Fadhilah Puasa Tarwiyah dan Arafah dalam Tradisi Tasawuf Walisongo
Tim Redaksi Walisongo, Rabu, 4 Juni 2025 21:30 WIB
Makna dan Waktu Pelaksanaan
Puasa Tarwiyah dilakukan pada tanggal 8 Dzulhijjah, sedangkan Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, hari yang sangat dimuliakan dalam Islam. Dua hari ini memiliki keutamaan luar biasa, khususnya bagi umat yang tidak sedang menunaikan haji.
Dalil Al-Qur’an dan Hadits
Allah SWT berfirman:
“Dan demi malam yang sepuluh.”
(QS. Al-Fajr: 2)
Menurut mayoritas mufassir, malam-malam sepuluh itu adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, termasuk hari Tarwiyah dan Arafah.
Dari Abu Qatadah RA, Rasulullah SAW bersabda:
“Puasa hari Arafah, aku berharap kepada Allah, dapat menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.”
(HR. Muslim)
“Puasa pada hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah) menghapus dosa satu tahun, dan puasa pada hari Arafah menghapus dosa dua tahun.”
(HR. Ibnu Majah dan al-Baihaqi — meskipun sanadnya diperselisihkan, banyak ulama mengamalkannya dalam fadha’il al-a‘mal).
Dalam kitab Al-Ghunyah, Syekh Abdul Qadir al-Jailani menekankan bahwa puasa Arafah adalah madrasah ruhaniyah untuk menundukkan syahwat dan membersihkan batin. Ia menyebut bahwa puasa ini ibarat “pakaian putih para salik” — yaitu orang-orang yang sedang meniti jalan menuju makrifat.
Beliau juga menyarankan meninggalkan semua makanan yang bersumber dari makhluk bernyawa pada hari-hari tersebut, agar tubuh benar-benar ringan, dan hati jernih. Dalam salah satu petuahnya beliau berkata:
“Jangan engkau makan daging saat jiwamu sedang dilatih lepas dari nafsu dunia. Makanlah dari bumi yang tak berdosa, sebab tubuhmu sedang ditajalli oleh cahaya rahmat pada hari-hari pilihan.”
Ajaran Sunan Ampel dan Sunan Drajat
Dalam ajaran Walisongo, khususnya Sunan Ampel dan Sunan Drajat, puasa Tarwiyah dan Arafah dijalankan bukan hanya sebagai ritual fiqih, tapi sebagai riyadhah ruhaniyah yang disebut dengan “Tarkur Roh” — yaitu menahan segala dorongan hawa nafsu, baik yang zahir maupun batin.
Sunan Ampel mengajarkan konsep “Mempasrah roh marang Pangeran”, yang diterapkan dengan:
- Tidak makan dari makhluk bernyawa (binatang dan produk turunannya seperti susu, telur, keju, dll),
- Tidak berkata sia-sia, tidak memandang dengan syahwat, dan tidak tidur berlebihan,
- Berdiam dalam dzikir: “Laa ilaaha illallaah, Wahdahu laa syariika lah” sebanyak 1000 kali pada hari Arafah.
Sunan Drajat, yang dikenal dengan prinsip sosialnya, menambahkan bahwa puasa ini seharusnya menjadi momen pembersihan diri untuk kembali melayani umat dengan hati yang bersih dan tujuan yang murni, serta menghilangkan sifat tamak dan rakus terhadap dunia.
Puasa dengan Riyadhah “Tarkur Roh”
Berbeda dengan puasa biasa, dalam metode tarkur roh, yang dijaga bukan hanya perut, tetapi:
- Pikiran: tidak memikirkan hal duniawi,
- Lisan: tidak bicara kecuali zikir dan ilmu,
- Pandangan: hanya melihat ayat-ayat Allah,
- Telinga: tidak mendengar ghibah, lagu sia-sia, atau kabar dunia yang memecah hati,
- Tubuh: hanya digerakkan untuk shalat, dzikir, baca Qur’an, dan amal kebaikan,
- Makanan: hanya sayuran, buah, dan biji-bijian, tidak menyentuh daging, telur, susu, dan semua yang keluar dari makhluk bernyawa.
Ini selaras dengan ajaran tasawuf yang menyatakan bahwa penyucian diri lahir dan batin akan membuka tabir hijab antara hamba dan Tuhannya, khususnya pada hari Arafah, hari mustajab doa.
Penutup: Menjadi Manusia Arafah
Puasa Tarwiyah dan Arafah bukan hanya ladang pahala, tetapi jalan spiritual yang dilalui oleh para wali dan salik terdahulu. Ketika dilakukan dengan penuh keikhlasan dan riyadhah yang benar, ia bisa menjadi momentum tajalli Ilahi — turunnya limpahan rahmat dan pengampunan dari Allah SWT.
“Jadilah manusia Arafah: yang melepaskan segala milik, dan hanya membawa ruh yang rindu pulang kepada Allah.” – (Petuah Walisongo)
Sumber: Al-Qur’an, Hadits Shahih, Kitab Al-Ghunyah, Hikmah Sunan Ampel & Sunan Drajat