Keluarga Muslim dan Industri AI: Menjaga Iman di Tengah Gelombang Teknologi
Tim Redaksi Walisongo, Selasa, 3 Juni 2025 12:45 WIB

Di era Kecerdasan Buatan (AI), keluarga Muslim tidak luput dari dampak dan dinamika yang ditimbulkan oleh kemajuan teknologi. Kehidupan sehari-hari kini diramaikan oleh aplikasi pintar, platform digital, dan perangkat berbasis AI yang hadir dalam genggaman—dari pengingat waktu salat, akses mudah ke tafsir dan hadits, hingga konsultasi fatwa secara daring.
Salah satu inovasi yang mencerminkan respons keagamaan terhadap perkembangan ini adalah peluncuran aplikasi “Fatwa Pro” oleh Dar al-Ifta Mesir. Aplikasi ini menyediakan layanan multibahasa dan menjadi rujukan autentik bagi komunitas Muslim di Barat. Fatwa Pro hadir sebagai tameng melawan ekstremisme, penyimpangan akidah, dan gelombang ateisme digital—seraya menegaskan bahwa Islam tidak pernah bertentangan dengan teknologi, selama etika menjadi sandaran utamanya.
Etika Islam dan Tantangan AI
Meski teknologi menawarkan banyak manfaat, umat Islam perlu tetap waspada terhadap implikasi etis dari AI: pelanggaran privasi, bias algoritma, hingga penyebaran ujaran kebencian dan misinformasi. Islam telah memberikan pedoman etika yang sangat relevan untuk era ini, seperti keadilan (‘adl
), amanah, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Ayat-ayat seperti:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan…”
(QS. An-Nahl: 90)
menjadi dasar bahwa penggunaan teknologi, termasuk AI, haruslah selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Keluarga Digital dan Krisis Komunikasi
Teknologi juga membawa dampak yang lebih sunyi namun serius: keterasingan dalam rumah tangga. Perangkat pintar kerap menciptakan “gelembung pribadi” yang mengikis komunikasi antarkeluarga. Anak-anak generasi Z kini tumbuh dalam ruang digital yang lebih akrab daripada ruang keluarga, sehingga tak jarang mereka merasa jauh dari orang tua yang seharusnya menjadi sandaran utama.
Kondisi ini kadang memperparah risiko munculnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Ketika komunikasi gagal, dan empati hilang, kekerasan kerap menjadi pelampiasan. Padahal, Rasulullah ﷺ telah memberikan teladan agung:
“Rasulullah ﷺ tidak pernah memukul siapa pun dengan tangannya, baik istri maupun pembantu, kecuali dalam jihad fi sabilillah.”
(HR. Muslim)
Al-Qur’an pun memerintahkan pendekatan penuh rahmah:
“Dan perintahkanlah keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya…”
(QS. Ṭaha: 132)
“Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.”
(QS. Al-Baqarah: 83)
Inilah “etika belas kasih” (rahmah
) yang seharusnya menjadi fondasi interaksi dalam keluarga Muslim.
Mungkinkah AI Membantu?
Teknologi AI memang tidak akan pernah menggantikan kasih sayang manusia. Namun, ia dapat menjadi alat bantu untuk deteksi dini terhadap kekerasan rumah tangga, memberikan informasi dan rujukan hukum syariah, serta membantu korban mencari jalan keluar yang aman dan sesuai syariat. Aplikasi berbasis AI dapat mengidentifikasi risiko, memberikan konsultasi daring yang aman, dan membantu menilai pola perilaku yang mengarah pada kekerasan.
Tetapi peran manusia—terutama tokoh agama, psikolog, dan pendidik—tetap tak tergantikan. AI hanya alat, bukan solusi utuh. Sebagaimana firman Allah:
“Tanyalah kepada ahlul dzikr (orang yang berilmu) jika kamu tidak mengetahui.”
(QS. An-Nahl: 43)
Prinsipnya jelas: teknologi mendampingi, bukan menggantikan. Etika tetap di depan, bukan dikorbankan.
Penutup: Merajut Iman dan Hikmah Digital
Keluarga Muslim harus menjadi pelopor dalam menyelaraskan iman dan teknologi. AI bisa menjadi bagian dari wasilah dakwah, pendidikan, bahkan perlindungan keluarga—selama penggunaannya dipandu oleh syariat dan nilai-nilai Islam.
Perlu disadari bahwa masa depan keluarga Muslim di era AI bukanlah soal memilih antara iman atau teknologi, melainkan bagaimana keduanya berjalan seiring, saling menguatkan.
📚 Disarikan dan disesuaikan dari artikel resmi Dar al-Ifta Mesir:
https://www.dar-alifta.org/en/article/details/8863/the-muslim-family-and-ai-industry