Sunan Drajat dan Kesetaraan Ilmu: Suara Progresif dari Wali Tanah Jawa

 Sunan Drajat membuat anekdot dalam tulisannya, “Syekh Majnun angandika: tan beda estri lan jalu, nedha nini pada-pada alim mutakaliman uga” (Syekh Majnun bersabda: Tidak ada beda antara perempuan dan laki-laki, mereka sama-sama bisa alim dan pandai berbicara), adalah sebuah adagium yang menandai pandangan egaliter yang luar biasa dari salah seorang Wali Songo. Ini bukan sekadar pengakuan kemampuan, melainkan penegasan hak fundamental atas ilmu bagi setiap insan, terlepas dari jenis kelamin.

Prinsip kesetaraan ini tidak berhenti pada teori semata. Istri-istri Sunan Drajat dan para keturunannya terbukti ikut serta aktif dalam menyampaikan dakwah dan perjuangan. Hal ini menunjukkan bahwa pandangan Sunan Drajat diimplementasikan secara nyata dalam kehidupan keluarga dan komunitasnya, membentuk sebuah tradisi yang memberdayakan perempuan.

Menganalisis Hakikat Pemikiran: Tasawuf dan Gender

Pernyataan Sunan Drajat ini dapat dibedah melalui dua lensa utama: tasawuf dan kajian gender, yang keduanya mengungkapkan kedalaman dan kemajuan pemikirannya.

Tasawuf: Melampaui Batas Fisik Menuju Hakikat Ruh

Dalam kacamata tasawuf, pandangan Sunan Drajat ini berakar pada hakikat kemanusiaan yang universal di hadapan Tuhan, di mana perbedaan fisik tidak menghalangi pencapaian spiritual.

Tasawuf Klasik: Kesatuan Ruh dan Potensi Ilahi

Tasawuf klasik, meskipun dalam praktiknya sering didominasi oleh laki-laki, pada dasarnya tidak membedakan gender dalam proses pencapaian spiritual. Para sufi awal meyakini bahwa ruh manusia, baik laki-laki maupun perempuan, berasal dari sumber yang sama, yaitu Ruh Ilahi (Nafas al-Rahman). Oleh karena itu, potensi untuk mencapai ma’rifatullah (mengenal Allah), fana’ (peleburan diri dalam Tuhan), dan baqa’ (keabadian bersama Tuhan) adalah sama bagi semua jiwa. Ilmu sejati dalam tasawuf adalah ilmu laduni atau ilmu kasyaf (penyingkapan rahasia Ilahi), yang dianugerahkan berdasarkan kesucian hati dan ketakwaan, bukan jenis kelamin.

Contoh paling nyata adalah Rabiah al-Adawiyah (wafat 185 H/801 M), seorang sufi perempuan dari Basra yang diakui sebagai salah satu pionir konsep mahabbah (cinta ilahi murni). Ketinggian spiritual dan keilmuannya dihormati luas bahkan oleh sufi laki-laki. Selain Rabiah, ada pula Fatimah an-Naisaburi (abad ke-3 H/9 M) yang disebut “Rabiah kedua” karena keilmuan dan ketakwaannya yang luar biasa. Ini menunjukkan bahwa dalam tradisi tasawuf klasik, akses keilmuan dan otoritas spiritual tidak secara inheren dibatasi oleh gender.

Tasawuf Modern: Mengaktualisasikan Kesetaraan

Di era modern, tasawuf semakin menegaskan dan mengaktualisasikan prinsip kesetaraan ini dalam praktik dan diskursus.

  • Reinterpretasi Progresif: Tasawuf modern cenderung lebih eksplisit dalam menafsirkan teks-teks klasik untuk mendukung kesetaraan gender, menolak interpretasi yang bias gender. Mereka berargumen bahwa hambatan terhadap partisipasi perempuan dalam ilmu dan spiritualitas seringkali bersumber dari konstruksi sosial-budaya yang partikular, bukan dari ajaran tasawuf itu sendiri.
  • Peran Aktif Perempuan: Di banyak komunitas sufi kontemporer, perempuan memegang peran sentral sebagai guru spiritual (mursyidah), pembimbing, dan pemimpin majelis zikir. Munculnya organisasi-organisasi sufi perempuan menunjukkan vitalitas dan kepemimpinan spiritual perempuan yang semakin diakui.
  • Jihad Intelektual dan Spiritual: Konsep “jihad” dalam tasawuf modern sering diperluas menjadi perjuangan intelektual dan spiritual untuk memberdayakan individu, termasuk perempuan, agar dapat berkontribusi penuh bagi masyarakat dan mencapai pencerahan diri.

Studi Gender: Meruntuhkan Batasan Sosial

Dari perspektif kajian gender, pernyataan Sunan Drajat adalah sebuah deklarasi yang revolusioner dan memberdayakan, terutama untuk konteks zamannya.

Kajian Gender Klasik (Konteks Pra-Modern)

Pada umumnya, pandangan gender di banyak peradaban pra-modern, termasuk di Jawa dan dunia Islam secara umum, cenderung patriarkal. Laki-laki mendominasi ranah publik, kekuasaan, dan keilmuan, sementara perempuan seringkali dibatasi pada ranah domestik.

  • Pembatasan Peran Sosial: Perempuan seringkali dianggap lebih emosional dan kurang rasional, sehingga dianggap tidak cocok untuk studi ilmu yang mendalam atau untuk berbicara di muka umum. Peran utama mereka adalah sebagai istri, ibu, dan pengelola rumah tangga.
  • Justifikasi Religius yang Bias: Terkadang, interpretasi yang sempit dan bias terhadap teks-teks agama digunakan untuk membenarkan pembatasan peran perempuan, meskipun interpretasi tersebut tidak sejalan dengan semangat keadilan Islam yang lebih luas atau ajaran para sufi.
  • Pengecualian Progresif: Pandangan Sunan Drajat adalah pengecualian yang sangat progresif untuk masanya. Beliau secara eksplisit menolak pandangan umum yang merendahkan kapasitas intelektual perempuan dan justru menegaskan kesetaraan mereka dalam memperoleh dan menyampaikan ilmu. Ini menunjukkan adanya suara-suara reformis dan egaliter di tengah arus utama patriarki.

Kajian Gender Modern: Dekonstruksi dan Pemberdayaan

Kajian gender modern, sebagai disiplin ilmu yang berkembang sejak abad ke-20, secara kritis menganalisis bagaimana gender dikonstruksi secara sosial dan budaya, serta dampak dari konstruksi tersebut terhadap kekuasaan dan ketidaksetaraan.

  • Dekonstruksi Gender: Kajian gender modern secara fundamental membantah bahwa perbedaan peran sosial laki-laki dan perempuan adalah murni biologis atau alamiah. Sebaliknya, mereka menunjukkan bahwa peran-peran ini adalah konstruksi sosial yang dapat berubah dan seringkali memicu ketidakadilan. Pandangan Sunan Drajat secara intuitif sudah melakukan dekonstruksi ini dengan menyatakan tidak ada perbedaan dasar dalam kapasitas intelektual.
  • Pemberdayaan dan Keadilan: Tujuan utama kajian gender modern adalah mencapai keadilan gender dan memberdayakan semua individu, tanpa memandang jenis kelamin, untuk mencapai potensi penuh mereka. Mereka memperjuangkan akses setara terhadap pendidikan, pekerjaan, partisipasi politik, dan ranah publik lainnya.
  • Feminisme Islam: Gerakan yang muncul di akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 ini berusaha menafsirkan kembali teks-teks Islam dari perspektif yang berpihak pada keadilan gender. Mereka menemukan dukungan kuat dalam Al-Quran dan Hadis untuk kesetaraan perempuan, sejalan dengan semangat pandangan Sunan Drajat. Tokoh seperti Aminah Wadud dan Asma Barlas adalah contoh akademisi feminis Islam yang relevan.

Kesimpulan Akhir

Pernyataan Sunan Drajat dalam Kitab Syekh Majnun bukan sekadar anekdot sejarah, melainkan sebuah deklarasi prinsipil yang mendalam. Ia mencerminkan pemahaman tasawuf yang melampaui batasan fisik menuju hakikat ruh yang setara, serta merupakan suara progresif yang mendahului konsep-konsep kajian gender modern.

Lebih dari itu, implementasi prinsip ini dalam kehidupan keluarga Sunan Drajat, di mana istri-istri dan keturunannya secara aktif berpartisipasi dalam dakwah dan perjuangan, menegaskan bahwa kesetaraan bukan hanya idealisme tetapi juga praktik nyata. Kisah Nyai Sawilah dan Nyai Mas Amirah adalah bukti nyata bahwa perempuan memiliki peran krusial dalam membentuk sejarah dan menyebarkan nilai-nilai luhur. Warisan pemikiran ini patut terus dikaji dan diinternalisasi dalam upaya membangun masyarakat yang lebih inklusif dan berilmu di masa kini.

Referensi

  • Abu Nu’aym al-Isfahani . Hilyat al-Awliya’ wa Tabaqat al-Asfiya’ (Hiasan Para Suci dan Kategori Orang Bertakwa). Juz 8, hal. 200-216 (untuk biografi Rabiah al-Adawiyah). Beirut: Dar al-Qutub al-‘Ilmiyah, 1987.
  • Fariduddin Attar . Tazkirat al-Awliya’ (Peringatan Para Suci). Hal. 37-45 (untuk biografi Rabiah al-Adawiyah). Diedit oleh RA Nicholson. London: Luzac & Co., 1905.
  • Schimmel, Annemarie. Mystical Dimensions of Islam. Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975. (Secara ekstensif membahas peran perempuan dalam tasawuf dan mengakui kontribusi mereka, meskipun bukan fokus utama buku ini).
  • Murata, Sachiko. The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender Relationships in Islamic Thought. Albany: State University of New York Press, 1992. (Buku ini menganalisis konsep gender dalam pemikiran Islam, termasuk tasawuf, dan menunjukkan bagaimana tradisi Islam mendukung kesetaraan dalam dimensi spiritual).
  • Raffles, Thomas Stamford. The History of Java. Jilid 1, hlm. 280-285 (untuk gambaran umum kehidupan sosial dan peran perempuan pada masa itu, meskipun perlu dicatat ini adalah perspektif kolonial). London: John Murray, 1817.
  • De Graaf, H.J. & Pigeaud, Th. G. Th.. Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Kajian Sejarah Politik dan Sosial Abad XV dan XVI. Hlm. 120-130 (untuk konteks sosial dan keagamaan di Jawa pada masa Wali Songo). Jakarta: Grafiti Pers, 1985. (Meskipun tidak secara spesifik membahas gender secara mendalam, buku ini memberikan konteks sosial budaya).
  • Butler, Judith. Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. New York: Routledge, 1990. (Karya fundamental dalam kajian gender yang memperkenalkan gagasan gender sebagai performa dan konstruksi sosial).
  • Wadud, Amina. Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective. Oxford: Oxford University Press, 1999. (Contoh reinterpretasi progresif teks agama dari perspektif feminis Islam).

Menguak Tirai Hakikat: Pesan Sunan Drajat dalam Kitab Syekh Majnun

Dalam khazanah spiritual Nusantara, nama Sunan Drajat bersinar terang sebagai salah satu Wali Songo. Beliau tak hanya menyebarkan ajaran Islam, tapi juga meninggalkan warisan kearifan yang mendalam. Salah satu mutiara kebijaksanaannya dapat kita temukan dalam dawuh (ucapan) beliau yang termaktub dalam Manuskrip Drajat :Kitab Syekh Majnun, yang menyimpan intisari pemikiran sang Sunan.

Dawuh Sunan Drajat itu berbunyi:

“Tinon asri marbuk wangi. Punika maksih rorasan. Yen sira nyuwun weruh jatine, den jati sira mimitra.”

Makna Harfiah Dawuh Sunan Drajat

Untuk memahami pesan Sunan Drajat, mari kita bedah arti setiap bagiannya secara harfiah:

  • “Tinon asri marbuk wangi.”
    • Tinon: Terlihat, tampak, dipandang.
    • Asri: Indah, elok, mempesona.
    • Marbuk: Harum semerbak, sangat memikat hingga memabukkan.
    • Wangi: Harum.
    • Makna: Terlihat indah, harum semerbak, dan sangat memikat. (Menggambarkan keindahan duniawi yang mempesona).
  • “Punika maksih rorasan.”
    • Punika: Itu, itu semua.
    • Maksih: Masih.
    • Rorasan: Kulit luar, lapisan luar, bungkus, hal-hal yang bersifat tampak atau zahir.
    • Makna: Itu semua hanyalah lapisan luar.
  • “Yen sira nyuwun weruh jatine,”
    • Yen: Jika.
    • Sira: Kamu, engkau.
    • Nyuwun weruh: Meminta tahu, ingin mengetahui.
    • Jatine: Hakikat sejatinya, kebenaran intinya.
    • Makna: Jika engkau ingin mengetahui hakikat sejatinya,
  • “Den jati sira mimitra.”
    • Den jati: Maka sungguh-sungguh, sesungguhnya.
    • Sira: Kamu, engkau.
    • Mimitra: Mengenali dirimu sendiri, bersahabat dengan dirimu.
    • Makna: Maka kenalilah dirimu terlebih dahulu.

Terjemahan Harfiah: “Pandanglah keindahan (dunia) ini yang harum memabukkan. Itu semua hanyalah lapisan luar. Jika engkau ingin mengetahui hakikat sejatinya, maka kenalilah dirimu terlebih dahulu.”

Analisis Dawuh dalam Perspektif Tasawuf

Dawuh Sunan Drajat ini, jika kita selami dari kacamata tasawuf (ilmu yang mengkaji perjalanan spiritual untuk mendekatkan diri kepada Allah), menyampaikan dua pilar utama: menyingkap tabir dunia dan menyelami hakikat diri.

1. Pesona Dunia sebagai Hijab (Tabir)

Bagian pertama dawuh, “Tinon asri marbuk wangi. Punika maksih rorasan,” menggambarkan betapa memikatnya dunia fana ini. Keindahan dunia, gemerlap harta, pesona rupa, dan segala kenikmatan indrawi diibaratkan “harum yang memabukkan.” Sunan Drajat mengingatkan kita bahwa semua itu hanyalah “rorasan” — lapisan luar atau bungkus semata.

Dalam tasawuf, ini disebut dunia sebagai hijab (penghalang) yang bisa memalingkan hati dan pandangan seorang salik (penempuh jalan spiritual) dari tujuan sejatinya, yaitu Allah SWT.

Imam Al-Ghazali, dalam karyanya Ihya’ Ulumiddin, banyak membahas bahaya hubbud dunya (cinta dunia) yang berlebihan. Beliau menjelaskan bahwa perhiasan dunia bisa menjadi penghalang tebal untuk mencapai makrifatullah (pengenalan kepada Allah). Jika dunia tidak dipahami sebagai sarana, ia akan menjadi tujuan yang mengikat jiwa kita.

Dalil dari Al-Qur’an: Allah SWT berfirman:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali ‘Imran: 14)

Ayat ini menegaskan bahwa segala yang indah di dunia ini hanyalah “kesenangan hidup di dunia.” Para sufi diajarkan untuk tidak terpaku pada “kesenangan” ini, melainkan menembus “rorasan” menuju hakikat Ilahi.

2. Kunci Gerbang Hakikat: Mengenali Diri (Makrifatun Nafs)

Puncak dawuh Sunan Drajat ada pada kalimat: “Yen sira nyuwun weruh jatine, den jati sira mimitra.” Ini adalah petunjuk penting untuk memahami ilmu hakikat dan makrifat. Jika seseorang ingin tahu “jatine” (hakikat sejati segala sesuatu, termasuk hakikat Tuhan), maka syarat mutlaknya adalah “den jati sira mimitra” — kenalilah dirimu terlebih dahulu.

Dalam tasawuf, konsep “mengenali diri” (makrifatun nafs) adalah fondasi utama dan gerbang menuju makrifatullah (pengenalan kepada Allah SWT). Konsep ini didukung oleh sebuah hadis yang sangat populer di kalangan sufi:

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ

“Barangsiapa mengenal dirinya, sungguh ia mengenal Tuhannya.”

Mengapa mengenal diri menjadi kunci dalam tasawuf menurut ulama sufi:

  • Diri sebagai Mikrokosmos (Alam Saghir) dan Manifestasi Ilahi: Para sufi meyakini bahwa manusia adalah alam kecil (alam saghir) yang mencerminkan alam besar (alam kabir), bahkan mencerminkan Asma’ dan Sifat Allah. Dengan menyelami batin, seorang salik dapat menemukan jejak-jejak ketuhanan. Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitabnya Al-Ghunyah li Thalibi Tariqil Haqq menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna karena di dalamnya terkumpul seluruh hakikat alam semesta dan rahasia-rahasia Ilahi. Mengenal diri berarti mengenal rahasia rububiyah (ketuhanan) yang ditiupkan ke dalam ruh manusia.

Allah swt berfirman:

وَنَفَخْتُ فِيهِ مِن رُّوحِي

“Dan telah Kutiupkan ke dalamnya ruh-Ku.” (QS. Al-Hijr: 29) Ayat ini menjadi dasar bahwa ada “percikan” Ilahi dalam diri manusia, yang memungkinkannya mengenal Penciptanya jika ia mau menyelaminya.

  • Pembersihan Hati (Tazkiyatun Nafs) sebagai Syarat Mengenal Diri Sejati: Mengenal diri juga berarti introspeksi mendalam untuk mengidentifikasi dan membersihkan penyakit-penyakit hati (amradhul qulub) seperti hubbud dunya (cinta dunia), riya’ (pamer), ujub (kagum pada diri sendiri), takabbur (sombong), hasad (dengki), dan sifat tercela lainnya. Sifat-sifat negatif ini berfungsi sebagai hijab yang menghalangi penglihatan batin terhadap hakikat Ilahi. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin menekankan bahwa penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) adalah syarat mutlak untuk mencapai makrifatullah. Ia mengibaratkan hati yang kotor seperti cermin berkarat; tidak akan mampu memantulkan cahaya kebenaran. Hanya hati yang bersih yang dapat menerima tajalli (manifestasi) Ilahi.

Allah swt berfirman:

قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا – وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا

“Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9-10) Ayat ini jelas mengaitkan keberuntungan (keberhasilan spiritual) dengan penyucian jiwa, yang merupakan bagian penting dari mengenal diri.

  • Jalan Menuju Makrifatullah (Pengenalan kepada Allah): Tujuan akhir dari mengenal diri adalah makrifatullah, yaitu pengenalan yang mendalam dan intim terhadap Allah SWT. Ini bukan hanya pengenalan akal atau hafalan, melainkan melalui pengalaman batin, penyaksian spiritual (kasyf), dan penghayatan kehadiran Ilahi dalam setiap aspek kehidupan. Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili, salah satu pendiri tarekat Syadziliyah, mengajarkan bahwa makrifat tidak dicapai hanya dengan ilmu lahir, melainkan dengan riyadhah (latihan spiritual) dan mujahadah (perjuangan melawan nafsu) untuk membersihkan hati. Hanya hati yang bersih dan jiwa yang tenang yang dapat mencapai tingkatan musyahadah (penyaksian) akan kebesaran dan keindahan Tuhan.
  • Kesadaran akan Fitrah Ilahiah dan ‘Kembali’ kepada Allah: Mengenal diri membawa pada kesadaran akan fitrah ilahiah manusia, yaitu kecenderungan alami untuk mencari dan mencintai Tuhannya. Dengan membersihkan diri dari kotoran duniawi, fitrah ini akan bersinar terang, membimbing jiwa kembali menuju asalnya, yaitu hadirat Ilahi. Ibnu Atha’illah Al-Sakandari dalam Kitab Al-Hikam menyatakan: “Bagaimana mungkin hati disinari, padahal bentuk-bentuk alam semesta tercermin padanya? Atau bagaimana mungkin ia menempuh perjalanan menuju Allah, padahal ia masih terbelenggu oleh syahwat-syahwatnya?” Ini menunjukkan bahwa pengenalan diri adalah proses melepaskan belenggu duniawi agar hati dapat leluasa bergerak menuju Allah.

Kesimpulan

Dawuh Sunan Drajat adalah warisan kearifan yang tak lekang oleh waktu, mengandung intisari ajaran tasawuf yang sangat relevan. Beliau mengajak kita untuk tidak terperdaya oleh “rorasan” (lapisan luar) dunia yang fana, melainkan fokus pada pencarian “jatine” (hakikat sejati). Kunci untuk membuka gerbang hakikat ini adalah dengan “mimitra” (mengenali diri) secara mendalam.

Proses mengenal diri dalam tasawuf adalah perjalanan tazkiyatun nafs yang berkelanjutan, yaitu membuang sifat-sifat buruk dan menghidupkan sifat-sifat terpuji. Ini bertujuan agar hati menjadi cermin bersih yang siap menerima cahaya makrifatullah. Dengan demikian, dawuh Sunan Drajat adalah sebuah peta jalan spiritual bagi siapa saja yang ingin melampaui alam materi dan mencapai kedekatan yang hakiki dengan Sang Pencipta.