Kafalah Yatim-Dhuafa
Bea Siswa Mahasantri
Walisongo Tanggap

Biografi Sunan Ampel-Guru Wali Nusantara

1. Asal Usul dan Kedatangan ke Jawa

Dari Champa

Raden Rahmat, yang kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel, adalah putra dari Syekh Ibrahim Asmarakandi, seorang ulama besar dari Champa (sekarang wilayah Vietnam bagian selatan), dan ibunya adalah putri Raja Champa. Raden Rahmat datang ke Jawa bersama ayahandanya, Syekh Ibrahim, serta saudaranya Ali Musada dan seorang kawannya Abu Hurairah, putra Raja Champa.

Mereka mendarat di pelabuhan Tuban, wilayah pesisir utara Jawa yang telah menjadi pelabuhan penting dan pusat perdagangan serta pertemuan berbagai budaya dan agama. Di sana, mereka menetap sementara untuk menyebarkan dakwah Islamiyah.

Namun, dalam waktu yang tidak lama, Syekh Ibrahim wafat di Tuban. Raden Rahmat kemudian melanjutkan perjalanannya ke kerajaan Majapahit, tepatnya ke istana untuk menemui bibinya yang dinikahi oleh Raja Majapahit, yang saat itu menganut agama Buddha.

2. Pengangkatan sebagai Sunan dan Dakwah di Surabaya

Menurut Babad Ngampeldenta, peresmian Raden Rahmat sebagai imam dan ulama besar di Surabaya dilakukan oleh Raja Majapahit. Gelar “Sunan” dan kedudukan sebagai Wali Allah di Ngampeldenta pun disematkan kepadanya. Inilah awal mula ia dikenal sebagai Sunan Ampel.

Ia juga diangkat menjadi imam Masjid Surabaya oleh seorang pejabat kerajaan yang bernama Arya Sena, yang menjabat sebagai Pecat Tandha di Terung. Atas hubungan baik dengan kerajaan, Raden Rahmat diizinkan tinggal di daerah Ampel (Surabaya sekarang), bersama sejumlah keluarga yang diserahkan oleh pihak kerajaan untuk dididik dalam ajaran Islam.

3. Perjalanan Menuju Ampel dan Pernikahan

Dalam perjalanannya menuju Ampel, Raden Rahmat melewati berbagai wilayah seperti Pari, Kriyan, Wonokromo, dan Kembang Kuning, yang pada waktu itu masih berupa hutan lebat. Di kawasan itu, ia bertemu dengan seorang tokoh lokal bernama Ki Wiryo Saroyo, yang juga dikenal sebagai Ki Bang Kuning atau Mbah Karimah.

Ki Bang Kuning akhirnya memeluk Islam dan menjadi pengikut setia Raden Rahmat. Raden Rahmat pun menikahi putri Ki Bang Kuning yang bernama Mas Karimah. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai dua orang putri, yaitu Mas Murtosiyah dan Mas Murtosimah.

Sunan Ampel kemudian menetap di kediaman Ki Bang Kuning dan membangun masjid sebagai pusat dakwah, mengajarkan Islam kepada masyarakat di sekitarnya.

4. Versi Lain dari Serat Walisana

Dalam versi Serat Walisana, dikisahkan bahwa Raja Majapahit tidak langsung mengangkat Raden Rahmat di Ampel, melainkan menyerahkannya kepada seorang bawahan yaitu Adipati Surabaya, Arya Lembu Sura, yang sudah lebih dahulu masuk Islam.

Arya Lembu Sura kemudian menunjuk Raden Rahmat sebagai imam di Surabaya dan memberinya tempat tinggal di Ampeldenta, sekaligus memberikan gelar Sunan Ampeldenta dan Pangeran Katib.

Dalam versi ini pula disebutkan bahwa Raden Rahmat menikahi Nyai Ageng Manila, putri dari Arya Teja, seorang tokoh penting dari Tuban. Saat Arya Lembu Sura pensiun dari jabatannya, Raden Rahmat kemudian menggantikannya dan menjadi penguasa Surabaya.

5. Peran dan Pengaruh

Sunan Ampel dikenal sebagai pendiri Pesantren Ampel Denta, salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara. Ia berperan besar dalam menyusun strategi dakwah Walisongo, termasuk dalam membentuk jaringan ulama dan santri di berbagai wilayah.

Sunan Ampel juga memiliki peran spiritual dan politis yang kuat dalam transisi masyarakat Jawa dari kepercayaan lokal dan Hindu-Buddha ke Islam, dengan cara damai, bijaksana, dan penuh toleransi.

6. Wafat

Sunan Ampel wafat pada tahun 1481 M dan dimakamkan di kompleks Masjid Ampel, Surabaya, yang hingga kini menjadi situs ziarah utama bagi umat Islam di Indonesia.

Keluarga Muslim dan Industri AI: Menjaga Iman di Tengah Gelombang Teknologi

Di era Kecerdasan Buatan (AI), keluarga Muslim tidak luput dari dampak dan dinamika yang ditimbulkan oleh kemajuan teknologi. Kehidupan sehari-hari kini diramaikan oleh aplikasi pintar, platform digital, dan perangkat berbasis AI yang hadir dalam genggaman—dari pengingat waktu salat, akses mudah ke tafsir dan hadits, hingga konsultasi fatwa secara daring.

Salah satu inovasi yang mencerminkan respons keagamaan terhadap perkembangan ini adalah peluncuran aplikasi “Fatwa Pro” oleh Dar al-Ifta Mesir. Aplikasi ini menyediakan layanan multibahasa dan menjadi rujukan autentik bagi komunitas Muslim di Barat. Fatwa Pro hadir sebagai tameng melawan ekstremisme, penyimpangan akidah, dan gelombang ateisme digital—seraya menegaskan bahwa Islam tidak pernah bertentangan dengan teknologi, selama etika menjadi sandaran utamanya.

Etika Islam dan Tantangan AI

Meski teknologi menawarkan banyak manfaat, umat Islam perlu tetap waspada terhadap implikasi etis dari AI: pelanggaran privasi, bias algoritma, hingga penyebaran ujaran kebencian dan misinformasi. Islam telah memberikan pedoman etika yang sangat relevan untuk era ini, seperti keadilan (‘adl), amanah, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Ayat-ayat seperti:

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan…”
(QS. An-Nahl: 90)

menjadi dasar bahwa penggunaan teknologi, termasuk AI, haruslah selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.

Keluarga Digital dan Krisis Komunikasi

Teknologi juga membawa dampak yang lebih sunyi namun serius: keterasingan dalam rumah tangga. Perangkat pintar kerap menciptakan “gelembung pribadi” yang mengikis komunikasi antarkeluarga. Anak-anak generasi Z kini tumbuh dalam ruang digital yang lebih akrab daripada ruang keluarga, sehingga tak jarang mereka merasa jauh dari orang tua yang seharusnya menjadi sandaran utama.

Kondisi ini kadang memperparah risiko munculnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Ketika komunikasi gagal, dan empati hilang, kekerasan kerap menjadi pelampiasan. Padahal, Rasulullah ﷺ telah memberikan teladan agung:

“Rasulullah ﷺ tidak pernah memukul siapa pun dengan tangannya, baik istri maupun pembantu, kecuali dalam jihad fi sabilillah.”
(HR. Muslim)

Al-Qur’an pun memerintahkan pendekatan penuh rahmah:

“Dan perintahkanlah keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya…”
(QS. Ṭaha: 132)

“Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.”
(QS. Al-Baqarah: 83)

Inilah “etika belas kasih” (rahmah) yang seharusnya menjadi fondasi interaksi dalam keluarga Muslim.

Mungkinkah AI Membantu?

Teknologi AI memang tidak akan pernah menggantikan kasih sayang manusia. Namun, ia dapat menjadi alat bantu untuk deteksi dini terhadap kekerasan rumah tangga, memberikan informasi dan rujukan hukum syariah, serta membantu korban mencari jalan keluar yang aman dan sesuai syariat. Aplikasi berbasis AI dapat mengidentifikasi risiko, memberikan konsultasi daring yang aman, dan membantu menilai pola perilaku yang mengarah pada kekerasan.

Tetapi peran manusia—terutama tokoh agama, psikolog, dan pendidik—tetap tak tergantikan. AI hanya alat, bukan solusi utuh. Sebagaimana firman Allah:

“Tanyalah kepada ahlul dzikr (orang yang berilmu) jika kamu tidak mengetahui.”
(QS. An-Nahl: 43)

Prinsipnya jelas: teknologi mendampingi, bukan menggantikan. Etika tetap di depan, bukan dikorbankan.


Penutup: Merajut Iman dan Hikmah Digital

Keluarga Muslim harus menjadi pelopor dalam menyelaraskan iman dan teknologi. AI bisa menjadi bagian dari wasilah dakwah, pendidikan, bahkan perlindungan keluarga—selama penggunaannya dipandu oleh syariat dan nilai-nilai Islam.

Perlu disadari bahwa masa depan keluarga Muslim di era AI bukanlah soal memilih antara iman atau teknologi, melainkan bagaimana keduanya berjalan seiring, saling menguatkan.


📚 Disarikan dan disesuaikan dari artikel resmi Dar al-Ifta Mesir:
https://www.dar-alifta.org/en/article/details/8863/the-muslim-family-and-ai-industry

Dakwah Pertama Nabi kepada Keluarga: Titik Awal Dakwah Terang-Terangan

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat”
(QS Asy-Syu‘ara: 214)

Ayat ini merupakan tonggak penting dalam sejarah dakwah Rasulullah ﷺ. Setelah tiga tahun menyampaikan ajaran Islam secara sembunyi-sembunyi, turunlah perintah Allah agar beliau menyampaikan kebenaran secara terbuka, dimulai dari keluarga terdekat.

Seruan Agung kepada Keluarga Besar

Menurut riwayat sahih dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, ketika ayat ini turun, Nabi Muhammad ﷺ memanggil seluruh kabilah Quraisy dan menyeru mereka dengan penuh ketegasan:

“Wahai Bani Ka‘b bin Lu’ayy, selamatkan diri kalian dari neraka! Wahai Bani Murrah bin Ka‘b! Wahai Bani ‘Abd Syams! Wahai Bani ‘Abd Manaf! Wahai Bani Hasyim! Wahai Bani ‘Abdul Muththalib! Wahai Fatimah, selamatkanlah dirimu dari api neraka! Aku tidak mampu melindungimu dari (siksaan) Allah. Hanya saja aku akan menyambung tali silaturahmi.”

Seruan ini mengguncang keluarga Quraisy. Nabi ﷺ menegaskan bahwa nasab tidak dapat menyelamatkan seseorang dari murka Allah. Ini menunjukkan universalitas ajaran Islam dan pentingnya iman serta amal saleh dalam keselamatan akhirat.

Seruan dari Bukit

Dalam riwayat lain dari Imam Muslim, Rasulullah ﷺ naik ke bukit Shafa dan berseru:
“Wahai Bani ‘Abd Manaf! Aku ini pemberi peringatan. Perumpamaanku seperti seseorang yang melihat musuh dan segera memperingatkan kaumnya, sambil berseru: ‘Ya Shabahaaah!’ (seruan perang).”

Penduduk Makkah berkumpul dan bertanya-tanya. Beliau lalu bertanya kepada mereka:
“Jika aku kabarkan bahwa ada pasukan berkuda di balik gunung ini hendak menyerang kalian, apakah kalian akan percaya?”
Mereka menjawab, “Kami tidak pernah mendapati engkau berdusta.”
Lalu Nabi ﷺ berkata:
“Aku adalah pemberi peringatan akan azab yang sangat pedih.”

Namun, tanggapan Abu Lahab justru penuh cemoohan:
“Celaka engkau! Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?”
Maka turunlah ayat: “Tabbat yadaa Abi Lahabinw-wa tabb.” (QS Al-Masad: 1)

Perjamuan di Rumah Abu Talib

Ali bin Abi Thalib meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ mengatur perjamuan khusus untuk Bani Abdul Muththalib. Beliau meminta Ali menyembelih seekor kambing dan menyiapkan makanan sederhana. Meskipun makanan itu sedikit, seluruh tamu (sekitar 40 orang) kenyang, menjadi salah satu mukjizat kenabian.

Setelah makan, Nabi ﷺ menyampaikan dakwahnya dengan penuh kelembutan:
“Wahai Bani Abdul Muththalib, demi Allah, tidak ada pemuda dari bangsa Arab yang datang kepada kaumnya membawa hal lebih mulia daripada yang aku bawa. Aku membawa kebaikan dunia dan akhirat untuk kalian.”
Namun, sebelum beliau melanjutkan, Abu Lahab memotong dan mengejeknya, hingga mereka bubar tanpa menerima dakwah.

Besoknya, Rasulullah ﷺ mengulangi hal yang sama. Kali ini beliau berhasil menyampaikan dakwah secara utuh. Tapi penolakan tetap datang dari banyak pihak, termasuk Abu Lahab.

Perlindungan Abu Thalib dan Keteguhan Rasulullah ﷺ

Saat tekanan terhadap dakwah semakin keras, Quraisy meminta Abu Thalib untuk menghentikan keponakannya. Abu Thalib menyampaikan kepada Nabi ﷺ agar mempertimbangkan permintaan mereka demi kebaikan bersama. Namun, jawaban Nabi ﷺ menggema dalam sejarah:

“Wahai paman, demi Allah, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan dakwah ini, aku tidak akan meninggalkannya hingga Allah memenangkannya atau aku binasa karenanya.”

Melihat tekad itu, Abu Thalib menegaskan perlindungannya:

“Pergilah dan katakan apa yang engkau suka. Demi Allah, aku tidak akan menyerahkanmu kepada mereka selama-lamanya.”

Abu Lahab dan Upaya Menghalangi Dakwah

Di pasar Dzu al-Majaz, Nabi ﷺ mendatangi tenda-tenda, menawarkan Islam dengan kata-kata yang lembut dan penuh hikmah. Tapi Abu Lahab mengikuti dari belakang, berteriak kepada orang-orang:
“Jangan dengarkan dia! Ia telah memisahkan kalian dari agama nenek moyang!”

Fitnah Abu Lahab menyebar begitu luas hingga turun surat Al-Masad sebagai balasan atas perbuatannya. Bahkan istrinya, Ummu Jamil, ikut mengejek Nabi ﷺ dengan membawa batu dan menyanyikan:
“Kami benci Muhammad, kami tolak agamanya, kami lawan perintahnya!”

Namun Allah melindungi Nabi ﷺ, hingga Ummu Jamil bahkan tidak melihat beliau saat ingin menyakitinya di masjid.

Awal Perlawanan Fisik: Darah Pertama dalam Islam

Pada awal dakwah terang-terangan, para sahabat tetap melakukan ibadah secara sembunyi-sembunyi. Suatu hari, Sa‘d bin Abi Waqqash dan beberapa sahabat diserang saat salat di lembah. Sa‘d pun membalas dan melukai seorang musyrik. Itulah darah pertama yang tertumpah dalam sejarah Islam.


Penutup

Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan bahwa dakwah Islam dibangun di atas keikhlasan, keberanian, dan perlindungan ilahi. Rasulullah ﷺ mengajarkan kepada kita bahwa menyampaikan kebenaran bukan sekadar tugas, melainkan amanah yang harus ditegakkan meski harus menghadapi ejekan, pengkhianatan, atau bahkan ancaman nyawa.

Semangat dakwah Walisongo meneladani jejak Rasulullah ﷺ: menyeru kepada Allah dengan hikmah, keberanian, dan kasih sayang — dimulai dari lingkungan terdekat, dan meluas ke seluruh alam.

Siapa Guru Syeikh Ibnu Taimiyah? – Penjelasan Syeikh Dr. Ali Jumu’ah (Mantan Mufti Mesir)

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah (661–728 H) merupakan sosok ulama besar dalam sejarah Islam yang dikenal luas sebagai seorang mujtahid independen dalam berbagai bidang, seperti aqidah, fiqih, tafsir, bahkan tasawuf. Namun, tidak sedikit pula pandangannya yang mengundang kontroversi dan kritik, baik dari kalangan sezaman maupun generasi setelahnya.

Dalam sebuah penjelasan ringkas namun sarat makna, Syeikh Dr. Ali Jumu’ah, mantan Mufti Agung Mesir, menjelaskan tentang siapa sebenarnya guru-guru Ibnu Taimiyah.

Ibnu Taimiyah Bukan Ulama Biasa

Syeikh Ali Jumu’ah menegaskan bahwa Ibnu Taimiyah adalah seorang ulama yang sangat cerdas, menghafal, memahami, dan mendalami ilmu Islam dalam berbagai cabang. Meski demikian, beliau juga menjadi tokoh yang kontroversial dalam sejarah pemikiran Islam karena pendapat-pendapatnya yang kadang menyalahi ijma’ ulama atau menafsirkan teks-teks agama dengan pendekatan yang berbeda dari pendahulunya.

Siapa Guru-Gurunya?

Menurut Syeikh Ali Jumu’ah, di antara guru-guru utama Ibnu Taimiyah adalah:

  1. Ibnu Abdul Daa’im
  2. Ibnu Abi Yasin
  3. Ibnu Asakir ad-Dimasyqi
  4. Ibnu Qudamah (muallif kitab al-Mughni) – meskipun hanya melalui pengaruh pemikiran atau rujukan, bukan berguru langsung.
  5. Syeikh Ahmad al-Harrani – ayahnya sendiri, yang juga merupakan ulama di Harran, Syam.

Syeikh Ali Jumu’ah juga menyebut bahwa Ibnu Taimiyah tumbuh dalam lingkungan yang kuat secara ilmiah, bahkan sempat belajar dari berbagai madzhab dan kalangan. Namun, kemudian ia mulai membentuk pendekatan sendiri yang kadang “tidak terikat madzhab”, meskipun secara umum ia mengikuti fiqih madzhab Hanbali.

Peringatan dari Syeikh Ali Jumu’ah

Syeikh Ali Jumu’ah mengingatkan bahwa meskipun Ibnu Taimiyah memiliki jasa besar dalam ilmu Islam, umat harus berhati-hati dalam memahami pandangan-pandangannya. Karena sebagian pendapatnya keluar dari konsensus ulama dan membuka potensi pemahaman ekstrem jika tidak ditelaah secara kontekstual dan ilmiah.

“Dia seorang alim, tetapi banyak juga kesalahan. Ulama besar pun bisa keliru. Dan bukan berarti setiap pendapat Ibnu Taimiyah itu selalu benar atau bisa diikuti tanpa kajian mendalam,” terang Syeikh Ali.

Penutup

Artikel ini mengajak kita untuk melihat figur-figur besar seperti Ibnu Taimiyah dengan ilmiah, objektif, dan adil. Mengetahui siapa guru-gurunya menjadi salah satu cara menelusuri silah ilmiah yang membentuk pemikiran dan karakter seseorang.

Sebagaimana pesan Syeikh Dr. Ali Jumu’ah, marilah kita belajar dengan tawadhu’, kehati-hatian dalam menerima pendapat, dan selalu berpijak pada arus utama (al-sawad al-a’zham) umat Islam.

Sumber: Penjelasan Video Syeikh Dr. Ali Jumu’ah di Facebook
Tautan video: Klik untuk menonton

Israel Bantah Tudingan Serangan di Pusat Bantuan Gaza, Tuduh Hamas sebagai Pelaku

Pada Minggu, 1 Juni 2025, insiden tragis terjadi di dekat pusat distribusi bantuan di Rafah, Gaza, yang mengakibatkan tewasnya 31 warga Palestina dan melukai lebih dari 170 orang. Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, korban tewas dan luka-luka terjadi akibat tembakan yang dilepaskan saat warga berkumpul untuk menerima bantuan makanan.

Militer Israel (IDF) membantah keterlibatan dalam penembakan tersebut. Mereka merilis rekaman drone yang menunjukkan individu bersenjata menembaki kerumunan warga sipil, dan menuduh Hamas sebagai pihak yang bertanggung jawab atas serangan tersebut. IDF menyatakan bahwa pasukannya tidak melepaskan tembakan ke arah warga sipil di lokasi kejadian.

Seorang pejabat militer Israel, yang tidak disebutkan namanya, mengakui bahwa pasukan Israel melepaskan tembakan peringatan ke arah individu yang dianggap mencurigakan mendekati posisi mereka, namun menegaskan bahwa tidak ada tembakan langsung ke arah kerumunan.

Sementara itu, saksi mata di lokasi kejadian melaporkan bahwa tembakan berasal dari arah posisi militer Israel, sekitar satu kilometer dari pusat distribusi bantuan yang dikelola oleh Gaza Humanitarian Foundation (GHF), sebuah organisasi yang didukung oleh Israel dan Amerika Serikat.

Komite Internasional Palang Merah (ICRC) melaporkan bahwa rumah sakit lapangan mereka di Rafah menerima 179 korban luka, termasuk anak-anak dan perempuan, dengan luka akibat tembakan dan serpihan.

GHF membantah adanya insiden penembakan di pusat distribusi mereka dan merilis rekaman yang menunjukkan situasi aman selama distribusi bantuan. Namun, keaslian rekaman tersebut belum dapat diverifikasi secara independen.

Insiden ini menambah daftar panjang tragedi kemanusiaan di Gaza, di tengah blokade yang berlangsung sejak Maret 2025 dan ancaman kelaparan yang meluas. Menurut data Kementerian Kesehatan Gaza, lebih dari 54.000 warga Palestina telah tewas sejak konflik meningkat pada Oktober 2023.

Upaya gencatan senjata yang dimediasi oleh Amerika Serikat, Mesir, dan Qatar masih menemui jalan buntu, dengan Hamas meminta perubahan pada proposal yang diajukan, sementara Israel menolak permintaan tersebut.

Situasi ini menimbulkan kekhawatiran internasional yang mendalam dan menyoroti urgensi penyelesaian konflik serta perlindungan terhadap warga sipil di wilayah konflik.

Rivalitas Abadi: Rasulullah SAW vs Abu Jahal, Antara Kebenaran dan Keangkuhan

Pendahuluan: Dua Sosok, Dua Jalan

Dalam sejarah perjuangan Islam, sedikit tokoh yang disebut dengan sangat tegas oleh Rasulullah SAW sebagai musuh agama, salah satunya adalah Abu Jahal. Sosok ini bukan sekadar penentang, tetapi simbol dari arogansi jahiliyah yang menolak kebenaran bukan karena tidak tahu, melainkan karena kesombongan dan kekuasaan.

“Di antara musuhku yang paling keras permusuhannya adalah Abu Jahal.”
(Sirah Ibnu Hisyam, Jilid 1)


Siapakah Abu Jahal?

Nama aslinya adalah ‘Amr bin Hisyam bin Al-Mughirah, dari Bani Makhzum — salah satu kabilah paling terpandang di Quraisy. Ia dikenal cerdas, berpengaruh, dan pemimpin de facto Mekah setelah meninggalnya Al-Walid bin Mughirah. Kaum Quraisy menyebutnya Abu al-Hakam (bapak kebijaksanaan), tetapi Rasulullah SAW menjulukinya Abu Jahal (bapak kebodohan) karena penolakannya terhadap Islam secara membabi buta.

“Sesungguhnya Abu Jahal itu Fir’aunnya umat ini.”
(HR. Ahmad dalam Musnad Ahmad no. 15781)


Awal Rivalitas: Dari Dakwah Rahasia ke Terang-Terangan

Saat Rasulullah SAW mulai berdakwah secara terbuka, Abu Jahal langsung menjadi garda depan perlawanan. Ia menggunakan kekuasaan, pengaruh sosial, dan kekayaan untuk:

  • Mengintimidasi para pengikut Nabi,
  • Menyiksa budak-budak Muslim seperti Bilal,
  • Menyebar fitnah bahwa Nabi adalah penyair dan gila,
  • Menyusun makar untuk membunuh Nabi.

“Wahai Muhammad! Kami tidak akan pernah beriman kepadamu selama engkau terus mencela tuhan-tuhan kami!”
(Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Nihayah, 3/65)


Permusuhan yang Bukan Karena Ketidaktahuan

Menariknya, Abu Jahal mengakui bahwa Muhammad SAW tidak berdusta. Ia tahu Nabi membawa kebenaran, namun tetap menolak karena faktor gengsi dan perebutan pengaruh.

Diriwayatkan dari Al-Mughirah bin Syu’bah, bahwa Abu Jahal pernah berkata:

“Kami dan Bani Hasyim saling bersaing dalam memuliakan tamu, memberi makan, dan berbagai kebajikan. Tapi kini mereka berkata: ‘Di antara kami ada Nabi yang menerima wahyu dari langit.’ Bagaimana kami bisa menyaingi itu? Kami tidak akan pernah mengikutinya selamanya.”
(Ibn Katsir, Al-Bidayah wan Nihayah, 3/62)

Inilah rivalitas yang didorong oleh kesombongan, bukan kekeliruan intelektual. Abu Jahal adalah aristokrat Mekah yang merasa tersaingi oleh seseorang dari kabilah yang sama, tetapi tidak memiliki kekayaan sebesar dirinya.


Puncak Permusuhan: Peristiwa Isra’ Mi’raj & Perang Badar

Abu Jahal menjadi penghina utama peristiwa Isra’ Mi’raj, bahkan memprovokasi orang-orang Quraisy agar menjadikan kisah itu sebagai bahan ejekan kepada Nabi.

Namun klimaks rivalitas mereka terjadi dalam Perang Badar, perang pertama antara Muslimin dan kaum Quraisy. Di sinilah Abu Jahal tewas secara tragis, dibunuh oleh dua pemuda Anshar: Mu’adz dan Mu’awwidz, yang masih remaja. Rasulullah SAW mendatangi jasadnya dan bersabda:

“Ini adalah Fir’aun umat ini.”
(HR. Ahmad dan Al-Hakim)


Pelajaran Spiritual dari Rivalitas Ini

Rivalitas antara Rasulullah SAW dan Abu Jahal adalah rivalitas antara cahaya dan kegelapan, antara kerendahan hati dan kesombongan, antara tauhid dan jahiliyah.

Dari sisi tasawuf dan hikmah, para ulama seperti Imam Al-Ghazali dan Syekh Abdul Qadir al-Jailani menjelaskan bahwa “Abu Jahal” itu tidak hanya ada dalam sejarah luar, tetapi juga bisa ada dalam diri kita sendiri, yaitu:

  • Keangkuhan intelektual,
  • Penolakan terhadap kebenaran karena ego,
  • Ketakutan kehilangan posisi atau dunia.

Penutup: Siapa Abu Jahal Zaman Ini?

Rasulullah SAW menghadapi Abu Jahal bukan dengan kekerasan, tetapi dengan keteguhan prinsip, kesabaran, dan kemuliaan akhlak. Ini pelajaran penting bagi setiap pendakwah, pejuang kebenaran, dan pelayan umat hari ini.

“Setiap zaman akan melahirkan ‘Abu Jahal’-nya masing-masing, dan setiap umat akan ditantang untuk tetap menjadi Muhammad dalam kesabaran, keteguhan, dan cinta kasih.”
(KH. Hasyim Asy’ari, dalam Muqaddimah Qanun Asasi)


Referensi:

  • Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah.
  • Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Nihayah.
  • Imam Ahmad, Musnad Ahmad.
  • Al-Hakim, Al-Mustadrak.
  • Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din.
  • Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq.

Fadhilah Puasa Tarwiyah dan Arafah dalam Tradisi Tasawuf Walisongo

Makna dan Waktu Pelaksanaan

Puasa Tarwiyah dilakukan pada tanggal 8 Dzulhijjah, sedangkan Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, hari yang sangat dimuliakan dalam Islam. Dua hari ini memiliki keutamaan luar biasa, khususnya bagi umat yang tidak sedang menunaikan haji.

Dalil Al-Qur’an dan Hadits

Allah SWT berfirman:

“Dan demi malam yang sepuluh.”
(QS. Al-Fajr: 2)

Menurut mayoritas mufassir, malam-malam sepuluh itu adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, termasuk hari Tarwiyah dan Arafah.

Dari Abu Qatadah RA, Rasulullah SAW bersabda:

“Puasa hari Arafah, aku berharap kepada Allah, dapat menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.”
(HR. Muslim)

“Puasa pada hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah) menghapus dosa satu tahun, dan puasa pada hari Arafah menghapus dosa dua tahun.”
(HR. Ibnu Majah dan al-Baihaqi — meskipun sanadnya diperselisihkan, banyak ulama mengamalkannya dalam fadha’il al-a‘mal).

Dalam kitab Al-Ghunyah, Syekh Abdul Qadir al-Jailani menekankan bahwa puasa Arafah adalah madrasah ruhaniyah untuk menundukkan syahwat dan membersihkan batin. Ia menyebut bahwa puasa ini ibarat “pakaian putih para salik” — yaitu orang-orang yang sedang meniti jalan menuju makrifat.

Beliau juga menyarankan meninggalkan semua makanan yang bersumber dari makhluk bernyawa pada hari-hari tersebut, agar tubuh benar-benar ringan, dan hati jernih. Dalam salah satu petuahnya beliau berkata:

“Jangan engkau makan daging saat jiwamu sedang dilatih lepas dari nafsu dunia. Makanlah dari bumi yang tak berdosa, sebab tubuhmu sedang ditajalli oleh cahaya rahmat pada hari-hari pilihan.”

Ajaran Sunan Ampel dan Sunan Drajat

Dalam ajaran Walisongo, khususnya Sunan Ampel dan Sunan Drajat, puasa Tarwiyah dan Arafah dijalankan bukan hanya sebagai ritual fiqih, tapi sebagai riyadhah ruhaniyah yang disebut dengan “Tarkur Roh” — yaitu menahan segala dorongan hawa nafsu, baik yang zahir maupun batin.

Sunan Ampel mengajarkan konsep “Mempasrah roh marang Pangeran”, yang diterapkan dengan:

  • Tidak makan dari makhluk bernyawa (binatang dan produk turunannya seperti susu, telur, keju, dll),
  • Tidak berkata sia-sia, tidak memandang dengan syahwat, dan tidak tidur berlebihan,
  • Berdiam dalam dzikir: “Laa ilaaha illallaah, Wahdahu laa syariika lah” sebanyak 1000 kali pada hari Arafah.

Sunan Drajat, yang dikenal dengan prinsip sosialnya, menambahkan bahwa puasa ini seharusnya menjadi momen pembersihan diri untuk kembali melayani umat dengan hati yang bersih dan tujuan yang murni, serta menghilangkan sifat tamak dan rakus terhadap dunia.

Puasa dengan Riyadhah “Tarkur Roh”

Berbeda dengan puasa biasa, dalam metode tarkur roh, yang dijaga bukan hanya perut, tetapi:

  • Pikiran: tidak memikirkan hal duniawi,
  • Lisan: tidak bicara kecuali zikir dan ilmu,
  • Pandangan: hanya melihat ayat-ayat Allah,
  • Telinga: tidak mendengar ghibah, lagu sia-sia, atau kabar dunia yang memecah hati,
  • Tubuh: hanya digerakkan untuk shalat, dzikir, baca Qur’an, dan amal kebaikan,
  • Makanan: hanya sayuran, buah, dan biji-bijian, tidak menyentuh daging, telur, susu, dan semua yang keluar dari makhluk bernyawa.

Ini selaras dengan ajaran tasawuf yang menyatakan bahwa penyucian diri lahir dan batin akan membuka tabir hijab antara hamba dan Tuhannya, khususnya pada hari Arafah, hari mustajab doa.

Penutup: Menjadi Manusia Arafah

Puasa Tarwiyah dan Arafah bukan hanya ladang pahala, tetapi jalan spiritual yang dilalui oleh para wali dan salik terdahulu. Ketika dilakukan dengan penuh keikhlasan dan riyadhah yang benar, ia bisa menjadi momentum tajalli Ilahi — turunnya limpahan rahmat dan pengampunan dari Allah SWT.

“Jadilah manusia Arafah: yang melepaskan segala milik, dan hanya membawa ruh yang rindu pulang kepada Allah.” – (Petuah Walisongo)


Sumber: Al-Qur’an, Hadits Shahih, Kitab Al-Ghunyah, Hikmah Sunan Ampel & Sunan Drajat

Syekh Awad Karim Utsman Al-Aqli: Cinta Tanah Air adalah Bagian dari Syariat Islam

Kediri, 31 Mei 2025 — Auditorium An-Nawawi Ma’had Aly Lirboyo menjadi saksi kajian ilmiah yang mendalam oleh Syekh Awad Karim Utsman Al-Aqli, seorang ulama terkemuka asal Sudan. Dalam kesempatan tersebut, beliau membahas makna cinta tanah air dari perspektif literatur turats dan kajian tasawuf.

Syekh Awad, yang juga menjabat sebagai Mustasyar Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Sudan, membuka kajian dengan pertanyaan fundamental: apakah istilah hubbul wathan (cinta tanah air) memiliki dasar dalam syariat Islam ataukah merupakan konsep baru? Untuk menjawabnya, beliau merujuk pada Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 84 yang menekankan pentingnya menjaga tanah air dan larangan meninggalkannya tanpa alasan yang benar.

“Negara dan tanah air adalah nikmat terbesar dari Allah SWT yang harus disyukuri dan dijaga,” tegas Syekh Awad. Beliau menambahkan bahwa keluar dari negara tanpa alasan yang sah dapat menimbulkan konflik dan peperangan, yang harus dihindari.

Sebagai Ketua Bidang Keilmuan di Al-Majma’ Shufi Al-‘Am Sudan dan Guru Besar Ilmu Hadits di Masjid Agung Kota Omdurman, Sudan, Syekh Awad menyatakan bahwa menjaga eksistensi tanah air adalah salah satu penyebab berperang di jalan Allah. Dengan demikian, mencintai dan menjaga tanah air bukan sekadar perasaan, melainkan kewajiban yang memiliki dasar syariat yang kuat.

Dalam sesi tanya jawab, seorang mahasantri menanyakan tentang redaksi hadits dalam kitab Fath Al-Bari Syarh Sahih Bukhari dan relevansinya saat ini. Menanggapi hal tersebut, Syekh Awad mengisahkan bahwa Nabi Muhammad SAW menunjukkan cinta yang mendalam terhadap tanah kelahirannya, Makkah. Meskipun harus hijrah ke Madinah karena tekanan dari kaum Quraisy, Nabi bersabda: “Demi Allah, Makkah adalah kota yang paling aku cintai dari semua negeri.”

Beliau juga menyoroti langkah-langkah Nabi di Madinah, seperti membangun masjid sebagai pusat ibadah dan sosial, serta menyusun Piagam Madinah (Watsiqah Madinah) sebagai konstitusi pertama di dunia untuk menjaga persatuan. Hal ini menunjukkan bahwa cinta tanah air diwujudkan dalam tindakan nyata dan menjadi fondasi kuat dalam struktur negara.

Mengutip Imam Al-Jahiz, Syekh Awad menyampaikan bahwa manusia pada dasarnya diciptakan dengan fitrah mencintai tanah kelahirannya. Oleh karena itu, menjaga keutuhan negara dan persatuan bangsa adalah kewajiban yang harus dijaga oleh setiap warga negara.

Acara ini dihadiri oleh Dewan Mudir Ma’had Aly Lirboyo, Dzuriyyah Pondok Pesantren Lirboyo, para dosen Ma’had Aly, serta mahasantri tingkat Marhalah Ula dan Tsaniyah. Sebelum materi utama disampaikan, mahasantri semester lima, Agus Mihyal Manutho Muhammad, memaparkan biografi lengkap Syekh Awad Karim Utsman Al-Aqli, mulai dari latar belakang pendidikan, guru-gurunya, karya-karyanya, hingga jabatan-jabatan penting yang diembannya.

Syekh Awad dikenal sebagai penghafal Al-Qur’an dengan riwayat Ad-Duri dari Abu ‘Amr. Beliau juga menjabat sebagai dosen di Institut Ma’arij Yordania dan memimpin bidang keilmuan di Organisasi Imam Al-Asy’ari Sudan serta Perkumpulan Sufi (Al-Majma’ Shufi Al-‘Am) Sudan.

Kajian ini memberikan pemahaman mendalam bahwa cinta tanah air bukan hanya nilai budaya, tetapi juga bagian integral dari ajaran Islam yang memiliki dasar syariat yang kuat.

Visa Haji Furoda Tak Terbit, BP Haji Imbau Calon Jemaah Waspadai Penipuan

JAKARTA – Ribuan calon jemaah haji Indonesia yang berharap berangkat melalui jalur haji furoda harus menunda niat suci mereka. Hingga menjelang musim haji, visa furoda yang merupakan visa non-kuota dari Pemerintah Arab Saudi belum juga diterbitkan.

Wakil Kepala Badan Penyelenggara Haji (BP Haji), Dahnil Anzar Simanjuntak, menegaskan bahwa penerbitan visa furoda sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Arab Saudi. “Menurut pihak Saudi Arabia, visa haji non-kuota seperti furoda tidak akan keluar,” ujar Dahnil dalam keterangan resmi. Ia menjelaskan keputusan ini diambil untuk menertibkan pelaksanaan ibadah haji agar lebih baik dan tertib.

BP Haji mengimbau calon jemaah dan masyarakat untuk berhati-hati terhadap penawaran yang mengatasnamakan visa furoda. Dahnil mengingatkan agar tidak tertipu oleh janji-janji penerbitan visa menjelang puncak haji, karena sudah dipastikan Kerajaan Saudi tidak akan mengeluarkan visa tersebut tahun ini.

Menteri Luar Negeri Indonesia juga menegaskan bahwa keputusan penerbitan visa furoda tetap berada di tangan otoritas Saudi. “Tanya ke Pemerintahan Saudi dong. Dia yang keluarin visanya,” katanya saat dimintai keterangan.

Sementara itu, Sarikat Penyelenggaraan Haji Umroh Indonesia (Sapuhi) menyatakan bahwa jemaah haji furoda yang gagal berangkat tahun ini akan mendapatkan pengembalian dana penuh (full refund). Ketua Umum Sapuhi menjelaskan bahwa para jemaah dapat memilih pengembalian dana atau pengalihan keberangkatan ke haji khusus pada musim haji berikutnya. “Ada tiga cara untuk memberikan konsekuensi kepada jemaah yang tidak berangkat haji mujamalah atau furoda tahun ini, yaitu di-refund full atau dikonversi ke haji khusus,” jelasnya.

DPR RI mendorong adanya pengakuan hukum dan perlindungan yang jelas terhadap jemaah pemegang visa non-kuota agar kejadian serupa tidak berulang. Wakil Ketua Komisi VIII DPR menekankan pentingnya regulasi yang mengatur berbagai jenis visa haji, termasuk visa non-kuota, untuk memberikan kepastian hukum bagi jemaah dan penyelenggara.

BP Haji mengingatkan seluruh calon jemaah untuk selalu memverifikasi informasi dan tidak mudah tergiur tawaran yang tidak jelas. Penting bagi masyarakat memastikan penyelenggara haji memiliki izin resmi dan mengikuti prosedur pemerintah.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama terus berkomunikasi dengan otoritas Saudi untuk memastikan kelancaran ibadah haji dan melindungi hak-hak jemaah Indonesia.

Penguatan Nilai Keagamaan dan Pendidikan Karakter Jadi Fokus Pesantren di Era Digital

Jakarta-walisongo.net – Di tengah arus globalisasi dan pesatnya perkembangan teknologi digital, lembaga pendidikan Islam seperti pesantren di Indonesia terus berinovasi dalam memperkuat nilai-nilai keagamaan dan pendidikan karakter bagi generasi muda.

Kementerian Agama RI melalui Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren menyatakan bahwa lebih dari 80% pesantren di Indonesia kini telah mengintegrasikan kurikulum digital berbasis nilai-nilai Islam dalam proses pembelajaran.

“Pesantren tidak hanya menjadi tempat menimba ilmu agama, tetapi juga pusat pendidikan karakter yang mampu membentengi generasi muda dari pengaruh negatif era digital,” ujar Direktur Pendidikan Diniyah dan Pontren, Dr. H. Ahmad Kholili, dalam seminar nasional bertajuk “Transformasi Digital Pendidikan Keagamaan di Era Modern”, Kamis (29/5).

Pesantren-pesantren besar seperti Ponpes Tebuireng, Gontor, dan Lirboyo telah menerapkan metode hybrid learning yang menggabungkan kitab kuning klasik dengan teknologi pembelajaran digital. Selain itu, pesantren juga aktif mengadakan pelatihan media dakwah digital bagi para santri agar mampu berdakwah secara kreatif di platform seperti YouTube, Instagram, dan podcast.

Di sisi lain, tokoh pendidikan Islam, KH. Mustofa Bisri (Gus Mus), mengingatkan agar transformasi teknologi tidak mengikis ruh keikhlasan dan akhlakul karimah dalam pendidikan pesantren.

“Teknologi itu alat. Yang utama adalah ruh dari pendidikan itu sendiri: menanamkan keikhlasan, kebijaksanaan, dan cinta kepada sesama,” ujar beliau dalam pernyataannya di Rembang.

Langkah ini pun disambut positif oleh berbagai kalangan, termasuk masyarakat umum dan orang tua santri. Mereka menilai, pendidikan berbasis nilai agama yang dikombinasikan dengan teknologi modern dapat menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan jati diri bangsa.

Dengan semakin kokohnya sinergi antara keagamaan dan pendidikan, diharapkan pesantren Indonesia tetap menjadi garda terdepan dalam mencetak generasi unggul, berakhlak mulia, dan siap berkontribusi bagi bangsa dan dunia.