Jejak Islam di Balik Kemegahan Majapahit: Dua Nisan Saksi Bisu Awal Mula Penyebaran di Era Hayam Wuruk

Kerajaan Majapahit, di bawah tampuk kepemimpinan Raja Hayam Wuruk (memerintah 1350-1389 M), seringkali diidentikkan dengan puncak kejayaan peradaban Hindu-Buddha di Nusantara. Karya-karya monumental seperti Negarakertagama yang mengisahkan kemaharajaan besar dengan wilayah pengaruh luas, seolah mengukuhkan citra tersebut. Namun, di tengah kemilau Hindu-Buddha itu, sebuah narasi penting lain mulai terkuak: benih-benih agama Islam ternyata telah mulai tumbuh dan menyebar, bahkan di jantung pusat pemerintahan kerajaan.

Penemuan dua situs bersejarah, Makam Tralaya dan Makam Puteri Campa, menjadi bukti konkret yang tak terbantahkan mengenai kehadiran dan perkembangan Islam di wilayah yang kini dikenal sebagai Jawa Timur, jauh sebelum era Walisongo yang lebih dikenal luas dalam historiografi Islam di Jawa. Temuan ini menantang pandangan tradisional dan memperkaya pemahaman kita tentang kompleksitas Majapahit.

Makam Tralaya: Ketika Kalimat Tayyibah Terukir di Tanah Majapahit

Kompleks Makam Tralaya, yang berlokasi strategis di area yang diyakini sebagai bekas ibu kota Majapahit (sekarang Trowulan, Mojokerto), telah menjadi magnet bagi para sejarawan dan arkeolog sejak lama. Sejumlah peneliti terkemuka dari masa kolonial hingga modern, seperti PJ Veth, Verbeek, Knebel, Krom, dan L Ch Damais, telah menaruh perhatian besar pada situs ini, mencoba mengurai misteri di balik batu-batu nisannya.

PJ Veth, seorang orientalis dan ahli geografi Belanda, adalah salah satu yang pertama kali mengungkapkan keberadaan data Islam di Makam Tralaya. Dalam analisisnya, ia mencatat adanya inskripsi pada batu nisan di Makam Tralaya yang ditulis dengan kombinasi huruf Jawa kuno dan Arab. Ini adalah temuan krusial, mengingat mayoritas artefak sezaman di Majapahit didominasi oleh aksara dan simbol Hindu-Buddha.

Lebih lanjut, Sjamsudduha dalam karyanya yang monumental, “Corak dan Gerak Hinduisme dan Islam di Jawa Timur,” menguraikan detail inskripsi tersebut. Ia menjelaskan bahwa meskipun angka tahun pada nisan-nisan umumnya tercatat dalam huruf Jawa kuno dan tahun Saka, di balik beberapa nisan itu terdapat tulisan Arab yang sangat penting: kalimat tayyibah (seperti “La ilaha illallah” atau “Bismillah”). Kehadiran kalimat-kalimat sakral dalam Islam ini secara definitif menunjukkan bahwa mereka yang dimakamkan di sana adalah pemeluk agama Islam.

Verbeek, dalam laporannya, pernah menyebutkan adanya lima nisan yang jelas bertuliskan Arab, meskipun beberapa di antaranya kini telah hilang akibat faktor alam dan tangan manusia. Namun, dari nisan-nisan yang masih bertahan di kompleks Makam Tralaya, beberapa tercatat bertarikh tahun 1397 Saka dan 1399 Saka. Jika dikonversi ke Masehi, dengan perhitungan kasar (tahun Saka + 78 tahun), ini menunjukkan sekitar tahun 1475-1477 Masehi. Namun, penting untuk dicatat bahwa penelitian lebih lanjut dan pembacaan angka tahun yang tergores pada nisan-nisan di Tralaya menyimpulkan rentang waktu yang lebih luas, yaitu dari tahun 1298 Saka hingga 1533 Saka (sekitar 1376 Masehi hingga 1611 Masehi).

Rentang waktu yang luas ini sangat signifikan. Awalnya, yaitu sekitar 1376 Masehi, berada dalam periode aktif pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350-1389 M). Hal ini secara tegas mengindikasikan bahwa di ibu kota Kerajaan Majapahit atau di wilayah sekitarnya, pada masa keemasan Hayam Wuruk, sudah ada komunitas pemeluk agama Islam. Peneliti terkemuka seperti M.C. Ricklefs bahkan berpendapat bahwa pemeluk-pemeluk Islam awal ini adalah orang-orang Jawa asli, menepis anggapan bahwa Islam hanya dibawa oleh pedagang asing.

Makam Puteri Campa: Islam di Lingkaran Dalam Istana?

Selain Makam Tralaya, sebuah temuan nisan lain yang tak kalah strategis berada di Makam Puteri Campa, yang terletak di sebelah tenggara Museum Trowulan, Mojokerto. Nisan ini menampilkan kombinasi unik dari inskripsi angka tahun dengan huruf Kawi (Jawa kuno) dan Arab, serta dilengkapi dengan gambar yang kuat diduga merupakan lambang Kerajaan Majapahit.

Identitas “Puteri Campa” itu sendiri telah menjadi topik perdebatan hangat di kalangan sejarawan. Beberapa narasi tradisional dan babad Jawa mengaitkannya dengan seorang bibi dari Sunan Ampel, salah satu Walisongo terkemuka, yang kemudian dipercaya menjadi istri Raja Majapahit.

HJ De Graaf, seorang sejarawan Belanda yang banyak meneliti sejarah Jawa, sebagaimana dijelaskan kembali oleh Sjamsudduha dalam bukunya, menyatakan bahwa Puteri Campa ini adalah istri raja Majapahit yang terakhir. Sementara itu, ada pendapat lain yang lebih spesifik yang menyebutkan Puteri Campa merupakan istri dari Raja Majapahit Bhre Tumapel, yang berkuasa antara 1447-1451 Masehi.

Terlepas dari perbedaan penafsiran mengenai raja Majapahit mana yang ia nikahi, keberadaan nisan Puteri Campa dengan inskripsi Islam dan lambang kerajaan adalah bukti yang sangat kuat. Ini mengisyaratkan bahwa ia adalah istri raja, atau setidaknya seorang tokoh yang sangat berpengaruh dan termasuk dalam lingkaran dalam sistem keprabuan (kerajaan) Majapahit. Hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak hanya menyebar di kalangan rakyat biasa atau pedagang, tetapi juga telah menembus strata sosial tertinggi dan mungkin saja memengaruhi dinamika internal istana.

Menafsirkan Kembali Sejarah: Islamisasi yang Bertahap dan Damai

Penemuan-penemuan di Makam Tralaya dan Makam Puteri Campa memberikan perspektif yang lebih kaya dan bernuansa tentang sejarah Majapahit dan proses islamisasi di Nusantara. Kisah Majapahit tidak lagi sekadar tentang kejayaan Hindu-Buddha yang kemudian runtuh, tetapi juga tentang sebuah entitas kompleks yang secara perlahan namun pasti telah berinteraksi dan mengasimilasi elemen-elemen Islam dalam masyarakatnya.

Nisan-nisan ini menjadi bukti nyata bahwa proses islamisasi di Jawa dan Nusantara bukanlah peristiwa instan atau melalui penaklukan militer semata, melainkan sebuah proses panjang yang bertahap, damai, dan mungkin terjadi melalui jalur perdagangan, pernikahan, serta akulturasi budaya. Kehadiran komunitas Muslim di pusat kekuasaan Majapahit menunjukkan adanya toleransi beragama dan koeksistensi yang harmonis, setidaknya pada periode-periode awal.

Jejak-jejak ini juga menjadi pengingat bagi kita bahwa sejarah adalah mosaik yang terus diperkaya dengan temuan-temuan baru. Dengan terus menggali dan menafsirkan ulang bukti-bukti arkeologis, kita dapat memahami masa lalu dengan lebih komprehensif, menghilangkan mitos, dan memberikan apresiasi yang lebih mendalam terhadap kompleksitas perjalanan peradaban Nusantara.


Sumber-Sumber Referensi:

  • Buku:
    • Sjamsudduha. Corak dan Gerak Hinduisme dan Islam di Jawa Timur. (Untuk akurasi, jika memungkinkan, sertakan detail penerbit dan tahun terbit).
    • M.C. Ricklefs. A History of Modern Indonesia Since c.1200. (Edisi dan penerbit terbaru akan lebih baik).
  • Peneliti/Sejarawan yang Disebutkan:
    • PJ Veth (Misalnya, merujuk pada karya-karya terkait geografi dan etnografi Nusantara).
    • J.J. Ras atau H.J. de Graaf (Mengenai penelitian mereka tentang sejarah Jawa dan Islam di Indonesia).
    • Verbeek, Knebel, Krom, L Ch Damais (Karya-karya mereka umumnya ditemukan dalam laporan arkeologi atau jurnal ilmiah Belanda tentang Indonesia).

Syekh Junaid al-Batawi: Cucu Sunan Ampel, Sang Intelektual Dunia yang Menjadi Imam Masjidil Haram

Walisongo.net dengan bangga mempersembahkan ulasan mendalam mengenai salah satu permata intelektual dari Tanah Air, Syekh Junaid al-Batawi. Seringkali, masyarakat Betawi identik dengan humor dan ceplas-ceplos, yang terkadang menutupi kedalaman intelektual yang mereka miliki. Padahal, sejak abad ke-18, kiprah intelektual Betawi sudah diakui bahkan di Tanah Suci dan memiliki peran besar dalam membangun fondasi keislaman di Indonesia. Salah satu poros utamanya adalah Syekh Junaid al-Batawi, ulama kelahiran Pekojan, Jakarta Barat, yang jaringannya meluas ke seluruh penjuru dunia Islam pada awal abad ke-19. Kisah beliau bukan hanya tentang keilmuan, tetapi juga tentang sebuah warisan silsilah yang menghubungkannya langsung dengan para pendiri peradaban Islam di Nusantara.

Menguak Silsilah Syekh Junaid: Jejak Para Raja dan Ulama

Syekh Junaid al-Batawi tidak hanya dikenal karena keilmuannya yang mendalam, tetapi juga karena silsilah keturunannya yang luar biasa, menunjukkan garis darah biru yang mengalir dalam dirinya. Silsilah ini menghubungkannya dengan tokoh-tokoh penting dalam sejarah Islam di Jawa, termasuk para pendiri Kesultanan Demak dan bahkan salah satu Wali Songo.

Berikut adalah runtutan silsilah beliau yang berhasil didokumentasikan, menampilkan mata rantai kebangsawanan dan keilmuan:

  • Syekh Junaid bin
  • Imam Damiri bin
  • Imam Habib bin
  • Raden Abdul Muhit bin
  • Pangeran Cakrajaya Nitikusuma (Adiningrat IV) bin
  • Raden Arya Jipang / Arya Penangsang (Sayid Husein) bin
  • Raden Bagus Surawiyata / Raden Sekar Seda Lepen (Sayid Ali) bin
  • Raden Fattah (Sayid Hasan), pendiri Kesultanan Demak.

Yang paling menarik dari silsilah ini adalah pernikahan Raden Fattah dengan Dewi Murtashimah / Asyikah / Ratu Panggung binti Makhdum Sunan Ampel Al Bukhari Al Kazhimi Al Husaini. Ini menandakan adanya korelasi erat antara garis keturunan Raden Fattah dengan Sunan Ampel, salah satu Wali Songo yang sangat krusial dalam penyebaran Islam di Jawa. Dengan demikian, Syekh Junaid al-Batawi memiliki ikatan darah langsung sebagai cucu dari Sunan Ampel, memperkuat posisinya sebagai figur sentral dalam jaringan keilmuan Islam Nusantara.

Selain silsilah di atas, Raden Fattah Demak juga diketahui memiliki garis keturunan dari pihak lain, yang semakin memperkaya akar keilmuan dan keagamaan beliau:

  • Raden Fattah Demak bin
  • Retna Siu Ban X binti
  • Syekh Abdullah Darqom / Syekh Bentong bin
  • Syekh Hasanudin Quro Al Jailani Al Hasani.

Silsilah ini semakin memperkuat pemahaman kita tentang betapa dalamnya akar keilmuan dan keagamaan dari Raden Fattah, yang merupakan cikal bakal Kesultanan Demak. Nama Syekh Abdullah Darqom atau Syekh Bentong serta Syekh Hasanudin Quro Al Jailani Al Hasani menunjukkan adanya hubungan dengan para ulama besar yang memiliki sanad keilmuan yang kuat. Ini menegaskan bahwa Syekh Junaid al-Batawi lahir dari lingkungan yang kental dengan tradisi keilmuan Islam dan memiliki silsilah yang terhubung dengan ulama-ulama besar di Nusantara maupun di Timur Tengah.

Hijrah ke Makkah dan Gemilang Kiprahnya sebagai Intelektual Dunia

Data otobiografi Syekh Junaid al-Batawi memang tidak banyak terdokumentasi di tanah air. Namun, keberadaan dan pengaruh keilmuan beliau justru terkuak secara signifikan dalam catatan perjalanan orientalis terkemuka asal Belanda, C. Snouck Hurgronje (1936 M). Setelah berhasil menyusup ke Makkah pada 21 Januari 1885 dan tinggal selama tujuh bulan, Hurgronje menulis dalam jurnalnya, Mecca In The Latter Part Of 19th Century, bahwa di Makkah pada perempat ketiga abad ke-19, ada “sesepuh” (Nestor) para ulama Jawa yang berasal dari Tanah Betawi bernama “Junaid” yang sudah menetap selama 50 tahun. Diperkirakan, beliau sudah bermukim di Makkah sejak tahun 1834, tanpa diketahui pasti kapan waktu hijrahnya. Jika data ini akurat, berarti Syekh Junaid berhijrah ke Makkah dalam usia yang cukup matang, sekitar 30 tahun, membawa serta kekayaan intelektual dan spiritual dari Nusantara.

Sebagai seorang Imam Masjidil Haram, posisi Syekh Junaid al-Batawi sangatlah prestisius dan menunjukkan pengakuan atas keilmuan serta integritasnya. Rakhmad Zailani Kiki dkk dalam Genealogi Intelektual Ulama Betawi (2018), menyebutkan bahwa Syekh Junaid Al-Batawi adalah sosok yang sangat berpengaruh di Makkah. Beliau terkenal di seantero dunia Islam Sunni dan mazhab Syafi’i sepanjang abad ke-18 dan 19. Ini bukan hanya pencapaian pribadi, tetapi juga mengharumkan nama Indonesia di kancah global.

Ridwan Saidi mengungkapkan, Syekh Junaid al-Batawi memiliki banyak murid yang kemudian menjadi ulama terkemuka di tanah air bahkan dunia Islam. Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi, pengarang Tafsir Al-Munir dan 37 kitab karangan lainnya yang masih diajarkan di berbagai pesantren Indonesia dan di luar negeri. Murid Syekh Junaid lainnya adalah Syekh Ahmad Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi, seorang imam, khatib, dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i. Berkat keluasan ilmunya, beliau diberi gelar “Syekh al-Masyāyikh” atau “Gurunya para guru”, sebuah gelar kehormatan yang menunjukkan posisi sentral Syekh Junaid dalam lingkaran keilmuan Islam. Murid Syekh Junaid lainnya adalah KH. Abdul Karim Tebuwung Dukun Gresik, yang dikenal sebagai “Guru Ulama Pantura” atau “Sunan Drajat Tebuwung.”

Penghormatan Abadi dari Keluarga Kerajaan Saudi

Kiprah dan pengaruh Syekh Junaid al-Batawi begitu besar hingga saat Makkah ditaklukkan pada tahun 1925 M dan diadakan perjanjian gencatan senjata antara Raja Ali bin Husein dengan Raja Ibnu Saud, keluarga Syekh Junaid masuk dalam daftar resmi pemerintah kerajaan yang diberi hak istimewa. Hal ini karena mereka telah menjalin hubungan baik dengan penguasa Makkah sebelumnya. Keturunan keluarga Betawi ini terdeteksi sejak 1987 M sampai sekarang dan masih tetap dalam perlindungan Kerajaan Saudi Arabia.

Ini adalah bukti konkret betapa besar kehormatan yang diberikan kepada Syekh Junaid dan keturunannya. Bahkan, konon keluarga besar Syekh Junaid yang bermukim di Jeddah biasa mengadakan acara Maulid dan Isra Miraj, meskipun kegiatan-kegiatan sejenis sangat “tabu” dilakukan kalangan ulama dan penguasa Arab Saudi karena perbedaan ideologi. Ini menunjukkan betapa terhormatnya nama Syekh Junaid al-Betawi di kalangan keluarga kerajaan, bahkan hingga saat ini, menunjukkan pengaruh spiritual dan sosialnya yang melampaui batas-batas politik dan mazhab.

Saking dihormatinya Syekh Junaid di Makkah, Buya Hamka (dalam Shahab, 2009) menulis, ketika Syarif Ali (putra Syarif Husin) ditaklukkan oleh Ibnu Saud, salah satu syarat penyerahannya adalah meminta “keluarga Syekh Junaid tetap dihormati setingkat dengan keluarga Raja Ibnu Saud.” Persyaratan ini diterima oleh Ibnu Saud, sebuah pengakuan yang tak ternilai harganya atas kontribusi dan kedudukan Syekh Junaid dalam sejarah Islam.

Akhir Hayat dan Warisan yang Tak Lekang Oleh Waktu

Sama halnya dengan tahun kelahirannya, tahun meninggalnya Syekh Junaid juga tak diketahui pasti. Menurut Direktur Islam Nusantara Center (INC), A Ginanjar Sya’ban, beliau meninggal pada akhir abad ke-19 Masehi. Adapun makam Syekh Junaid, kata Dosen Filologi dari Universitas Padjajaran itu, berada di kompleks Pemakaman Al-Ma’la, tak jauh dari Masjidil Haram, tempat pemakaman para tokoh besar Islam.

Alwi Shahab, budayawan Betawi, menulis tahun 1840 M sebagai tahun wafat Syekh Junaid di usianya yang ke 100 tahun di Tanah Suci. Namun, Ridwan Saidi meragukan analisis ini, karena pada tahun 1894-1895, ketika Snouck Hurgronje berhasil menyusup ke Makkah, Syekh Junaid diketahui masih hidup dalam usia yang sangat lanjut. Perbedaan data ini tidak mengurangi keagungan Syekh Junaid, justru menambah misteri dan kekaguman akan usianya yang panjang dan produktif.

Terlepas dari semua fakta ini, Syekh Junaid merupakan sosok teladan hebat yang mengabdikan sebagian besar usianya demi perkembangan khazanah Islam. Berkat kiprahnya yang sangat harum di dunia Islam internasional, nama Betawi pun turut harum. Syekh Junaid al-Batawi menjadi sosok yang sangat dihormati dan kini namanya diabadikan sebagai nama jalan di Jakarta Barat, menggantikan nama Jalan Lingkar Luar Barat di Rawa Buaya, Cengkareng.

Kisah Syekh Junaid al-Batawi adalah pengingat yang kuat bahwa kekayaan intelektual dan spiritual masyarakat Betawi jauh melampaui stereotip yang ada. Beliau adalah bukti nyata bahwa Indonesia, khususnya Betawi, telah melahirkan ulama-ulama besar yang berperan penting dalam peta keilmuan Islam dunia. Semoga kisah inspiratif ini dapat memotivasi kita untuk terus menggali dan menghargai warisan intelektual para leluhur. [wallahu a’lam bish showab]

Dakwah Pertama Nabi kepada Keluarga: Titik Awal Dakwah Terang-Terangan

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat”
(QS Asy-Syu‘ara: 214)

Ayat ini merupakan tonggak penting dalam sejarah dakwah Rasulullah ﷺ. Setelah tiga tahun menyampaikan ajaran Islam secara sembunyi-sembunyi, turunlah perintah Allah agar beliau menyampaikan kebenaran secara terbuka, dimulai dari keluarga terdekat.

Seruan Agung kepada Keluarga Besar

Menurut riwayat sahih dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, ketika ayat ini turun, Nabi Muhammad ﷺ memanggil seluruh kabilah Quraisy dan menyeru mereka dengan penuh ketegasan:

“Wahai Bani Ka‘b bin Lu’ayy, selamatkan diri kalian dari neraka! Wahai Bani Murrah bin Ka‘b! Wahai Bani ‘Abd Syams! Wahai Bani ‘Abd Manaf! Wahai Bani Hasyim! Wahai Bani ‘Abdul Muththalib! Wahai Fatimah, selamatkanlah dirimu dari api neraka! Aku tidak mampu melindungimu dari (siksaan) Allah. Hanya saja aku akan menyambung tali silaturahmi.”

Seruan ini mengguncang keluarga Quraisy. Nabi ﷺ menegaskan bahwa nasab tidak dapat menyelamatkan seseorang dari murka Allah. Ini menunjukkan universalitas ajaran Islam dan pentingnya iman serta amal saleh dalam keselamatan akhirat.

Seruan dari Bukit

Dalam riwayat lain dari Imam Muslim, Rasulullah ﷺ naik ke bukit Shafa dan berseru:
“Wahai Bani ‘Abd Manaf! Aku ini pemberi peringatan. Perumpamaanku seperti seseorang yang melihat musuh dan segera memperingatkan kaumnya, sambil berseru: ‘Ya Shabahaaah!’ (seruan perang).”

Penduduk Makkah berkumpul dan bertanya-tanya. Beliau lalu bertanya kepada mereka:
“Jika aku kabarkan bahwa ada pasukan berkuda di balik gunung ini hendak menyerang kalian, apakah kalian akan percaya?”
Mereka menjawab, “Kami tidak pernah mendapati engkau berdusta.”
Lalu Nabi ﷺ berkata:
“Aku adalah pemberi peringatan akan azab yang sangat pedih.”

Namun, tanggapan Abu Lahab justru penuh cemoohan:
“Celaka engkau! Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?”
Maka turunlah ayat: “Tabbat yadaa Abi Lahabinw-wa tabb.” (QS Al-Masad: 1)

Perjamuan di Rumah Abu Talib

Ali bin Abi Thalib meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ mengatur perjamuan khusus untuk Bani Abdul Muththalib. Beliau meminta Ali menyembelih seekor kambing dan menyiapkan makanan sederhana. Meskipun makanan itu sedikit, seluruh tamu (sekitar 40 orang) kenyang, menjadi salah satu mukjizat kenabian.

Setelah makan, Nabi ﷺ menyampaikan dakwahnya dengan penuh kelembutan:
“Wahai Bani Abdul Muththalib, demi Allah, tidak ada pemuda dari bangsa Arab yang datang kepada kaumnya membawa hal lebih mulia daripada yang aku bawa. Aku membawa kebaikan dunia dan akhirat untuk kalian.”
Namun, sebelum beliau melanjutkan, Abu Lahab memotong dan mengejeknya, hingga mereka bubar tanpa menerima dakwah.

Besoknya, Rasulullah ﷺ mengulangi hal yang sama. Kali ini beliau berhasil menyampaikan dakwah secara utuh. Tapi penolakan tetap datang dari banyak pihak, termasuk Abu Lahab.

Perlindungan Abu Thalib dan Keteguhan Rasulullah ﷺ

Saat tekanan terhadap dakwah semakin keras, Quraisy meminta Abu Thalib untuk menghentikan keponakannya. Abu Thalib menyampaikan kepada Nabi ﷺ agar mempertimbangkan permintaan mereka demi kebaikan bersama. Namun, jawaban Nabi ﷺ menggema dalam sejarah:

“Wahai paman, demi Allah, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan dakwah ini, aku tidak akan meninggalkannya hingga Allah memenangkannya atau aku binasa karenanya.”

Melihat tekad itu, Abu Thalib menegaskan perlindungannya:

“Pergilah dan katakan apa yang engkau suka. Demi Allah, aku tidak akan menyerahkanmu kepada mereka selama-lamanya.”

Abu Lahab dan Upaya Menghalangi Dakwah

Di pasar Dzu al-Majaz, Nabi ﷺ mendatangi tenda-tenda, menawarkan Islam dengan kata-kata yang lembut dan penuh hikmah. Tapi Abu Lahab mengikuti dari belakang, berteriak kepada orang-orang:
“Jangan dengarkan dia! Ia telah memisahkan kalian dari agama nenek moyang!”

Fitnah Abu Lahab menyebar begitu luas hingga turun surat Al-Masad sebagai balasan atas perbuatannya. Bahkan istrinya, Ummu Jamil, ikut mengejek Nabi ﷺ dengan membawa batu dan menyanyikan:
“Kami benci Muhammad, kami tolak agamanya, kami lawan perintahnya!”

Namun Allah melindungi Nabi ﷺ, hingga Ummu Jamil bahkan tidak melihat beliau saat ingin menyakitinya di masjid.

Awal Perlawanan Fisik: Darah Pertama dalam Islam

Pada awal dakwah terang-terangan, para sahabat tetap melakukan ibadah secara sembunyi-sembunyi. Suatu hari, Sa‘d bin Abi Waqqash dan beberapa sahabat diserang saat salat di lembah. Sa‘d pun membalas dan melukai seorang musyrik. Itulah darah pertama yang tertumpah dalam sejarah Islam.


Penutup

Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan bahwa dakwah Islam dibangun di atas keikhlasan, keberanian, dan perlindungan ilahi. Rasulullah ﷺ mengajarkan kepada kita bahwa menyampaikan kebenaran bukan sekadar tugas, melainkan amanah yang harus ditegakkan meski harus menghadapi ejekan, pengkhianatan, atau bahkan ancaman nyawa.

Semangat dakwah Walisongo meneladani jejak Rasulullah ﷺ: menyeru kepada Allah dengan hikmah, keberanian, dan kasih sayang — dimulai dari lingkungan terdekat, dan meluas ke seluruh alam.