Jejak Islam di Balik Kemegahan Majapahit: Dua Nisan Saksi Bisu Awal Mula Penyebaran di Era Hayam Wuruk
Tim Redaksi Walisongo, Minggu, 22 Juni 2025 09:31 WIB
Kerajaan Majapahit, di bawah tampuk kepemimpinan Raja Hayam Wuruk (memerintah 1350-1389 M), seringkali diidentikkan dengan puncak kejayaan peradaban Hindu-Buddha di Nusantara. Karya-karya monumental seperti Negarakertagama yang mengisahkan kemaharajaan besar dengan wilayah pengaruh luas, seolah mengukuhkan citra tersebut. Namun, di tengah kemilau Hindu-Buddha itu, sebuah narasi penting lain mulai terkuak: benih-benih agama Islam ternyata telah mulai tumbuh dan menyebar, bahkan di jantung pusat pemerintahan kerajaan.
Penemuan dua situs bersejarah, Makam Tralaya dan Makam Puteri Campa, menjadi bukti konkret yang tak terbantahkan mengenai kehadiran dan perkembangan Islam di wilayah yang kini dikenal sebagai Jawa Timur, jauh sebelum era Walisongo yang lebih dikenal luas dalam historiografi Islam di Jawa. Temuan ini menantang pandangan tradisional dan memperkaya pemahaman kita tentang kompleksitas Majapahit.
Makam Tralaya: Ketika Kalimat Tayyibah Terukir di Tanah Majapahit
Kompleks Makam Tralaya, yang berlokasi strategis di area yang diyakini sebagai bekas ibu kota Majapahit (sekarang Trowulan, Mojokerto), telah menjadi magnet bagi para sejarawan dan arkeolog sejak lama. Sejumlah peneliti terkemuka dari masa kolonial hingga modern, seperti PJ Veth, Verbeek, Knebel, Krom, dan L Ch Damais, telah menaruh perhatian besar pada situs ini, mencoba mengurai misteri di balik batu-batu nisannya.
PJ Veth, seorang orientalis dan ahli geografi Belanda, adalah salah satu yang pertama kali mengungkapkan keberadaan data Islam di Makam Tralaya. Dalam analisisnya, ia mencatat adanya inskripsi pada batu nisan di Makam Tralaya yang ditulis dengan kombinasi huruf Jawa kuno dan Arab. Ini adalah temuan krusial, mengingat mayoritas artefak sezaman di Majapahit didominasi oleh aksara dan simbol Hindu-Buddha.

Lebih lanjut, Sjamsudduha dalam karyanya yang monumental, “Corak dan Gerak Hinduisme dan Islam di Jawa Timur,” menguraikan detail inskripsi tersebut. Ia menjelaskan bahwa meskipun angka tahun pada nisan-nisan umumnya tercatat dalam huruf Jawa kuno dan tahun Saka, di balik beberapa nisan itu terdapat tulisan Arab yang sangat penting: kalimat tayyibah (seperti “La ilaha illallah” atau “Bismillah”). Kehadiran kalimat-kalimat sakral dalam Islam ini secara definitif menunjukkan bahwa mereka yang dimakamkan di sana adalah pemeluk agama Islam.
Verbeek, dalam laporannya, pernah menyebutkan adanya lima nisan yang jelas bertuliskan Arab, meskipun beberapa di antaranya kini telah hilang akibat faktor alam dan tangan manusia. Namun, dari nisan-nisan yang masih bertahan di kompleks Makam Tralaya, beberapa tercatat bertarikh tahun 1397 Saka dan 1399 Saka. Jika dikonversi ke Masehi, dengan perhitungan kasar (tahun Saka + 78 tahun), ini menunjukkan sekitar tahun 1475-1477 Masehi. Namun, penting untuk dicatat bahwa penelitian lebih lanjut dan pembacaan angka tahun yang tergores pada nisan-nisan di Tralaya menyimpulkan rentang waktu yang lebih luas, yaitu dari tahun 1298 Saka hingga 1533 Saka (sekitar 1376 Masehi hingga 1611 Masehi).
Rentang waktu yang luas ini sangat signifikan. Awalnya, yaitu sekitar 1376 Masehi, berada dalam periode aktif pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350-1389 M). Hal ini secara tegas mengindikasikan bahwa di ibu kota Kerajaan Majapahit atau di wilayah sekitarnya, pada masa keemasan Hayam Wuruk, sudah ada komunitas pemeluk agama Islam. Peneliti terkemuka seperti M.C. Ricklefs bahkan berpendapat bahwa pemeluk-pemeluk Islam awal ini adalah orang-orang Jawa asli, menepis anggapan bahwa Islam hanya dibawa oleh pedagang asing.
Makam Puteri Campa: Islam di Lingkaran Dalam Istana?
Selain Makam Tralaya, sebuah temuan nisan lain yang tak kalah strategis berada di Makam Puteri Campa, yang terletak di sebelah tenggara Museum Trowulan, Mojokerto. Nisan ini menampilkan kombinasi unik dari inskripsi angka tahun dengan huruf Kawi (Jawa kuno) dan Arab, serta dilengkapi dengan gambar yang kuat diduga merupakan lambang Kerajaan Majapahit.
Identitas “Puteri Campa” itu sendiri telah menjadi topik perdebatan hangat di kalangan sejarawan. Beberapa narasi tradisional dan babad Jawa mengaitkannya dengan seorang bibi dari Sunan Ampel, salah satu Walisongo terkemuka, yang kemudian dipercaya menjadi istri Raja Majapahit.
HJ De Graaf, seorang sejarawan Belanda yang banyak meneliti sejarah Jawa, sebagaimana dijelaskan kembali oleh Sjamsudduha dalam bukunya, menyatakan bahwa Puteri Campa ini adalah istri raja Majapahit yang terakhir. Sementara itu, ada pendapat lain yang lebih spesifik yang menyebutkan Puteri Campa merupakan istri dari Raja Majapahit Bhre Tumapel, yang berkuasa antara 1447-1451 Masehi.
Terlepas dari perbedaan penafsiran mengenai raja Majapahit mana yang ia nikahi, keberadaan nisan Puteri Campa dengan inskripsi Islam dan lambang kerajaan adalah bukti yang sangat kuat. Ini mengisyaratkan bahwa ia adalah istri raja, atau setidaknya seorang tokoh yang sangat berpengaruh dan termasuk dalam lingkaran dalam sistem keprabuan (kerajaan) Majapahit. Hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak hanya menyebar di kalangan rakyat biasa atau pedagang, tetapi juga telah menembus strata sosial tertinggi dan mungkin saja memengaruhi dinamika internal istana.
Menafsirkan Kembali Sejarah: Islamisasi yang Bertahap dan Damai
Penemuan-penemuan di Makam Tralaya dan Makam Puteri Campa memberikan perspektif yang lebih kaya dan bernuansa tentang sejarah Majapahit dan proses islamisasi di Nusantara. Kisah Majapahit tidak lagi sekadar tentang kejayaan Hindu-Buddha yang kemudian runtuh, tetapi juga tentang sebuah entitas kompleks yang secara perlahan namun pasti telah berinteraksi dan mengasimilasi elemen-elemen Islam dalam masyarakatnya.
Nisan-nisan ini menjadi bukti nyata bahwa proses islamisasi di Jawa dan Nusantara bukanlah peristiwa instan atau melalui penaklukan militer semata, melainkan sebuah proses panjang yang bertahap, damai, dan mungkin terjadi melalui jalur perdagangan, pernikahan, serta akulturasi budaya. Kehadiran komunitas Muslim di pusat kekuasaan Majapahit menunjukkan adanya toleransi beragama dan koeksistensi yang harmonis, setidaknya pada periode-periode awal.
Jejak-jejak ini juga menjadi pengingat bagi kita bahwa sejarah adalah mosaik yang terus diperkaya dengan temuan-temuan baru. Dengan terus menggali dan menafsirkan ulang bukti-bukti arkeologis, kita dapat memahami masa lalu dengan lebih komprehensif, menghilangkan mitos, dan memberikan apresiasi yang lebih mendalam terhadap kompleksitas perjalanan peradaban Nusantara.

Sumber-Sumber Referensi:
- Buku:
- Sjamsudduha. Corak dan Gerak Hinduisme dan Islam di Jawa Timur. (Untuk akurasi, jika memungkinkan, sertakan detail penerbit dan tahun terbit).
- M.C. Ricklefs. A History of Modern Indonesia Since c.1200. (Edisi dan penerbit terbaru akan lebih baik).
- Peneliti/Sejarawan yang Disebutkan:
- PJ Veth (Misalnya, merujuk pada karya-karya terkait geografi dan etnografi Nusantara).
- J.J. Ras atau H.J. de Graaf (Mengenai penelitian mereka tentang sejarah Jawa dan Islam di Indonesia).
- Verbeek, Knebel, Krom, L Ch Damais (Karya-karya mereka umumnya ditemukan dalam laporan arkeologi atau jurnal ilmiah Belanda tentang Indonesia).