Kafalah Yatim-Dhuafa
Bea Siswa Mahasantri
Walisongo Tanggap

Sunan Giri – Sang Pelopor Dakwah

Sunan Giri, yang memiliki nama asli Raden Ainul Yaqin, adalah salah satu tokoh sentral dalam dakwah Islam di Jawa dan anggota terkemuka Walisongo. Beliau dikenal luas sebagai ahli fikih, pemimpin pendidikan Islam, dan penggerak politik Islam di Nusantara.

Asal Usul dan Masa Kecil

Sunan Giri adalah putra dari Maulana Ishaq, seorang ulama besar yang berdakwah di wilayah Blambangan (sekarang Banyuwangi), dan Dewi Sekardadu, putri Raja Blambangan. Namun, karena penolakan dari keluarga kerajaan terhadap dakwah ayahandanya, sang bayi (Raden Ainul Yaqin) dibuang ke laut dalam peti.

Takdir Allah menjaga beliau. Peti itu ditemukan oleh seorang pedagang Muslim kaya bernama Nyai Gede Pinatih di pelabuhan Gresik. Raden Ainul Yaqin pun dibesarkan dan diasuh oleh Nyai Gede Pinatih hingga dewasa.

Pendidikan dan Dakwah Awal

Setelah dewasa, Ainul Yaqin belajar kepada Sunan Ampel di Surabaya dan menjadi salah satu murid terbaik di Pesantren Ampeldenta. Di bawah bimbingan Sunan Ampel, ia memperdalam ilmu agama, fikih, akhlak, dan strategi dakwah.

Setelah menyelesaikan pendidikannya, ia mulai berdakwah dan membangun pesantren di daerah Giri Kedaton (sekarang Gresik). Tempat ini kelak dikenal sebagai pusat ilmu agama dan kekuatan spiritual-politik Islam di Jawa bagian timur.

Giri Kedaton: Pesantren dan Pusat Kekuasaan

Sunan Giri tidak hanya membangun pesantren biasa, tetapi mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam bergaya kerajaan, dikenal dengan nama Giri Kedaton. Para santrinya datang dari berbagai penjuru Nusantara — dari Jawa, Madura, Kalimantan, hingga Maluku.

Pesantren ini menghasilkan ulama-ulama pejuang, seperti:

  • Sunan Prapen (putranya sendiri),
  • Sheikh Yusuf Makassar,
  • Dan tokoh-tokoh Islam di kawasan timur Indonesia.

Giri Kedaton menjadi tempat ijtihad hukum, pengambilan keputusan dakwah, bahkan pusat rujukan pemerintahan Islam di masa-masa peralihan kerajaan Hindu-Buddha ke Islam.

Peran Politik dan Spirit Perlawanan

Sunan Giri dikenal sebagai Wali yang berani bersikap tegas terhadap kekuasaan yang zalim. Dalam musyawarah Walisongo, beliau sering berperan sebagai pembawa suara rakyat dan pelindung umat.

Ketegasan dan kecerdasan beliau menjadikan Giri sebagai semacam “negara dalam negara”, tempat umat Islam berlindung dari penindasan politik. Bahkan beberapa kerajaan Islam seperti Demak dan Ternate menjalin hubungan diplomatik dengan Giri.

Dakwah Melalui Budaya dan Permainan Anak

Salah satu keistimewaan Sunan Giri adalah kemampuannya berdakwah melalui permainan dan budaya. Beliau menciptakan:

  • Permainan jelungan (petak umpet),
  • Lagu-lagu dolanan anak bernuansa tauhid,
  • Dan syair-syair dakwah yang menyentuh hati.

Dengan cara ini, Islam menyebar tidak hanya melalui masjid, tetapi juga melalui kebudayaan rakyat — anak-anak, keluarga, dan masyarakat umum.

Wafat dan Makam

Sunan Giri wafat pada tahun 1506 M. Beliau dimakamkan di Gresik, Jawa Timur, di kompleks Makam Sunan Giri yang terletak di atas bukit dan kini menjadi tujuan utama ziarah Walisongo.

Warisan Abadi Sunan Giri

Sunan Giri mewariskan semangat:

  • Pendidikan Islam berbasis rakyat
  • Ketegasan terhadap kezaliman
  • Kreativitas dalam dakwah budaya

Beliau adalah contoh ulama yang berilmu, berani, dan berjiwa pemimpin, sekaligus pecinta damai yang menyebarkan Islam dengan hikmah dan kasih sayang.

Maulana Malik Ibrahim – Pelopor Dakwah Walisongo di Jawa

Maulana Malik Ibrahim, dikenal pula dengan sebutan Sunan Gresik, adalah tokoh pertama dari jajaran Walisongo yang menyebarkan Islam di tanah Jawa. Beliau bukan sekadar ulama, tetapi juga pelopor dakwah kultural, pendidik, dan pembuka jalan bagi berkembangnya Islam di Nusantara secara damai dan berakar dalam kehidupan masyarakat.

Asal Usul dan Perjalanan ke Jawa

Maulana Malik Ibrahim diperkirakan berasal dari wilayah Samarkand atau Kashan (Persia), dan memiliki garis keturunan dari Sayyidina Husain bin Ali, cucu Rasulullah ﷺ. Beliau dikenal luas sebagai seorang alim dan ahli pengobatan. Dalam tradisi lain, beliau juga disebut pernah berdakwah di Gujarat (India) sebelum berlayar menuju Nusantara.

Sekitar akhir abad ke-14, Maulana Malik Ibrahim datang ke Gresik, sebuah kota pelabuhan yang ramai dikunjungi para pedagang asing dan tempat pertemuan berbagai budaya. Di sinilah beliau memulai dakwah Islam kepada masyarakat Jawa dengan pendekatan sosial dan budaya.

Metode Dakwah: Damai, Humanis, dan Bertahap

Berbeda dari pendekatan konfrontatif, Sunan Gresik lebih menekankan pada dakwah melalui keteladanan dan pengabdian sosial. Ia dikenal sebagai tabib yang mengobati masyarakat tanpa memandang latar belakang agama. Beliau juga mengajarkan pertanian, irigasi, dan keterampilan hidup yang membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Dengan akhlaknya yang mulia, Sunan Gresik berhasil membangun kepercayaan masyarakat, sehingga mereka terbuka menerima ajaran Islam tanpa paksaan. Ia juga mendirikan surau dan madrasah untuk mengajarkan tauhid, fikih, serta ilmu akhlak.

Perintis Generasi Walisongo

Maulana Malik Ibrahim bukan hanya dai perintis, tetapi juga pendidik generasi penerus dakwah. Banyak muridnya yang kelak menjadi tokoh penting penyebaran Islam di berbagai daerah. Salah satunya adalah Raden Rahmat (Sunan Ampel), yang diyakini sebagai putra atau keponakannya, tergantung versi sejarah yang dirujuk.

Melalui bimbingan dan strategi dakwahnya, formulasi Islam Nusantara mulai terbentuk — Islam yang santun, menghargai budaya, dan mudah diterima masyarakat lokal.

Wafat dan Makam

Maulana Malik Ibrahim wafat pada tahun 1419 M (822 H), jauh sebelum para Wali Songo lainnya aktif berdakwah. Ia dimakamkan di Gapurosukolilo, Gresik, dan makamnya hingga kini menjadi tempat ziarah dan napak tilas sejarah Islam di Indonesia.

Pada nisannya tertulis dengan huruf Arab dan bahasa Persia:

“Hadzal qabr al-marhum al-ghaib, asy-syaikh Maulana Malik Ibrahim, wafat sanah tsamaniyah wa ‘isyriin wa tsamaniah mi’ah.”
(“Inilah makam almarhum yang ghaib, Syekh Maulana Malik Ibrahim, wafat tahun 822 H.”)

Warisan dan Keteladanan

Sunan Gresik meninggalkan warisan dakwah damai, spiritualitas yang merakyat, dan keteladanan hidup sebagai pelayan umat. Dakwahnya tidak dibangun di atas kekuasaan, tapi pada fondasi kasih sayang dan keteladanan akhlak — ciri utama dakwah Walisongo.

Biografi Sunan Ampel-Guru Wali Nusantara

1. Asal Usul dan Kedatangan ke Jawa

Dari Champa

Raden Rahmat, yang kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel, adalah putra dari Syekh Ibrahim Asmarakandi, seorang ulama besar dari Champa (sekarang wilayah Vietnam bagian selatan), dan ibunya adalah putri Raja Champa. Raden Rahmat datang ke Jawa bersama ayahandanya, Syekh Ibrahim, serta saudaranya Ali Musada dan seorang kawannya Abu Hurairah, putra Raja Champa.

Mereka mendarat di pelabuhan Tuban, wilayah pesisir utara Jawa yang telah menjadi pelabuhan penting dan pusat perdagangan serta pertemuan berbagai budaya dan agama. Di sana, mereka menetap sementara untuk menyebarkan dakwah Islamiyah.

Namun, dalam waktu yang tidak lama, Syekh Ibrahim wafat di Tuban. Raden Rahmat kemudian melanjutkan perjalanannya ke kerajaan Majapahit, tepatnya ke istana untuk menemui bibinya yang dinikahi oleh Raja Majapahit, yang saat itu menganut agama Buddha.

2. Pengangkatan sebagai Sunan dan Dakwah di Surabaya

Menurut Babad Ngampeldenta, peresmian Raden Rahmat sebagai imam dan ulama besar di Surabaya dilakukan oleh Raja Majapahit. Gelar “Sunan” dan kedudukan sebagai Wali Allah di Ngampeldenta pun disematkan kepadanya. Inilah awal mula ia dikenal sebagai Sunan Ampel.

Ia juga diangkat menjadi imam Masjid Surabaya oleh seorang pejabat kerajaan yang bernama Arya Sena, yang menjabat sebagai Pecat Tandha di Terung. Atas hubungan baik dengan kerajaan, Raden Rahmat diizinkan tinggal di daerah Ampel (Surabaya sekarang), bersama sejumlah keluarga yang diserahkan oleh pihak kerajaan untuk dididik dalam ajaran Islam.

3. Perjalanan Menuju Ampel dan Pernikahan

Dalam perjalanannya menuju Ampel, Raden Rahmat melewati berbagai wilayah seperti Pari, Kriyan, Wonokromo, dan Kembang Kuning, yang pada waktu itu masih berupa hutan lebat. Di kawasan itu, ia bertemu dengan seorang tokoh lokal bernama Ki Wiryo Saroyo, yang juga dikenal sebagai Ki Bang Kuning atau Mbah Karimah.

Ki Bang Kuning akhirnya memeluk Islam dan menjadi pengikut setia Raden Rahmat. Raden Rahmat pun menikahi putri Ki Bang Kuning yang bernama Mas Karimah. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai dua orang putri, yaitu Mas Murtosiyah dan Mas Murtosimah.

Sunan Ampel kemudian menetap di kediaman Ki Bang Kuning dan membangun masjid sebagai pusat dakwah, mengajarkan Islam kepada masyarakat di sekitarnya.

4. Versi Lain dari Serat Walisana

Dalam versi Serat Walisana, dikisahkan bahwa Raja Majapahit tidak langsung mengangkat Raden Rahmat di Ampel, melainkan menyerahkannya kepada seorang bawahan yaitu Adipati Surabaya, Arya Lembu Sura, yang sudah lebih dahulu masuk Islam.

Arya Lembu Sura kemudian menunjuk Raden Rahmat sebagai imam di Surabaya dan memberinya tempat tinggal di Ampeldenta, sekaligus memberikan gelar Sunan Ampeldenta dan Pangeran Katib.

Dalam versi ini pula disebutkan bahwa Raden Rahmat menikahi Nyai Ageng Manila, putri dari Arya Teja, seorang tokoh penting dari Tuban. Saat Arya Lembu Sura pensiun dari jabatannya, Raden Rahmat kemudian menggantikannya dan menjadi penguasa Surabaya.

5. Peran dan Pengaruh

Sunan Ampel dikenal sebagai pendiri Pesantren Ampel Denta, salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara. Ia berperan besar dalam menyusun strategi dakwah Walisongo, termasuk dalam membentuk jaringan ulama dan santri di berbagai wilayah.

Sunan Ampel juga memiliki peran spiritual dan politis yang kuat dalam transisi masyarakat Jawa dari kepercayaan lokal dan Hindu-Buddha ke Islam, dengan cara damai, bijaksana, dan penuh toleransi.

6. Wafat

Sunan Ampel wafat pada tahun 1481 M dan dimakamkan di kompleks Masjid Ampel, Surabaya, yang hingga kini menjadi situs ziarah utama bagi umat Islam di Indonesia.