You’ll Never Walk Alone: Kemanusiaan di Balik Tragedi Kepergian Diogo Jota

Bendera setengah tiang berkibar di Anfield, tapi rasanya langit seluruh kota Liverpool pun turut mendung. Bukan karena kabut industrial klasik ala Inggris, tapi karena kabut duka yang menyelimuti hati jutaan pecinta sepak bola.

Diogo Jota, penyerang mungil tapi penuh daya dobrak, telah tiada. Ia bukan sekadar kehilangan untuk Liverpool —ia adalah kehilangan untuk kemanusiaan. Jota dan adiknya Andre Silva tewas dalam perjalanan menuju Inggris dari darat menyambung kapal feri.

Sepak bola memang sering disebut “the beautiful game”, tapi hari-hari ini ia terasa seperti drama klasik penuh tragedi, kehilangan, dan air mata. Bukan karena kalah 7-0 dari tim tetangga, tapi karena satu dari mereka yang mengenakan jersey merah itu takkan kembali lagi.

Ya, Jota pergi selamanya, dan tak mungkin kembali. Tidak untuk latihan, tidak untuk merayakan gol, dan tidak pula untuk menyeka air mata fans cilik di pinggir lapangan.

Ketika mendengar kabar duka ini, banyak dari kita berharap ini hanya salah satu hoaks yang biasa berseliweran di media sosial. Tapi ketika Presiden Portugal sendiri melayat, dan Virgil van Dijk memeluk istri Jota dengan mata sembab, kita tahu: ini nyata. Terlalu nyata.

Di satu nyanyian legendaris “You’ll Never Walk Alone,” ada satu janji: “When you walk through a storm, hold your head up high…” Kini, badai duka sedang menyapu keluarga Jota. Tapi mereka tidak berjalan sendiri. Ada Liverpool di belakang mereka. Bukan hanya klub, tapi institusi kasih sayang.

Di dunia sepak bola modern, pemain adalah aset. Kontrak ditulis dalam angka yang membuat ahli matematika bingung. Bonus dibayarkan per gol, per assist, bahkan per senyuman di sesi foto jersey baru.

Tapi ketika Diogo Jota mengembuskan napas terakhirnya, Liverpool tidak melihat angka. Mereka melihat keluarga. Dan mereka merespons bukan dengan kalkulator, tapi dengan hati.

Gaji 140.000 pound per pekan? Serahkan semuanya pada istrinya. Bonus yang belum sempat ditransfer? Masukkan ke dalam paket cinta. Dan itu berlaku untuk dua tahun sisa masa kontrak, berarti total sekitar Rp 325 miliar. Pendidikan ketiga anak Jota? Biar kami yang tanggung.

Bahkan, menurut bisik-bisik yang belum sepenuhnya dikonfirmasi, mereka akan tetap dianggap sebagai bagian dari keluarga besar The Reds. Tak ada klausul “berakhir saat napas berhenti”. Karena bagi Liverpool, cinta tidak mengenal masa kontrak.

Banyak klub lain akan menyerahkan soal tersebut pada asuransi. Sistem sudah mengaturnya. Tapi Liverpool tak sekadar menjalankan sistem. Mereka membangun makna. This Means More, begitu semboyan mereka. Dan sekarang kita tahu, itu bukan hanya slogan iklan.

Jota bukan Messi. Ia bukan Ronaldo. Tapi ia adalah Jota. Seorang yang mencetak gol tak hanya di lapangan, tapi di hati para fans. Ia adalah pemain yang tidak banyak gaya, tapi banyak kerja. Tidak banyak drama, tapi banyak cinta.

Lihatlah caranya menyapa fans, memberi jersey untuk anak-anak kecil yang mengelu-elukan Liverpool di pinggir lapangan. Jota tak segan menolong rekan setim yang jatuh. Bahkan ketika tidak mencetak gol, ia mencetak simpati.

Sekarang, Anfield kehilangan bukan hanya seorang striker. Tapi juga seorang panutan. Seorang suami, ayah, teman, dan inspirasi. Seorang yang tetap menunduk saat dielu-elukan, dan tetap berlari kencang bahkan saat tertinggal.

Langkah Liverpool untuk hadir di pemakaman Jota bukan protokoler. Itu personal. Van Dijk tak perlu bicara, matanya cukup berkata-kata. Andy Robertson tak perlu mencetak umpan, kehadirannya di sisi keluarga Jota sudah cukup jadi pelipur lara.

Bahkan tampak hadir Arne Slot, pelatih baru yang belum sempat benar-benar mengenal Jota, berdiri di barisan paling depan. Ia menunjukkan bahwa di Liverpool, pelatih bukan bos, tapi bagian dari keluarga.

Mereka datang bukan sebagai pesepakbola. Tapi sebagai manusia. Mereka tidak membawa bola, tapi membawa pelukan. Tidak membawa strategi, tapi membawa simpati.

Diogo Jota telah pergi, tapi ia meninggalkan warisan. Bukan hanya statistik dan medali, tapi nilai. Bahwa sepak bola bukan hanya soal menang atau kalah, tapi soal peduli. Soal loyalitas yang tetap hidup, bahkan ketika orangnya telah tiada.

Apa amal yang pernah dilakukan Jota semasa hidupnya? Barangkali ia tidak membuka panti asuhan atau membangun rumah ibadah. Tapi ia telah menunjukkan kebaikan dalam keseharian. Ia tersenyum. Ia memberi. Ia rendah hati. Dan ia tidak pernah menyombongkan diri walau dipuja ribuan orang. Itu cukup untuk menjadikannya teladan.

Terima kasih, Diogo Jota. Terima kasih, Liverpool. Dalam dunia yang semakin dingin dan legalistik, kalian mengingatkan kami bahwa cinta dan kemanusiaan masih punya tempat. Dan ya, Jota: You’ll Never Walk Alone. Bahkan dalam kepergianmu di usia 28 tahun.

Tanda-Tanda Perang Israel-Iran Akan Kembali: Gencatan Senjata Sekadar “Snooze Alarm”?

Israel kembali belanja. Bukan baju musim panas di Tel Aviv atau kurma khas Ramadan, tapi bom. Ya, bom. Dan bukan sembarang bom, tapi guidance kits seharga 510 juta dolar (Rp. 8,25 Triliun) dari toko senjata favoritnya: Amerika Serikat. Diskon? Tidak disebutkan. Mungkin pakai sistem cicilan, atau bundling dengan “bonus” Hellfire Missiles.

Tentu saja, pembelian ini bukan untuk festival kembang api 17 Agustus —Israel tidak ikut— melainkan untuk “persiapan menghadapi ancaman masa depan.” Begitu bunyinya. Kalau dibaca perlahan sambil ngopi, “masa depan” itu sepertinya maksudnya: Iran. Si tetangga jauh yang sejak dulu akrabnya seperti Tom & Jerry – lengkap dengan gergaji, panci, dan kadang, rudal.

Padahal baru beberapa minggu lalu dunia sempat bernapas lega. Gencatan senjata Israel-Iran pada 25 Juni 2025 terasa seperti rehat iklan dalam film horor. Tapi rupanya, seperti semua rehat iklan, kita kembali disuguhi adegan berbau darah. Atau lebih tepatnya: ancaman adegan berdarah.

Mari kita mundur sebentar ke Februari 2025. Kala itu, Israel belanja besar-besaran: 7,4 miliar dolar (Rp 118,4 Triliun) untuk bom dan misil. “Mumpung diskon?” Mungkin. Atau karena stok mereka habis dipakai untuk “mengerjakan” Gaza. Rupanya itu juga jadi modal perang melawan Iran. Presiden Biden sempat ogah mengirim bom 907 kg —apalagi yang 13 ton— karena terlalu mematikan.

Namun begitu Trump kembali ke Gedung Putih, bom itu pun meluncur —secara harfiah dan administratif. Dunia tak pernah tahu, apa sebenarnya deal bisnis antara Trump dan Netanyahu, sampai-sampai dia menjatuhkan bukan hanya satu bom penembus bumi 60 meter, tapi tiga sekaligus ke fasilitas penyimpanan bahan nuklir di Fordow, Iran.

Namun, Israel tetap porak-poranda. Dan kini, di bulan Juli, mereka kembali membeli bom —senilai “hanya” setengah miliar dolar— yang terasa seperti belanja harian di minimarket. Kok sedikit? Karena dompet Israel sudah sobek.

Perang dua belas hari dengan Iran bukan hanya menghancurkan radar, pangkalan, dan ego, tapi juga anggaran Israel. Dengan senjata Rp 118 Triliun saja Israel kewalahan melawan Iran, apalagi hanya dengan senjata seharga Rp 8,25 Triliun, Israel pasti keok lawan Iran, bisa-bisa langsung rata dengan tanah, maksudnya habis dari muka bumi.

Seorang ahli dari King’s College London, Andreas Krieg, menyebut gencatan senjata ini ibarat tali sepatu yang sudah usang: bisa putus kapan saja. Apalagi jika Iran merasa waktunya membalas, Israel merasa waktunya menyerang lagi, dan negara-negara Teluk sibuk buka puasa bersama, berbagi hadiah, sambil main diplomasi.

Tapi jangan bayangkan perang selanjutnya hanya bakal seperti film perang tahun 1940-an. Kita sekarang hidup di zaman ghost war —perang yang tak kasatmata tapi tetap bisa bikin mati. Serangan siber, pembunuhan ilmuwan nuklir, sabotase pom bensin, hingga gangguan GPS —semua masuk daftar “do it quietly” ala Mossad.

Lalu, kenapa Israel rajin banget belanja senjata padahal gencatan senjata masih hangat? Jawabannya bisa jadi: karena Benjamin Netanyahu. Sang perdana menteri (yang sebetulnya sudah bisa buka warung sendiri saking seringnya menjabat) tampaknya tidak ingin perang berhenti terlalu lama.

Ada tekanan politik dalam negeri, ada ekspektasi dari fans-nya di sayap kanan, dan tentu saja: ada Trump. “Gencatan senjata” tampaknya hanya digunakan Netanyahu seperti kita menggunakan tombol snooze di alarm pagi hari: sekadar menunda sebentar, bukan mematikan. Itu berarti sirene perang siap-siap berbunyi lagi?

Sementara itu di pihak seberang, Iran tampak sedang bermain catur. Serangan balasan mereka selama konflik Juni terbilang “bermartabat”: kirim drone ke pangkalan Al-Udeid di Qatar (yang kebetulan milik AS), ganggu sinyal satelit, dan mengirim ancaman ke langit-langit diplomasi.

Tapi jangan salah: di balik layar, IRGC (Korps Garda Revolusi Islam) kini diisi pemain-pemain baru yang menurut para analis jauh lebih agresif dan jauh lebih “tidak sabaran.” Mereka adalah generasi muda yang digembleng dengan ideologi kesyahidan dan glorifikasi imperium Iran.

Dan jangan lupakan variabel paling eksplosif dari semuanya: nuklir. Iran mungkin sedang berpikir keras, “Kalau Korea Utara bisa selamat karena nuklir, kenapa kami tidak?” Dunia mungkin berpikir ini gila. Tapi bagi mereka, ini logika bertahan hidup. Negara sebesar Amerika dan Eropa boleh sombong, tapi Iran rupanya bukan kaleng-kaleng.

Namun jangan salah sangka. Di balik kata “gencatan senjata” yang terdengar manis seperti janji kampanye, kenyataannya situasi lebih mirip perjanjian dua preman pasar: kita damai, tapi kalau lo nyenggol, gua ledakin.

Laporan dari Newsweek menyebutkan bahwa hanya beberapa hari setelah kesepakatan gencatan senjata diteken oleh Presiden Trump (tentu dengan gaya dramatis dan caps lock), keduanya sudah mulai saling tuding dan saling tembak.

Iran mengebom Beersheba dan bilang, “Itu sebelum gencatan, sumpah.” Israel tak kalah responsif: “Kita balas dong, pakai airstrike presisi. Kan presisi, jadi boleh.” Bahkan beberapa drone misterius beterbangan di atas Iran, entah kiriman siapa —mungkin dari Mossad, mungkin dari lapak online.

Dan ini belum masuk ke bab covert operation, alias operasi diam-diam yang tak pernah benar-benar diam. Iran mengklaim telah menangkap lebih dari 700 orang yang katanya kerja sambilan sebagai agen Mossad. Ada yang diadili dengan tuduhan mata-mata, beberapa bahkan sudah dihukum mati dengan cara digantung.

Sementara itu, pembunuhan ilmuwan nuklir, ledakan misterius, dan bom mobil jadi rutinitas terjadi di Iran, seperti sinetron yang tayang tiap malam. Kalau Anda pikir ini cerita film, salah. Ini berita. Dan sayangnya, berdasarkan kisah nyata.

Lalu ada pula parade retorika. Netanyahu menyebut operasi terakhir sebagai “kemenangan bersejarah,” seolah-olah ia baru saja menang olimpiade. Tak mau kalah, Presiden Iran Masoud Pezeshkian menyebut serangan balik Iran sebagai “kemenangan besar.”

Meski apa yang dimenangkan tidak terlalu jelas—selain harga minyak yang ikut naik. Keduanya tampak sedang lomba pidato dengan tema “Siapa Paling Suka Perang?”, lengkap dengan jargon dan dada dibusungkan.

Sementara itu, kata para analis, program nuklir Iran masih hidup dan sehat, meski sempat digebukin Israel dan AS. Malah kini lebih tersembunyi dan sulit dilacak. IAEA dibatasi aksesnya, dan persediaan uranium Iran makin banyak.

Bahasa kerennya: enrichment, alias pengayaan uranium, terus berjalan. Kalau ini terus dibiarkan, Israel bisa saja besok kembali berteriak, “Nuclear! Danger! Strike!” dan kita semua kembali ke babak baru drama Timur Tengah ini —episode ke-999.

Walakin, artikel ini tidak untuk jualan bom, tidak menawarkan solusi instan, dan tidak dibayar oleh Pentagon. Tapi ia mengingatkan kita: jika dunia terus membiarkan dendam ditambal dengan bom, maka satu-satunya yang akan tumbuh bukan perdamaian, tapi pasar senjata.

Dan seperti yang kita tahu, pasar ini tidak pernah tutup —apalagi saat sedang diskon konflik. Itu semua pertanda permainan perang belum akan pernah benar-benar tutup layar.

Dari Kampala ke Manhattan: Kisah Zohran Mamdani, Muslim Progresif yang Guncang Politik New York

Mari kita mulai dengan takbir. Allahu Akbar! Bukan karena ada serangan, bukan karena adzan, tapi karena di hari Jumat yang mulia ini —1 Muharam 1447 H— sebuah kabar baik mampir dari jantung kapitalisme dunia: New York City.

Ya, kota yang lebih dikenal sebagai kampung halaman Spider-Man dan tempat ngopi-nya Central Perk Friends itu, sebentar lagi bisa punya wali kota Muslim. Dan bukan sembarang Muslim: Zohran Mamdani, anak muda 33 tahun keturunan India-Uganda yang lebih suka bicara tentang Gaza daripada Gala Dinner.

Sungguh, ini bukan cerita fiksi politik dari Netflix. Ini nyata. Sebuah keajaiban politik yang lebih sulit dicerna daripada sambal roa dicampur oatmilk.

Bayangkan, seorang Muslim, progresif, penyair sosialisme, dan musuh bebuyutan Benyamin Netanyahu, berhasil mengalahkan Andrew Cuomo —mantan gubernur sekaligus bekas tokoh yang dulu sempat dielu-elukan seperti pahlawan Marvel, sampai akhirnya kariernya dikaramkan skandal seks dan gelombang #MeToo.

Zohran pendukung BDS, singkatan dari Boycott, Divestment, and Sanctions — sebuah gerakan internasional non-kekerasan yang dimulai oleh masyarakat sipil Palestina pada tahun 2005. Tujuannya, menekan Israel agar mematuhi hukum internasional dan prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam perlakuannya terhadap rakyat Palestina.

Berbekal kejujuran dan hati nurani, Zohran berlaga. Jika pemilu diibaratkan laga tinju, maka hasilnya seperti ini: Cuomo masuk ring dengan jubah mantan gubernur dan dukungan miliuner, Zohran cuma bawa mikrofon, idealisme, dan 22 ribu relawan yang lebih militan dari fans K-pop.

Dan yang bikin lebih dramatis: ini terjadi di New York, tempat di mana kata “komunis” biasanya cukup untuk membuat seseorang dibakar dalam opini publik. Tapi Zohran justru menyiram bensin ke api itu dengan berkata, “Saya akan menang bukan karena saya menyesuaikan diri, tapi karena saya jujur.”

Hasilnya? Boom. Zohran menang dalam sistem ranked-choice voting —sistem yang bahkan lebih membingungkan dari aturan tilang elektronik.

Dan yang bikin kaget: Cuomo sendiri mengakui kekalahannya sebelum hasil akhir diumumkan. Ini seperti Ronaldo bilang, “Saya kalah penalti, tapi anak muda itu mainnya ciamik.”

Di tengah euforia kemenangan Zohran, tentu saja tidak semua pihak bersorak gembira. Di Gedung Putih, Donald Trump langung ngamuk. Mungkin masih trauma karena kalah di 2024 (dan 2020, dan 2018, dan realita), dia seketika meledak di Truth Social.

Menurutnya, Zohran adalah “komunis gila 100%” dan merupakan ancaman paling nyata bagi demokrasi. Bahkan ia menyebut Zohran didukung oleh “AOC+3” —sebuah formula matematika dari semesta alternatif tempat Trump percaya ia adalah Albert Einstein versi oranye.

Trump, seperti biasa, juga sempat menyinggung suara Zohran yang “mengganggu” dan otaknya yang “nggak terlalu cemerlang”. Ini sebuah kritik tajam dari seseorang yang menyebut pemanas microwave sebagai “teknologi gelombang 5G berbahaya”.

Tuduhan Trump bersambut. Dari pojok kanan jauh spektrum politik, The New York Young Republican Club (NYYRC) mengeluarkan seruan yang terdengar seperti naskah film era McCarthy: mencabut kewarganegaraan Zohran dan mendeportasinya.

Mereka mengutip Communist Control Act tahun 1954 —sebuah undang-undang peninggalan masa Perang Dingin yang sudah lama berdebu di rak hukum Amerika— dan meminta Presiden Trump untuk “bertindak sekarang.” Alasannya, Zohran itu komunis.

Seolah-olah Zohran bukan kandidat sah hasil pemilu demokratis, tapi penyusup komunis yang menyaru lewat pemilu. Seruan ini, yang viral di platform X (sebelumnya Twitter), dengan cepat dibumbui nama-nama beken di lingkaran Trump: Stephen Miller dan Thomas Homan, dua tokoh yang dikenal lebih galak dari Satpol PP saat razia PKL.

Sungguh, ini bukan lagi debat politik —ini sudah masuk wilayah delusi historis. Kalau seseorang bisa dideportasi hanya karena mendukung bus gratis dan hak warga Palestina, maka tak heran bila suatu hari nanti buku catatan Nelson Mandela juga dianggap dokumen subversif.

Tapi mari tinggalkan Trump dan kembali ke Zohran, dengan bertanya, apa yang membuatnya menang?

Sederhana: ia tidak takut menyuarakan hal-hal yang tidak populer, tapi benar. Di tengah kegaduhan politik tentang Israel-Gaza, dia bilang terang-terangan: “Israel sedang melakukan genosida.” Kalimat yang cukup untuk membuat karier politisi mana pun tamat —kecuali jika politisi itu jujur dan berdiri di atas kaki prinsip.

Tapi bukan cuma soal Palestina. Zohran ingin membuat seluruh bus kota New York gratis. Dia juga ingin bikin supermarket milik pemerintah yang jual makanan sehat dan murah —surga bagi mahasiswa kere dan ibu-ibu beranak lima.

Bahkan dia usul pajak orang kaya dinaikkan untuk mendanai semua program ini. Sebuah pemikiran revolusioner yang dalam bahasa Wall Street disebut “blasphemy.”

Yang membuat para pengamat geleng-geleng —dan kaum elite bisnis megap-megap— adalah keberanian Zohran untuk merumuskan ulang konsep dasar “layak huni” di kota sebesar New York.

Di tengah gelombang penggusuran halus (alias gentrifikasi dengan parfum vanilla), ia justru mengedepankan ide yang dianggap “radikal” hanya karena terlalu masuk akal: membekukan kenaikan sewa dan membangun 200.000 unit rumah publik baru.

Bagi sebagian konglomerat properti, ini terdengar seperti larangan mencetak uang. Namun bagi lebih dari dua juta penyewa yang tercekik oleh inflasi, ini adalah napas hidup. Seperti kata para ekonom pendukungnya, kebijakan semacam ini bukan sekadar populis, tapi rasional secara fiskal dan sosial.

Sementara proposal bus gratis bukan hanya bentuk kemurahan hati ideologis, tetapi juga bukti bahwa pemerintah kota bisa —dan seharusnya— berfungsi layaknya urat nadi publik, bukan terminal bisnis.

Data menunjukkan bahwa ketika ongkos dihapus, kekerasan turun, partisipasi publik naik, dan dompet rakyat kecil bisa bernapas. Di mana letak komunismenya, kalau solusi ini justru menyelamatkan kota dari keruntuhan sosial-ekonomi?

Tapi siapakah gerangan Zohran Mamdani, si anak Kampala yang kini menginjak panggung sejarah New York?

Ia bukan cucu konglomerat atau alumni Yale Law School. Dia anak dosen dan sutradara.

Dia kuliah di Bowdoin, kerja jadi konselor perumahan bagi keluarga miskin, dan menikahi seniman keturunan Suriah yang lebih tertarik pada keramik dan ilustrasi daripada kekuasaan dan investasi.

Ini bukan kisah “American Dream”. Ini lebih cocok disebut Hijrah Politik—dari perbatasan minoritas menuju pusat kekuasaan kota global.

Lantas, apa pelajaran bagi kita di 1 Muharam ini? Pertama, bahwa politik bukan cuma milik orang tua berjas mahal dan lidah berlapis retorika. Politik bisa jadi milik anak muda Muslim dengan prinsip.

Kedua, bahwa kemenangan bukan selalu tentang suara mayoritas, tapi tentang suara nurani.

Ketiga, bahwa menjadi Muslim, mencintai keadilan, dan berani bicara benar bukan penghalang sukses —bahkan di tempat yang katanya paling liberal, tapi juga paling paranoid soal Islam.

Di hari Jumat dan tahun baru Hijriah ini, mari kita buka harapan baru: semoga Zohran Mamdani menang di Pilkada November nanti. Bukan sekadar untuk membanggakan ummat, tapi untuk menunjukkan bahwa politik bisa dibersihkan dari polusi korupsi dan hipokrisi.

Dan kalaupun Trump tetap marah-marah, ya biarkan saja. Toh, sudah banyak riset ilmiah menunjukkan bahwa tekanan darah tinggi bisa dipicu oleh terlalu sering membaca Truth Social.

Selamat Tahun Baru Hijriyah 1447. Selamat untuk Zohran. Dan selamat untuk kita semua —yang masih percaya bahwa dunia bisa berubah, satu pemilu, satu suara, dan satu orang jujur pada satu waktu.

Israel dan AS Keroyokan, Iran Justru Tegak: Antiklimaks Drama Timur Tengah

Dalam dunia yang makin terasa seperti serial Netflix berkepanjangan ini, episode terbaru datang dari Timur Tengah: “Israel+AS vs Iran: The Final Season (Maybe)”. Judulnya bombastis, tapi akhirnya malah jadi tontonan drama yang klimaksnya antiklimaks.

Israel nyerang, Iran nyerang balik, AS ikutan nyerang, terus semua bilang “Udahan yuk,” dan dunia pun kembali sibuk memesan hummus sambil memantau harga minyak dan bitcoin. Tapi mari kita kupas episode ini dengan santai —dengan tetap bersandar pada data, bukan cuma dada.

Mari kita mulai dari naskah resmi yang ditulis PM Israel Benjamin Netanyahu. Target perang katanya ada dua: “pemenggalan program nuklir Iran” dan “perubahan rezim”. Tapi yang terjadi? Tidak satu pun dari dua itu yang tercapai. Ia kalah, lalu merengek bantuan dari Trump.

Yang terjadi justru sebaliknya: program nuklir Iran tetap hidup sehat wal afiat (faktanya: citra satelit menangkap bayangan puluhan truk logistik memindahkan uranium keluar dari Fordow sebelum dibom AS). Dan satu bonus: rezim malah dapat ‘ashabiyah, dukungan kuat dari rakyat.

Kalau Anda pikir strategi Netanyahu itu seperti game catur 4D, ternyata itu lebih mirip main congklak pakai batu es —strateginya cair, hasilnya ngilang. Ini dipastikan oleh Ori Goldberg, analis independen dan pakar Iran, dalam artikelnya di Al Jazeera (24 Juni 2025).

Israel tampaknya percaya bahwa membunuh beberapa jenderal IRGC bisa membuat rakyat Iran beramai-ramai ganti rezim, seperti ganti channel TV. Tapi yang terjadi? Meskipun IRGC dibenci sebagian rakyat, begitu serangan luar datang, mereka malah bersatu hati.

Hasilnya: pembunuhan yang dimaksud untuk mengguncang justru memperkuat fondasi rezim. Kata seorang rakyat: “Kita mungkin tak suka pemerintah, tapi kita lebih benci diserang luar!” Bukan efek domino yang didapat, tapi pembunuhan itu malah jadi efek fondasi.

Ini seperti berharap bangunan rubuh karena tiang dicat ulang. Bangunan malah makin indah. Silahkan tertawa, atau cukup tersenyum, jika mau.

Israel juga membom stasiun TV IRIB, mengklaim itu pusat propaganda. Tapi alih-alih membuat wartawan Iran bisu, dunia malah melihatnya sebagai pembenaran Iran untuk mengancam balasan ke stasiun-stasiun TV Israel.

Presiden AS Donald Trump sempat membantu Israel untuk keroyokan melawan Iran dengan menjatuhkan bom ke tiga fasilitas nuklir Iran pakai MOPs (Massive Ordnance Penetrators, bukan singkatan dari “Masih Ogah Perang”). Tapi setelah selesai, pesawat bombernya langsung cabut pulang.

Ke mana? Iran mengetahuinya pulang ke pangkalan mereka di Qatar. Ini yang membuat Iran langsung menyerang mereka di Qatar, tapi dengan lebih dulu memberi tahu pihak musuh.

Ya, bagi Israel, AS itu seperti teman yang bantu pindahan, tapi cuma angkat kardus pertama lalu bilang, “Gue ada janji, bro.”

Trump memang bantu —sedikit. Tapi niatnya bukan perang total, melainkan membuka pintu negosiasi baru dengan Iran. Maka Qatar (iya, Qatar yang itu-itu juga) pun tampil jadi mak comblang damai, menemui pemimpin Iran untuk menyampaikan lamaran gencatan senjata dari AS.

Ini jelas bikin Netanyahu geram hingga gigi-giginya gemeretak. Harapannya semula, setelah serangannya yang bertubi-tubi ke Iran, dunia akan bersatu mendukung Israel. Tapi kenyataannya, dunia malah sibuk nanya, “Gaza gimana, bro?”

Alih-alih menjatuhkan rezim Iran, justru Trump —yang sebelumnya menyebut Iran sebagai ‘ancaman global’— berbalik arah setelah gencatan senjata dan mengatakan bahwa ia tak menginginkan perubahan rezim karena bisa menimbulkan kekacauan baru di kawasan. (Reuters, 25 Juni 2025)

Lucunya lagi, Trump sempat membandingkan efek serangan AS terhadap situs nuklir Iran dengan akhir Perang Dunia II. Padahal, intelijen pertahanannya sendiri (DIA) menyatakan bahwa kerusakan yang ditimbulkan “kemungkinan hanya menunda program nuklir Iran beberapa bulan.” (Reuters, 24-25 Juni 2025)

Walaupun Israel mengklaim punya supremasi udara dan membombardir sesuka hati, dunia justru semakin yakin Iran tak kalah hebat. Iran seolah menemukan arena unjuk diri, berhasil meluncurkan ribuan ragam rudal ke jantung pusat pertahanan Israel.

Rudal-rudal balistik supersonik Iran mampu melewati sistem pertahanan Iron Dome yang saat itu malah lebih mirip Iron Colander. Rudal Iran sampai ke Rehovot, bahkan menghantam Weizmann Institute of Science —sebuah simbol kecanggihan Israel.

Dan, oh ya, ekonomi Israel nyaris lumpuh karena kehabisan peluru interceptor dan terlalu banyak warga sipil yang harus mengungsi. Pariwisata mati total, perdagangan terhenti, dan ribuan bangunan luluh lantak. Harga kebanggaan itu mahal, Bung.

Sementara Iran, meskipun hancur di beberapa titik dan kehilangan nyawa sebagai syuhada, tetap berdiri —dan bahkan tampil dengan kepala lebih tegak. Semua orang sepakat, kemampuan teknologi dan militer Iran begitu hebat, meski 46 tahun dikucilkan dalam embargo.

Iran juga menunjukkan kontrol yang efektif atas situasi dalam negeri. Dalam hitungan hari, mereka mengeksekusi tiga orang yang dituduh bekerja sama dengan Mossad dan menangkap 700 orang yang diduga terlibat dalam operasi Israel di dalam negeri. (Nournews, 26 Juni 2025)

Dunia internasional makin sepakat melihat Iran sebagai korban agresi, bukan biang kerok. Iran bahkan sempat “mengabari” lebih dulu ke Trump sebelum membalas serangan Amerika. Ya, ini mungkin satu-satunya perang dalam sejarah modern yang pakai RSVP.

Bahkan setelah gencatan senjata diumumkan, Trump justru memperingatkan Israel agar tidak menyerang lagi. Siapa sangka? Kali ini malah Amerika memperingatkan Israel, bukan sebaliknya. Dunia terbalik? Mungkin hanya sedang rotasi normal.

Seperti yang ditulis Ori Goldberg —seorang analis independen dan eks profesor dengan spesialisasi Iran— dunia tampaknya lebih nyaman melihat Iran sebagai mitra ekonomi daripada musuh ideologis. Iran yang dahulu dianggap penyulut kekacauan, kini dilihat sebagai partner stabilisasi.

Israel awalnya ingin dunia percaya bahwa mereka sedang menggagalkan kehancuran dunia dengan menghancurkan program nuklir Iran. Tapi dunia justru melihat mereka sebagai pihak yang justru mempercepat kehancuran regional.

Apakah ini akhir dari strategi “assassination diplomacy”? Apakah ini pertanda bahwa bom bukan solusi diplomatik? Atau kita hanya menunggu musim tayang berikutnya, ketika semua pemain masih ada, tapi naskahnya makin lelah?

Yang pasti, dalam episode ini, Iran mungkin tak menang telak, tapi Israel jelas kalah mutlak. Dan dalam dunia geopolitik, kadang bukan soal menang atau kalah —tapi soal siapa yang bisa berdiri terakhir sambil tetap kelihatan waras.

Iran? Faktanya masih berdiri, dengan penuh etika dan akal sehat, bahkan makin tegak serta mengikis sekat-sekat sektarian. Israel? Lagi ngitung kehancuran Tel Aviv dan sisa-sisa rudal, sambil mungkin berharap Elon Musk jual Iron Dome versi upgrade.

Sumber utama:

  • Ori Goldberg, “How Israel failed in Iran”, Al Jazeera, 24 Juni 2025.
  • Reuters, “Trump: Iran strikes like WWII,” dan “Intel: Damage inconclusive”, 25 Juni 2025.
  • Laporan dari Nournews, Iran, 26 Juni 2025.
  • Liputan dan opini konflik Israel-Iran 2025: Fordow Facility, A Simple Guide to Iran, dan Trump’s Support to Netanyahu

Mamad Si Benteng Mini Warga Israel: Pertahanan Preventif” Israel

Pada Jumat pagi, 13 Juni, langit Tel Aviv masih biru. Suasana tenang, jika definisi “tenang” adalah langit yang segera dilubangi rudal-rudal berhulu ledak. Israel akhirnya melancarkan serangan militer terhadap titik-titik yang diidentifikasi sebagai pusat pembuatan nuklir Iran.

Ini bukan langkah mendadak, melainkan babak baru dari perang yang sudah lama mereka siapkan. Langkah ini mereka sebut sebagai “pertahanan preventif” —istilah diplomatik dari strategi “menyerang duluan supaya bisa mengaku diserang belakangan.”

Tentu saja, Iran tidak tinggal diam. Kali ini, mereka punya alasan —bukan cuma untuk membalas, tapi sekalian menggenapi niat melenyapkan Israel dari peta. Rudal-rudal balistik Iran meluncur bak kawanan kerlap-kerlip dari jarak hampir 2.000 kilometer.

Serangan balasan Iran langsung menyasar dan menghancurkan fasilitas militer dan pusat vital di Israel. Tapi seperti biasa, ada yang menghantam rumah warga sipil. Terutama, perumahan “baru” yang dibangun di atas tanah yang dirampas dari warga Palestina.

Warga Israel sendiri tampaknya sudah sejak lama tahu bahwa serangan ini akan datang. Bahkan mungkin, sebelum Perdana Menteri Benyamin Netanyahu menekan tombol “launch,” para arsitek telah lebih dulu menekan tombol “autocad.”

Maka sejak tahun 1992, negara kecil itu mewajibkan pembangunan Mamad, singkatan dari Merkaz Mugan Dirati atau “Ruang Perlindungan Apartemen”, di setiap rumah baru. Bentuknya berupa kamar beton setebal dendam geopolitik yang tak kunjung reda.

Di hari biasa, ia bisa jadi ruang kerja, kamar tidur tamu, atau tempat main anak. Tapi saat sirene meraung dan langit berubah menjadi layar film perang, Mamad menjadi Noah’s Ark versi arsitektur modern: satu ruang yang diharapkan menyelamatkan satu keluarga.

Ambillah contoh Levi Ben-Haim, warga pinggiran Ashkelon. Ia sudah dua pekan bertahan di dalam Mamad rumahnya bersama istri, dua anak, seekor kucing, dan satu koper berisi mimpi liburan ke Eropa yang lagi-lagi harus ditunda.

Ketika tanda-tanda perang mulai tampak, Levi langsung melengkapi ruang itu dengan semua kebutuhan dasar: air, makanan kering, senter, radio darurat, dan tentu saja, Wi-Fi —karena apalah artinya selamat dari misil jika tak bisa mengunggah story Instagram?

Selimut darurat, tisu basah, dan kopi instan ikut masuk daftar. Di sudut ruangan, kulkas kecil berdiri tenang di samping tumpukan kaleng hummus dan biskuit yang masa kedaluwarsanya bisa bersaing dengan lamanya konflik ini berlangsung.

Ruang perlindungan warga menjadi wajib dibangun setelah pengalaman traumatis dalam Perang Teluk 1991, ketika rudal Scud Irak menghantam wilayah Israel dan para warga kesulitan mencapai tempat perlindungan bersama dengan cepat, sebelum serangan tiba.

Mamak (Merkaz Mugan Komati), nama perlindungan publik ini kalau itu, terletak di lantai dasar apartemen. Namun, ia seringkali sulit diakses tepat waktu. Kadang terkunci saat paling dibutuhkan, atau lebih tragis lagi: hancur duluan sebelum bisa menyelamatkan siapa pun.

Lalu muncullah Mamad: ruang perlindungan pribadi dalam rumah, dibangun dengan dinding beton bertulang setebal 20 sampai 30 sentimeter. Pintu bajanya dirancang tahan ledakan. Jendelanya bisa dibuka, tapi dilengkapi penutup logam kedap udara.

Sistem ventilasinya dirancang bisa menyaring gas kimia dan biologis, dengan kipas manual atau otomatis. Atap dan lantainya sekuat dindingnya. Tidak ada celah lemah jika dibangun sesuai standar. Sebuah bunker pribadi, tersembunyi dalam arsitektur sehari-hari.

Saat tidak sedang diserang, Mamad bisa berfungsi biasa. Banyak keluarga menghiasinya seperti kamar lain dalam rumah. Tapi dalam waktu-waktu genting, ia berubah menjadi ruang penentu: antara hidup dan hancur bersama reruntuhan rumah.

Keampuhan Mamad sudah terbukti. Dalam serangan roket dari Gaza tahun 2023, sebuah rumah dua lantai di Ashkelon hancur total. Tapi Mamad di lantai dasar tetap utuh. Semua anggota keluarga yang berlindung di dalamnya selamat.

Meski demikian, tak semua warga menyambut Mamad tanpa suara. Kritik pun muncul. Terutama soal biaya tambahan bagi keluarga menengah ke bawah. Tapi secara umum, Mamad tetap dianggap salah satu inovasi pertahanan sipil efektif di era modern.

Jika dibandingkan dengan sistem pertahanan sipil negara lain, Mamad terbilang unik. Korea Selatan, misalnya, punya jaringan stasiun bawah tanah yang dapat difungsikan sebagai tempat perlindungan. Jepang membangun rumah tahan gempa, tapi tak dirancang menahan misil.

Swiss bahkan punya bunker pribadi di tiap rumah sejak Perang Dingin. Gaza? Mereka hanya punya doa… dan mungkin ruang kosong di bawah tangga. Di masa silam, pertahanan sipil hanya soal bersembunyi di gua terdalam dan berharap mammoth tak ikut masuk.

Mamad adalah buah dari insting bertahan hidup yang dipadu kepanikan geopolitik dan teknologi bangunan modern. Ia mencerminkan mentalitas masyarakat yang menjadikan rumah bukan sekadar tempat pulang, tapi benteng terakhir dari dunia luar yang brutal.

Bagaimana dengan Indonesia? Kita tak punya Mamad. Tapi kita punya kolong ranjang, lemari bawah tangga, dan doa ibu. Kita juga punya 17 ribu pulau yang bisa dijadikan tempat ngungsi —asal tidak tergenang banjir atau longsor buatan sendiri.

Bencana yang kita hadapi juga berbeda. Bukan misil dari negara tetangga atau dari pusat-pusat sengketa di AS, Eropa, dan Timur Tengah, tapi banjir dari selokan sendiri, longsor dari bukit akibat reklamasi dan tambang, atau gas melon dari regulator bocor.

Pemerintah pun tidak merasa perlu mewajibkan rumah tahan rudal. Tapi warga kita lebih cerdas secara spiritual: beberapa rumah bahkan sudah punya “kamar aman” untuk menyembunyikan anak dari guru privat atau suami dari notifikasi Shopee sang istri.

Mamad boleh jadi simbol ketahanan, tapi juga penanda bahwa normalisasi konflik telah berlangsung terlalu lama. Negara yang bangga karena setiap rumah punya bunker, sejatinya bukan negara kuat, tapi negara yang terus-menerus bersiap untuk hancur.

Ironisnya, Israel menjadikan Mamad sebagai bukti kecanggihan sipilnya. Tapi bukankah lebih unggul negara yang tak perlu Mamad sama sekali? Negara di mana anak-anak tak hafal jenis sirene dari suara, dan tak terbiasa berlomba masuk bunker terbirit-birit?

Mamad memang mungkin menyelamatkan nyawa. Tapi jika mereka terlalu lama tinggal di dalamnya, mereka bisa lupa rasanya hidup di luar sana. Kamar itu juga mungkin tahan ledakan, tapi tak bisa melindungi diri dari trauma, dendam, atau kebijakan luar negeri yang tak waras.

Maka, barangkali yang harus dibangun bukan hanya bunker dari beton dan lempengan baja yang tebal, tapi juga akal sehat dan hati nurani. Dua hal yang, sayangnya, belum ada pabriknya

Jalesveva Jayamahe di Teluk Persia: Ironi Maritim Negeri Sendiri

Selama ini dunia disuguhi pemandangan dramatis tentang langit yang terbelah oleh rudal-rudal Iran. Seolah-olah rezim Mullah itu hanya jagoan udara —dengan peluncur rudal hipersonik, drone kamikaze yang menghantam pertahanan Israel, serta parade ayatollah yang tampak seperti cosplay insinyur pertahanan.

Namun, jangan hanya terpukau oleh pameran langit ini, karena di bawah permukaan laut, diam-diam Iran sedang membangun sebuah simfoni kekuatan laut yang dahsyat. Bahkan tak semua orang Indonesia —pemilik semboyan laut gagah berani Jalesveva Jayamahe— menyadari irama nadanya.

Jika baru saja parlemen Iran sepakat menutup Selat Hormuz, itu karena armada laut mereka siap membendung. Keputusan dan tindakan Iran ini tidak sekadar mencerminkan keberanian strategis, tetapi juga mengirimkan sinyal global yang sangat jelas: jangan main-main dengan negeri Mullah yang punya kapal selam di setiap bisikan sonar.

Selat selebar hanya 33 kilometer ini memang kecil secara geografis, tapi besar secara geopolitik. Bayangkan, sepertiga minyak dunia melintas melalui jalur air ini setiap harinya. Di sini, satu torpedo bisa membuat harga minyak melonjak, satu kapal tanker bisa membuat pasar dunia gemetar.

Bayangkan juga jika Indonesia punya Selat Hormuz-nya sendiri. Atau, lebih tepatnya, bayangkan kalau kita sadar bahwa sebenarnya kita memang punya ratusan “Selat Hormuz mini” di perairan sendiri. Laut Arafura, Selat Malaka, Selat Makassar, Laut Natuna —semuanya jalur strategis global, tempat lalu lintas dagang dan energi dunia bergerak.

Tapi bedanya, ketika Iran bisa “mengunci” selat kecilnya dengan pasukan laut siap tempur, Indonesia masih berkutat dengan perdebatan anggaran solar dan kapal nelayan asing yang mondar-mandir seperti tetangga tak tahu malu. Keberhasilan mencegat kapal-kapal ini tak jarang diekspos seolah karya maha hebat.

Iran memang bukan kekuatan maritim dalam gaya konvensional ala Amerika Serikat yang bisa mengirim kapal induk ke depan gerbang musuh sambil memutar lagu kebangsaan. Tapi Iran paham satu hal penting: jika Anda tidak bisa mengalahkan armada besar, jadilah momok kecil yang terus menggigit dan tak bisa dipukul.

Dengan lebih dari seratus kapal perang dan 18.500 personel, kekuatan laut Iran —dibagi antara Angkatan Laut reguler (IRIN) dan Armada Pengawal Revolusi (IRGCN)— lebih mirip perpaduan antara warisan kolonial dan kreativitas lokal.

Dalam jajarannya ada kapal perusak modern seperti Sahand dan Zulfiqar, kapal frigat Moj-class. Dan —ini favorit para tukang sabotase laut— mini-submarin Ghadir yang cukup lincah untuk menari-nari di perairan dangkal sambil membawa kejutan torpedo.

Sebagai bonus, mereka juga memiliki kapal selam Fateh dan Thariq yang meskipun sudah uzur, tetap mampu menabur ranjau dan mengintip diam-diam dari balik kegelapan laut.

Belum cukup? Silakan sambut Nahang-class, kapal selam tunggal spesialis penyusupan pasukan khusus. Kalau Anda merasa ini seperti plot film spionase murahan, maka selamat —Anda memahami cara kerja militer Iran.

Iran tahu, kekuatan tidak hanya datang dari kapal, tapi dari tempat kapal itu beranak-pinak dan bertelur. Mereka sadar, inilah fondasi kekuatan mereka. Maka dari itu, mereka menyebar pangkalan militer di sepanjang Laut Kaspia, Teluk Persia, dan Samudra Hindia.

Bandar Abbas adalah mall-nya kapal perang, lengkap dengan fasilitas produksi kapal dan kapal selam.

Jask adalah pos pengamatan yang secara tak langsung bisa mengintip kapal dagang yang lewat di Selat Hormuz.

Chabahar? Anggap saja pelabuhan ini sebagai pintu belakang Iran menuju Asia Tengah.

Abu Musa, pulau penuh konflik dengan UEA, dijadikan basis rudal dan bunker bawah tanah. Kalau Indonesia saja punya konflik dengan Malaysia soal Ambalat, Iran memilih cara lebih macho: tanam rudal di Abu Musa, pulau sengketa.

Kini mari kita kembali ke negeri maritim bernama Indonesia. Negeri yang memiliki lebih dari 17.000 pulau, dengan laut yang luasnya seperti perasaan mantan yang belum move on, tapi ironisnya punya angkatan laut yang lebih sering berurusan dengan illegal fishing daripada perang laut.

Kita bangga dengan semboyan “Jalesveva Jayamahe”, yang menurut tafsir nasionalis artinya “Justru di laut kita menang.” Tapi jika dibaca secara literal —”di laut kita sedang menang”— rasanya seperti doa yang belum terkabul.

Kapal perang kita kadang kalah cepat dibanding influencer naik jetski, dan jumlah kapal selam kita lebih sedikit dari jumlah stasiun TV swasta. Jadi jelas, Iran membangun; kita tak maju-maju, selalu menunggu anggaran yang tak selesai-selesai dikorupsi.

Pada tahun 2024, Iran memperkuat armadanya dengan lebih dari 2.600 sistem rudal dan drone. Bahkan mereka menguji coba peluncuran rudal jelajah dari kapal selam kecil. Seolah mereka tak pernah lelah mengeksplorasi kemungkinan dari sumber daya yang minimal.

Mereka juga sudah membayangkan kapal selam bertenaga nuklir, walau realisasinya masih terhambat sanksi dan kekurangan uranium yang tidak dipakai untuk pesta. Nuklir di Iran ternyata dibuat untuk tenaga kapal, bukan untuk memusnahkan lawan.

Bandingkan dengan kita yang masih ribut soal KRI Nanggala dan proyek Frigate Merah Putih yang berlayar di atas ketidakpastian anggaran. Bukan hanya tidak pasti—sebab anggaran sebetulnya bisa disisihkan jika tidak habis disedot korupsi.

Iran bahkan mengirim kapal Dana dan Makran keliling dunia hingga mencapai Selat Magellan sejauh 63.000 kilometer. Indonesia? Kita masih berdebat siapa yang bertanggung jawab atas anggaran solar untuk kapal patroli yang mogok di Laut Natuna.

Tentu kita tidak sedang menyarankan Indonesia meniru Iran secara ideologis atau strategis. Tapi mari kita belajar satu hal dari negeri para mullah ini: ketika Anda dikepung embargo, diancam setiap minggu, dan dibenci separuh dunia, kekuatan maritim bukanlah pilihan, tapi kebutuhan.

Iran membuktikan bahwa kekuatan laut bukan soal siapa paling besar atau paling mahal, tapi siapa yang paling siap dalam kondisi terburuk. Laut bukanlah sekadar batas wilayah; ia adalah pusat ekonomi, arteri energi dunia, dan—bagi Iran—bahkan panggung propaganda.

Sementara itu, Indonesia yang hidup dalam damai, dengan kekayaan laut luar biasa, dari terumbu karang hingga cadangan energi dan perikanan, justru belum menempatkan angkatan laut sebagai garda utama. Bangga sebagai negeri maritim, tapi baru sampai di lidah saja.

Mungkin, sudah saatnya semboyan Jalesveva Jayamahe benar-benar dimaknai: bukan sebagai kenangan kejayaan Majapahit yang tak pernah kita lihat, tapi sebagai komitmen strategis yang bisa kita bangun—di atas kapal, di dalam laut, dan lewat visi pertahanan yang tidak lagi mengandalkan doa saja.

Jika Iran bisa menjaga Laut Oman sambil memamerkan rudal di langit Damaskus, masa kita tidak bisa menjaga Laut Natuna sambil memperbaiki mesin kapal patroli? Mungkin jawabannya bukan pada kekuatan laut kita, tapi pada keberanian untuk tidak hanya berlayar, melainkan juga berpikir.

Masih yakin Jalesveva Jayamahe? Tentu. Tapi mari mulai dengan memastikan kita punya kapal yang cukup dulu.

Kamar Strategi Trump: Kekacauan Geopolitik atau Orgasme Politik?

Akhirnya, Presiden Amerika Serikat Donald Trump memutuskan untuk menyerang Iran. Target utamanya: menghancurkan pusat-pusat nuklir negeri para mullah itu yang tersebar di tiga titik. Dengan gaya khas mulut monyongnya, ia mengabarkan kepada Benjamin Netanyahu bahwa nuklir Iran sudah berhasil “dilenyapkan.”

Namun Presiden Iran buru-buru mengklarifikasi: yang dihancurkan Amerika hanyalah bangunan di permukaan tanah —atau maksimal hingga kedalaman 60 meter, batas puncak daya tembus bom 13 ton milik Amerika. Padahal, fasilitas nuklir Iran sesungguhnya terletak jauh di kedalaman 160 meter. Dan semuanya… sudah dipindahkan.

Tapi mungkin justru di situlah letak klimaks kenikmatan Netanyahu —semacam orgasme strategis tanpa penetrasi, sekadar puncak onani geopolitik. Sementara Trump tampil seolah maestro orkestra politik, namun simfoni kebijakan luar negerinya terdengar seperti konser jalanan dadakan: kadang sumbang, kadang menggelegar, kadang sekadar suara ledakan.

Pertanyaannya kini bukan lagi, “Apa kebijakan Trump soal perang Israel-Iran?” melainkan: “Siapa yang terakhir bicara dengannya sebelum ia menekan tombol serangan?” Gedung Putih versi Trump 2.0 kini lebih mirip studio podcast —presiden duduk di tengah, dikelilingi para bintang tamu dari segala kalangan.

Dulu, di era Trump 1.0, kabinetnya dipenuhi para hawks —elang-elang neokonservatif seperti John Bolton yang ingin mengubah Iran menjadi taman parkir McDonald’s. Kini, kabinet Trump 2.0 lebih mirip akuarium bunglon: warnanya menyesuaikan dengan mood tuannya.

Contohnya? JD Vance, sang Wakil Presiden, lebih suka “America First” tanpa perlu “War First.” Ia bahkan mengeluh bahwa membom Houthi tidak sesuai dengan branding global disengagement ala Trump. Belum jelas apakah Vance belajar geopolitik dari Harvard atau dari Call of Duty: Campaign Mode.

Ada juga Tulsi Gabbard, Kepala Intelijen Nasional, yang menyatakan bahwa Iran “tidak sedang membangun senjata nuklir.” Narasi itu membuat para elang di Pentagon tersedak kopi —termasuk Trump sendiri, yang kemudian menyangkal temuan intelijennya sendiri.

Belum lagi Pete Hegseth, Menteri Pertahanan sekaligus eks penyiar Fox News. Figur langka: talking head yang kini bisa mengirim drone sungguhan.

Lalu ada Steve Witkoff, utusan khusus Timur Tengah —dulu lebih sering mengurus properti mewah ketimbang negosiasi nuklir, kini rajin menyebutkan “normalisasi dengan Teheran” seolah sedang bicara soal rebranding hotel.

Dan tentu, Marco Rubio, Menteri Luar Negeri sekaligus Penasihat Keamanan Nasional. Mantan senator neokon itu kini piawai memainkan dua peran: satu topi bertuliskan “Hard on Iran,” satu lagi “Loyal to Trump.”

Seperti dikatakan Brian Katulis dari Middle East Institute, Trump kini hanya dikelilingi oleh “bunglon loyal.” Jangan harap ada perlawanan seperti era James Mattis. Kualifikasi utama masuk kabinet kini hanya tiga: 1) Punya ponsel, 2) Mau bicara manis di depan kamera, dan 3) Bersedia memuji presiden setiap 12 jam sekali.

Lantas, siapa sebenarnya yang didengar Trump? Inilah bagian paling absurd sekaligus paling Trumpian dari semuanya. Pengambil keputusan akhir bukan kabinet, bukan jenderal, bukan diplomat. Melainkan:

Tucker Carlson, mantan host Fox News yang kini menjelma jadi penasihat luar negeri semi-formal via Twitter. Ia menyerukan, “Israel harus urus perangnya sendiri.” Suaranya seirama dengan bosnya —Trump yang sempat ingin “menunggu dua minggu” sebelum memutuskan menyerang.

Mark Levin, komentator konservatif senior yang mengusulkan agar Israel “menyelesaikan pekerjaan” dengan mengganti rezim Iran. Ia bahkan sempat makan siang privat dengan Trump beberapa hari sebelum keputusan diambil. Tidak jelas apakah menu makan siangnya dipengaruhi konflik di Timur Tengah.

Dan tentu saja, Netanyahu. PM Israel ini punya hotline langsung ke telinga Trump. Kata para analis, siapa pun pemimpin dunia yang terakhir berbicara dengan Trump akan dapat policy discount dan perhatian utama. Netanyahu kabarnya bicara lima menit setelah Gabbard, yang membuat rudal Amerika langsung terbang.

Trump kini terjebak antara dua faksi di basis pendukungnya. Pertama, mereka yang meneriakkan “America First! No more foreign wars!” Kedua, mereka yang meneriakkan “Smash Iran! Protect Israel!” sambil memegang Alkitab dan remote TV kabel.

Padahal, para pemilih MAGA akar rumput sudah lelah dengan perang. Mereka ingin tembok, bukan tank. Tapi para donor dan elit neokonservatif ingin aksi —apalagi kalau bisa sekalian menjual sistem pertahanan ke negara sekutu.

Walhasil, jika dulu negara adidaya menentukan perang lewat dewan keamanan dan laporan intelijen, kini cukup buka Signal dan lihat obrolan: “Guys, bom Iran bagus nggak ya? Vote yes or no.”

Trump adalah presiden yang bisa melawan insting hawkish-nya —tapi syaratnya, jika hari itu ia sempat nonton acara TV yang benar, atau jika ada penasihat yang membisikkan kata “polling approval” sebelum briefing.

Kebijakan luar negeri Amerika, dalam soal perang Israel-Iran, bukan ditulis dengan pena emas di Ruang Oval, melainkan dengan emoji di tengah pertengkaran Zoom call antara elit GOP, mantan host TV, dan sisa-sisa sultan minyak digital.

Dan dunia menunggu dengan napas tertahan, atau menyalakan VPN untuk mencari tahu, siapa lagi yang baru saja makan siang dengan Trump hari ini. Karena di dunia Trump, yang penting bukan apa yang dikatakan —tapi siapa yang mengatakannya, dan seberapa keras dia menyukai dirinya di Truth Social.

Dalam ekosistem politik yang makin menyerupai reality show ini, keputusan strategis setara dengan hasil polling dadakan di dunia maya, bukan dari hasil telaah Dewan Keamanan Nasional. Satu klik, satu emoji, satu retweet dari tokoh konservatif kesayangan bisa mengubah arah rudal —atau membatalkan perang.

Trump bukan presiden konvensional. Ia adalah algoritma populisme yang berjalan dengan logika rating dan impresi. Maka, selama Netanyahu bisa menjadi “konten yang viral,” dan para penasihatnya tetap jadi “influencer geopolitik,” maka bom bisa meledak, atau batal meledak, tergantung trending topic pagi itu.

Dan jika kelak kita bertanya, “Kenapa Amerika memutuskan menyerang Iran hari itu?” jawabannya mungkin sesederhana: “Karena ada yang makan siang dan ngobrol ringan dengan Trump —lalu mempostingnya di Truth Social, dan Trump nge-like.”

Menulis Indah di Era Auto-Correct: Refleksi Hilangnya Seni Tulisan Tangan dan Pentingnya Menghidupkan Kembali Warisan Budaya Literasi di Tengah Dominasi Digital

Pernahkah Anda menulis tangan di kertas baru-baru ini, lalu tersadar bahwa tulisan Anda kini lebih mirip grafik gempa bumi daripada huruf alfabet? Jika ya, Anda tidak sendirian. Dunia digital telah menjadikan kita ahli dalam mengetik cepat, tetapi jagoan dalam menulis buruk.

Ironisnya, kita sekarang hidup di era ketika tulisan tangan yang indah layak diberi penghargaan negara —dan, percayalah, penerimanya bukan dari Indonesia. Prakriti Malla, seorang remaja dari Nepal, baru-baru ini mendapat penghargaan dari negaranya karena… tulisan tangannya.

Ya, Anda tidak salah baca. Prakriti diberi penghargaan bukan karena menemukan vaksin, bukan pula karena menyelamatkan anak kucing dari genteng atau karena mengarang novel. Ia diberi penghargaan karena menulis huruf dengan sangat indah. Betul-betul indah.

Saking indah tulisan tangannya, banyak yang mengira itu hasil printer, bukan tangan manusia. Dunia pun ramai, netizen heboh, dan sebagian besar dari kita hanya bisa menatap jemari kita yang sudah terlalu dimanja oleh keyboard QWERTY dan fitur auto-correct.

Namun, sebelum kita tertawa sambil mengetik “LOL” di WhatsApp, mari kita renungkan: apakah penghargaan ini berlebihan, atau justru menjadi tamparan manis bagi kelas tempat kita belajar menulis, bagi sistem pendidikan global, termasuk di Indonesia?

Dalam kurikulum pendidikan kita, menulis tangan seolah menjadi praktik arkais alias kuno atau tak lazim. Bahkan, banyak guru sekarang lebih menganjurkan siswa untuk mengetik tugas di Google Docs, lalu di-share via link. Kertas folio dan tinta biru seolah tinggal kenangan zaman baheula.

Padahal, penelitian ilmiah membuktikan bahwa menulis tangan membantu meningkatkan daya ingat, memperkuat pemahaman, dan merangsang motorik halus. Tulisan tangan juga memiliki karakter yang tak tergantikan oleh font manapun di dunia digital.

Penelitian dari Princeton University (Mueller & Oppenheimer, 2014) bahkan menunjukkan bahwa mahasiswa yang mencatat dengan tangan lebih memahami materi kuliah dibanding yang mencatat dengan laptop, tablet atau handphone.

Tapi ya itu tadi, siapa peduli kalau jari sudah terbiasa mengetik cepat tanpa makna?

Lalu, bagaimana dengan khat di madrasah, sebuah nostalgia atau masih hidup?

Memang, di madrasah dan banyak pesantren, masih diajarkan seni khat Arab. Tapi mari kita jujur: seberapa serius pelajarannya? Dan lebih penting lagi: seberapa langka guru khat yang benar-benar mumpuni saat ini? Ada satu saja sudah hebat.

Guru khat sejati kini lebih langka dari pada guru TikTok. Kebanyakan ustadz hanya bisa menulis arab gundul dengan kecepatan sedang, sementara model penulisan Tsulutsi atau Diwani tampak seperti prasasti kuno di mata santri. Kenal Tsulutsi atau Diwani?

Di masa lalu, belajar khat adalah bentuk riyadhah (latihan spiritual), penuh ketelatenan dan disiplin tinggi. Sekarang, anak-anak lebih bangga menguasai editing video dan membuat konten dakwah 60 detik yang viral, ketimbang menulis “Bismillahirrahmanirrahim” dengan indah.

Tapi, mengapa harus peduli? Pertama, karena tulisan tangan adalah jejak personal yang paling otentik. Jejak digital bisa dicuri, diedit, bahkan dipalsukan. Tapi tulisan tangan? Ia adalah cermin jiwa, hasil dari keterampilan otot halus, estetika rasa, dan ketekunan waktu.

Prakriti Malla mengingatkan dunia akan hal itu.

Kedua, karena seni menulis tangan adalah bagian dari warisan budaya kita. Indonesia punya sejarah panjang dalam manuskrip, dari lontar Bali hingga kitab kuning pesantren. Jika kita mengabaikan seni ini, kita tidak hanya kehilangan kemampuan menulis indah, tapi juga memutus mata rantai budaya tulis tangan yang telah diwariskan berabad-abad.

Mari kita usulkan agar pelajaran menulis tangan tidak hanya dipertahankan, tapi dikembangkan. Tidak perlu serumit khat Kufi abad ke-8, cukup ajarkan anak-anak kita bagaimana menulis dengan rapi dan estetis.

Sekolah bisa mengadakan lomba kaligrafi, memberi penghargaan pada tulisan tangan terbaik, dan—mengapa tidak?—mengundang guru khat dari komunitas lokal. Siapa tahu, kita bisa melahirkan Prakriti Malla versi Indonesia.

Sekilas tampak, menulis indah mungkin terlihat tidak penting di zaman ketika AI bisa mengetikkan skripsi dalam lima menit. Tapi seperti lagu lama yang indah saat diputar di piringan hitam, ada keintiman dan kejujuran dalam tulisan tangan yang tak bisa diduplikasi oleh mesin.

Mari jangan biarkan pena hanya menjadi simbol klise di logo-logo sekolah. Mari hidupkan kembali keindahan yang bisa ditorehkan oleh tangan manusia.

Atau kita akan terus mengira “Tulisan tangan terindah di dunia” hanya ada di luar negeri, karena di dalam negeri, kita bahkan tidak lagi mengajarkannya.

Salam tinta dan kertas. Mari menulis, sebelum jari kita benar-benar hanya bisa menggulir layar kristal.

Seni Perang dalam Diam

Mari kita mulai dengan pertanyaan sederhana yang bahkan para ahli strategi di Pentagon pun kini hanya bisa jawab dengan gelengan kepala:

“Bagaimana bisa negara yang disanksi, diisolasi, dan dipelintir citranya selama puluhan tahun justru tampil sebagai dalang orkestra geopolitik yang bikin geger satu planet?”

Jawabannya, tentu saja, bukan pada rudal semata, bukan pada nuklir yang katanya “sebentar lagi jadi” sejak zaman Bush pertama.

Jawabannya ada pada satu hal yang selama ini dianggap tak penting oleh mereka yang merasa sudah punya segalanya: keyakinan, kesabaran, serta kemampuan menjalin pertemanan dan solidaritas yang tak terdeteksi radar satelit.

Di dunia barat, kekuatan diukur dari jumlah pangkalan militer, ukuran kapal induk, atau seberapa banyak Anda bisa memata-matai sekutu sendiri tanpa malu-malu.

Tapi Iran, oh Iran, bermain di liga yang berbeda. Ia membentuk apa yang oleh para jurnalis Barat disebut sebagai “jaringan bayangan”. Nama yang terdengar menyeramkan, padahal aslinya lebih mirip grup WhatsApp lintas negara dengan admin yang sabar dan ideologis.

Hezbollah di Lebanon? Sudah seperti menantu idaman. Houthis di Yaman? Saudara jauh yang tetap setia meski dompet menipis. Milisi di Irak, Gaza, dan bahkan bisik-bisik di Afrika dan Amerika Latin?

Mungkin juga kita yang, secara diam-diam, ingin membantu Iran, meski sekedar doa. Semua saling terhubung oleh satu hal: dendam kolektif terhadap hegemoni yang suka ngajak perang tapi ogah kalah.

Iran tidak memerintah mereka. Ia menginspirasi. Kalau AS itu seperti bos galak di kantor open space yang suka marah karena wifi lemot, Iran adalah mentor spiritual yang diam-diam membelikan modem baru.

Teori ‘ashabiyah Ibnu Khaldun sangat relevan untuk memahami fondasi kekuatan Iran dan jaringan sekutunya, khususnya dalam kerangka solidaritas ideologis dan resistensi lintas-negara.

‘Ashabiyah dalam karya monumentalnya al-Muqaddimah dimaknai Ibnu Khaldun sebagai solidaritas kelompok atau semangat kebersamaan yang mengikat suatu komunitas dalam perjuangan bersama, dan menjadi kekuatan pendorong bagi lahir dan bangkitnya peradaban.

Ibnu Khaldun menyebut bahwa ‘ashabiyah adalah energi sosial yang memungkinkan suatu kelompok menggalang kekuatan, bertahan dari tekanan luar, dan bahkan mendirikan negara hingga peradaban.

Dalam konteks Iran dan jaringan perlawanan yang dibangunnya —dari Hizbullah di Lebanon hingga milisi Houthi di Yaman— ‘ashabiyah bukanlah sekadar fanatisme sektarian, melainkan kesadaran kolektif atas penindasan dan semangat resistensi terhadap hegemoni global.

Itulah kelompok mustadh’afin, kata para ideolog Iran. Mereka bukan hanya memimpin dengan senjata dan diplomasi, tapi juga menyuntikkan visi ideologis yang menyatukan berbagai kelompok dalam rasa kebersamaan —bahwa mereka semua adalah bagian dari satu perlawanan yang lebih besar.

Seperti dikatakan Ibnu Khaldun, kekuatan sejati tak lahir dari senjata, tapi dari ‘asabiyah yang mengakar: “Al-mulk ghāyah wa al-‘asabiyah wasīlah” — kekuasaan adalah tujuan, dan solidaritas adalah jalan mencapainya.

Maka kekuatan Iran hari ini, justru, lahir dari sebuah ‘ashabiyah transnasional, jaringan keyakinan yang melintasi batas negara dan menciptakan tatanan baru yang ditakuti para penguasa lama.

Sementara media Barat sibuk memotret satelit yang memindai pabrik nuklir, diplomat Iran sibuk ngopi di Kazakhstan, mampir ke Venezuela, dan sempat-sempatnya diskusi bilateral sambil mendaki pegunungan di Asia Tengah.

Mereka tak lagi datang ke meja yang tak memberi mereka kursi. Mereka bikin meja sendiri. Namanya BRICS, Shanghai Cooperation, dan berbagai forum anti-sanksi. Di sana, dolar tak diundang, dan swift dianggap sudah terlalu swift—lebih cocok dijadikan nama boyband daripada sistem keuangan.

Bahkan barter—yang dulu dianggap gaya kuno—kembali jadi tren, berkat Iran. Minyak ditukar gandum. Drone ditukar software. Gula mungkin belum, tapi siapa tahu minggu depan.

Jika dulu Persia dikenal karena karpet ajaib, kini Iran dikenal karena drone yang murah meriah tapi bisa menembus radar mahal. Shahed, misalnya, bukan hanya nama pemuda ganteng di serial Ramadan, tapi juga mesin terbang yang bikin NATO menggaruk kepala kolektifnya.

Drones Iran seperti motor bebek: tangguh, hemat, dan bisa dikendarai siapa saja. Bahkan teman-teman Iran di Gaza dan Yaman ikut dapat. Tapi jangan salah, ini bukan charity. Ini soft power ala militer. Sekali terbang, dua tiga pangkalan terintai.

Dan jangan lupa soal dunia digital. Di mana hacker Iran bisa membobol data, mematikan jaringan, dan membuat banyak perusahaan asuransi mendadak jualan perlindungan cyber. Bukan tanpa alasan Washington menyebutnya “threat”. Tapi mereka lupa: teknologi juga bisa jadi teologi jika dibumbui ideologi.

Apa yang lebih kuat dari rudal? Narasi.

Iran tak cuma ekspor minyak atau pistachio, tapi juga ekspor wacana. Dari khotbah Jumat sampai meme perlawanan, dari film festival sampai lembaga pendidikan Islam, Iran membangun image sebagai pendekar yang tak tunduk pada penjajah zaman now.

Tak peduli Anda Sunni atau Syiah, Latin atau Afrika, selama Anda merasa pernah dipermalukan oleh IMF, Anda bisa relate. Ideologi ini bukan sekadar jualan kata-kata. Ini energi alternatif, lebih hijau daripada solar panel, karena ditenagai keyakinan dan rasa keadilan.

Selama ini, peta dunia digambar dari perspektif London atau Washington. Tapi Iran —dengan segala peluh dan darah— membantu dunia membalik kompas.

Kini, sumbu kekuatan global bukan lagi antara Wall Street dan Whitehall, tapi antara Teheran, Moskow, dan Beijing. Sebuah sumbu yang dulu dianggap mustahil karena katanya tak ada yang bisa menyatukan mereka kecuali kebencian pada McDonald’s.

Tapi lihatlah, Iran bukan hanya menyatukan. Ia memperkuat. Ia mengajarkan satu hal: bahwa jadi kuat bukan soal berteriak paling keras, tapi soal mampu bertahan ketika semua bilang Anda akan hancur.

Jadi, apa fondasi kekuatan Iran? Bukan nuklir. Bukan rudal. Tapi visi yang dijalankan dengan sabar, strategi yang dibungkus solidaritas, dan keyakinan yang tak bisa diembargo.

Iran tak sedang berusaha jadi superpower dalam definisi lama. Ia hanya ingin memastikan satu hal: jika sejarah ditulis ulang, mereka tak lagi hanya jadi catatan kaki.

Dan kalau Barat bingung kenapa dunia mendadak berubah arahnya, mungkin karena selama ini mereka terlalu sibuk bicara… dan lupa mendengarkan. Iran, di sisi lain, lebih banyak mendengar —dan sekarang, seluruh dunia mulai mendengarkannya.

Refleksi: Bila esai ini membuat Anda kesal, mungkin Anda butuh lebih banyak membaca. Bila membuat Anda tertawa, itu bonus. Tapi bila membuat Anda berpikir ulang tentang siapa sebenarnya yang sedang bangkit, maka tugas tulisan ini selesai.

Selamat datang di babak baru geopolitik: Di mana sanksi melahirkan simfoni, dan diam menyusun kemenangan.

Otak Sains Israel Terbakar

Sahabat, pernahkah Anda membayangkan sebuah rudal dari negeri para Mullah terbang sejauh dua ribuan kilometer, menembus langit dan jargon teknologi pertahanan “tak tertembus” Israel, lalu mendarat dengan cerdas tepat di jantung Institut Sains Weizmann?

Maka, pecahlah berita pagi itu: “Iran strikes Weizmann Institute” yang punya kecerdasan nyaris seperti lulusan terbaik Weizmann sendiri. Namun tentu, media Israel bungkam seribu firewall. Tak ada gambar ledakan yang jelas, tak ada laporan kerusakan yang rinci.

Yang ada hanyalah keheningan sistematis —mirip saat AI buatan Weizmann sedang mengkalkulasi who to drone next? Dan mari kita dudukkan perkara. Weizmann Institute bukanlah sekadar kampus tempat mahasiswa mengejar gelar sambil ngopi dan debat algoritma.

Ia adalah brain farm —ladang otak— tempat benih teknologi tempur masa depan disemai. Di sinilah, menurut laporan terbuka, AI untuk pengendalian drone, pengembangan senjata energi terarah, navigasi alternatif anti-GPS, hingga komunikasi terenkripsi lahir dan dibesarkan.

Apa jadinya jika pusat kendali otak robot Israel, yang memadukan fisika kuantum dengan algoritma mematikan, mendadak meleleh seperti es krim di tengah gurun Negev? Jawabannya mungkin terhidang pagi itu, ketika sebuah rudal Iran menghantam langsung kompleks Weizmann.

Jadi, jika Anda membayangkan Weizmann seperti ITB versi Zionis, Anda keliru. Ia lebih mirip Hogwarts, hanya saja alih-alih mengajarkan cara terbang pakai sapu, di sana diajarkan cara menjatuhkan bom dari ketinggian 10.000 kaki tanpa diketahui radar.

Sekilas nama Weizmann terdengar seperti toko parfum mewah di Eropa, tapi jangan tertipu. Ini bukan tempat uji coba aroma, melainkan laboratorium yang mengendap-endap dalam senyap, mengubah angka menjadi algoritma pembunuh.

Lembaga ini didirikan pada 1934 oleh Chaim Weizmann — ilmuwan kimia yang kemudian menjadi presiden pertama Israel (iya, presiden dan ilmuwan, multitasking level Dewa). Awalnya bernama Daniel Sieff Research Institute, lalu berganti nama yang sekarang pada 1949.

Kini, sekitar 2.500 ilmuwan dan staf berseliweran di dalamnya —bukan hanya meracik larutan, tapi juga masa depan perang Israel yang kini unjuk gigi lawan Iran. Bayangkan: lebih dari 30 laboratorium ilmiah, program master dan doktoral mutakhir, ada di sana.

Semua ada, mulai dari bidang matematika, fisika, kimia, biologi, sampai ilmu komputer, perpustakaan raksasa, dan perumahan ilmuwan. Ini membuat Weizmann sebagai kiblat intelektual sekaligus bengkel militer digital yang paling canggih dan lengkap.

Tak heran jika pemerintah Israel mencintai lembaga ini sepenuh anggaran: setiap tahun, ratusan juta dolar digelontorkan. Anggaran bukan hanya dari kas negara, tapi juga lembaga internasional, yayasan sains luar negeri, hingga filantropi global yang kadang tak sadar mereka mendanai drone pemburu.

Bandingkan ini dengan BRIN di Tanah Air —lembaga hasil fusi dari berbagai badan riset nasional. BRIN itu seperti Weizmann yang masih minum susu formula, sedang Weizmann sudah makan steak medium rare dengan saus kecerdasan buatan.

BRIN baru sibuk menyusun struktur, Weizmann sudah mengirim sinyal elektromagnetik untuk mengacaukan sistem rudal musuh. BRIN masih debat anggaran dan nomenklatur, Weizmann sudah mengekstrak data satelit sambil membuat teh di sore hari.

Tapi inilah drama besar hari itu: bukan sekadar laboratorium terbakar, tapi pusat otak militer Israel tersentak. Bayangkan kalau DARPA-nya AS disambar rudal, atau Google HQ luluh-lantak karena balon udara meledak. Betapa besar akibatnya.

Mari kita lihat skala dampaknya. Di sana ada ribuan peneliti dan superkomputer yang tak cuma pintar menjawab soal fisika kuantum, tapi juga merancang skema sabotase infrastruktur musuh dari jarak jauh. Rudal Iran yang canggih menyasarnya dari jarak 2.000-an km.

Kalau benar fasilitas ini rusak parah, maka dampaknya bukan sekadar tumpukan kabel terbakar —ini seperti menghapus hard disk utama mesin militer Israel. Kekuatan otot-otot militer Israel tiba-tiba bisa menjadi lembek seperti mie yang dimasak.

Bisa jadi, minggu depan akan muncul drone yang terbang zigzag karena kehilangan algoritma navigasi. Atau tank yang gagal mengenali perintah suara karena model NLP-nya ikut hangus bersama perpustakaan di lantai dua.

Dampaknya pula bukan hanya pada sains, tapi pada sistem pertahanan yang bergantung pada kecerdasan buatan, drone otonom, pelindung enkripsi, dan segala macam alat perang era digital. Serangan Iran begitu cerdasnya, menyasar jantung sains Israel, bukan para saintisnya.

Weizmann tidak hanya meracik teori. Di sana, mereka mengembangkan AI untuk komando tempur, teknologi UAV dan sistem navigasi alternatif, alat pelacak elektronik, bahkan riset energi terarah dan aplikasi nuklir. Ini bukan kampus biasa. Ini pabrik sihir yang meramu masa depan Israel di atas kalkulasi presisi dan rahasia.

Tapi kemudian datanglah serangan rudal dari Iram. Dan rupanya, meski algoritma Weizmann bisa mengalahkan catur tiga dimensi, ia tetap tak mampu menghentikan sebatang baja terbang berkecepatan Mach 3, hanya 11 menit menempuh perjalanan udara 2.000-an km dari Iran.

Jadi, ketika rudal Iran menyapa lembut pada subuh itu, sebenarnya bukan bangunan yang dihantam —tetapi pusat kendali sistem militer pintar Israel. Tak ada gambar dari media, tak ada laporan resmi. Hanya asap, senyap, dan senyum getir dari mereka yang tahu: kubah kertas itu telah terbakar.

Dan pertanyaan besarnya: bagaimana bisa sistem pertahanan Iron Dome yang konon “bisa menangkap lalat dengan radar” gagal menangkal rudal ini? Atau jangan-jangan, memang tidak ada yang benar-benar “tak tertembus” di dunia ini —kecuali mungkin, hati para penguasa.

Dan seperti biasa, yang tertinggal adalah satu ironi: Lembaga yang merancang pelindung udara tercanggih, justru dilubangi dari langit. Barangkali inilah karma dalam bentuk balistik. Dan di balik layar, BRIN mungkin sedang mengetik, “Catat: Kita jangan menaruh semua otak dalam satu gedung.”

Dan sungguh ironis. Tempat yang merancang sistem pertahanan anti-serangan udara tercanggih di kawasan Timur Tengah, justru menjadi korban utama dari —ya, serangan udara. Kalau ini bukan satire realitas, kita tak tahu lagi apa itu satire.

Dan mari kita bicara tentang moralitas. Iran menyerang pusat ilmu pengetahuan, kata sebagian orang. Tapi ini bukan perpustakaan kota tempat anak-anak belajar menggambar. Ini adalah markas tempat ilmu dipersenjatai dan kecerdasan dikonversi menjadi instrumen pembunuhan presisi.

Maka apakah ini sekadar serangan ke lembaga akademik? Atau, maaf, operasi militer sah terhadap infrastruktur strategis?

Dunia barat tentu menjerit: “Itu universitas, bukan barak!” Tapi barangkali, di dunia yang kabur antara sains dan militer, antara riset dan rudal, universitas bisa menjadi barak juga —barak yang memakai jas lab dan membunyikan lonceng konferensi, bukan peluit komando.

Weizmann luluh lantak. Tapi yang lebih dalam dari itu adalah simbol kekalahan diam-diam: bahwa bahkan Israel —negara yang selama ini hidup dari keunggulan teknologinya— bisa kena serangan, bukan di tubuhnya, tapi di otaknya.

Dan, hei, jika ini bukan peringatan keras bagi mesin-mesin perang yang terlalu percaya diri, maka apa lagi? Bahkan kecerdasan buatan pun, tampaknya, tak bisa mengantisipasi kegagalan sistem manusia.

Serangan ke Weizmann adalah pesan terang dalam bahasa rudal: bahwa dominasi bukan soal siapa yang punya server lebih dingin atau AI lebih cepat, tapi siapa yang masih bisa berpikir jernih di tengah api.

Dan sementara Weizmann sedang menghitung kerugian, Iran seolah berkata, “Selamat datang di zaman di mana laboratorium pun harus berlindung di bunker.”

Kalau otak Israel bisa dihantam, mungkin hati nuraninya masih bisa disentuh. Atau… setidaknya, itu harapan kita yang masih percaya bahwa sains seharusnya menyelamatkan manusia, bukan mengoptimasi kehancuran.

Dan jika Anda mendengar suara dengungan AI di malam hari, tenang saja… itu mungkin cuma drone nyasar, sedang mencari sinyal yang sudah terbakar di Rehovot, tempat Weizmann berada.

Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 18/6/2025