Kafalah Yatim-Dhuafa
Bea Siswa Mahasantri
Walisongo Tanggap

Daging Waliyullah dan Ulama Beracun

Dalam tradisi keilmuan Islam, terutama di lingkungan pesantren dan kalangan yang memahami nilai-nilai spiritual, seringkali terdengar sebuah adagium yang sangat kuat: “Daging waliyullah dan ulama itu beracun.” Ungkapan ini, yang mungkin terdengar ekstrem jika ditafsirkan secara harfiah, sejatinya adalah metafora yang sarat akan makna dan peringatan keras bagi umat. Apa sebenarnya pesan di balik kalimat ini?

Ungkapan ini tidak merujuk pada substansi fisik daging yang beracun, melainkan kepada konsekuensi spiritual dan duniawi yang amat berbahaya bagi siapa pun yang berani mencela, menghina, memfitnah, atau menyakiti hati para wali dan ulama. Mereka adalah hamba-hamba pilihan Allah, penjaga ilmu, dan penuntun umat di jalan kebenukan dan kebenaran. Menyakiti mereka berarti menabuh genderang permusuhan dengan ajaran agama itu sendiri.

Hakikat “Racun” yang Tersembunyi

Metafora “racun” di sini mengisyaratkan dampak negatif yang fatal bagi pelakunya. Dampak ini tidak hanya terbatas pada masalah duniawi seperti hilangnya keberkahan hidup, sulitnya menerima ilmu, atau kemerosotan moral, tetapi juga ancaman azab Allah SWT di akhirat kelak. Racun ini bekerja secara perlahan namun pasti, merusak jiwa dan spiritualitas seseorang hingga membuatnya jauh dari rahmat ilahi.

Salah satu rujukan populer mengenai ungkapan ini datang dari seorang ulama besar, Sufyan Ats-Tsauri, yang pernah berkata:

“Daging ulama itu beracun. Siapa yang menciumnya (membicarakannya dengan niat buruk) ia sakit, dan siapa yang memakannya ia mati.”

(Dikutip oleh Imam Ibnu Najjar al-Baghdadi dalam kitabnya Tarikh Baghdad wa Dzailuhu wa al-Mustafad, Juz 20, halaman 288, penerbit Maktabah al-Thaqafah al-Diniyah, Kairo, cetakan tahun 2004).

Perkataan Sufyan Ats-Tsauri ini menggambarkan tingkatan bahaya. “Mencium,” yang berarti sekadar menggunjing atau membicarakan keburukan ulama/wali, sudah dapat mendatangkan “sakit” atau masalah dalam hidup. Sedangkan “memakannya,” yang bermakna memfitnah secara terang-terangan, merendahkan martabat, atau bahkan memusuhi mereka, akan berujung pada “kematian” spiritual, kehinaan, atau akhir yang buruk.

Wali dan Ulama: Kekasih Allah dan Pewaris Nabi

Posisi waliyullah dan ulama dalam Islam sangatlah mulia. Para ulama adalah orang-orang yang mewarisi ilmu para nabi dan bertugas melanjutkan dakwah serta membimbing umat. Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi.” (Hadis riwayat Abu Dawud dan At-Tirmidzi).

Oleh karena itu, menghormati ulama adalah bentuk penghormatan terhadap ilmu, syariat, dan risalah kenabian. Sementara itu, waliyullah adalah kekasih-kekasih Allah yang telah mencapai derajat spiritual tinggi melalui ketakwaan, ibadah, dan kecintaan mendalam kepada-Nya. Allah SWT sendiri telah memberikan peringatan tegas dalam sebuah hadis qudsi:

“Barang siapa memusuhi kekasih-Ku (wali-Ku), maka Aku mengumumkan perang terhadapnya.” (Hadis riwayat Bukhari).

Ancaman perang dari Allah SWT adalah puncak dari murka dan kemarahan-Nya, sebuah peringatan yang sangat serius bagi siapa pun yang berani menyakiti hamba-hamba pilihan-Nya.

Kisah: Adab Orang Tua dan Berkah Ilmu Anak di Zaman Syekh Abdul Qadir al-Jailani

Kisah ini sering diceritakan berkaitan dengan masa Syekh Abdul Qadir al-Jailani, seorang ulama besar dan waliyullah yang sangat dihormati. Diceritakan ada seorang yang berniat buruk ingin memfitnah Syekh Abdul Qadir. Ia mengintip dan melihat Syekh tengah makan ayam bersama salah satu muridnya. Syekh memakan separuh bagian ayam, dan separuh lainnya diberikan kepada murid.

Orang yang berniat jahat ini kemudian mendatangi ayah si murid. Ia bercerita dengan nada provokatif, “Apakah Anda tahu bagaimana Syekh Abdul Qadir memperlakukan anak Anda? Ia memperlakukan anak Anda seperti pembantu atau bahkan seperti kucing, hanya diberi sisa makanan!”

Ayah murid itu, tanpa tabayyun (verifikasi), langsung marah. Ia mendatangi Syekh Abdul Qadir dan dengan nada kesal menuduh beliau memperlakukan anaknya tidak pantas. “Wahai tuan Syekh, saya mengirim anak saya ke sini untuk menuntut ilmu, bukan untuk menjadi pembantu atau diperlakukan seperti kucing!” kata sang ayah. Syekh Abdul Qadir hanya menjawab singkat, “Kalau begitu, ambillah anakmu.”

Sang ayah pun membawa anaknya pulang. Dalam perjalanan, ia iseng bertanya beberapa hal mengenai ilmu syariat kepada anaknya. Betapa terkejutnya sang ayah, anaknya menjawab semua pertanyaan dengan tepat, rinci, dan penuh pemahaman yang luar biasa. Ia menyadari betapa dahsyatnya ilmu yang telah didapatkan anaknya dari Syekh Abdul Qadir.

Sang ayah segera membalikkan badan dan membawa anaknya kembali ke hadapan Syekh Abdul Qadir. Dengan penyesalan yang mendalam, ia bersimpuh meminta maaf, “Wahai tuan Syekh, terimalah kembali anak saya. Ampuni kekhilafan saya yang telah menuduh tanpa dasar. Saya melihat keberkahan ilmu yang luar biasa pada anak saya saat ia bersamamu.”

Syekh Abdul Qadir kemudian menjelaskan, bahwa keberkahan ilmu yang diterima anak itu terancam hilang karena adab sang ayah yang buruk terhadap guru anaknya. Kisah ini menegaskan bahwa adab dan penghormatan orang tua terhadap guru anaknya sangat memengaruhi keberkahan ilmu yang didapatkan sang anak. Mencela atau meremehkan guru, bahkan oleh orang tua, dapat mencabut keberkahan ilmu dari sang murid.

Ibrah (Pelajaran) yang Dapat Dipetik

Peringatan “daging waliyullah dan ulama itu beracun” mengandung pelajaran berharga bagi kita semua:

  1. Menjaga Lisan dan Adab: Kita harus selalu menjaga lisan dari ucapan buruk, ghibah, atau fitnah terhadap para wali dan ulama. Sikap dan tindakan kita juga harus mencerminkan penghormatan terhadap mereka.
  2. Mencari Keberkahan dan Ilmu: Sebaliknya, berkhidmat, memuliakan, dan mengambil ilmu dari mereka adalah jalan untuk mendapatkan keberkahan dalam hidup dan kedalaman pemahaman agama.
  3. Menjaga Keharmonisan Umat: Penghormatan terhadap wali dan ulama adalah kunci menjaga keharmonisan dan persatuan umat. Melemahkan posisi mereka berarti merusak pilar-pilar kekuatan umat Islam.

Semoga kita semua senantiasa diberikan kesadaran untuk memuliakan para waliyullah dan ulama, serta dijauhkan dari segala perbuatan yang dapat mendatangkan bahaya dan murka Allah SWT. Aamiin.

Semangat Religi dalam Islam: Meneladani Api Dakwah Para Wali

Islam bukan hanya agama yang mengatur tata cara ibadah formal. Lebih dari itu, Islam adalah jalan hidup yang menuntun manusia untuk selalu terhubung dengan Allah dalam setiap detik kehidupannya. Dalam konteks ini, semangat religi bukan hanya rajin shalat atau puasa, tapi juga gairah untuk memperjuangkan nilai-nilai ketauhidan, keadilan, kasih sayang, dan perbaikan diri secara total.

Semangat religi dalam Islam selalu melahirkan gerakan—bukan sekadar kesalehan yang terkurung dalam masjid, tetapi juga yang menjelma menjadi akhlak, perjuangan, dan kontribusi nyata di tengah masyarakat. Inilah yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ dan dilanjutkan oleh para ulama pewaris nabi, termasuk para Walisongo di Nusantara.

Walisongo tidak hanya mengajarkan Islam lewat ceramah, tapi menanamkan semangat religi lewat keteladanan, budaya, seni, dan pendidikan. Semangat religi mereka membuat Islam diterima dengan cinta, bukan dipaksakan dengan pedang.

Mereka menjadikan religiusitas sebagai energi yang mempersatukan, memperbaiki masyarakat, dan membangun peradaban. Masjid menjadi pusat transformasi, pesantren menjadi pabrik kader perubahan, dan dakwah menjadi jalan pembebasan umat dari kegelapan syirik dan kebodohan.

Ciri Semangat Religi Sejati

Menurut Islam, semangat religi yang sejati setidaknya memiliki lima ciri utama:

  1. Tawhid Sentral
    Semua aktivitas berlandaskan niat untuk mengesakan Allah. Tidak ada ruang bagi riya’ (pamer ibadah) atau mencari popularitas dunia.
  2. Berakhlak Mulia
    Religi sejati melahirkan kelembutan hati, kejujuran, kasih sayang, dan kesabaran, bukan kebencian atau kekerasan.
  3. Berilmu dan Mau Belajar
    Religi tidak anti-akal. Justru, semangat religi mendorong umat Islam untuk terus menuntut ilmu dan memahami hikmah di balik syariat.
  4. Berani dan Tegas dalam Kebenaran
    Tidak tunduk pada kebatilan. Religi yang benar memberi kekuatan untuk melawan kezaliman dan membela yang tertindas.
  5. Aktif Memberi Manfaat
    Seorang muslim religius bukan hanya taat beribadah, tapi juga peduli pada nasib sesama, aktif dalam filantropi, pendidikan, dan dakwah sosial.

Menghidupkan Semangat Religi Hari Ini

Di tengah era digital dan derasnya arus materialisme, semangat religi perlu kembali dibangkitkan. Caranya? Dengan meneladani Walisongo yang menggabungkan antara ilmu, dakwah, budaya, dan kasih sayang. Kita perlu memperluas makna ibadah: dari mihrab ke pasar, dari mushalla ke sekolah, dari pesantren ke ranah digital.

Program-program filantropi seperti BMW (Baitul Mal Walisongo) adalah wujud nyata semangat religi hari ini—menyambung kepedulian sosial dengan nilai ibadah. Karena membantu yang miskin, mengasuh anak yatim, dan mendirikan lembaga pendidikan, semua itu adalah bagian dari religi yang hidup dan bergerak.

Mari kita jadikan semangat religi bukan hanya wacana atau identitas di KTP, tapi napas yang menggerakkan langkah. Seperti Walisongo yang menjadikan agama sebagai suluh kehidupan, mari kita teruskan perjuangan ini—dengan cinta, ilmu, dan keberanian.

“Religi bukan sekadar doa-doa di langit, tapi kerja nyata di bumi.”

Filantropi Digital Meningkat Tajam: Generasi Muda Jadi Motor Zakat dan Sedekah Era Baru

Jakarta, Walisongo.net – Di tengah derasnya arus digitalisasi dan media sosial, muncul fenomena yang membanggakan: generasi muda kini menjadi motor utama gerakan filantropi Islam di Indonesia. Mulai dari zakat, infaq, sedekah, hingga wakaf, kini bergerak melalui platform digital yang lebih cepat, transparan, dan menjangkau luas.

Lembaga-lembaga seperti BMW (Baitul Mal Walisongo), Rumah Zakat, Dompet Dhuafa, dan LAZISNU melaporkan peningkatan signifikan dalam penerimaan dana dari kanal digital selama dua tahun terakhir. Sebagian besar donatur berasal dari kalangan milenial dan Gen Z, yang tergerak membantu tanpa harus menunggu kaya.

“Dulu orang menunggu harta berlimpah untuk bersedekah. Sekarang, anak muda cukup dengan Rp5.000 dan niat tulus. Klik — dan pahala mengalir,” ujar Ustaz Muhammad Fathoni, pegiat filantropi digital dari Walisongo Peduli.

Instagram, TikTok, dan QRIS: Sarana Sedekah Zaman Now

Berbagai kampanye sedekah harian kini mudah ditemukan di TikTok, Instagram, hingga WhatsApp. Narasi-narasi singkat tentang keluarga miskin, anak yatim, korban bencana, atau pembangunan pesantren mampu menggerakkan ribuan orang hanya dalam hitungan jam.

Penggunaan QRIS dan transfer otomatis membuat kegiatan donasi tidak lagi rumit. Bahkan kini banyak santri dan aktivis dakwah yang menjadi content creator amal — menyuarakan kebutuhan ummat dan menyalurkan bantuan secara langsung ke pelosok negeri.

Menghidupkan Semangat Derma Sahabat Nabi

Fenomena ini mengingatkan pada semangat generasi awal Islam. Seperti Sayyidina Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin ‘Auf, para dermawan muda kini berbagi tanpa ragu dan tanpa pamrih, bukan untuk citra, tapi sebagai wujud iman dan cinta pada sesama.

“Filantropi Islam bukan hanya soal uang, tapi wujud nyata dari keimanan. Sedekah itu bukti cinta,” kata KH. Munawwir Al-Qosimi, pengasuh Pesantren Sunan Drajat al-Qosimiyyah.

BMW Walisongo: Sinergi Dakwah dan Kemanusiaan

Sebagai bagian dari Jam’iyyah Walisongo Nusantara, BMW (Baitul Mal Walisongo) menjadi pionir dalam mengintegrasikan filantropi, dakwah, dan penguatan ekonomi umat. Program-program seperti Sedekah Subuh, Beasiswa Santri Yatim, hingga Wakaf Produktif Tanah Dakwah kini bisa diakses secara daring melalui situs dan kanal media sosial.

BMW mendorong konsep “Derma dari Rumah”: siapa pun bisa berdonasi tanpa harus datang ke kantor atau menunggu momen besar.

Ajakan: Jadi Dermawan Hari Ini, Jangan Tunda Esok

Walisongo.net mengajak seluruh umat Islam, khususnya generasi muda, untuk menjadikan berbagi sebagai gaya hidup Islami. Tak perlu besar, tapi rutin. Tak perlu menunggu lapang, cukup niat dan semangat.

“Sedekah itu tidak membuat miskin. Bahkan Rasulullah bersabda, ‘Hartamu yang sesungguhnya adalah yang kau berikan.’” – (HR. Muslim)

Mari bersedekah hari ini, agar hidup diberkahi, ummat diberdayakan, dan dunia menjadi tempat yang lebih manusiawi.

Efek Domino: Dari Klik Sedekah ke Perubahan Sosial

Efek dari gerakan filantropi digital ini tidak hanya berdampak pada penerima bantuan. Kultur berbagi yang ditanamkan sejak muda menciptakan masyarakat yang lebih empatik, sadar sosial, dan peduli sesama. Banyak komunitas yang tumbuh dari inisiatif amal daring: gerakan ngaji sambil sedekah, komunitas santri peduli dhuafa, hingga relawan digital untuk kemanusiaan.

Kata Kunci: Amanah dan Transparansi

Namun, semangat filantropi ini juga menuntut akuntabilitas tinggi dari lembaga-lembaga pengelola dana. Transparansi laporan, bukti penyaluran, hingga keterbukaan komunikasi menjadi syarat mutlak. Tanpa itu, kepercayaan bisa hilang dan semangat donasi bisa meredup.

BMW Walisongo menegaskan komitmennya dalam menjaga amanah umat. “Setiap rupiah yang masuk, kami catat, kami laporkan, dan kami salurkan seutuhnya. Karena ini bukan uang biasa, ini titipan akhirat,” ujar Ustaz Fadhlan Arif, Ketua Divisi Audit dan Penyaluran BMW.

Dari Walisongo untuk Dunia: Filantropi Adalah Dakwah

Mengutip semangat Walisongo, yang dahulu menyebarkan Islam dengan akhlak dan pengabdian, gerakan filantropi kini menjadi jalur dakwah modern yang menyentuh hati. Lewat sedekah, kita memperkenalkan Islam bukan dengan debat, tapi dengan kasih sayang.

“Jangan tunggu sempurna untuk berbagi. Karena bisa jadi, dari satu sedekahmu hari ini, Allah beri jalan keluar bukan hanya untuk orang lain — tapi juga untuk hidupmu.” Kata Buya Munawwir al-Qosimi, pendiri Jam’iyyah Walisongo Nusantara, JAWARA

Fadhilah Puasa Tarwiyah dan Arafah dalam Tradisi Tasawuf Walisongo

Makna dan Waktu Pelaksanaan

Puasa Tarwiyah dilakukan pada tanggal 8 Dzulhijjah, sedangkan Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, hari yang sangat dimuliakan dalam Islam. Dua hari ini memiliki keutamaan luar biasa, khususnya bagi umat yang tidak sedang menunaikan haji.

Dalil Al-Qur’an dan Hadits

Allah SWT berfirman:

“Dan demi malam yang sepuluh.”
(QS. Al-Fajr: 2)

Menurut mayoritas mufassir, malam-malam sepuluh itu adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, termasuk hari Tarwiyah dan Arafah.

Dari Abu Qatadah RA, Rasulullah SAW bersabda:

“Puasa hari Arafah, aku berharap kepada Allah, dapat menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.”
(HR. Muslim)

“Puasa pada hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah) menghapus dosa satu tahun, dan puasa pada hari Arafah menghapus dosa dua tahun.”
(HR. Ibnu Majah dan al-Baihaqi — meskipun sanadnya diperselisihkan, banyak ulama mengamalkannya dalam fadha’il al-a‘mal).

Dalam kitab Al-Ghunyah, Syekh Abdul Qadir al-Jailani menekankan bahwa puasa Arafah adalah madrasah ruhaniyah untuk menundukkan syahwat dan membersihkan batin. Ia menyebut bahwa puasa ini ibarat “pakaian putih para salik” — yaitu orang-orang yang sedang meniti jalan menuju makrifat.

Beliau juga menyarankan meninggalkan semua makanan yang bersumber dari makhluk bernyawa pada hari-hari tersebut, agar tubuh benar-benar ringan, dan hati jernih. Dalam salah satu petuahnya beliau berkata:

“Jangan engkau makan daging saat jiwamu sedang dilatih lepas dari nafsu dunia. Makanlah dari bumi yang tak berdosa, sebab tubuhmu sedang ditajalli oleh cahaya rahmat pada hari-hari pilihan.”

Ajaran Sunan Ampel dan Sunan Drajat

Dalam ajaran Walisongo, khususnya Sunan Ampel dan Sunan Drajat, puasa Tarwiyah dan Arafah dijalankan bukan hanya sebagai ritual fiqih, tapi sebagai riyadhah ruhaniyah yang disebut dengan “Tarkur Roh” — yaitu menahan segala dorongan hawa nafsu, baik yang zahir maupun batin.

Sunan Ampel mengajarkan konsep “Mempasrah roh marang Pangeran”, yang diterapkan dengan:

  • Tidak makan dari makhluk bernyawa (binatang dan produk turunannya seperti susu, telur, keju, dll),
  • Tidak berkata sia-sia, tidak memandang dengan syahwat, dan tidak tidur berlebihan,
  • Berdiam dalam dzikir: “Laa ilaaha illallaah, Wahdahu laa syariika lah” sebanyak 1000 kali pada hari Arafah.

Sunan Drajat, yang dikenal dengan prinsip sosialnya, menambahkan bahwa puasa ini seharusnya menjadi momen pembersihan diri untuk kembali melayani umat dengan hati yang bersih dan tujuan yang murni, serta menghilangkan sifat tamak dan rakus terhadap dunia.

Puasa dengan Riyadhah “Tarkur Roh”

Berbeda dengan puasa biasa, dalam metode tarkur roh, yang dijaga bukan hanya perut, tetapi:

  • Pikiran: tidak memikirkan hal duniawi,
  • Lisan: tidak bicara kecuali zikir dan ilmu,
  • Pandangan: hanya melihat ayat-ayat Allah,
  • Telinga: tidak mendengar ghibah, lagu sia-sia, atau kabar dunia yang memecah hati,
  • Tubuh: hanya digerakkan untuk shalat, dzikir, baca Qur’an, dan amal kebaikan,
  • Makanan: hanya sayuran, buah, dan biji-bijian, tidak menyentuh daging, telur, susu, dan semua yang keluar dari makhluk bernyawa.

Ini selaras dengan ajaran tasawuf yang menyatakan bahwa penyucian diri lahir dan batin akan membuka tabir hijab antara hamba dan Tuhannya, khususnya pada hari Arafah, hari mustajab doa.

Penutup: Menjadi Manusia Arafah

Puasa Tarwiyah dan Arafah bukan hanya ladang pahala, tetapi jalan spiritual yang dilalui oleh para wali dan salik terdahulu. Ketika dilakukan dengan penuh keikhlasan dan riyadhah yang benar, ia bisa menjadi momentum tajalli Ilahi — turunnya limpahan rahmat dan pengampunan dari Allah SWT.

“Jadilah manusia Arafah: yang melepaskan segala milik, dan hanya membawa ruh yang rindu pulang kepada Allah.” – (Petuah Walisongo)


Sumber: Al-Qur’an, Hadits Shahih, Kitab Al-Ghunyah, Hikmah Sunan Ampel & Sunan Drajat