Haul ke-133 KH. Abdul Karim Tebuwung di Gresik: Mengenang Sang Ulama Pejuang, Peran Sentral Nyai Mas Amirah

Tim Redaksi Walisongo, Kamis, 12 Juni 2025 10:24 WIB

GRESIK – Ribuan jamaah dari berbagai penjuru Jawa Timur dan sekitarnya memadati Pondok Pesantren Al-Karimi, Tebuwung, Dukun, Gresik, hari ini, Rabu (11/6/2025), dalam rangka memperingati Haul ke-133 KH. Abdul Karim Tebuwung. Acara tahunan ini tak hanya mengenang sosok ulama kharismatik berjuluk “Sunan Drajat Tebuwung,” tetapi juga secara khusus menyoroti harmonisasi dan sinergi perjuangan beliau bersama sang istri, Nyai Mas Amirah binti Raden Jamilun, yang merupakan cucu Bupati Sidayu, serta keturunan Sunan Drajat dan Sayyid Qinan, dalam menghadapi tantangan dakwah dan penindasan kolonial, serta jejak rekam keturunan beliau dalam mengemban estafet dakwah melalui pesantren.

Acara haul diawali dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan dilanjutkan dengan tahlil serta doa bersama yang dipimpin oleh para kyai dan habaib. Suasana khidmat terasa kental, diiringi lantunan shalawat yang mengajak jamaah merenungi perjalanan hidup dan dakwah kedua tokoh sentral ini.

Dalam kesempatan dan tempat yang lain , Ketua Umum Jam’iyyah Walisongo Nusantara (JAWARA), KH. Munawwir Al-Qosimi, yang banyak mengisahkan cerita ini, secara gamblang memaparkan tentang sosok KH. Abdul Karim Tebuwung. Beliau lahir di Drajat, Lamongan, pada 11 Syawal 1245 H (5 April 1830), dan merupakan keturunan langsung dari Sunan Drajat. KH. Abdul Karim mengabdikan hidupnya untuk menuntut ilmu hingga ke Tanah Suci Makkah, di mana beliau berguru kepada ulama-ulama besar seperti Syekh Ahmad Khatib asy-Syambasi, Syekh Ahmad Zaini Dahlan, dan Syekh Nawawi al-Bantani. Sanad inti keilmuan beliau adalah dari Sunan Drajat dan Sunan Ampel dan lainnya sanad sekunder.

Perlawanan Terhadap Penjajah dan Pengorbanan Nyai Mas Amirah

KH. Munawwir Al-Qosimi lantas menekankan bahwa perjuangan dakwah KH. Abdul Karim tidak bisa dilepaskan dari peran vital Nyai Mas Amirah binti Raden Jamilun. “Beliau adalah sosok di balik kesuksesan dakwah Kiai Abdul Karim. Keduanya adalah pasangan yang saling melengkapi, saling mendukung dalam suka dan duka,” ungkap KH. Munawwir.

Nyai Mas Amirah memiliki latar belakang yang istimewa. Beliau adalah putri dari Raden Jamilun. Raden Jamilun sendiri merupakan putra dari Kanjeng Sepuh Sidayu (Raden Adipati Suryo Diningrat/Suryo Adiningrat) yang menikah dengan Dewi Wardah. Dewi Wardah ini adalah putri dari Sayyid Qinan. Dengan demikian, Nyai Mas Amirah merupakan cucu seorang Bupati Sidayu, memiliki trah kebangsawanan Mangkunegaran Solo, serta keturunan dari Sunan Drajat (melalui jalur Sayyid Qinan). Latar belakang kebangsawanan dan keilmuan yang kuat ini menunjukkan betapa besar pengorbanan beliau meninggalkan kenyamanan hidup demi berjuang bersama sang suami.

Baca Juga  Ekonomi Tumbuh Loyo: Potret Ketimpangan dan Asa yang Terancam Stagnan

Salah satu babak kelam namun heroik dalam perjalanan hidup mereka sebelum pindah ke Tebuwung dan mendirikan pesantren adalah ketika pemerintah kolonial Belanda berniat mengangkat KH. Abdul Karim sebagai mufti Surabaya atau qodhi di kadipaten Sidayu. Beliau menolak tawaran tersebut dengan tegas, yang sontak memicu kemarahan Belanda. Sebagai bentuk tekanan, Belanda menyandera salah satu putri beliau di Sidoresmo, Surabaya.

Tak gentar, KH. Abdul Karim yang dikenal dengan keilmuan dan karomahnya, bersama keluarganya, menunjukkan perlawanan sengit. “Kiai Abdul Karim dan Nyai Mas Amirah sampai mengobrak-abrik pasukan Belanda di daerah yang kini dikenal sebagai Jalan KH. Abdul Karim, Gresik,” kisah KH. Munawwir. Namun, karena kalah jumlah, akhirnya beliau bersama Nyai Mas Amirah dan anak-anak beliau yang masih kecil-kecil, yaitu Muhammad Zahid, Ishaq, Maimunah, dan Shofiyah, ditangkap dan dipenjara di Surabaya.

Keluarnya KH. Abdul Karim dan keluarganya dari penjara bukanlah hal mudah. Ini berkat negoisasi yang dilakukan oleh Raden Jamilun, ayah dari Nyai Mas Amirah, dengan pimpinan Belanda pada masa itu. Kisah ini menjadi bukti nyata keteguhan keluarga ulama dalam mempertahankan prinsip dan agama di tengah tekanan penjajah.

Pondasi Pesantren: Kedermawanan Warga Tebuwung dan Semangat Nyai Mas Amirah

Setelah dibebaskan, KH. Abdul Karim menerima amanah untuk membina masyarakat Tebuwung Dukun Gresik, Jawa Timur. Pada tahun 1863, Pak Utsman/Warjo, Kepala Desa Tebuwung yang masih sepupu Nyai Mas Amirah, berinisiatif mencari seorang ulama untuk membina masyarakatnya. Melalui musyawarah dengan Nyai Mas Amirah dan KH. Abdul Karim, serta menghadap Adipati Sidayu, diputuskanlah bahwa KH. Abdul Karim akan membina masyarakat Tebuwung dan sekitarnya yang kala itu masih menganut Kapitayan, Hindu, dan Buddha.

Baca Juga  Menyingkap Noda Sejarah: Menguak Ulang Kisah Teungku Daud Beureueh, Sang Nasionalis yang Terluka

Untuk mendukung misi dakwah ini, Pak Utsman dan keluarganya bersepakat untuk mewakafkan tanah di bagian Timur Desa Tebuwung kepada KH. Abdul Karim. Para dermawan yang turut serta memberikan tanah tersebut antara lain:

  1. Utsmam, Warjo
  2. Karmin
  3. Karneman (Kareman)
  4. Nur (Tirem)
  5. Darsinan/Khodijah
  6. Kasiman (lowayu)
  7. Ngajidin
  8. Lukinah

Di tanah wakaf inilah kemudian KH. Abdul Karim bersama keluarga mulai mendirikan musholla dan pesantren. Selama masa awal pembangunan ini, KH. Abdul Karim sekeluarga sering melakukan tirakat puasa mutih, sebuah bentuk riyadhah spiritual yang kuat untuk memohon keberkahan dan kemudahan dalam menghadapi tantangan dakwah yang berat.

“Ketika pesantren dilanda kesulitan finansial akibat paceklik, Nyai Mas Amirah-lah yang berinisiatif kembali berdagang garmen untuk menggerakkan perekonomian pesantren,” tambah KH. Munawwir. “Bahkan, beliau tak segan-segan pulang pergi Tebuwung-Sidayu dengan menaiki kuda, memastikan pasokan barang dagangan dan mendukung penuh kebutuhan pesantren. Ini adalah pengorbanan luar biasa dari seorang cucu Bupati dan trah bangsawan yang bersemangat juang.”

Hasil keuntungan dari bisnis garmen Nyai Mas Amirah digunakan sepenuhnya untuk pesantren dan membantu masyarakat yang kekurangan. Bahkan, demi keberlangsungan dakwah, beliau dengan ikhlas dan mulia merelakan Kiai Abdul Karim menikah lagi.

Setelah Kiai Abdul Karim menikah lagi. Nyai Amirah bertambah tekun mengajar di Pesantren dan masyarakat serta berbisnis di Sedayu. Tidak ada ceritanya kalau Nyai Mas Amirah tidak betah di Tebuwung. Beliau sangat menikmati Tebuwung karena sejak kecil, bersama ibunya ada di Tebuwung dan banyak keluarga beliau di Tebuwung, seperti Pak Warjo Sekeluarga.

Estafet Dakwah: Jejak Keturunan dalam Membangun Pesantren

Pengorbanan dan dedikasi Nyai Mas Amirah ini menunjukkan bahwa beliau adalah pilar penting dalam pendirian dan perkembangan Pondok Pesantren Tebuwung. Meskipun Nyai Mas Amirah wafat lebih dahulu pada tahun +1890 dan dimakamkan di komplek keluarga Kanjeng Sepuh Sidayu, semangatnya terus menginspirasi.

Baca Juga  Geger Video Keris, Borobudur dan Pringgodani: Jam'iyyah Walisongo Nusantara Tegas Tolak Provokasi Berbungkus Budaya.

KH. Abdul Karim Tebuwung sendiri wafat pada hari Selasa Legi, 27 Dzulhijah 1313 H (9 Juni 1896), dalam usia 66 tahun, dan dimakamkan di Tebuwung, berdampingan dengan Petinggi Utsman. Estafet kepemimpinan pesantren kemudian dilanjutkan oleh putra beliau.

Pengganti KH. Abdul Karim Tebuwung adalah putra beliau, KH. Muhammad Zahid (lahir tahun +1858), yang pada saat itu berusia 38 tahun. KH. Muhammad Zahid melanjutkan perjuangan ayahnya hingga wafat pada hari Senin Pon, 13 Jumadil Akhir 1321 H (20 Mei 1913), dalam usia 55 tahun.

Jejak rekam keturunan KH. Abdul Karim Tebuwung dalam dunia pesantren sangatlah luar biasa. Banyak dari putra-putri dan cucu-cucu beliau yang mengikuti jejak langkahnya dalam berdakwah dan mendirikan lembaga pendidikan Islam di berbagai daerah, antara lain:

  • Pesantren Sunan Drajat al-Qosimiyyah, Parung, Bogor, diasuh oleh KH. Muhamad Munawwir al-Qosimi, keturunan KH. Muhammad Zahid.
  • Pesantren Al-Hidayah, Tarik Krian Sidoarjo, diasuh oleh KH. Muhammad Taufiq, keturunan KH. Muhammad Zahid.
  • Pesantren al-Islah, Rengel Tuban, diasuh oleh KH. Muhammad Ishomuddin, keturunan KH. Muhammad Zahid.
  • Pesantren Al-Muniroh, Ujung Pangkah, diasuh oleh keturunan Nyai Maimunah binti Abdul Karim.
  • Pesantren al-Karimi, Tebuwung Dukun Gresik, diasuh oleh KH. Abdul Muhsi, keturunan KH. Murtadho (putra dari istri kedua KH. Abdul Karim, Nyai Khadijah).
  • Pesantren Tarbiyatut Tholabah Kranji, diasuh oleh keturunan KH. Musthofa (putra dari istri kedua KH. Abdul Karim).
  • Pesantren Qomarudin Bungah, diasuh oleh KH. Alauddin dari jalur KH. Musthofa.
  • Pesantren al-Amin, Tunggul, diasuh oleh KH. Abdul Fattah, dari jalur KH. Musthofa.

Haul ke-133 ini menjadi momentum untuk merefleksikan nilai-nilai kebersamaan dan pengorbanan yang dicontohkan oleh KH. Abdul Karim dan Nyai Mas Amirah, sebuah pasangan yang tak hanya menyebarkan ajaran Islam, tetapi juga membangun pondasi peradaban melalui pendidikan dan keteladanan, yang kemudian dilanjutkan dan dikembangkan oleh generasi penerus mereka. Wallahu’ Alam bishowab.

Sharing is Caring