Kafalah Yatim-Dhuafa
Bea Siswa Mahasantri
Walisongo Tanggap

Ironi Pembelaan Nasab: Ketika Ulama Memilih Diam untuk Walisongo, Bersuara Lantang untuk Ba’alawi

Tim Redaksi Walisongo, Kamis, 5 Juni 2025 00:49 WIB

Berapa waktu terakhir, publik disuguhi sebuah fenomena yang cukup mencengangkan dan memantik pertanyaan besar di benak kita: mengapa begitu banyak ulama di negeri ini, yang seharusnya menjadi garda terdepan pembela kebenaran, justru terkesan pasif bahkan bungkam ketika nasab Walisongo dan keturunannya diragukan atau bahkan dibatalkan oleh oknum-oknum tertentu? Namun, ketika nasab Ba’alawi dipertanyakan oleh Kiai Imaduddin, tiba-tiba berbagai suara pembelaan muncul dari para ulama, seolah mengabaikan prioritas dan sejarah panjang di bumi Nusantara ini.

Bukankah ini sebuah ironi yang mendalam?

Walisongo, para penyebar Islam di tanah Jawa yang agung, adalah pahlawan peradaban kita. Mereka bukan hanya membawa ajaran Islam, tetapi juga membangun fondasi budaya, sosial, dan spiritual yang kokoh hingga kini. Peran mereka tak terbantahkan, jejak-jejak mereka terukir jelas dalam sejarah bangsa. Perlu ditekankan, sebagian dari Walisongo adalah dzuriyah Rasulullah SAW yang lebih dahulu hadir di negeri ini, jauh sebelum marga-marga lain datang.

Namun, uniknya, para Walisongo mengajarkan agar tidak terlalu membanggakan nasab di negeri ini. Mengapa? Agar dakwah Islam dapat diterima dengan baik oleh masyarakat luas yang majemuk, tanpa hambatan sosial atau kasta. Mereka mengedepankan substansi ajaran dan akhlak mulia, bukan superioritas keturunan. Inilah salah satu kunci keberhasilan dakwah mereka yang merangkul dan mempersatukan.

Namun, kenyataannya hari ini? Ketika ada pihak-pihak yang mencoba meragukan atau bahkan secara terang-terangan membatalkan nasab Walisongo dan keturunan mereka, suara pembelaan dari para ulama terasa sayup-sayup, bahkan cenderung absen. Seolah-olah, pembatalan nasab para pionir Islam di Nusantara ini bukanlah masalah yang urgen untuk diperhatikan.

Kontrasnya, ketika Kiai Imaduddin mengeluarkan pernyataan tentang nasab Ba’alawi yang tidak bersambung kepada Rasulullah SAW, responsnya sungguh luar biasa. Gelombang pembelaan dari berbagai kalangan ulama, baik melalui forum resmi maupun media sosial, begitu massif dan terorganisir. Mereka seolah berlomba-lomba untuk menegaskan validitas nasab Ba’alawi.

Baca Juga  Buya Munawwir al-Qosimi: Putusan MK Soal Sekolah Gratis Harus Berpihak pada Keadilan dan Eksistensi Madrasah/Sekolah Swasta

Pertanyaan besar yang muncul adalah: mengapa prioritas ini terbalik?

Apakah ada anggapan bahwa nasab Ba’alawi lebih mulia, lebih penting, atau lebih sensitif untuk dibela dibandingkan nasab Walisongo? Padahal, secara historis dan kontekstual, Walisongo memiliki ikatan yang jauh lebih kuat dan langsung dengan pembentukan identitas keislaman di Indonesia. Mereka adalah leluhur spiritual kita, dan menjaga kemuliaan serta keaslian nasab mereka adalah bentuk penghormatan terhadap sejarah dan warisan nenek moyang.

Kita perlu merenungkan kembali, sejauh mana para ulama kita menjaga amanah keilmuan dan keadilan. Apakah keberpihakan mereka didasarkan pada kepentingan syiar Islam yang lebih luas, ataukah ada faktor-faktor lain yang memengaruhi pilihan mereka?

Membantah Klaim “Terputusnya” Nasab Walisongo

Pernyataan beberapa oknum Ba’alawi yang mengklaim bahwa Walisongo tidak memiliki keturunan laki-laki dan nasab mereka sudah terputus, adalah pernyataan yang tidak berdasar dan menyesatkan. Fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Buktinya, di berbagai wilayah Pantura, kita bisa menemukan banyak sekali trah Walisongo yang terus berlanjut hingga kini.

Ambil contoh Sunan Drajat. Keturunan beliau masih banyak dijumpai, seperti Sayyid Qinan (Sayyid Kuning) di Sidayu, Gresik, kemudian para ulama besar seperti KH. Abdul Karim Tebuwung, KH. Zahid Tebuwung, dan KH. Musthofa Kranji. Tak lupa, keluarga besar Pondok Pesantren Al-Fattah Temboro juga merupakan bagian dari trah beliau.

Contoh lain juga tak kalah banyak. Trah Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, dan para Walisongo lainnya masih eksis dan tersebar di berbagai daerah. Ini adalah bukti nyata bahwa klaim terputusnya nasab Walisongo sama sekali tidak valid dan cenderung mengabaikan realitas sejarah serta genealogi yang ada.

Komitmen Jam’iyyah Walisongo Nusantara

Jam’iyyah Walisongo Nusantara akan senantiasa berkomitmen untuk melanjutkan dakwah Walisongo yang ramah, merangkul, dan mengedepankan substansi keislaman. Fokus kami adalah pada upaya menjaga warisan, ajaran, dan keteladanan Walisongo demi kemajuan Islam dan bangsa Indonesia.

Baca Juga  Buya Munawwir al-Qosimi: Putusan MK Soal Sekolah Gratis Harus Berpihak pada Keadilan dan Eksistensi Madrasah/Sekolah Swasta

Mari kita bersama-sama menyuarakan agar para ulama kita senantiasa teguh dalam membela kebenaran dan keadilan, dimulai dari menghormati dan melindungi warisan agung Walisongo yang telah menancapkan akar Islam di bumi pertiwi ini.

Sharing is Caring