Kemenag Gelar “Ngaji Budaya”: Memaknai Muharram dan Ekoteologi untuk Kesadaran Diri dan Alam di Era Modern

Tim Redaksi Walisongo, Selasa, 24 Juni 2025 06:42 WIB

Jakarta (Walisongo.net) – Kementerian Agama Republik Indonesia sukses menggelar “Ngaji Budaya” dengan tema “Tradisi Muharram di Nusantara: Pesan Ekoteologi dalam Perspektif Kearifan Lokal” pada Senin (23/6/2025) di Auditorium HM Rasjidi, Jakarta. Acara ini merupakan bagian integral dari rangkaian kegiatan bertajuk “Peaceful Muharram” yang diselenggarakan Kemenag dalam menyambut datangnya Tahun Baru Islam 1 Muharram 1447 Hijriah. Kehadiran acara ini menegaskan komitmen Kementerian Agama dalam menggali dan menyelaraskan nilai-nilai keislaman dengan kearifan lokal serta isu-isu kontemporer.

Giat ini tidak hanya menjadi wadah diskusi, tetapi juga mempertemukan berbagai kalangan. Acara ini menghadirkan budayawan dan pemikir kebangsaan terkemuka, Kiyai Sastro Al Ngatawi, sebagai narasumber utama. Selain itu, kegiatan ini dihadiri oleh para penghulu dari berbagai daerah, jajaran Aparatur Sipil Negara (ASN) Kementerian Agama, serta disiarkan secara langsung melalui berbagai platform media sosial resmi Kemenag, memastikan pesan-pesan penting dapat menjangkau khalayak yang lebih luas.

Muharram: Bukan Sekadar Rutinitas, Tapi Momentum Kontemplasi

Menteri Agama, Nasaruddin Umar, dalam sambutannya menegaskan bahwa peringatan 1 Muharram bukan sekadar rutinitas tradisi belaka. Lebih dari itu, ia menekankan bahwa momen ini adalah kesempatan emas untuk kontemplasi dan pensucian diri, baik secara lahiriah maupun batiniah. “Memperingati 1 Muharram ini bukan melestarikan bid’ah. Justru kalau paham konsep ekoteologi, sulit untuk musyrik,” ungkap Menag, menjelaskan bahwa pemahaman mendalam tentang hubungan manusia dengan alam justru akan menjauhkan dari syirik.

Beliau melanjutkan bahwa pesan ekoteologi sejatinya sangat selaras dengan esensi 1 Muharram. Bulan Muharram, sebagai salah satu bulan haram dalam Islam, secara historis melarang peperangan dan konflik. Oleh karena itu, momentum ini sangat tepat untuk melakukan introspeksi diri dan memperbarui komitmen kedamaian. Menurut Menag, tradisi peringatan 1 Muharram juga merupakan bentuk apresiasi mendalam terhadap waktu. Ia menyoroti bagaimana setiap waktu dan tempat memiliki kesakralan serta nilai tersendiri dalam perspektif Islam, seperti halnya salat di depan Ka’bah yang bernilai seratus ribu kali lipat dibandingkan tempat lain.

Baca Juga  Rencong Masih Tajam: ada senjata yang ingin dibuat lebih tajam dan diam-diam: Surat Keputusan Kemendagri.

“Momen peringatan 1 Muharram ini adalah sarana penajaman hati nurani,” tegas Menag Nasaruddin. Ia mengajak seluruh hadirin untuk merenungi kedalaman batin, bahkan dengan gestur simbolis seperti duduk di lantai tanpa kursi. Menurutnya, hal ini berfungsi sebagai “kekuatan simbolik” dan “shock therapy” untuk membangkitkan kesadaran jiwa yang mungkin telah tumpul oleh kesibukan duniawi.

Menyelaraskan Islam dengan Alam Melalui Ekoteologi

Menag juga menekankan bahwa penghormatan terhadap waktu dan tempat suci sebagai sarana mendekatkan diri kepada Tuhan adalah universal, ditemukan dalam berbagai agama dan budaya. Melalui konsep ekoteologi, manusia diajak untuk menyadari bahwa diri adalah bagian tak terpisahkan dari alam semesta. Hubungan ini bersifat resiprokal; ketika manusia menjaga alam, alam pun akan menjaga manusia.

“Orang yang menyatu dengan alam tidak hanya mencintai bunga yang mekar, tapi juga bunga yang layu dan gugur. Karena dalam pandangan ekoteologi, semua fase kehidupan memiliki makna dan layak dicintai,” jelasnya. Pesan ini mendorong perspektif holistik terhadap kehidupan, di mana setiap ciptaan memiliki nilai dan patut dihormati. Menag mengajak umat untuk menumbuhkan semangat ekoteologis, yakni mencintai ciptaan sebagai bagian dari diri sendiri, dan memperlakukan alam dengan kasih dan hormat, sebagai manifestasi nyata dari keimanan.

Tradisi Muharram Nusantara dan Pesan Lingkungan dalam Kearifan Lokal

Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Dirjen Bimas Islam), Abu Rokhmad, menambahkan bahwa Ngaji Budaya ini merupakan kelanjutan dari rangkaian “Peaceful Muharram”, setelah sebelumnya Kementerian Agama sukses menggelar kegiatan Car Free Day (CFD) pada 22 Juni 2025 yang melibatkan ribuan peserta.

Dalam laporannya, Abu Rokhmad menyampaikan bahwa Ngaji Budaya ini mengangkat dua pesan utama yang diharapkan mampu tersampaikan secara luas kepada masyarakat Indonesia: tradisi Muharram di Nusantara dan pentingnya kesadaran ekoteologis. “Di berbagai daerah, masyarakat memperingati Muharram dengan ragam tradisi. Di Jawa misalnya, dikenal tradisi 1 Suro. Di Semarang, masyarakat mandi di sungai atau ‘adus kungkum’ sebagai bentuk permohonan energi dan semangat baru,” paparnya, menyoroti kekayaan budaya lokal yang lekat dengan peringatan hari besar Islam. Ia menekankan perlunya menggali kembali dan menyinergikan tradisi-tradisi ini dengan nilai-nilai keagamaan.

Baca Juga  Kontroversi Visa Haji Furoda: Ribuan Jemaah Gagal Berangkat, Sorotan Nasional Terhadap Pengelolaan Ibadah Haji

Lebih lanjut, Abu Rokhmad juga menyoroti relevansi pesan ekoteologi dalam kearifan lokal. Ia memberikan contoh bagaimana orang tua zaman dahulu sering “menakut-nakuti” anak-anak agar tidak mandi di danau karena ada “buaya putih”. “Tapi sejatinya, itu adalah cara menjaga kelestarian lingkungan dan mencegah eksploitasi alam,” pungkasnya. Hal ini menunjukkan bagaimana leluhur telah mewariskan cara-cara bijak untuk menjaga lingkungan melalui narasi dan tradisi lisan, yang kini dapat dimaknai ulang dalam konteks ekoteologi modern.

Kegiatan Ngaji Budaya ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mendalam tentang makna spiritual Tahun Baru Islam, sekaligus mendorong kesadaran kolektif untuk menjaga keseimbangan alam dan lingkungan sebagai wujud ibadah dan pelestarian warisan budaya bangsa.

Sharing is Caring