Kafalah Yatim-Dhuafa
Bea Siswa Mahasantri
Walisongo Tanggap

Buya Munawwir al-Qosimi: Putusan MK Soal Sekolah Gratis Harus Berpihak pada Keadilan dan Eksistensi Madrasah/Sekolah Swasta

Bogor, Walisongo.net – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pendidikan dasar gratis, yang juga mencakup sekolah swasta, telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan pegiat pendidikan nasional. Jam’iyyah Walisongo Nusantara (Jawara) melalui Ketua Umumnya, Buya Munawwir al-Qosimi, memberikan pandangan tegasnya, menekankan pentingnya putusan ini diimplementasikan dengan memperhatikan realitas di lapangan dan keberlangsungan lembaga pendidikan swasta, terutama madrasah yang menjadi tulang punggung pendidikan keagamaan di Indonesia.

Buya Munawwir al-Qosimi menyatakan bahwa semangat putusan MK untuk memastikan akses pendidikan yang merata dan bebas diskriminasi patut diapresiasi. Namun, ia mengingatkan agar pemerintah tidak latah dalam menerjemahkan putusan tersebut sehingga justru mematikan inisiatif dan kemandirian sekolah swasta dan pesantren

“Keputusan MK yang mengabulkan sebagian permohonan uji materiil Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas itu sejatinya adalah respons terhadap ketimpangan akses pendidikan. Namun, negara harus bertindak bijak. Jangan sampai niat baik ini justru membonsai sekolah-sekolah swasta yang selama ini telah banyak berkontribusi, khususnya madrasah-madrasah yang didirikan oleh masyarakat dengan semangat pengabdian,” ujar Buya Munawwir di kantor Jawara Pusat, Kamis (5/6/2025).

Menurut Buya Munawwir, banyak sekolah swasta, termasuk madrasah, selama ini telah menjadi garda terdepan dalam menampung siswa dari berbagai latar belakang ekonomi, terutama di daerah-daerah yang minim sekolah negeri. “Mereka beroperasi dengan kemandirian dan inovasi. Jika tiba-tiba kebijakan ini langsung diterapkan tanpa dukungan anggaran penuh dan skema yang jelas, justru akan sangat kontraproduktif,” tegasnya.

Sikap Muhammadiyah: Kritik Keras dan Kekhawatiran Kontraproduktif

Senada dengan Buya Munawwir, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah juga menyuarakan kekhawatirannya. Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, menilai bahwa karakter sekolah-sekolah swasta yang ingin terus mengembangkan diri dengan cepat dan tidak terjebak birokrasi harus dipahami pemerintah.

“Implementasi dari putusan MK (yang menggratiskan sekolah swasta) itu perlu dicermati seksama, yang berpijak pada realitas dan dunia pendidikan di Tanah Air,” kata Haedar di Yogyakarta, Selasa (4/6/2025), seperti dikutip dari Tempo.co.

Haedar khawatir, jika kebijakan menghentikan pengelolaan anggaran secara mandiri itu langsung diterapkan dan ternyata salah langkah, risikonya berat. “Mematikan sekolah swasta sama saja mematikan pendidikan nasional, kecuali negara mau bertanggung jawab sepenuhnya dan seutuhnya untuk (menanggung biaya operasional) seluruh lembaga pendidikan termasuk swasta, oke saja,” tegasnya.

Muhammadiyah bahkan secara lugas menyatakan tidak sepakat dengan kebijakan sekolah swasta gratis tersebut. Haedar mengusulkan agar negara mengkoneksikan sekolah swasta dengan sekolah negeri, namun tetap memberi keleluasaan bagi sekolah swasta untuk menghimpun anggaran demi menjalankan tugasnya.

ISNU Jatim: Negara Wajib Hadir, Jangan Abaikan Sekolah Swasta

Kekhawatiran serupa juga datang dari Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Jawa Timur. Plt. Ketua PW ISNU Jatim, Prof. M. Afif Hasbullah, menyoroti implikasi putusan MK pada praktik faktual di lapangan. Ia menegaskan bahwa meskipun putusan MK mewajibkan negara menjamin pendidikan dasar gratis, banyak sekolah swasta, khususnya yang berbasis masyarakat dan berbadan hukum keagamaan seperti lembaga pendidikan di lingkungan NU, masih terabaikan.

“Putusan MK tidak melarang sekolah swasta menarik biaya, tapi negara wajib memastikan bahwa tidak ada anak yang terhambat akses pendidikannya hanya karena faktor ekonomi. Sayangnya, ini belum terlihat dalam kebijakan teknis,” ujar Prof. Afif, seperti dilansir NU Online Jakarta.

Ia mengusulkan perluasan sekolah rakyat dan regulasi yang lebih implementatif terkait kewajiban pemerintah pusat/daerah untuk menanggung biaya pendidikan dasar. “Jangan sampai negara hadir hanya untuk mengatur, tapi absen saat masyarakat butuh dukungan. Ini bukan soal swasta atau negeri, tapi soal masa depan anak-anak bangsa,” pungkas Prof. Afif.

MK: Kebijakan Afirmatif dan Keadilan Akses Pendidikan

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya pada Selasa (27/5/2025) menyatakan bahwa “norma konstitusi a quo mewajibkan negara untuk membiayai pendidikan dasar dengan tujuan agar warga negara dapat melaksanakan kewajibannya dalam mengikuti pendidikan dasar. Hal ini mencakup pendidikan dasar baik yang diselenggarakan oleh pemerintah (negeri) maupun yang diselenggarakan oleh masyarakat (swasta).”

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan bahwa putusan ini muncul sebagai respons terhadap persoalan ketimpangan akses pendidikan. “Untuk menjamin hak atas pendidikan tanpa diskriminasi, negara wajib menyediakan skema pembiayaan tertentu, terutama di wilayah-wilayah yang tidak memiliki sekolah negeri,” jelasnya.

MK juga mengakui bahwa dalam kondisi fiskal negara yang masih terbatas, tidak rasional jika seluruh sekolah swasta dilarang memungut biaya tanpa disertai dukungan anggaran penuh dari pemerintah. Namun, sekolah swasta tetap harus memberikan akses kepada peserta didik melalui skema kemudahan pembiayaan.

Buya Munawwir: Perlu Dialog Komprehensif dan Kebijakan Berbasis Data

Menyikapi kompleksitas ini, Buya Munawwir al-Qosimi mendesak pemerintah untuk segera melakukan dialog komprehensif dengan berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat seperti Jawara, Muhammadiyah, dan NU, serta asosiasi sekolah swasta. “Perlu ada kebijakan turunan yang jelas dan berbasis data, bukan hanya tafsir tunggal yang berpotensi menimbulkan chaos di lapangan,” tegasnya.

Buya Munawwir menambahkan, Jawara siap berkolaborasi dengan pemerintah dalam merumuskan skema yang adil dan berkelanjutan, sehingga putusan MK ini benar-benar dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa mematikan semangat dan kontribusi sekolah-sekolah swasta yang telah menjadi bagian integral dari sistem pendidikan nasional.

“Pendidikan adalah investasi masa depan. Negara harus hadir secara penuh, namun dengan cara yang tidak mematikan inisiatif dan kemandirian yang telah terbangun selama ini. Kami berharap putusan MK ini menjadi momentum untuk memperkuat sinergi antara pemerintah dan masyarakat dalam memajukan pendidikan di Nusantara,” tutup Buya Munawwir.

Ironi Pembelaan Nasab: Ketika Ulama Memilih Diam untuk Walisongo, Bersuara Lantang untuk Ba’alawi

Berapa waktu terakhir, publik disuguhi sebuah fenomena yang cukup mencengangkan dan memantik pertanyaan besar di benak kita: mengapa begitu banyak ulama di negeri ini, yang seharusnya menjadi garda terdepan pembela kebenaran, justru terkesan pasif bahkan bungkam ketika nasab Walisongo dan keturunannya diragukan atau bahkan dibatalkan oleh oknum-oknum tertentu? Namun, ketika nasab Ba’alawi dipertanyakan oleh Kiai Imaduddin, tiba-tiba berbagai suara pembelaan muncul dari para ulama, seolah mengabaikan prioritas dan sejarah panjang di bumi Nusantara ini.

Bukankah ini sebuah ironi yang mendalam?

Walisongo, para penyebar Islam di tanah Jawa yang agung, adalah pahlawan peradaban kita. Mereka bukan hanya membawa ajaran Islam, tetapi juga membangun fondasi budaya, sosial, dan spiritual yang kokoh hingga kini. Peran mereka tak terbantahkan, jejak-jejak mereka terukir jelas dalam sejarah bangsa. Perlu ditekankan, sebagian dari Walisongo adalah dzuriyah Rasulullah SAW yang lebih dahulu hadir di negeri ini, jauh sebelum marga-marga lain datang.

Namun, uniknya, para Walisongo mengajarkan agar tidak terlalu membanggakan nasab di negeri ini. Mengapa? Agar dakwah Islam dapat diterima dengan baik oleh masyarakat luas yang majemuk, tanpa hambatan sosial atau kasta. Mereka mengedepankan substansi ajaran dan akhlak mulia, bukan superioritas keturunan. Inilah salah satu kunci keberhasilan dakwah mereka yang merangkul dan mempersatukan.

Namun, kenyataannya hari ini? Ketika ada pihak-pihak yang mencoba meragukan atau bahkan secara terang-terangan membatalkan nasab Walisongo dan keturunan mereka, suara pembelaan dari para ulama terasa sayup-sayup, bahkan cenderung absen. Seolah-olah, pembatalan nasab para pionir Islam di Nusantara ini bukanlah masalah yang urgen untuk diperhatikan.

Kontrasnya, ketika Kiai Imaduddin mengeluarkan pernyataan tentang nasab Ba’alawi yang tidak bersambung kepada Rasulullah SAW, responsnya sungguh luar biasa. Gelombang pembelaan dari berbagai kalangan ulama, baik melalui forum resmi maupun media sosial, begitu massif dan terorganisir. Mereka seolah berlomba-lomba untuk menegaskan validitas nasab Ba’alawi.

Pertanyaan besar yang muncul adalah: mengapa prioritas ini terbalik?

Apakah ada anggapan bahwa nasab Ba’alawi lebih mulia, lebih penting, atau lebih sensitif untuk dibela dibandingkan nasab Walisongo? Padahal, secara historis dan kontekstual, Walisongo memiliki ikatan yang jauh lebih kuat dan langsung dengan pembentukan identitas keislaman di Indonesia. Mereka adalah leluhur spiritual kita, dan menjaga kemuliaan serta keaslian nasab mereka adalah bentuk penghormatan terhadap sejarah dan warisan nenek moyang.

Kita perlu merenungkan kembali, sejauh mana para ulama kita menjaga amanah keilmuan dan keadilan. Apakah keberpihakan mereka didasarkan pada kepentingan syiar Islam yang lebih luas, ataukah ada faktor-faktor lain yang memengaruhi pilihan mereka?

Membantah Klaim “Terputusnya” Nasab Walisongo

Pernyataan beberapa oknum Ba’alawi yang mengklaim bahwa Walisongo tidak memiliki keturunan laki-laki dan nasab mereka sudah terputus, adalah pernyataan yang tidak berdasar dan menyesatkan. Fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Buktinya, di berbagai wilayah Pantura, kita bisa menemukan banyak sekali trah Walisongo yang terus berlanjut hingga kini.

Ambil contoh Sunan Drajat. Keturunan beliau masih banyak dijumpai, seperti Sayyid Qinan (Sayyid Kuning) di Sidayu, Gresik, kemudian para ulama besar seperti KH. Abdul Karim Tebuwung, KH. Zahid Tebuwung, dan KH. Musthofa Kranji. Tak lupa, keluarga besar Pondok Pesantren Al-Fattah Temboro juga merupakan bagian dari trah beliau.

Contoh lain juga tak kalah banyak. Trah Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, dan para Walisongo lainnya masih eksis dan tersebar di berbagai daerah. Ini adalah bukti nyata bahwa klaim terputusnya nasab Walisongo sama sekali tidak valid dan cenderung mengabaikan realitas sejarah serta genealogi yang ada.

Komitmen Jam’iyyah Walisongo Nusantara

Jam’iyyah Walisongo Nusantara akan senantiasa berkomitmen untuk melanjutkan dakwah Walisongo yang ramah, merangkul, dan mengedepankan substansi keislaman. Fokus kami adalah pada upaya menjaga warisan, ajaran, dan keteladanan Walisongo demi kemajuan Islam dan bangsa Indonesia.

Mari kita bersama-sama menyuarakan agar para ulama kita senantiasa teguh dalam membela kebenaran dan keadilan, dimulai dari menghormati dan melindungi warisan agung Walisongo yang telah menancapkan akar Islam di bumi pertiwi ini.