Rubaiyat Den Sastro: Warisan Tersembunyi Sapardi Djoko Damono dalam Sajak Empat Baris dari Amplop Cokelat

“Yang fana adalah waktu.
Kita abadi: memungut detik demi detik,
Merangkainya seperti bunga
Sampai suatu hari kita lupa untuk apa.”
~ Sapardi Djoko Damono, Rubaiyat Den Sastro

Catatan ini tentang karya terakhir penyair Sapardi Joko Damono yang baru saja terbit. Tapi sebelum kita menyentuh denyut lembut Rubaiyat Den Sastro, mari kita buka-buka dahulu lemari tua peradaban sastra Islam yang diakrabi sang penyair bertopi pet khas ini.

“Rubaiyat” bukan sekadar kata indah untuk judul buku. Ini bentuk puisi klasik yang lahir dari semesta sastra Persia, dengan struktur khas: empat baris (quatrain) dengan rima aaba —ringkas, tajam, dan sering kali memuat filsafat hidup yang lebih pekat daripada khutbah panjang saat salat Jumat terakhir Ramadan.

Paling masyhur tentu nama Umar Khayyam, astronom-penyair-epikurean dari abad ke-11. Rubaiyat Khayyam —yang kemudian digubah secara liar dan romantik oleh Edward FitzGerald pada abad ke-19—menjadi legenda sastra lintas benua.

Puisi Khayyam sering terdengar seperti bisikan lembut di telinga penyair mabuk yang sedang berpikir soal anggur, nasib, dan waktu. Namun Khayyam bukan satu-satunya. Rumi, meski lebih dikenal lewat masnawi panjangnya, juga bermain-main dalam bentuk rubai.

Begitu pula Hafez, juga menulis syair rubaiyat, dengan metafora-metafora sufistik yang mampu membikin para pemabuk dan ahli tafsir saling curiga bahwa mereka sedang membicarakan Tuhan atau perempuan atau, mengerikan sekali, politik.

Masuklah Sapardi Djoko Damono. Dia penyair Indonesia yang puisi-puisinya sering dikutip untuk status WhatsApp usai bulan Juni, saat hujan pertama turun setelah kemarau panjang.

Kita kira dia sudah selesai, sudah pensiun dari menulis, dan tinggal menemani hujan dari teras rumah sambil menyeruput kopi pahit. Lalu wafat dengan tenang, setenang puisinya. Ternyata tidak.

Diam-diam, dua puluh tahun sebelum wafatnya, Sapardi menyelipkan sebuah amplop cokelat ke tangan sahabatnya, Reda Gaudiamo. Isinya: 24 puisi pendek yang kemudian diberi nama Rubaiyat Den Sastro.

Amplop wasiat itu tak diumumkan, tak dipublikasikan, bahkan isinya tak boleh dimusikalisasi. Aneh, sebab Reda dan Sapardi dikenal sebagai duet maut puisi dan nada. Reda-lah yang mendendangkan puisi-puisi sobatnya hingga menusuk sel-sel otak dan menyesap dalam kalbu.

Tapi begitulah Sapardi: diam-diam mendalam, misterius macam pernyataan cinta yang tidak pernah dikirim. Dalam satu larik, Sapardi menulis:

“Aku sudah selesai bicara. Kini giliran kalian mendengarkan.”

Sapardi Djoko Damono lahir di Surakarta pada 20 Maret 1940, dan wafat di Jakarta pada 19 Juli 2020. Ia dikenal sebagai penyair yang memilih bisikan dibanding teriakan, lirih daripada gaduh —sosok yang memuliakan kesunyian dalam sajak.

Karyanya yang paling populer, Hujan Bulan Juni, menjadi semacam kitab kecil bagi generasi pencinta puisi, lengkap dengan metafora hujan, rindu, dan diam yang tajam.

Sapardi bukan hanya penyair, tetapi juga akademisi sastra yang lama mengajar di Universitas Indonesia, serta pelopor dalam memperkenalkan sastra liris Indonesia yang modern dan reflektif.

Ciri khas puisi-puisinya adalah kesederhanaan bentuk, namun sarat dengan kedalaman makna. Ia menulis seperti orang memetik daun: pelan, nyaris tak terdengar, tapi menyisakan jejak. Dalam dunia yang semakin bising, Sapardi adalah suara sunyi yang justru paling didengar.

Dan barangkali kita memang harus diam sejenak, bukan untuk tafakur nasional, tapi untuk menyimak gaya pamit paling puitis yang pernah dilakukan sastrawan Indonesia. Ia pamit selamanya lewat Rubaiyat Den Sastro.

Jangan bayangkan Den Sastro di sini seperti tokoh fiktif dalam sinetron kolosal, atau tokoh flamboyan dari novel Pramoedya. Den Sastro di sini adalah topeng Sapardi sendiri —suara batinnya yang jenaka, kontemplatif, dan menggelitik dalam kesenyapan. Dialah si Sastro, sang sastrawan dengan panggilan “Den” khas dalam keluarga Jawa.

Rubaiyat Den Sastro memang berisi 24 sajak pendek, tapi bukan sekadar bermain format. Sapardi bicara tentang waktu, tentang kehilangan, tentang cinta yang tak perlu teriak. Ia menulis:

“Kau bilang aku datang dari kabut,
Padahal aku hanya terlambat bangun
Karena semalam mimpi terlalu panjang
Tentang hidup yang kau kira candaan.”

Sederhana. Ringan. Tapi menyisakan beban di dada. Seperti tahu isi yang digigit terlalu cepat: hangat, mengejutkan, dan sedikit menyakitkan.

Yang membuat kisah ini makin mistis adalah kenyataan bahwa Rubaiyat Den Sastro nyaris hilang. Keluarga Sapardi sudah kehilangan naskahnya, lenyap dari komputer.

Untunglah, ia disimpan Reda selama dua dekade, kadang dibukanya diam-diam, dibaca sembunyi-sembunyi, lalu akhirnya dipertemukan dengan pembacanya lewat Indonesia Tera, penerbit yang pernah dibantu dirintis oleh Sapardi sendiri. Sebuah siklus sunyi yang nyaris sufistik.

Tak hanya satu, buku ini muncul dalam dua versi:

  1. Rubaiyat Den Sastro – berisi puisi-puisi Sapardi.
  2. Akhirnya, Rubaiyat Den Sastro Tiba – berisi kisah dari sahabat dan murid Sapardi, seperti catatan kenangan, atau upacara kecil melepas guru besar yang diam-diam menulis pamitnya.

Ilustrasi dalam buku digarap oleh Iwan Effendi dari Papermoon Puppet Theatre. Seperti sering kita lihat dalam majalah sastra Horison, ilustrasi dibuat dengan arang. Cover buku seperti oretan-oretan, melingkar-lingkar, menandakan perjalanan panjang kehidupan.

Gambar-gambar ilustrasi bukan untuk menjelaskan sajak, tapi untuk membisikkan ruang imajinasi. Misalnya, Iwan bahkan bingung bagaimana menggambar “aspal yang basah”. Dan memang sebaiknya kita membiarkan pembaca membasahi imajinasi masing-masing.

Sementara banyak tokoh publik berpamitan lewat konferensi pers atau unggahan penuh air mata, Sapardi berpamitan lewat metafora dan amplop cokelat. Tak ada panggung, tak ada gemuruh. Hanya larik-larik halus yang menyentuh lubuk paling hening dari para pembacanya.

Buku Rubaiyat Den Sastro menjadi semacam doa dalam bentuk sajak, sekaligus warisan kebudayaan yang mengingatkan kita bahwa bahkan kepergian pun bisa dituliskan dengan nada elegan dan sederhana.

Buku ini bukan hanya karya sastra. Ia adalah kesaksian tentang persahabatan, tentang amanah yang disimpan lama, dan tentang bagaimana satu koper bisa lebih penting dari semua rak buku di perpustakaan negara.

Akhirul kalam, kalau Umar Khayyam menutup puisinya dengan anggur dan waktu yang fana, Sapardi memilih kopi dan hujan. Dua penyair dari dua zaman, dua bahasa, dan dua kosmologi, bertemu dalam satu bentuk: rubaiyat.

Dan kita, para pembaca yang tersisa, kini memungut bait demi bait peninggalan sang maestro. Bukan untuk dikenang saja, tapi untuk didengarkan dalam hening.

“Tak perlu aku datang ke peringatan
Kau sudah tahu rasanya kehilangan
Cukup kuselipkan puisi di lipatan
Agar rindu tak terlalu terang.”

Catatan Akhir
📖 Rubaiyat Den Sastro
📚 Penerbit: Indonesia Tera
💰 Harga: Rp 55.000-85.000
🖋 Ilustrator: Iwan Effendi
🎶 Editor Kehidupan: Waktu dan Kesabaran

Sumber:
Tempo.co, Hypeabis.id, wawancara Reda Gaudiamo, peluncuran M Bloc, dan tentunya, amplop cokelat yang nyaris jadi artefak nasional.

Surat Ir. Soekarno No. 1 dari Ende: Kritis terhadap Sayyid  yang membanggakan nasab, Penegasan Tauhid dan Kesetaraan

Berikut adalah surat Ir. Soekarno kepada T. A. Hassan yang ditulis dari Ende pada 1 Desember 1934:

SURAT-SURAT ISLAM DARI ENDEH

No. 1. Endeh, 1 Desember 1934

Assalamu’alaikum,

Jikalau saudara-saudara memperkenankan, saya minta saudara mengasih hadiah kepada saya buku-buku yang tersebut di bawah ini:

Kemudian daripada itu, jika saudara-saudara ada sedia, saya minta sebuah risalah yang membicarakan soal “sayid”. Ini buat saya bandingkan dengan alasan-alasan saya sendiri tentang hal ini. Walaupun Islam zaman sekarang menghadapi soal-soal yang beribu-ribu kali lebih benar dan lebih sulit daripada soal “sayid” itu, maka toh menurut keyakinan saya, salah satu kecelaan Islam zaman sekarang ini, ialah pengeramatan manusia yang menghampiri kemusyrikan itu. Alasan-alasan kaum “sayid”, misalnya mereka punya brosur “Bukti Kebenaran”, saya sudah baca, tetapi tak bisa meyakinkan saya. Tersesatlah orang yang mengira, bahwa Islam mengenal suatu “aristokrasi Islam”. Tiada satu agama yang menghendaki kesama-rataan lebih daripada Islam. Pengeramatan manusia itu, adalah salah satu sebab yang mematahkan jiwanya sesuatu agama dan umat, oleh karena pengeramatan manusia itu, melanggar tauhid. Kalau tauhid rapuh, datanglah kebencanaan!

Sebelum dan sesudahnya terima itu buku-buku, yang saya tunggu-tunggu benar, saya mengucap beribu-ribu terima kasih.

Wassalam,

SUKARNO

Surat Ir. Soekarno dari Ende , Flores, NTT ini bukan sekadar permintaan buku, melainkan sebuah pernyataan sikap dan pemikiran mendalam tentang prinsip-prinsip fundamental Islam. Soekarno menunjukkan minatnya yang besar terhadap literatur keagamaan, mencerminkan dahaganya akan ilmu dan pemahaman Islam yang komprehensif. Daftar buku yang diminta—mulai dari “Pengajaran Shalat” hingga “Utusan Wahabi”—mengindikasikan bahwa ia ingin mendalami fikih, akidah, dan isu-isu kontemporer yang relevan pada masanya.

Namun, bagian paling krusial dari surat ini adalah kritiknya terhadap fenomena “sayid” dan pengeramatan manusia. Soekarno dengan tegas menyatakan bahwa praktik semacam itu menghampiri kemusyrikan dan menjadi salah satu “kecelaan Islam zaman sekarang.” Ia telah membaca argumen dari kaum “sayid” namun tidak merasa yakin. Gelar sayyid saat itu dipakai oleh keluarga Ba’alawi, yang sekarang dikenal dengan sebutan “Habib”

Poin utama Soekarno adalah bahwa Islam tidak mengenal “aristokrasi Islam”. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa “tiada satu agama yang menghendaki kesama-rataan lebih daripada Islam.” Baginya, pengeramatan manusia adalah pelanggaran terhadap tauhid, dan jika tauhid rapuh, “datanglah kebencanaan!” Ini adalah peringatan keras dari Soekarno tentang bahaya penyimpangan akidah.

Kritik Soekarno ini sangat relevan dengan konteks saat itu, dan bahkan hingga kini, ketika ada kelompok-kelompok tertentu, seperti keluarga Ba’alawi, yang cenderung membanggakan dan mengutamakan nasab mereka yang diklaim sebagai keturunan Rasulullah SAW. Soekarno melihat penekanan berlebihan pada nasab sebagai bentuk pengeramatan yang bertentangan dengan esensi ajaran Islam tentang kesetaraan dan keesaan Allah.

Pandangan Soekarno didukung kuat oleh ajaran dasar Al-Qur’an dan Hadits yang menekankan kesetaraan manusia di hadapan Allah dan melarang pembanggakan nasab.

1. Kesetaraan Berdasarkan Takwa

Islam mengajarkan bahwa satu-satunya tolok ukur kemuliaan seseorang di sisi Allah adalah ketakwaannya, bukan garis keturunannya.

Al-Qur’an, Surat Al-Hujurat Ayat 13:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”

Ayat ini adalah fondasi utama bagi prinsip kesetaraan dalam Islam, menegaskan bahwa asal-usul genetik tidak menentukan kedudukan spiritual.

2. Larangan Membanggakan Nasab

Rasulullah SAW sendiri secara eksplisit melarang umatnya untuk membanggakan nasab, mengingatkan bahwa semua manusia memiliki asal yang sama.

Hadits dari Abu Hurairah: Rasulullah SAW bersabda:

لَا تَفَاخَرُوا بِأَنْسَابِكُمْ  فَإِنَّ النَّاسَ كُلَّهُمْ لِآدَمَ  وَآدَمُ مِنْ تُرَابٍ

“Janganlah kalian saling membanggakan nasab kalian, sesungguhnya semua manusia itu berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah.” (HR. Ahmad)

Hadits ini menekankan kesederhanaan asal-usul manusia dan meniadakan alasan untuk merasa superior berdasarkan garis keturunan.

3. Amal Lebih Utama dari Nasab

Bahkan bagi kerabat terdekat Rasulullah SAW, beliau menegaskan bahwa amal perbuatanlah yang akan menjadi penentu keselamatan di akhirat, bukan nasab.

Hadits dari Abu Hurairah: Ketika Fathu Makkah, Rasulullah SAW bersabda:

يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ  اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ مِنَ اللَّهِ  لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا

“Wahai sekalian orang Quraisy, belilah diri kalian dari Allah (dengan beramal saleh), sungguh aku tidak dapat menolong kalian sedikitpun dari (siksaan) Allah.” (HR. Muslim)

Dan kepada putri beliau sendiri:

يَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ  اعْمَلِي فَإِنِّي لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا

“Wahai Fatimah putri Muhammad, beramallah (saleh), karena sungguh aku tidak dapat menolongmu sedikitpun dari (siksaan) Allah.” (HR. Muslim)

Ini adalah penegasan kuat bahwa tanggung jawab individu atas amalnya adalah mutlak, dan nasab tidak dapat menjadi jaminan penyelamat.

Pesan Sunan Ampel: “Ojo Gumunggung Karo Nasab”

Pesan Sunan Ampel: “Ojo gumunggung karo nasab, sebab dadi sirnane barokah” (Janganlah membanggakan nasab, karena akan menghilangkan keberkahan) sangat selaras dengan kritik Soekarno dan ajaran Islam yang universal.

Pernyataan ini mencerminkan kearifan lokal yang menguatkan prinsip-prinsip syariat:

  • Menjaga Tauhid: Pengeramatan nasab berpotensi menggeser fokus dari Allah SWT sebagai satu-satunya yang patut disembah dan dihormati sepenuhnya.
  • Mendorong Amal: Ketika nasab dijadikan kebanggaan, ada risiko orang merasa tidak perlu beramal keras karena merasa sudah memiliki “keistimewaan” dari keturunan. Ini menghilangkan motivasi untuk mencapai takwa sejati.
  • Membangun Persatuan Umat: Membanggakan nasab dapat menciptakan sekat-sekat sosial, rasa superioritas, dan potensi perpecahan di antara umat. Prinsip kesetaraan justru mendorong persatuan dalam keragaman.

Hilangnya keberkahan (“sirnane barokah”) dapat diartikan sebagai berkurangnya manfaat dan kebaikan dalam hidup, baik secara spiritual maupun sosial, karena seseorang telah menyimpang dari tujuan utama penciptaan dan prinsip-prinsip agama yang luhur.

Rumah Pengasingan Ir. Soekarno, Ende, Flores, NTT

Perbedaan Pendekatan dengan Keluarga Wali Songo dan Ir. Soekarno

Perdebatan mengenai nasab Ba’alawi ini sangat kontras dengan sikap yang ditunjukkan oleh keluarga Wali Songo dan juga Ir. Soekarno sendiri.

  • Dzuriyah Wali Songo (termasuk Ir. Soekarno yang memiliki darah keturunan Wali Songo): Para Wali Songo, meskipun banyak di antara mereka diyakini memiliki silsilah yang terhubung ke Nabi Muhammad SAW melalui jalur Sayyid/Syarif, tidak pernah membanggakan nasab mereka di muka publik. Sebaliknya, mereka lebih menekankan dakwah, amal saleh, akhlak mulia, dan keteladanan. Pesan Sunan Ampel, “Ojo gumunggung karo nasab, sebab dadi sirnane barokah,” adalah bukti nyata dari filosofi ini. Mereka menggunakan pengaruh spiritual dan keilmuan mereka untuk menyebarkan Islam dengan damai dan membangun peradaban, bukan untuk mengklaim superioritas genetik atau memaksa orang lain untuk mempercayai sebagai keturunan Nabi SAW. Penelusuran nasab mereka lebih bersifat internal untuk menjaga silsilah keluarga, bukan untuk pamer atau mencari pengakuan publik atas dasar keturunan.
  • Ir. Soekarno: Sebagaimana terlihat jelas dalam suratnya, Soekarno sangat menentang “pengeramatan manusia” dan gagasan “aristokrasi Islam” berdasarkan keturunan. Ini adalah sikap yang konsisten dengan ajaran Islam tentang kesetaraan dan tauhid, serta dengan tradisi para Wali Songo yang mengutamakan amal dan ketakwaan di atas nasab. Sikap Soekarno menunjukkan kekhawatiran bahwa klaim nasab yang berlebihan dapat mengarah pada kemusyrikan dan melemahkan fondasi agama.

Perbedaan mendasar terletak pada:

Sikap terhadap Pengakuan Publik: Keluarga Wali Songo tidak memaksakan apalagi menuntut orang lain untuk mempercayai nasab mereka. Mereka membiarkan bukti amal dan pengaruh baik yang berbicara. Sebaliknya, sebagian pihak yang membanggakan nasab Ba’alawi cenderung menuntut pengakuan dan terkadang bahkan mengklaim keistimewaan yang berlebihan.

Tujuan Penekanan Nasab: Bagi sebagian Ba’alawi, nasab ditekankan untuk menunjukkan status kemuliaan dan keistimewaan, bahkan terkadang untuk menuntut penghormatan khusus. Bagi keluarga Wali Songo dan Soekarno, nasab (jika ada) adalah bagian dari sejarah pribadi dan keluarga, tetapi bukan untuk dibanggakan atau dijadikan alat legitimasi kekuasaan spiritual/sosial.

Fokus Dakwah: keluarga Wali Songo dan Soekarno fokus pada pengajaran Islam yang substantif (tauhid, syariah, akhlak), persatuan umat, dan pembangunan masyarakat. Sedangkan penekanan berlebihan pada nasab dapat mengalihkan fokus dari esensi ajaran Islam.

Baca juga:https://id.m.wikisource.org/wiki/Surat-Surat_Islam_dari_Ende

Fatimah al-Fihri: Perempuan Pendiri Universitas Pertama di Dunia

“Ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak diberikan kepada orang yang bermaksiat.”
— Imam Malik

Nama Fatimah binti Muhammad al-Fihriya al-Qurasyiyah atau lebih dikenal dengan Fatimah al-Fihri, adalah simbol keagungan perempuan dalam sejarah peradaban Islam. Di saat perempuan dalam masyarakat Jahiliyah dipandang sebagai aib dan pelengkap semata, Islam hadir memuliakan mereka, dan Fatimah al-Fihri menjadi salah satu contoh nyata bagaimana perempuan Muslim bisa menjadi pelopor peradaban dunia.

Fatimah al-Fihri lahir sekitar tahun 800 M di kota Kairouan, wilayah yang kini dikenal sebagai Tunisia. Ia berasal dari keluarga Quraisy yang taat beragama dan menjunjung tinggi nilai pendidikan. Ayahnya, Muhammad al-Fihri, adalah saudagar sukses yang hijrah ke kota Fez, Maroko, untuk memperluas jaringan usaha.

Keluarga al-Fihri dikenal dermawan dan memiliki kepedulian besar terhadap ilmu. Bersama saudarinya, Maryam, Fatimah tumbuh sebagai perempuan berilmu, berakhlak luhur, dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi.

Wakaf Ilmu dan Pendirian Madrasah Al-Qarawiyyin

Setelah wafatnya ayah dan suaminya, Fatimah mewarisi kekayaan besar. Namun, bukan kekayaan yang menjadi kebanggaannya. Ia justru menginfakkan seluruh hartanya untuk membangun sebuah masjid dan madrasah di kawasan komunitas Qarawiyyin di Fez. Masjid itu dibangun pada Ramadhan tahun 245 H / 859 M dan diberi nama Jami’ al-Qarawiyyin.

Fatimah melaksanakan pembangunan masjid tersebut dengan penuh ketakwaan dan kesungguhan spiritual, bahkan disebutkan ia berpuasa selama proses pembangunan berlangsung, sebagai bentuk pengabdian kepada Allah.

Awalnya, Al-Qarawiyyin adalah masjid tempat ibadah dan diskusi ilmiah masyarakat. Namun seiring waktu, aktivitas keilmuan berkembang pesat hingga menjadikannya sebagai madrasah terbesar, dan kemudian universitas Islam pertama di dunia.

Universitas Al-Qarawiyyin: Warisan Abadi Fatimah

Universitas Al-Qarawiyyin tidak hanya menjadi pusat studi Islam, tetapi juga menjadi jembatan keilmuan antara dunia Islam dan Barat. Di bawah Dinasti Murabithun dan Dinasti Bani Marin, madrasah ini resmi menjadi universitas dan melahirkan banyak tokoh dunia.

Perpustakaannya, yang didirikan oleh Sultan Abu-Annan dari Dinasti Marinid, menyimpan berbagai karya besar, seperti:

  • Muwaththa’ Malik (795 M),
  • Sirah Ibnu Ishaq (883 M),
  • Salinan asli Al-Qur’an hadiah Sultan Ahmed al-Mansur (1602),
  • Karya legendaris Ibnu Khaldun, Kitab al-Ibar (1396 M).

Ilmuwan Besar Lulusan Al-Qarawiyyin

Al-Qarawiyyin mencetak ulama dan cendekiawan besar lintas zaman dan agama, antara lain:

  • Ibnu Khaldun – Bapak Ilmu Sosiologi dan Sejarah
  • Al-Idrisi – Kartografer Muslim ternama
  • Ibnu Bajjah – Filosof dan dokter
  • Abu al-Abbas az-Zawawi – Matematikawan
  • Gerbert of Aurillac – Paus Sylvester II, pelopor penyebaran sistem angka Arab di Eropa
  • Maimonides – Filsuf Yahudi berpengaruh

Pengakuan Dunia

Pada tahun 1998, Guinness Book of World Records menetapkan Al-Qarawiyyin sebagai universitas tertua di dunia yang masih aktif dan menawarkan gelar akademik.

Majalah TIME edisi 24 Oktober 1960 menyebutkan bahwa universitas ini mendorong kebangkitan intelektual di Eropa abad ke-15 M. Melalui para lulusannya, konsep angka Arab dan sistem desimal tersebar ke dunia Barat, menggantikan angka Romawi.

Relevansi di Era Modern

Perjuangan Fatimah al-Fihri menjadi inspirasi besar bagi perjuangan pendidikan umat Islam masa kini. Ia membuktikan bahwa perempuan tidak hanya berhak belajar, tapi juga berhak menjadi pelopor, pendidik, dan pendiri lembaga ilmu yang kekal hingga generasi ke generasi.

Bagi Jam’iyyah Walisongo Nusantara dan pegiat dakwah pendidikan seperti di situs walisongo.net, kisah Fatimah al-Fihri adalah bukti bahwa wakaf ilmu dan amal jariyah melalui pendidikan mampu mengubah sejarah. Semangat ini sejalan dengan visi Walisongo dalam mencetak generasi unggul dan meneruskan dakwah global.

Fatimah al-Fihri bukan hanya seorang tokoh perempuan. Ia adalah arsitek peradaban ilmu, pendiri madrasah tertua di dunia, dan pelita yang menyinari gelapnya zaman dengan cahaya ilmu dan ketakwaan.

“Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.”
— (HR. Muslim)

Keluarga Muslim dan Industri AI: Menjaga Iman di Tengah Gelombang Teknologi

Di era Kecerdasan Buatan (AI), keluarga Muslim tidak luput dari dampak dan dinamika yang ditimbulkan oleh kemajuan teknologi. Kehidupan sehari-hari kini diramaikan oleh aplikasi pintar, platform digital, dan perangkat berbasis AI yang hadir dalam genggaman—dari pengingat waktu salat, akses mudah ke tafsir dan hadits, hingga konsultasi fatwa secara daring.

Salah satu inovasi yang mencerminkan respons keagamaan terhadap perkembangan ini adalah peluncuran aplikasi “Fatwa Pro” oleh Dar al-Ifta Mesir. Aplikasi ini menyediakan layanan multibahasa dan menjadi rujukan autentik bagi komunitas Muslim di Barat. Fatwa Pro hadir sebagai tameng melawan ekstremisme, penyimpangan akidah, dan gelombang ateisme digital—seraya menegaskan bahwa Islam tidak pernah bertentangan dengan teknologi, selama etika menjadi sandaran utamanya.

Etika Islam dan Tantangan AI

Meski teknologi menawarkan banyak manfaat, umat Islam perlu tetap waspada terhadap implikasi etis dari AI: pelanggaran privasi, bias algoritma, hingga penyebaran ujaran kebencian dan misinformasi. Islam telah memberikan pedoman etika yang sangat relevan untuk era ini, seperti keadilan (‘adl), amanah, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Ayat-ayat seperti:

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan…”
(QS. An-Nahl: 90)

menjadi dasar bahwa penggunaan teknologi, termasuk AI, haruslah selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.

Keluarga Digital dan Krisis Komunikasi

Teknologi juga membawa dampak yang lebih sunyi namun serius: keterasingan dalam rumah tangga. Perangkat pintar kerap menciptakan “gelembung pribadi” yang mengikis komunikasi antarkeluarga. Anak-anak generasi Z kini tumbuh dalam ruang digital yang lebih akrab daripada ruang keluarga, sehingga tak jarang mereka merasa jauh dari orang tua yang seharusnya menjadi sandaran utama.

Kondisi ini kadang memperparah risiko munculnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Ketika komunikasi gagal, dan empati hilang, kekerasan kerap menjadi pelampiasan. Padahal, Rasulullah ﷺ telah memberikan teladan agung:

“Rasulullah ﷺ tidak pernah memukul siapa pun dengan tangannya, baik istri maupun pembantu, kecuali dalam jihad fi sabilillah.”
(HR. Muslim)

Al-Qur’an pun memerintahkan pendekatan penuh rahmah:

“Dan perintahkanlah keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya…”
(QS. Ṭaha: 132)

“Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.”
(QS. Al-Baqarah: 83)

Inilah “etika belas kasih” (rahmah) yang seharusnya menjadi fondasi interaksi dalam keluarga Muslim.

Mungkinkah AI Membantu?

Teknologi AI memang tidak akan pernah menggantikan kasih sayang manusia. Namun, ia dapat menjadi alat bantu untuk deteksi dini terhadap kekerasan rumah tangga, memberikan informasi dan rujukan hukum syariah, serta membantu korban mencari jalan keluar yang aman dan sesuai syariat. Aplikasi berbasis AI dapat mengidentifikasi risiko, memberikan konsultasi daring yang aman, dan membantu menilai pola perilaku yang mengarah pada kekerasan.

Tetapi peran manusia—terutama tokoh agama, psikolog, dan pendidik—tetap tak tergantikan. AI hanya alat, bukan solusi utuh. Sebagaimana firman Allah:

“Tanyalah kepada ahlul dzikr (orang yang berilmu) jika kamu tidak mengetahui.”
(QS. An-Nahl: 43)

Prinsipnya jelas: teknologi mendampingi, bukan menggantikan. Etika tetap di depan, bukan dikorbankan.


Penutup: Merajut Iman dan Hikmah Digital

Keluarga Muslim harus menjadi pelopor dalam menyelaraskan iman dan teknologi. AI bisa menjadi bagian dari wasilah dakwah, pendidikan, bahkan perlindungan keluarga—selama penggunaannya dipandu oleh syariat dan nilai-nilai Islam.

Perlu disadari bahwa masa depan keluarga Muslim di era AI bukanlah soal memilih antara iman atau teknologi, melainkan bagaimana keduanya berjalan seiring, saling menguatkan.


📚 Disarikan dan disesuaikan dari artikel resmi Dar al-Ifta Mesir:
https://www.dar-alifta.org/en/article/details/8863/the-muslim-family-and-ai-industry