulau yang bisa dijadikan tempat ngungsi —asal tidak tergenang banjir atau longsor buatan sendiri.

Bencana yang kita hadapi juga berbeda. Bukan misil dari negara tetangga atau dari pusat-pusat sengketa di AS, Eropa, dan Timur Tengah, tapi banjir dari selokan sendiri, longsor dari bukit akibat reklamasi dan tambang, atau gas melon dari regulator bocor.

Pemerintah pun tidak merasa perlu mewajibkan rumah tahan rudal. Tapi warga kita lebih cerdas secara spiritual: beberapa rumah bahkan sudah punya “kamar aman” untuk menyembunyikan anak dari guru privat atau suami dari notifikasi Shopee sang istri.

Mamad boleh jadi simbol ketahanan, tapi juga penanda bahwa normalisasi konflik telah berlangsung terlalu lama. Negara yang bangga karena setiap rumah punya bunker, sejatinya bukan negara kuat, tapi negara yang terus-menerus bersiap untuk hancur.

Ironisnya, Israel menjadikan Mamad sebagai bukti kecanggihan sipilnya. Tapi bukankah lebih unggul negara yang tak perlu Mamad sama sekali? Negara di mana anak-anak tak hafal jenis sirene dari suara, dan tak terbiasa berlomba masuk bunker terbirit-birit?

Mamad memang mungkin menyelamatkan nyawa. Tapi jika mereka terlalu lama tinggal di dalamnya, mereka bisa lupa rasanya hidup di luar sana. Kamar itu juga mungkin tahan ledakan, tapi tak bisa melindungi diri dari trauma, dendam, atau kebijakan luar negeri yang tak waras.

Maka, barangkali yang harus dibangun bukan hanya bunker dari beton dan lempengan baja yang tebal, tapi juga akal sehat dan hati nurani. Dua hal yang, sayangnya, belum ada pabriknya

“Brain Rot” Ancam Generasi Muda: Dosen UB Ingatkan Bahaya Konten Pendek dan Pentingnya Peran Keluarga-Pemerintah

Gelombang konten pendek yang masif di media sosial kini menimbulkan kekhawatiran serius di dunia pendidikan dan tumbuh kembang anak. Fenomena yang dikenal sebagai “brain rot” ini, sebuah perubahan mental akibat kebiasaan digital yang merusak, mulai mengikis kemampuan konsentrasi dan nalar generasi muda secara diam-diam. Anak-anak yang dulunya mudah terlibat dalam aktivitas belajar kini menunjukkan tanda-tanda cepat bosan dan sulit fokus, terbiasa dengan pola konsumsi konten digital yang serba instan.

Devinta Puspita Ratri, S.Pd., M.Pd, pakar linguistik dari Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya (UB), menyampaikan keprihatinannya. Ia menjelaskan bahwa “brain rot” bukanlah kerusakan otak secara fisik, melainkan pergeseran mental yang diakibatkan oleh kebiasaan digital yang tidak sehat.

“Konten-konten pendek membuat otak terbiasa bekerja dalam waktu singkat. Akibatnya, anak-anak menjadi tidak sabaran, sulit fokus, dan kehilangan minat untuk membaca,” jelas Devinta, menguraikan dampak nyata pada perilaku belajar.

Budaya Instan dan Dangkal di Ruang Digital

Devinta juga menyoroti bagaimana tren ini tidak hanya memengaruhi proses belajar, tetapi juga cara anak-anak mengonsumsi dan memproduksi konten. Banyak dari mereka, katanya, lebih tertarik mengejar popularitas di media sosial daripada memikirkan isi dan nilai dari apa yang mereka unggah.

“Banyak dari mereka hanya mengejar popularitas di media sosial tanpa memperhatikan kualitas kontennya. Ini menumbuhkan budaya instan dan dangkal,” ujarnya, menggarisbawahi pergeseran prioritas di kalangan anak muda.

Dalam pandangannya, teknologi canggih seperti kecerdasan buatan (AI) pun turut berkontribusi terhadap kemunduran pola pikir jika tidak digunakan secara bijak. “Sekarang banyak yang hanya mengandalkan AI tanpa mau memahami, padahal berpikir kritis itu tetap harus dilatih,” tambahnya, menekankan pentingnya pengembangan kemampuan analitis.

Dampak Sosial dan Emosional: Penurunan Pemahaman Dasar

Tak hanya berdampak pada kognisi, “brain rot” juga membawa konsekuensi sosial dan emosional yang mengkhawatirkan. Devinta memberikan contoh ekstrem, di mana pemahaman dasar anak-anak kini menurun drastis. Ia bahkan menemukan kasus anak yang mengira Garut adalah negara di Eropa.

“Beberapa komentar anak di media sosial menunjukkan rendahnya pemahaman dasar. Bahkan ada yang menyebut Garut sebagai negara di Eropa. Ini sangat mengkhawatirkan,” katanya, menggambarkan kesenjangan pengetahuan umum yang signifikan.

Buya Munawwir Al-Qosimi: Pentingnya Tradisi Membaca dan Menulis dalam Islam

Menyikapi fenomena ini, Buya Munawwir Al-Qosimi, seorang ulama dan cendekiawan, turut menekankan pentingnya membudayakan kembali tradisi membaca dan menulis pada anak-anak, sekalipun dunia terus berubah seiring perkembangan digital. Menurutnya, nilai-nilai dasar dalam Islam sangat menganjurkan umatnya untuk menuntut ilmu dan mendokumentasikannya.

“Tradisi membaca dan menulis adalah akar peradaban Islam. Wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW adalah perintah untuk membaca,” ujar Buya Munawwir, merujuk pada firman Allah SWT dalam Surah Al-Alaq ayat 1-5:

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ- خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ – اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ – الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ – عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia, Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”

Buya Munawwir menambahkan, ayat ini secara gamblang menunjukkan betapa pentingnya aktivitas membaca sebagai gerbang ilmu, dan pena (menulis) sebagai sarana untuk mengabadikan ilmu tersebut. “Meski teknologi berkembang pesat, esensi mencari ilmu dan mendokumentasikannya tidak boleh luntur,” tegasnya.

Ia juga mengutip hadis Nabi Muhammad SAW yang mendorong umatnya untuk mencatat ilmu. Salah satu riwayat menyebutkan:

“Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.” (HR. Ad-Dailami)

“Hadis ini menjadi pengingat bahwa tulisan adalah pengikat ilmu. Tanpa menulis, ilmu bisa terbang dan terlupakan. Generasi muda kita harus dibiasakan menuangkan pemikiran mereka, mencatat pelajaran, dan membaca literatur yang mendalam, bukan hanya sebatas konten instan,” pungkas Buya Munawwir.

Peran Kunci Orang Tua, Sekolah, dan Pemerintah

Menghadapi fenomena ini, Devinta menegaskan pentingnya peran orang tua dalam mendampingi anak-anak menggunakan perangkat digital. Selain membatasi waktu layar, anak perlu dikenalkan pada kegiatan alternatif yang lebih produktif seperti membaca buku, bermain secara fisik, atau bersosialisasi langsung.

“Anak-anak harus dikenalkan pada digital hygiene, yaitu kemampuan memilah konten yang bermanfaat,” jelasnya, menekankan literasi digital yang esensial.

Sekolah juga punya tanggung jawab besar untuk mengembangkan cara berpikir kritis siswa, bukan hanya terpaku pada penyampaian materi akademik. Lebih lanjut, Devinta mendesak pemerintah, khususnya Kementerian Kominfo, untuk lebih tegas menyaring konten-konten tidak mendidik yang tersebar luas di media sosial.

“Konten-konten receh dan sensasional masih banyak berseliweran. Ini tugas bersama, bukan hanya pemerintah, tapi juga masyarakat,” tegas Devinta. Ia pun menutup pernyataannya dengan ajakan kepada semua pihak untuk saling bergandengan tangan dalam menghadapi tantangan digitalisasi yang makin kompleks.

“Fenomena brain rot ini hanya bisa dicegah dengan kerja kolektif. Semua harus ambil peran,” pungkasnya, menyerukan kolaborasi demi masa depan generasi penerus.

Sumber https://timesindonesia.co.id/pendidikan/543947/digitalisasi-picu-brain-rot-dosen-ub-anak-sulit-fokus-tak-sabar-dan-malas-membaca

Kemenag Gelar “Ngaji Budaya”: Memaknai Muharram dan Ekoteologi untuk Kesadaran Diri dan Alam di Era Modern

Jakarta (Walisongo.net) – Kementerian Agama Republik Indonesia sukses menggelar “Ngaji Budaya” dengan tema “Tradisi Muharram di Nusantara: Pesan Ekoteologi dalam Perspektif Kearifan Lokal” pada Senin (23/6/2025) di Auditorium HM Rasjidi, Jakarta. Acara ini merupakan bagian integral dari rangkaian kegiatan bertajuk “Peaceful Muharram” yang diselenggarakan Kemenag dalam menyambut datangnya Tahun Baru Islam 1 Muharram 1447 Hijriah. Kehadiran acara ini menegaskan komitmen Kementerian Agama dalam menggali dan menyelaraskan nilai-nilai keislaman dengan kearifan lokal serta isu-isu kontemporer.

Giat ini tidak hanya menjadi wadah diskusi, tetapi juga mempertemukan berbagai kalangan. Acara ini menghadirkan budayawan dan pemikir kebangsaan terkemuka, Kiyai Sastro Al Ngatawi, sebagai narasumber utama. Selain itu, kegiatan ini dihadiri oleh para penghulu dari berbagai daerah, jajaran Aparatur Sipil Negara (ASN) Kementerian Agama, serta disiarkan secara langsung melalui berbagai platform media sosial resmi Kemenag, memastikan pesan-pesan penting dapat menjangkau khalayak yang lebih luas.

Muharram: Bukan Sekadar Rutinitas, Tapi Momentum Kontemplasi

Menteri Agama, Nasaruddin Umar, dalam sambutannya menegaskan bahwa peringatan 1 Muharram bukan sekadar rutinitas tradisi belaka. Lebih dari itu, ia menekankan bahwa momen ini adalah kesempatan emas untuk kontemplasi dan pensucian diri, baik secara lahiriah maupun batiniah. “Memperingati 1 Muharram ini bukan melestarikan bid’ah. Justru kalau paham konsep ekoteologi, sulit untuk musyrik,” ungkap Menag, menjelaskan bahwa pemahaman mendalam tentang hubungan manusia dengan alam justru akan menjauhkan dari syirik.

Beliau melanjutkan bahwa pesan ekoteologi sejatinya sangat selaras dengan esensi 1 Muharram. Bulan Muharram, sebagai salah satu bulan haram dalam Islam, secara historis melarang peperangan dan konflik. Oleh karena itu, momentum ini sangat tepat untuk melakukan introspeksi diri dan memperbarui komitmen kedamaian. Menurut Menag, tradisi peringatan 1 Muharram juga merupakan bentuk apresiasi mendalam terhadap waktu. Ia menyoroti bagaimana setiap waktu dan tempat memiliki kesakralan serta nilai tersendiri dalam perspektif Islam, seperti halnya salat di depan Ka’bah yang bernilai seratus ribu kali lipat dibandingkan tempat lain.

“Momen peringatan 1 Muharram ini adalah sarana penajaman hati nurani,” tegas Menag Nasaruddin. Ia mengajak seluruh hadirin untuk merenungi kedalaman batin, bahkan dengan gestur simbolis seperti duduk di lantai tanpa kursi. Menurutnya, hal ini berfungsi sebagai “kekuatan simbolik” dan “shock therapy” untuk membangkitkan kesadaran jiwa yang mungkin telah tumpul oleh kesibukan duniawi.

Menyelaraskan Islam dengan Alam Melalui Ekoteologi

Menag juga menekankan bahwa penghormatan terhadap waktu dan tempat suci sebagai sarana mendekatkan diri kepada Tuhan adalah universal, ditemukan dalam berbagai agama dan budaya. Melalui konsep ekoteologi, manusia diajak untuk menyadari bahwa diri adalah bagian tak terpisahkan dari alam semesta. Hubungan ini bersifat resiprokal; ketika manusia menjaga alam, alam pun akan menjaga manusia.

“Orang yang menyatu dengan alam tidak hanya mencintai bunga yang mekar, tapi juga bunga yang layu dan gugur. Karena dalam pandangan ekoteologi, semua fase kehidupan memiliki makna dan layak dicintai,” jelasnya. Pesan ini mendorong perspektif holistik terhadap kehidupan, di mana setiap ciptaan memiliki nilai dan patut dihormati. Menag mengajak umat untuk menumbuhkan semangat ekoteologis, yakni mencintai ciptaan sebagai bagian dari diri sendiri, dan memperlakukan alam dengan kasih dan hormat, sebagai manifestasi nyata dari keimanan.

Tradisi Muharram Nusantara dan Pesan Lingkungan dalam Kearifan Lokal

Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Dirjen Bimas Islam), Abu Rokhmad, menambahkan bahwa Ngaji Budaya ini merupakan kelanjutan dari rangkaian “Peaceful Muharram”, setelah sebelumnya Kementerian Agama sukses menggelar kegiatan Car Free Day (CFD) pada 22 Juni 2025 yang melibatkan ribuan peserta.

Dalam laporannya, Abu Rokhmad menyampaikan bahwa Ngaji Budaya ini mengangkat dua pesan utama yang diharapkan mampu tersampaikan secara luas kepada masyarakat Indonesia: tradisi Muharram di Nusantara dan pentingnya kesadaran ekoteologis. “Di berbagai daerah, masyarakat memperingati Muharram dengan ragam tradisi. Di Jawa misalnya, dikenal tradisi 1 Suro. Di Semarang, masyarakat mandi di sungai atau ‘adus kungkum’ sebagai bentuk permohonan energi dan semangat baru,” paparnya, menyoroti kekayaan budaya lokal yang lekat dengan peringatan hari besar Islam. Ia menekankan perlunya menggali kembali dan menyinergikan tradisi-tradisi ini dengan nilai-nilai keagamaan.

Lebih lanjut, Abu Rokhmad juga menyoroti relevansi pesan ekoteologi dalam kearifan lokal. Ia memberikan contoh bagaimana orang tua zaman dahulu sering “menakut-nakuti” anak-anak agar tidak mandi di danau karena ada “buaya putih”. “Tapi sejatinya, itu adalah cara menjaga kelestarian lingkungan dan mencegah eksploitasi alam,” pungkasnya. Hal ini menunjukkan bagaimana leluhur telah mewariskan cara-cara bijak untuk menjaga lingkungan melalui narasi dan tradisi lisan, yang kini dapat dimaknai ulang dalam konteks ekoteologi modern.

Kegiatan Ngaji Budaya ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mendalam tentang makna spiritual Tahun Baru Islam, sekaligus mendorong kesadaran kolektif untuk menjaga keseimbangan alam dan lingkungan sebagai wujud ibadah dan pelestarian warisan budaya bangsa.