“Brain Rot” Ancam Generasi Muda: Dosen UB Ingatkan Bahaya Konten Pendek dan Pentingnya Peran Keluarga-Pemerintah

Tim Redaksi Walisongo, Selasa, 24 Juni 2025 07:05 WIB

Gelombang konten pendek yang masif di media sosial kini menimbulkan kekhawatiran serius di dunia pendidikan dan tumbuh kembang anak. Fenomena yang dikenal sebagai “brain rot” ini, sebuah perubahan mental akibat kebiasaan digital yang merusak, mulai mengikis kemampuan konsentrasi dan nalar generasi muda secara diam-diam. Anak-anak yang dulunya mudah terlibat dalam aktivitas belajar kini menunjukkan tanda-tanda cepat bosan dan sulit fokus, terbiasa dengan pola konsumsi konten digital yang serba instan.

Devinta Puspita Ratri, S.Pd., M.Pd, pakar linguistik dari Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya (UB), menyampaikan keprihatinannya. Ia menjelaskan bahwa “brain rot” bukanlah kerusakan otak secara fisik, melainkan pergeseran mental yang diakibatkan oleh kebiasaan digital yang tidak sehat.

“Konten-konten pendek membuat otak terbiasa bekerja dalam waktu singkat. Akibatnya, anak-anak menjadi tidak sabaran, sulit fokus, dan kehilangan minat untuk membaca,” jelas Devinta, menguraikan dampak nyata pada perilaku belajar.

Budaya Instan dan Dangkal di Ruang Digital

Devinta juga menyoroti bagaimana tren ini tidak hanya memengaruhi proses belajar, tetapi juga cara anak-anak mengonsumsi dan memproduksi konten. Banyak dari mereka, katanya, lebih tertarik mengejar popularitas di media sosial daripada memikirkan isi dan nilai dari apa yang mereka unggah.

“Banyak dari mereka hanya mengejar popularitas di media sosial tanpa memperhatikan kualitas kontennya. Ini menumbuhkan budaya instan dan dangkal,” ujarnya, menggarisbawahi pergeseran prioritas di kalangan anak muda.

Dalam pandangannya, teknologi canggih seperti kecerdasan buatan (AI) pun turut berkontribusi terhadap kemunduran pola pikir jika tidak digunakan secara bijak. “Sekarang banyak yang hanya mengandalkan AI tanpa mau memahami, padahal berpikir kritis itu tetap harus dilatih,” tambahnya, menekankan pentingnya pengembangan kemampuan analitis.

Baca Juga  Kontroversi Visa Haji Furoda: Ribuan Jemaah Gagal Berangkat, Sorotan Nasional Terhadap Pengelolaan Ibadah Haji

Dampak Sosial dan Emosional: Penurunan Pemahaman Dasar

Tak hanya berdampak pada kognisi, “brain rot” juga membawa konsekuensi sosial dan emosional yang mengkhawatirkan. Devinta memberikan contoh ekstrem, di mana pemahaman dasar anak-anak kini menurun drastis. Ia bahkan menemukan kasus anak yang mengira Garut adalah negara di Eropa.

“Beberapa komentar anak di media sosial menunjukkan rendahnya pemahaman dasar. Bahkan ada yang menyebut Garut sebagai negara di Eropa. Ini sangat mengkhawatirkan,” katanya, menggambarkan kesenjangan pengetahuan umum yang signifikan.

Buya Munawwir Al-Qosimi: Pentingnya Tradisi Membaca dan Menulis dalam Islam

Menyikapi fenomena ini, Buya Munawwir Al-Qosimi, seorang ulama dan cendekiawan, turut menekankan pentingnya membudayakan kembali tradisi membaca dan menulis pada anak-anak, sekalipun dunia terus berubah seiring perkembangan digital. Menurutnya, nilai-nilai dasar dalam Islam sangat menganjurkan umatnya untuk menuntut ilmu dan mendokumentasikannya.

“Tradisi membaca dan menulis adalah akar peradaban Islam. Wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW adalah perintah untuk membaca,” ujar Buya Munawwir, merujuk pada firman Allah SWT dalam Surah Al-Alaq ayat 1-5:

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ- خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ – اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ – الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ – عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia, Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”

Buya Munawwir menambahkan, ayat ini secara gamblang menunjukkan betapa pentingnya aktivitas membaca sebagai gerbang ilmu, dan pena (menulis) sebagai sarana untuk mengabadikan ilmu tersebut. “Meski teknologi berkembang pesat, esensi mencari ilmu dan mendokumentasikannya tidak boleh luntur,” tegasnya.

Ia juga mengutip hadis Nabi Muhammad SAW yang mendorong umatnya untuk mencatat ilmu. Salah satu riwayat menyebutkan:

Baca Juga  Penguatan Nilai Keagamaan dan Pendidikan Karakter Jadi Fokus Pesantren di Era Digital

“Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.” (HR. Ad-Dailami)

“Hadis ini menjadi pengingat bahwa tulisan adalah pengikat ilmu. Tanpa menulis, ilmu bisa terbang dan terlupakan. Generasi muda kita harus dibiasakan menuangkan pemikiran mereka, mencatat pelajaran, dan membaca literatur yang mendalam, bukan hanya sebatas konten instan,” pungkas Buya Munawwir.

Peran Kunci Orang Tua, Sekolah, dan Pemerintah

Menghadapi fenomena ini, Devinta menegaskan pentingnya peran orang tua dalam mendampingi anak-anak menggunakan perangkat digital. Selain membatasi waktu layar, anak perlu dikenalkan pada kegiatan alternatif yang lebih produktif seperti membaca buku, bermain secara fisik, atau bersosialisasi langsung.

“Anak-anak harus dikenalkan pada digital hygiene, yaitu kemampuan memilah konten yang bermanfaat,” jelasnya, menekankan literasi digital yang esensial.

Sekolah juga punya tanggung jawab besar untuk mengembangkan cara berpikir kritis siswa, bukan hanya terpaku pada penyampaian materi akademik. Lebih lanjut, Devinta mendesak pemerintah, khususnya Kementerian Kominfo, untuk lebih tegas menyaring konten-konten tidak mendidik yang tersebar luas di media sosial.

“Konten-konten receh dan sensasional masih banyak berseliweran. Ini tugas bersama, bukan hanya pemerintah, tapi juga masyarakat,” tegas Devinta. Ia pun menutup pernyataannya dengan ajakan kepada semua pihak untuk saling bergandengan tangan dalam menghadapi tantangan digitalisasi yang makin kompleks.

“Fenomena brain rot ini hanya bisa dicegah dengan kerja kolektif. Semua harus ambil peran,” pungkasnya, menyerukan kolaborasi demi masa depan generasi penerus.

Sumber https://timesindonesia.co.id/pendidikan/543947/digitalisasi-picu-brain-rot-dosen-ub-anak-sulit-fokus-tak-sabar-dan-malas-membaca

Sharing is Caring