Kafalah Yatim-Dhuafa
Bea Siswa Mahasantri
Walisongo Tanggap

Serbuan Militer Israel di Perairan Internasional: Aktivis Greta Thunberg Diculik, Bantuan Kemanusiaan untuk Gaza Disita

WALISONGO.NET – Militer Israel kembali menjadi sorotan dunia setelah menyerbu MV Madleen, kapal yang membawa bantuan kemanusiaan ke Gaza, di perairan internasional pada Senin (9/6/2025) pagi WIB. Insiden ini menyebabkan penculikan sejumlah aktivis, termasuk aktivis iklim Swedia Greta Thunberg, dan penyitaan muatan bantuan yang sangat dibutuhkan warga Gaza.

Freedom Flotilla Coalition (FFC), pihak yang mengirimkan kapal tersebut, melaporkan bahwa serbuan dimulai selepas pukul 06.00 WIB. Sebuah pesawat nirawak Israel terlebih dahulu mengacak sinyal dan menyemprotkan cairan yang menyebabkan mata serta hidung perih di atas MV Madleen. Tak lama kemudian, komunikasi FCC dengan kapal terhenti.

Dalam sebuah video yang disiarkan oleh FCC, Greta Thunberg merekam sebelum serbuan terjadi, “Saya Greta Thunberg. Saya dari Swedia. Jika Anda melihat video ini, kami telah dicegat dan diculik di perairan internasional oleh tentara pendudukan Israel.” Anggota Parlemen Eropa, Rima Hassan, yang juga berada di kapal, menegaskan, “Kami tidak bersenjata. Yang ada hanya bantuan kemanusiaan.” Ia menyatakan komitmen untuk terus berupaya mengirimkan bantuan ke Gaza tanpa batas waktu tertentu.

Juru bicara FCC, Mahmud Abu-Odeh, mengungkapkan kekhawatiran mendalam atas nasib orang-orang di kapal. “Kapal dimasuki secara ilegal, awaknya yang tidak bersenjata diculik, dan muatan kemanusiaan—termasuk susu bayi, makanan, dan obat-obatan—disita,” ujarnya, menambahkan bahwa mereka diduga kuat diculik di perairan internasional.

Sebelumnya, pada Minggu dini hari, Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, memang telah memerintahkan militer Israel untuk mencegat kapal tersebut. Pencegatan ini diklaim untuk mencegah kapal melanggar blokade laut yang telah puluhan tahun diterapkan Israel terhadap Gaza, dan semakin diperketat sejak serbuan Israel pada Oktober 2023.

Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Israel pada Senin menyatakan bahwa MV Madleen telah dibawa ke Israel dan “penumpang diharapkan pulang ke negara masing-masing,” sembari menyebut pelayaran itu hanya mencari sensasi.

Blokade laut yang diberlakukan Israel membuat jalur pasokan ke Gaza hanya bisa melalui Mesir atau Israel. Namun, pintu pelintasan Rafah yang menghubungkan Gaza-Mesir telah diduduki Israel sejak Oktober 2023, sementara pintu-pintu lain telah lama ditutup. Parahnya, berbagai kelompok warga Israel juga kerap menghadang truk bantuan yang akan masuk Gaza melalui perbatasan Gaza-Israel, bahkan pemerintah Israel dengan sengaja melarang truk-truk tersebut. Laporan dari The Guardian dan Arab News juga mengungkapkan bahwa kelompok bersenjata sokongan Israel kerap menjarah bantuan yang masuk, bahkan mantan Menhan Israel Avigdor Lieberman memaparkan bukti pasokan senjata Israel ke kelompok ini atas perintah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.

Klaim Israel atas Kematian Mohammad Sinwar di Rumah Sakit Eropa

Di sisi lain, pada Minggu (8/6/2025), Israel mengajak sejumlah jurnalis ke Rumah Sakit Eropa di Khan Younis, Gaza. Militer Israel, Tzahal, mengklaim bahwa RS itu menjadi tempat persembunyian para pemimpin Hamas, termasuk Mohammad Sinwar, adik dari mendiang Yahya Sinwar, yang disebut-sebut meneruskan kepemimpinan Hamas.

Tzahal mengizinkan jurnalis menyiarkan video dan foto dari dalam RS, dengan syarat harus diperiksa dan disensor terlebih dahulu. Juru bicara Tzahal, Brigadir Jenderal Effie Defrin, menyebut bahwa Mohammad Sinwar tewas di RS itu, namun tidak menunjukkan bukti penguat.

Ruangan-ruangan bawah tanah yang diklaim sebagai kompleks komando dan kontrol utama Hamas terlihat utuh menurut laporan New York Times, dengan dinding tidak rusak, kasur, pakaian, dan seprai yang masih rapi, meskipun Israel mengklaim Sinwar dan koleganya terbunuh akibat serangan senjata berat. Bahkan, senapan militer Israel yang diklaim dicuri Sinwar masih terlihat di salah satu sudut ruangan. Defrin menduga kematian Sinwar dan pemimpin Hamas lainnya akibat gas atau gelombang kejut ledakan.

Di dalam ruangan bawah tanah itu, militer Israel mengklaim menemukan persediaan senjata, amunisi, uang tunai, dan sejumlah dokumen. Namun, perlu dicatat bahwa sebelumnya Juru Bicara Tzahal juga pernah menunjukkan ruang bawah tanah yang diklaim tempat persembunyian Hamas, yang belakangan terungkap sebagai gudang rumah sakit dan tulisan di dinding adalah jadwal jaga dokter dan perawat. Terungkap pula bahwa Israel sengaja meletakkan sejumlah benda dalam ruangan yang ditunjukkan ke publik.

Situasi Kemanusiaan Memprihatinkan dan Serangan Terhadap Warga Sipil

Bantuan kemanusiaan bagi warga Gaza sangat dibutuhkan mengingat kelaparan akut yang melanda hampir semua populasi yang tersisa. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan berbagai lembaga lain berulang kali menyebut kondisi ini, bahkan sering beredar foto dan video anak-anak Gaza yang terlihat kurus kering.

Proses distribusi pangan oleh Israel-AS juga terus memakan korban. Dalam sepekan terakhir, lebih dari 200 orang tewas akibat penembakan Israel terhadap warga yang mendekati titik distribusi. Pada Minggu (8/6/2025), sedikitnya 12 warga Palestina tewas setelah militer Israel menembaki mereka saat berupaya mendapatkan bahan makanan di dekat titik distribusi milik Gaza Humanitarian Foundation (GHF). Militer Israel mengklaim mereka melepaskan tembakan kepada warga yang mendekati pasukannya.

Saksi mata, Abdallah Nour al-Din, menceritakan bahwa warga mulai berkumpul dini hari dan bergerak menuju titik lokasi pembagian bantuan. “Setelah sekitar satu setengah jam, ratusan orang bergerak menuju lokasi dan tentara melepaskan tembakan,” ujarnya. Sebelas jenazah dibawa ke Rumah Sakit Nasser di Khan Younis, sementara satu korban lainnya dibawa ke RS Al-Awda.

Adham Dahman, salah seorang korban luka, mengatakan, “Kami tidak tahu bagaimana cara melarikan diri. Ini jebakan bagi kami, bukan bantuan.” Sementara itu, Zahed Ben Hassan, saksi mata lainnya, menuturkan, “Mereka mengatakan, itu adalah area aman dari pukul 06.00 pagi hingga 18.00 sore. Jadi, mengapa mereka mulai menembaki kami?”

Secara keseluruhan, Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan sedikitnya 108 jenazah dibawa ke rumah sakit di Gaza dalam 24 jam terakhir, tidak hanya dari lokasi distribusi bahan makanan GHF, tetapi juga dari sejumlah titik di Gaza yang menjadi sasaran serbu IDF.

Meskipun demikian, seorang pejabat GHF dan militer Israel membantah terjadi kekerasan dan penembakan di dalam atau di sekitar lokasi distribusinya.PBB dan Lembaga Kemanusiaan Berulang Kali Soroti Krisis Kelaparan di Gaza

Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan berbagai lembaga kemanusiaan lainnya telah berulang kali menyuarakan keprihatinan mendalam mengenai krisis kelaparan akut yang melanda hampir seluruh populasi yang tersisa di Gaza. Kondisi ini digambarkan sangat memprihatinkan, dengan banyak laporan visual yang menunjukkan anak-anak Gaza yang terlihat sangat kurus, dengan tulang rusuk menonjol, sebagai indikasi kekurangan gizi yang parah.

Distribusi Bantuan yang Memakan Korban

Proses distribusi pangan yang kini dikendalikan oleh Israel dan kelompok tentara bayaran Amerika Serikat juga terus memakan korban jiwa. Dalam sepekan terakhir saja, lebih dari 200 orang dilaporkan tewas akibat serangkaian penembakan oleh pasukan Israel terhadap warga yang mencoba mendekati titik distribusi bantuan.

Pada Minggu (8/6/2025), sedikitnya 12 warga Palestina tewas setelah militer Israel menembaki mereka saat berupaya mendapatkan bahan makanan. Insiden ini terjadi ketika mereka tengah menuju dua titik distribusi bantuan milik Gaza Humanitarian Foundation (GHF). Militer Israel mengklaim bahwa penembakan dilakukan karena warga mendekati pasukannya.

Seorang saksi mata, Abdallah Nour al-Din, menceritakan bahwa warga mulai berkumpul di wilayah Al-Alam Rafah dini hari dan bergerak menuju lokasi yang diperkirakan akan menjadi pusat pembagian bantuan. “Setelah sekitar satu setengah jam, ratusan orang bergerak menuju lokasi dan tentara melepaskan tembakan,” katanya. Sebelas jasad warga yang tewas ditembak dibawa ke Rumah Sakit Nasser di Khan Younis, sementara satu korban tewas lainnya dibawa ke RS Al-Awda.

Beberapa saksi mata mengungkapkan bahwa penembakan pertama di Gaza selatan terjadi sekitar pukul 06.00 pagi. Mereka diberitahu bahwa lokasi tersebut akan dibuka pada jam tersebut, mendorong banyak orang untuk datang lebih awal demi mendapatkan makanan.

Adham Dahman, yang dirawat di Rumah Sakit Nasser dengan perban di dagunya, mengatakan bahwa sebuah tank menembaki mereka. “Kami tidak tahu bagaimana cara melarikan diri,” katanya. “Ini jebakan bagi kami, bukan bantuan.” Saksi lainnya, Zahed Ben Hassan, menuturkan, “Seseorang di sebelah saya tertembak di bagian kepala. Mereka mengatakan, itu adalah area aman dari pukul 06.00 pagi hingga 18.00 sore. Jadi, mengapa mereka mulai menembaki kami?” Ia menambahkan bahwa militer Israel bisa melihat mereka dengan jelas meskipun cahaya padam.

Militer Israel sendiri pada hari Jumat sebelumnya telah mengumumkan bahwa lokasi-lokasi distribusi akan dibuka selama jam-jam tersebut, dan area-area tersebut akan menjadi zona militer tertutup selama sisa waktu.

Secara keseluruhan, Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan bahwa sedikitnya 108 jenazah dibawa ke rumah sakit di Gaza selama 24 jam terakhir. Selain korban tewas tidak jauh dari lokasi distribusi bahan makanan GHF, korban tewas lainnya juga berasal dari sejumlah titik di Gaza yang menjadi sasaran serbuan IDF. Meskipun demikian, seorang pejabat GHF dan militer Israel membantah terjadi kekerasan dan penembakan di dalam atau di sekitar lokasi distribusinya.Desakan Internasional dan Potensi Pelanggaran Hukum Humaniter

Insiden penyerbuan kapal bantuan di perairan internasional dan laporan penembakan terhadap warga sipil yang mengantre bantuan telah memicu gelombang desakan dari komunitas internasional. Berbagai organisasi hak asasi manusia dan lembaga internasional menyerukan penyelidikan independen atas tindakan militer Israel. Mereka menekankan bahwa penyerbuan di perairan internasional dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional, khususnya hukum laut. Penculikan aktivis dan penyitaan bantuan kemanusiaan juga dapat dikategorikan sebagai pelanggaran serius terhadap konvensi-konvensi kemanusiaan internasional.

Krisis kemanusiaan di Gaza, yang diperparah oleh blokade dan penargetan terhadap distribusi bantuan, semakin mendesak PBB dan negara-negara anggota untuk mencari solusi jangka panjang. Beberapa pihak mengusulkan pembentukan koridor kemanusiaan yang aman dan tidak terganggu, serta tekanan diplomatik yang lebih kuat terhadap Israel untuk mencabut blokade dan memastikan akses penuh bantuan.

Masa Depan Gaza dan Upaya Perlawanan yang Tak Henti

Di tengah situasi yang semakin memanas ini, masa depan Gaza masih diselimuti ketidakpastian. Dengan infrastruktur yang hancur, ribuan korban tewas, dan jutaan jiwa yang terancam kelaparan, upaya rekonstruksi dan pemulihan akan menjadi tantangan besar. Sementara itu, kelompok-kelompok perlawanan Palestina, termasuk Hamas, bersumpah untuk terus melawan pendudukan Israel dan berupaya membebaskan Gaza dari blokade.

Meskipun Israel mengklaim telah membunuh sejumlah pemimpin Hamas, termasuk Mohammad Sinwar, keraguan atas bukti-bukti yang diberikan oleh Tzahal tetap ada. Hal ini menambah kompleksitas narasi konflik dan menimbulkan pertanyaan tentang transparansi informasi yang disampaikan oleh militer Israel.

Dunia kini menanti langkah konkret dari komunitas internasional untuk menghentikan penderitaan di Gaza dan memastikan keadilan bagi para korban. Tanpa intervensi yang kuat, siklus kekerasan dan krisis kemanusiaan diperkirakan akan terus berlanjut di wilayah yang bergejolak ini.Seruan untuk Aksi Kemanusiaan Mendesak dan Desakan Akuntabilitas

Mengingat kondisi di Gaza yang kian memburuk, desakan untuk aksi kemanusiaan yang lebih besar dan segera terus menggema dari berbagai penjuru dunia. Organisasi-organisasi internasional dan pegiat kemanusiaan menyerukan pembukaan jalur-jalur pasokan yang aman dan tanpa hambatan untuk memastikan bantuan mencapai setiap warga Gaza yang membutuhkan. Mereka juga mendesak agar Israel menghentikan penargetan terhadap warga sipil dan fasilitas kesehatan, serta mematuhi hukum humaniter internasional.

Selain itu, tuntutan untuk akuntabilitas atas tindakan-tindakan militer Israel, termasuk penyerbuan kapal bantuan di perairan internasional dan insiden penembakan warga sipil, semakin menguat. Komunitas internasional diharapkan tidak hanya memberikan kecaman, tetapi juga mengambil langkah-langkah konkret untuk memastikan keadilan bagi para korban dan mencegah terulangnya insiden serupa di masa depan. Hal ini termasuk potensi pembentukan komite penyelidikan independen dan penjatuhan sanksi bagi pihak-pihak yang terbukti melanggar hukum internasional.

Implikasi Jangka Panjang bagi Perdamaian di Kawasan

Konflik yang terus berlarut-larut dan krisis kemanusiaan yang mendalam di Gaza memiliki implikasi jangka panjang yang serius bagi prospek perdamaian di kawasan Timur Tengah. Eskalasi kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia hanya akan memperdalam jurang ketidakpercayaan dan kebencian antara kedua belah pihak. Tanpa adanya solusi politik yang adil dan berkelanjutan, serta komitmen dari semua pihak untuk mengakhiri kekerasan, siklus penderitaan di Gaza kemungkinan besar akan terus berlanjut.

Masyarakat internasional, khususnya negara-negara besar dan lembaga-lembaga berpengaruh, memikul tanggung jawab besar untuk memediasi dialog, mendorong gencatan senjata yang permanen, dan memfasilitasi solusi dua negara yang memungkinkan Israel dan Palestina hidup berdampingan secara damai dan aman. Ini adalah satu-satunya jalan menuju stabilitas dan kemakmuran jangka panjang di wilayah yang telah lama dilanda konflik ini.

Buya Munawwir al-Qosimi: Putusan MK Soal Sekolah Gratis Harus Berpihak pada Keadilan dan Eksistensi Madrasah/Sekolah Swasta

Bogor, Walisongo.net – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pendidikan dasar gratis, yang juga mencakup sekolah swasta, telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan pegiat pendidikan nasional. Jam’iyyah Walisongo Nusantara (Jawara) melalui Ketua Umumnya, Buya Munawwir al-Qosimi, memberikan pandangan tegasnya, menekankan pentingnya putusan ini diimplementasikan dengan memperhatikan realitas di lapangan dan keberlangsungan lembaga pendidikan swasta, terutama madrasah yang menjadi tulang punggung pendidikan keagamaan di Indonesia.

Buya Munawwir al-Qosimi menyatakan bahwa semangat putusan MK untuk memastikan akses pendidikan yang merata dan bebas diskriminasi patut diapresiasi. Namun, ia mengingatkan agar pemerintah tidak latah dalam menerjemahkan putusan tersebut sehingga justru mematikan inisiatif dan kemandirian sekolah swasta dan pesantren

“Keputusan MK yang mengabulkan sebagian permohonan uji materiil Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas itu sejatinya adalah respons terhadap ketimpangan akses pendidikan. Namun, negara harus bertindak bijak. Jangan sampai niat baik ini justru membonsai sekolah-sekolah swasta yang selama ini telah banyak berkontribusi, khususnya madrasah-madrasah yang didirikan oleh masyarakat dengan semangat pengabdian,” ujar Buya Munawwir di kantor Jawara Pusat, Kamis (5/6/2025).

Menurut Buya Munawwir, banyak sekolah swasta, termasuk madrasah, selama ini telah menjadi garda terdepan dalam menampung siswa dari berbagai latar belakang ekonomi, terutama di daerah-daerah yang minim sekolah negeri. “Mereka beroperasi dengan kemandirian dan inovasi. Jika tiba-tiba kebijakan ini langsung diterapkan tanpa dukungan anggaran penuh dan skema yang jelas, justru akan sangat kontraproduktif,” tegasnya.

Sikap Muhammadiyah: Kritik Keras dan Kekhawatiran Kontraproduktif

Senada dengan Buya Munawwir, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah juga menyuarakan kekhawatirannya. Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, menilai bahwa karakter sekolah-sekolah swasta yang ingin terus mengembangkan diri dengan cepat dan tidak terjebak birokrasi harus dipahami pemerintah.

“Implementasi dari putusan MK (yang menggratiskan sekolah swasta) itu perlu dicermati seksama, yang berpijak pada realitas dan dunia pendidikan di Tanah Air,” kata Haedar di Yogyakarta, Selasa (4/6/2025), seperti dikutip dari Tempo.co.

Haedar khawatir, jika kebijakan menghentikan pengelolaan anggaran secara mandiri itu langsung diterapkan dan ternyata salah langkah, risikonya berat. “Mematikan sekolah swasta sama saja mematikan pendidikan nasional, kecuali negara mau bertanggung jawab sepenuhnya dan seutuhnya untuk (menanggung biaya operasional) seluruh lembaga pendidikan termasuk swasta, oke saja,” tegasnya.

Muhammadiyah bahkan secara lugas menyatakan tidak sepakat dengan kebijakan sekolah swasta gratis tersebut. Haedar mengusulkan agar negara mengkoneksikan sekolah swasta dengan sekolah negeri, namun tetap memberi keleluasaan bagi sekolah swasta untuk menghimpun anggaran demi menjalankan tugasnya.

ISNU Jatim: Negara Wajib Hadir, Jangan Abaikan Sekolah Swasta

Kekhawatiran serupa juga datang dari Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Jawa Timur. Plt. Ketua PW ISNU Jatim, Prof. M. Afif Hasbullah, menyoroti implikasi putusan MK pada praktik faktual di lapangan. Ia menegaskan bahwa meskipun putusan MK mewajibkan negara menjamin pendidikan dasar gratis, banyak sekolah swasta, khususnya yang berbasis masyarakat dan berbadan hukum keagamaan seperti lembaga pendidikan di lingkungan NU, masih terabaikan.

“Putusan MK tidak melarang sekolah swasta menarik biaya, tapi negara wajib memastikan bahwa tidak ada anak yang terhambat akses pendidikannya hanya karena faktor ekonomi. Sayangnya, ini belum terlihat dalam kebijakan teknis,” ujar Prof. Afif, seperti dilansir NU Online Jakarta.

Ia mengusulkan perluasan sekolah rakyat dan regulasi yang lebih implementatif terkait kewajiban pemerintah pusat/daerah untuk menanggung biaya pendidikan dasar. “Jangan sampai negara hadir hanya untuk mengatur, tapi absen saat masyarakat butuh dukungan. Ini bukan soal swasta atau negeri, tapi soal masa depan anak-anak bangsa,” pungkas Prof. Afif.

MK: Kebijakan Afirmatif dan Keadilan Akses Pendidikan

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya pada Selasa (27/5/2025) menyatakan bahwa “norma konstitusi a quo mewajibkan negara untuk membiayai pendidikan dasar dengan tujuan agar warga negara dapat melaksanakan kewajibannya dalam mengikuti pendidikan dasar. Hal ini mencakup pendidikan dasar baik yang diselenggarakan oleh pemerintah (negeri) maupun yang diselenggarakan oleh masyarakat (swasta).”

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan bahwa putusan ini muncul sebagai respons terhadap persoalan ketimpangan akses pendidikan. “Untuk menjamin hak atas pendidikan tanpa diskriminasi, negara wajib menyediakan skema pembiayaan tertentu, terutama di wilayah-wilayah yang tidak memiliki sekolah negeri,” jelasnya.

MK juga mengakui bahwa dalam kondisi fiskal negara yang masih terbatas, tidak rasional jika seluruh sekolah swasta dilarang memungut biaya tanpa disertai dukungan anggaran penuh dari pemerintah. Namun, sekolah swasta tetap harus memberikan akses kepada peserta didik melalui skema kemudahan pembiayaan.

Buya Munawwir: Perlu Dialog Komprehensif dan Kebijakan Berbasis Data

Menyikapi kompleksitas ini, Buya Munawwir al-Qosimi mendesak pemerintah untuk segera melakukan dialog komprehensif dengan berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat seperti Jawara, Muhammadiyah, dan NU, serta asosiasi sekolah swasta. “Perlu ada kebijakan turunan yang jelas dan berbasis data, bukan hanya tafsir tunggal yang berpotensi menimbulkan chaos di lapangan,” tegasnya.

Buya Munawwir menambahkan, Jawara siap berkolaborasi dengan pemerintah dalam merumuskan skema yang adil dan berkelanjutan, sehingga putusan MK ini benar-benar dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa mematikan semangat dan kontribusi sekolah-sekolah swasta yang telah menjadi bagian integral dari sistem pendidikan nasional.

“Pendidikan adalah investasi masa depan. Negara harus hadir secara penuh, namun dengan cara yang tidak mematikan inisiatif dan kemandirian yang telah terbangun selama ini. Kami berharap putusan MK ini menjadi momentum untuk memperkuat sinergi antara pemerintah dan masyarakat dalam memajukan pendidikan di Nusantara,” tutup Buya Munawwir.

Ironi Pembelaan Nasab: Ketika Ulama Memilih Diam untuk Walisongo, Bersuara Lantang untuk Ba’alawi

Berapa waktu terakhir, publik disuguhi sebuah fenomena yang cukup mencengangkan dan memantik pertanyaan besar di benak kita: mengapa begitu banyak ulama di negeri ini, yang seharusnya menjadi garda terdepan pembela kebenaran, justru terkesan pasif bahkan bungkam ketika nasab Walisongo dan keturunannya diragukan atau bahkan dibatalkan oleh oknum-oknum tertentu? Namun, ketika nasab Ba’alawi dipertanyakan oleh Kiai Imaduddin, tiba-tiba berbagai suara pembelaan muncul dari para ulama, seolah mengabaikan prioritas dan sejarah panjang di bumi Nusantara ini.

Bukankah ini sebuah ironi yang mendalam?

Walisongo, para penyebar Islam di tanah Jawa yang agung, adalah pahlawan peradaban kita. Mereka bukan hanya membawa ajaran Islam, tetapi juga membangun fondasi budaya, sosial, dan spiritual yang kokoh hingga kini. Peran mereka tak terbantahkan, jejak-jejak mereka terukir jelas dalam sejarah bangsa. Perlu ditekankan, sebagian dari Walisongo adalah dzuriyah Rasulullah SAW yang lebih dahulu hadir di negeri ini, jauh sebelum marga-marga lain datang.

Namun, uniknya, para Walisongo mengajarkan agar tidak terlalu membanggakan nasab di negeri ini. Mengapa? Agar dakwah Islam dapat diterima dengan baik oleh masyarakat luas yang majemuk, tanpa hambatan sosial atau kasta. Mereka mengedepankan substansi ajaran dan akhlak mulia, bukan superioritas keturunan. Inilah salah satu kunci keberhasilan dakwah mereka yang merangkul dan mempersatukan.

Namun, kenyataannya hari ini? Ketika ada pihak-pihak yang mencoba meragukan atau bahkan secara terang-terangan membatalkan nasab Walisongo dan keturunan mereka, suara pembelaan dari para ulama terasa sayup-sayup, bahkan cenderung absen. Seolah-olah, pembatalan nasab para pionir Islam di Nusantara ini bukanlah masalah yang urgen untuk diperhatikan.

Kontrasnya, ketika Kiai Imaduddin mengeluarkan pernyataan tentang nasab Ba’alawi yang tidak bersambung kepada Rasulullah SAW, responsnya sungguh luar biasa. Gelombang pembelaan dari berbagai kalangan ulama, baik melalui forum resmi maupun media sosial, begitu massif dan terorganisir. Mereka seolah berlomba-lomba untuk menegaskan validitas nasab Ba’alawi.

Pertanyaan besar yang muncul adalah: mengapa prioritas ini terbalik?

Apakah ada anggapan bahwa nasab Ba’alawi lebih mulia, lebih penting, atau lebih sensitif untuk dibela dibandingkan nasab Walisongo? Padahal, secara historis dan kontekstual, Walisongo memiliki ikatan yang jauh lebih kuat dan langsung dengan pembentukan identitas keislaman di Indonesia. Mereka adalah leluhur spiritual kita, dan menjaga kemuliaan serta keaslian nasab mereka adalah bentuk penghormatan terhadap sejarah dan warisan nenek moyang.

Kita perlu merenungkan kembali, sejauh mana para ulama kita menjaga amanah keilmuan dan keadilan. Apakah keberpihakan mereka didasarkan pada kepentingan syiar Islam yang lebih luas, ataukah ada faktor-faktor lain yang memengaruhi pilihan mereka?

Membantah Klaim “Terputusnya” Nasab Walisongo

Pernyataan beberapa oknum Ba’alawi yang mengklaim bahwa Walisongo tidak memiliki keturunan laki-laki dan nasab mereka sudah terputus, adalah pernyataan yang tidak berdasar dan menyesatkan. Fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Buktinya, di berbagai wilayah Pantura, kita bisa menemukan banyak sekali trah Walisongo yang terus berlanjut hingga kini.

Ambil contoh Sunan Drajat. Keturunan beliau masih banyak dijumpai, seperti Sayyid Qinan (Sayyid Kuning) di Sidayu, Gresik, kemudian para ulama besar seperti KH. Abdul Karim Tebuwung, KH. Zahid Tebuwung, dan KH. Musthofa Kranji. Tak lupa, keluarga besar Pondok Pesantren Al-Fattah Temboro juga merupakan bagian dari trah beliau.

Contoh lain juga tak kalah banyak. Trah Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, dan para Walisongo lainnya masih eksis dan tersebar di berbagai daerah. Ini adalah bukti nyata bahwa klaim terputusnya nasab Walisongo sama sekali tidak valid dan cenderung mengabaikan realitas sejarah serta genealogi yang ada.

Komitmen Jam’iyyah Walisongo Nusantara

Jam’iyyah Walisongo Nusantara akan senantiasa berkomitmen untuk melanjutkan dakwah Walisongo yang ramah, merangkul, dan mengedepankan substansi keislaman. Fokus kami adalah pada upaya menjaga warisan, ajaran, dan keteladanan Walisongo demi kemajuan Islam dan bangsa Indonesia.

Mari kita bersama-sama menyuarakan agar para ulama kita senantiasa teguh dalam membela kebenaran dan keadilan, dimulai dari menghormati dan melindungi warisan agung Walisongo yang telah menancapkan akar Islam di bumi pertiwi ini.

Kontroversi Visa Haji Furoda: Ribuan Jemaah Gagal Berangkat, Sorotan Nasional Terhadap Pengelolaan Ibadah Haji

Jakarta, 4 Juni 2025 – Musim haji 1446 H/2025 M diwarnai dengan kontroversi besar seputar visa Haji Furoda yang tidak diterbitkan oleh Pemerintah Arab Saudi. Ribuan calon jemaah haji asal Indonesia, termasuk sejumlah figur publik, harus menelan pil pahit kegagalan berangkat ke Tanah Suci, menimbulkan kerugian finansial dan tekanan emosional yang signifikan. Isu ini dengan cepat menjadi sorotan nasional, menyoroti kompleksitas pengaturan ibadah haji dan perlindungan jemaah.

Apa Itu Visa Haji Furoda? Visa Haji Furoda, atau dikenal juga sebagai visa Mujamalah, adalah jenis visa haji yang diberikan langsung oleh pemerintah Arab Saudi di luar kuota resmi haji yang dialokasikan untuk setiap negara. Jalur ini sering menjadi pilihan bagi mereka yang ingin menunaikan ibadah haji tanpa harus menunggu antrean panjang kuota reguler Indonesia.  

Alasan di Balik Pembatalan Visa Furoda 2025 Pemerintah Arab Saudi menerapkan kebijakan baru yang lebih ketat untuk musim haji 2025, yang berujung pada tidak diterbitkannya visa Furoda. Alasan utama di balik kebijakan ini mencakup:

  • Penerapan Sistem Syarikah: Arab Saudi menunjuk lembaga khusus untuk mengelola layanan haji dari berbagai negara, bertujuan untuk penyelenggaraan haji yang lebih terorganisir dan terkontrol.  
  • Digitalisasi Sistem: Jemaah dan penyelenggara diwajibkan menginstal serta mengunggah aplikasi seperti Nusuk dan Adahi.  
  • Pencegahan Kematian Jemaah: Langkah-langkah ini diambil untuk mencegah kematian jemaah akibat suhu tinggi dan kepadatan yang berlebihan, serta untuk membangun skema penyelenggaraan haji yang ideal, aman, nyaman, lancar, dan sesuai kapasitas.  

Perubahan ini menunjukkan pergeseran strategis Arab Saudi menuju pengelolaan haji yang lebih terpusat dan terdigitalisasi, yang pada gilirannya memengaruhi akses bagi jemaah di luar kuota resmi.

Dampak Luas dan Reaksi Publik Tidak diterbitkannya visa Furoda menyebabkan ribuan calon jemaah haji Indonesia yang telah mengeluarkan biaya besar harus menunda atau membatalkan keberangkatan mereka, mengakibatkan kerugian finansial yang signifikan bagi jemaah maupun agen perjalanan. Kerugian ini tidak hanya bersifat materiil, tetapi juga menimbulkan tekanan mental dan emosional yang mendalam bagi para jemaah yang telah lama menanti dan mempersiapkan diri untuk ibadah suci ini.  

Isu ini semakin menjadi perhatian nasional karena melibatkan sejumlah selebriti terkemuka Indonesia yang juga gagal berangkat haji melalui jalur Furoda. Nama-nama seperti Wendi Cagur dan istrinya, Teuku Wisnu, Kimberly Ryder, dan Ruben Onsu, secara terbuka menyampaikan kekecewaan mereka, meskipun dengan sikap lapang dada dan ikhlas. Keterlibatan figur publik ini berfungsi sebagai amplifikasi yang kuat, mengubah isu kebijakan yang kompleks menjadi cerita manusiawi yang mudah diterima dan dipahami oleh khalayak luas, secara signifikan meningkatkan status isu ini menjadi viral.  

Respons Pemerintah dan Implikasi Masa Depan Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia telah berupaya keras untuk mengatasi krisis ini, menjelaskan situasi kepada publik dan menjalin komunikasi dengan otoritas Arab Saudi. Dirjen Penyelenggara Haji dan Umroh (PHU) Kementerian Agama, Hilman Latief, menyatakan bahwa pemerintah Indonesia belum menerima pemberitahuan resmi dari Arab Saudi terkait rumor penerbitan visa Furoda di menit-menit terakhir. Menteri Agama juga telah menjelaskan penyebab visa Furoda tidak terbit tahun ini.  

Kontroversi visa Furoda ini menyoroti sifat tidak terduga dari pengaturan haji di luar kuota resmi, serta kebutuhan akan transparansi dan regulasi yang lebih besar. Situasi ini memunculkan pertanyaan tentang keberlanjutan dan keandalan opsi haji non-kuota, serta menekan Kemenag untuk mengamankan lebih banyak slot kuota resmi atau mengatur jalur alternatif dengan lebih baik.

Kekhawatiran Terkait: Haji Ilegal dan Konteks Historis Krisis visa Furoda juga kembali mengangkat masalah yang lebih luas mengenai praktik haji ilegal, di mana individu mencoba menunaikan ibadah haji tanpa visa yang sah atau melalui saluran yang tidak terdaftar. Berbagai insiden telah dilaporkan, termasuk pencegahan ratusan calon haji ilegal yang mayoritas menggunakan visa kerja , kasus seorang dosen dari Pamekasan yang meninggal saat haji ilegal dengan meninggalkan utang , serta penangkapan selebgram Indonesia yang diduga menjual visa haji ilegal.  

Fenomena ini memiliki paralel historis dengan “Tragedi Haji Singapura,” sebuah peristiwa di era kolonial di mana ribuan jemaah haji Indonesia ditipu oleh agen perjalanan tidak resmi yang dikenal sebagai “syekh haji”. Para agen ini menjanjikan perjalanan haji murah, namun seringkali meninggalkan jemaah di Singapura tanpa arah dan bekal yang cukup. Peristiwa ini menunjukkan bahwa isu penipuan dan penelantaran jemaah haji bukanlah hal baru, melainkan tantangan jangka panjang dalam pengelolaan haji di Indonesia, yang berakar pada kerentanan historis dan keinginan kuat umat Muslim untuk menunaikan ibadah.  

Secara keseluruhan, kontroversi visa Haji Furoda 2025 menjadi pengingat penting akan kompleksitas dan tantangan dalam penyelenggaraan ibadah haji, serta perlunya regulasi yang lebih ketat dan perlindungan yang lebih baik bagi calon jemaah.

Semangat Religi dalam Islam: Meneladani Api Dakwah Para Wali

Islam bukan hanya agama yang mengatur tata cara ibadah formal. Lebih dari itu, Islam adalah jalan hidup yang menuntun manusia untuk selalu terhubung dengan Allah dalam setiap detik kehidupannya. Dalam konteks ini, semangat religi bukan hanya rajin shalat atau puasa, tapi juga gairah untuk memperjuangkan nilai-nilai ketauhidan, keadilan, kasih sayang, dan perbaikan diri secara total.

Semangat religi dalam Islam selalu melahirkan gerakan—bukan sekadar kesalehan yang terkurung dalam masjid, tetapi juga yang menjelma menjadi akhlak, perjuangan, dan kontribusi nyata di tengah masyarakat. Inilah yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ dan dilanjutkan oleh para ulama pewaris nabi, termasuk para Walisongo di Nusantara.

Walisongo tidak hanya mengajarkan Islam lewat ceramah, tapi menanamkan semangat religi lewat keteladanan, budaya, seni, dan pendidikan. Semangat religi mereka membuat Islam diterima dengan cinta, bukan dipaksakan dengan pedang.

Mereka menjadikan religiusitas sebagai energi yang mempersatukan, memperbaiki masyarakat, dan membangun peradaban. Masjid menjadi pusat transformasi, pesantren menjadi pabrik kader perubahan, dan dakwah menjadi jalan pembebasan umat dari kegelapan syirik dan kebodohan.

Ciri Semangat Religi Sejati

Menurut Islam, semangat religi yang sejati setidaknya memiliki lima ciri utama:

  1. Tawhid Sentral
    Semua aktivitas berlandaskan niat untuk mengesakan Allah. Tidak ada ruang bagi riya’ (pamer ibadah) atau mencari popularitas dunia.
  2. Berakhlak Mulia
    Religi sejati melahirkan kelembutan hati, kejujuran, kasih sayang, dan kesabaran, bukan kebencian atau kekerasan.
  3. Berilmu dan Mau Belajar
    Religi tidak anti-akal. Justru, semangat religi mendorong umat Islam untuk terus menuntut ilmu dan memahami hikmah di balik syariat.
  4. Berani dan Tegas dalam Kebenaran
    Tidak tunduk pada kebatilan. Religi yang benar memberi kekuatan untuk melawan kezaliman dan membela yang tertindas.
  5. Aktif Memberi Manfaat
    Seorang muslim religius bukan hanya taat beribadah, tapi juga peduli pada nasib sesama, aktif dalam filantropi, pendidikan, dan dakwah sosial.

Menghidupkan Semangat Religi Hari Ini

Di tengah era digital dan derasnya arus materialisme, semangat religi perlu kembali dibangkitkan. Caranya? Dengan meneladani Walisongo yang menggabungkan antara ilmu, dakwah, budaya, dan kasih sayang. Kita perlu memperluas makna ibadah: dari mihrab ke pasar, dari mushalla ke sekolah, dari pesantren ke ranah digital.

Program-program filantropi seperti BMW (Baitul Mal Walisongo) adalah wujud nyata semangat religi hari ini—menyambung kepedulian sosial dengan nilai ibadah. Karena membantu yang miskin, mengasuh anak yatim, dan mendirikan lembaga pendidikan, semua itu adalah bagian dari religi yang hidup dan bergerak.

Mari kita jadikan semangat religi bukan hanya wacana atau identitas di KTP, tapi napas yang menggerakkan langkah. Seperti Walisongo yang menjadikan agama sebagai suluh kehidupan, mari kita teruskan perjuangan ini—dengan cinta, ilmu, dan keberanian.

“Religi bukan sekadar doa-doa di langit, tapi kerja nyata di bumi.”

Sayyidah Hajar: Ibu Iman yang Melampaui Zaman

Walisongo.net – Menjelang datangnya hari-hari istimewa Dzulhijjah dan musim haji, umat Islam di seluruh dunia kembali mengenang sosok agung di balik salah satu rukun Islam: Sayyidah Hajar, istri Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan ibu dari Nabi Ismail. Bukan sekadar tokoh sejarah, Hajar adalah simbol keimanan yang tak tergoyahkan dan kekuatan perempuan dalam narasi ilahiyah.

Dalam artikelnya yang inspiratif di situs resmi Dar al-Ifta al-Misriyyah, Dr. Heba Salah menyoroti peran penting Sayyidah Hajar sebagai perempuan Mesir yang menorehkan jejak abadi dalam ibadah haji. Air Zamzam—yang hingga kini menghidupi jutaan peziarah—merupakan tanda rahmat ilahi atas perjuangan dan keimanan Hajar.

“Air Zamzam tidak hanya menyegarkan tubuh, tetapi juga jiwa. Ia adalah balasan bagi seorang perempuan yang rela menanggung kesulitan tak terbayangkan demi anaknya dan demi perintah Tuhannya,” tulis Dr. Heba.

Keimanan Sayyidah Hajar tampak jelas saat ia ditinggalkan di lembah gersang oleh suaminya, Nabi Ibrahim. Dalam ketenangan yang langka, ia hanya bertanya: “Apakah Allah memerintahkanmu untuk melakukan ini?” Dan ketika dijawab “ya,” ia pun menegaskan, “Kalau begitu, Dia tidak akan meninggalkan kami.”

Kalimat sederhana itu menjadi fondasi dari ritual Sa’i—berlari antara bukit Shafa dan Marwah—yang dilakukan jutaan muslim setiap musim haji. Tidak sedikit dari kita yang merasakan lelah saat melakukan Sa’i di lantai marmer berpendingin. Namun bayangkan perjuangan Hajar yang melakukannya tanpa alas kaki, di atas padang pasir panas, dengan anak dalam pelukan dan harapan pada rahmat Allah sebagai satu-satunya kekuatan.

Hingga akhirnya, karena keteguhan itu, Allah memerintahkan Malaikat Jibril untuk memunculkan mata air dari bumi—maka lahirlah Zamzam. Air berkah ini menjadi bukti bahwa ikhtiar dan keimanan seorang ibu dapat mengguncang langit dan mendatangkan rahmat tak terhingga.

Lebih dari itu, Sayyidah Hajar adalah sosok wanita yang bukan hanya bertahan, tetapi juga membentuk sejarah. Dari rahimnya lahir Ismail, dan dari keturunannya kelak lahir Nabi Muhammad ﷺ, penutup para nabi. Allah memuliakan Hajar dengan warisan yang tak hanya hidup, tetapi juga menjadi bagian dari ibadah umat Islam sepanjang masa.

Pesan dari kisah ini sangat relevan di era kini. Ketika dunia sering kali menyisihkan peran perempuan dalam narasi keimanan, kisah Sayyidah Hajar justru menegaskan: iman, kesabaran, dan keberanian perempuan memiliki tempat terhormat dalam sejarah langit.

Sebagaimana Dr. Heba menutup tulisannya: “Sudah cukup kehormatan bagi Sayyidah Hajar bahwa setiap tetes air Zamzam yang diminum manusia hingga akhir zaman, adalah bentuk penghargaan atas keimanan dan keteguhannya.”


 Sumber asli tulisan:
Dr. Heba Salah, Lady Hajar: The Woman Who Carved a Legacy of Faith, Dar al-Ifta al-Misriyyah.

Filantropi Digital Meningkat Tajam: Generasi Muda Jadi Motor Zakat dan Sedekah Era Baru

Jakarta, Walisongo.net – Di tengah derasnya arus digitalisasi dan media sosial, muncul fenomena yang membanggakan: generasi muda kini menjadi motor utama gerakan filantropi Islam di Indonesia. Mulai dari zakat, infaq, sedekah, hingga wakaf, kini bergerak melalui platform digital yang lebih cepat, transparan, dan menjangkau luas.

Lembaga-lembaga seperti BMW (Baitul Mal Walisongo), Rumah Zakat, Dompet Dhuafa, dan LAZISNU melaporkan peningkatan signifikan dalam penerimaan dana dari kanal digital selama dua tahun terakhir. Sebagian besar donatur berasal dari kalangan milenial dan Gen Z, yang tergerak membantu tanpa harus menunggu kaya.

“Dulu orang menunggu harta berlimpah untuk bersedekah. Sekarang, anak muda cukup dengan Rp5.000 dan niat tulus. Klik — dan pahala mengalir,” ujar Ustaz Muhammad Fathoni, pegiat filantropi digital dari Walisongo Peduli.

Instagram, TikTok, dan QRIS: Sarana Sedekah Zaman Now

Berbagai kampanye sedekah harian kini mudah ditemukan di TikTok, Instagram, hingga WhatsApp. Narasi-narasi singkat tentang keluarga miskin, anak yatim, korban bencana, atau pembangunan pesantren mampu menggerakkan ribuan orang hanya dalam hitungan jam.

Penggunaan QRIS dan transfer otomatis membuat kegiatan donasi tidak lagi rumit. Bahkan kini banyak santri dan aktivis dakwah yang menjadi content creator amal — menyuarakan kebutuhan ummat dan menyalurkan bantuan secara langsung ke pelosok negeri.

Menghidupkan Semangat Derma Sahabat Nabi

Fenomena ini mengingatkan pada semangat generasi awal Islam. Seperti Sayyidina Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin ‘Auf, para dermawan muda kini berbagi tanpa ragu dan tanpa pamrih, bukan untuk citra, tapi sebagai wujud iman dan cinta pada sesama.

“Filantropi Islam bukan hanya soal uang, tapi wujud nyata dari keimanan. Sedekah itu bukti cinta,” kata KH. Munawwir Al-Qosimi, pengasuh Pesantren Sunan Drajat al-Qosimiyyah.

BMW Walisongo: Sinergi Dakwah dan Kemanusiaan

Sebagai bagian dari Jam’iyyah Walisongo Nusantara, BMW (Baitul Mal Walisongo) menjadi pionir dalam mengintegrasikan filantropi, dakwah, dan penguatan ekonomi umat. Program-program seperti Sedekah Subuh, Beasiswa Santri Yatim, hingga Wakaf Produktif Tanah Dakwah kini bisa diakses secara daring melalui situs dan kanal media sosial.

BMW mendorong konsep “Derma dari Rumah”: siapa pun bisa berdonasi tanpa harus datang ke kantor atau menunggu momen besar.

Ajakan: Jadi Dermawan Hari Ini, Jangan Tunda Esok

Walisongo.net mengajak seluruh umat Islam, khususnya generasi muda, untuk menjadikan berbagi sebagai gaya hidup Islami. Tak perlu besar, tapi rutin. Tak perlu menunggu lapang, cukup niat dan semangat.

“Sedekah itu tidak membuat miskin. Bahkan Rasulullah bersabda, ‘Hartamu yang sesungguhnya adalah yang kau berikan.’” – (HR. Muslim)

Mari bersedekah hari ini, agar hidup diberkahi, ummat diberdayakan, dan dunia menjadi tempat yang lebih manusiawi.

Efek Domino: Dari Klik Sedekah ke Perubahan Sosial

Efek dari gerakan filantropi digital ini tidak hanya berdampak pada penerima bantuan. Kultur berbagi yang ditanamkan sejak muda menciptakan masyarakat yang lebih empatik, sadar sosial, dan peduli sesama. Banyak komunitas yang tumbuh dari inisiatif amal daring: gerakan ngaji sambil sedekah, komunitas santri peduli dhuafa, hingga relawan digital untuk kemanusiaan.

Kata Kunci: Amanah dan Transparansi

Namun, semangat filantropi ini juga menuntut akuntabilitas tinggi dari lembaga-lembaga pengelola dana. Transparansi laporan, bukti penyaluran, hingga keterbukaan komunikasi menjadi syarat mutlak. Tanpa itu, kepercayaan bisa hilang dan semangat donasi bisa meredup.

BMW Walisongo menegaskan komitmennya dalam menjaga amanah umat. “Setiap rupiah yang masuk, kami catat, kami laporkan, dan kami salurkan seutuhnya. Karena ini bukan uang biasa, ini titipan akhirat,” ujar Ustaz Fadhlan Arif, Ketua Divisi Audit dan Penyaluran BMW.

Dari Walisongo untuk Dunia: Filantropi Adalah Dakwah

Mengutip semangat Walisongo, yang dahulu menyebarkan Islam dengan akhlak dan pengabdian, gerakan filantropi kini menjadi jalur dakwah modern yang menyentuh hati. Lewat sedekah, kita memperkenalkan Islam bukan dengan debat, tapi dengan kasih sayang.

“Jangan tunggu sempurna untuk berbagi. Karena bisa jadi, dari satu sedekahmu hari ini, Allah beri jalan keluar bukan hanya untuk orang lain — tapi juga untuk hidupmu.” Kata Buya Munawwir al-Qosimi, pendiri Jam’iyyah Walisongo Nusantara, JAWARA

Dzikir “Lā ilāha illā Allāh” Menurut Sunan Ampel

Di tengah gempuran budaya dan keyakinan non-Islam di tanah Jawa, Sunan Ampel — salah satu Walisongo yang dikenal sebagai muassis (pendiri) pondasi dakwah Islam di Jawa — mengajarkan satu kalimat yang menjadi inti dari seluruh ajaran:
Lā ilāha illā AllāhTiada Tuhan selain Allah.

Bagi Sunan Ampel, kalimat ini bukan sekadar syahadat, tetapi juga dzikir utama untuk menapaki suluk (jalan spiritual) menuju tazkiyatun nafs (penyucian jiwa).

Kalimat Tauhid Sebagai Pilar Dakwah

Dalam berbagai sumber, termasuk Babad Ampel dan tradisi lisan pesantren, disebutkan bahwa Sunan Ampel menjadikan kalimat tauhid sebagai dasar pengajaran akidah kepada masyarakat Jawa yang masih kental dengan kepercayaan animisme-dinamisme dan Hindu-Buddha.

Sunan Ampel memperkenalkan dzikir Lā ilāha illā Allāh kepada murid-muridnya bukan sekadar untuk dibaca, tapi untuk dihayati, dirasa, dan dijadikan nafas hidup.

“Barang siapa yang senantiasa berdzikir ‘Lā ilāha illā Allāh’, maka ia telah mengetuk pintu langit dengan kunci tauhid.”
(Wejangan Sunan Ampel dalam tradisi pesantren Jawa)

Dzikir Tauhid: Sarana Penyucian Jiwa

Sunan Ampel menekankan bahwa dzikir ini bukan hanya untuk lisan, melainkan juga untuk:

  1. Membersihkan hati dari syirik tersembunyi (riya’, ujub, sum’ah)
  2. Menghapus pengaruh hawa nafsu dan cinta dunia
  3. Menumbuhkan rasa hanya bergantung kepada Allah semata

Beliau sering mengajarkan kepada murid-muridnya (termasuk Sunan Giri, Sunan Bonang, dan lainnya) agar melakukan dzikir ini secara istiqamah, khususnya di waktu malam, sebelum tidur, atau selepas shalat.

Dzikir Lā ilāha illā Allāh dalam Suluk Walisongo

Dalam tradisi suluk, dzikir ini disebut sebagai dzikir tajrid — dzikir yang menggugurkan semua selain Allah. Bagi Sunan Ampel, ketika kalimat tauhid ini diulang dengan penuh kesadaran (hudhur), maka:

  • Hati akan bersinar,
  • Diri akan berada dalam penjagaan Allah,
  • Dan ruh akan ditarik menuju cahaya makrifat.

Sunan Ampel juga mengaitkan dzikir ini dengan maqām ikhlāṣ, yaitu maqam tertinggi dalam penghambaan, yang hanya mungkin dicapai jika hati sepenuhnya lebur dalam makna “Tiada Tuhan selain Allah”.

Dzikir Sebagai Perlawanan Spiritual

Selain sebagai ibadah, dzikir tauhid bagi Sunan Ampel juga menjadi perlawanan terhadap penyembahan berhala, kekuasaan tirani, dan penghambaan kepada materi.

“Lā ilāha illā Allāh adalah senjata orang beriman, dan perisai orang lemah dari penjajahan nafsu dan dunia,”
– (Tradisi Lisan Suluk Ampeldenta)

Ajaran Praktis Sunan Ampel:

Untuk murid dan masyarakat awam, Sunan Ampel menganjurkan dzikir ini dalam bentuk berikut:

  • 100/165 kali selepas Subuh dan Maghrib
  • 300 – 10.000 kali dalam khalwat (menyepi) malam hari
  • Dibaca perlahan sambil duduk tenang, mata terpejam, hati tertuju pada Allah

Dzikir Lā ilāha illā Allāh dalam Aksara Jawa (Tradisi Walisongo):

ꦭꦲꦶꦭꦲꦃꦆꦭ꧀ꦭꦲꦭ꧀ꦲ — Lā ilāha illā Allāh
(Tiada Tuhan selain Allah – dzikir agung para Wali)

Warisan Spiritual Sunan Ampel

Hingga hari ini, ajaran Sunan Ampel tentang dzikir tauhid masih diwarisi di banyak pesantren Jawa, seperti di:

  • Pesantren Ampeldenta Surabaya
  • Pesantren Giri Kedaton Gresik
  • Tradisi wirid tahlil dan ratiban di masjid-masjid kampung

Sunan Giri – Sang Pelopor Dakwah

Sunan Giri, yang memiliki nama asli Raden Ainul Yaqin, adalah salah satu tokoh sentral dalam dakwah Islam di Jawa dan anggota terkemuka Walisongo. Beliau dikenal luas sebagai ahli fikih, pemimpin pendidikan Islam, dan penggerak politik Islam di Nusantara.

Asal Usul dan Masa Kecil

Sunan Giri adalah putra dari Maulana Ishaq, seorang ulama besar yang berdakwah di wilayah Blambangan (sekarang Banyuwangi), dan Dewi Sekardadu, putri Raja Blambangan. Namun, karena penolakan dari keluarga kerajaan terhadap dakwah ayahandanya, sang bayi (Raden Ainul Yaqin) dibuang ke laut dalam peti.

Takdir Allah menjaga beliau. Peti itu ditemukan oleh seorang pedagang Muslim kaya bernama Nyai Gede Pinatih di pelabuhan Gresik. Raden Ainul Yaqin pun dibesarkan dan diasuh oleh Nyai Gede Pinatih hingga dewasa.

Pendidikan dan Dakwah Awal

Setelah dewasa, Ainul Yaqin belajar kepada Sunan Ampel di Surabaya dan menjadi salah satu murid terbaik di Pesantren Ampeldenta. Di bawah bimbingan Sunan Ampel, ia memperdalam ilmu agama, fikih, akhlak, dan strategi dakwah.

Setelah menyelesaikan pendidikannya, ia mulai berdakwah dan membangun pesantren di daerah Giri Kedaton (sekarang Gresik). Tempat ini kelak dikenal sebagai pusat ilmu agama dan kekuatan spiritual-politik Islam di Jawa bagian timur.

Giri Kedaton: Pesantren dan Pusat Kekuasaan

Sunan Giri tidak hanya membangun pesantren biasa, tetapi mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam bergaya kerajaan, dikenal dengan nama Giri Kedaton. Para santrinya datang dari berbagai penjuru Nusantara — dari Jawa, Madura, Kalimantan, hingga Maluku.

Pesantren ini menghasilkan ulama-ulama pejuang, seperti:

  • Sunan Prapen (putranya sendiri),
  • Sheikh Yusuf Makassar,
  • Dan tokoh-tokoh Islam di kawasan timur Indonesia.

Giri Kedaton menjadi tempat ijtihad hukum, pengambilan keputusan dakwah, bahkan pusat rujukan pemerintahan Islam di masa-masa peralihan kerajaan Hindu-Buddha ke Islam.

Peran Politik dan Spirit Perlawanan

Sunan Giri dikenal sebagai Wali yang berani bersikap tegas terhadap kekuasaan yang zalim. Dalam musyawarah Walisongo, beliau sering berperan sebagai pembawa suara rakyat dan pelindung umat.

Ketegasan dan kecerdasan beliau menjadikan Giri sebagai semacam “negara dalam negara”, tempat umat Islam berlindung dari penindasan politik. Bahkan beberapa kerajaan Islam seperti Demak dan Ternate menjalin hubungan diplomatik dengan Giri.

Dakwah Melalui Budaya dan Permainan Anak

Salah satu keistimewaan Sunan Giri adalah kemampuannya berdakwah melalui permainan dan budaya. Beliau menciptakan:

  • Permainan jelungan (petak umpet),
  • Lagu-lagu dolanan anak bernuansa tauhid,
  • Dan syair-syair dakwah yang menyentuh hati.

Dengan cara ini, Islam menyebar tidak hanya melalui masjid, tetapi juga melalui kebudayaan rakyat — anak-anak, keluarga, dan masyarakat umum.

Wafat dan Makam

Sunan Giri wafat pada tahun 1506 M. Beliau dimakamkan di Gresik, Jawa Timur, di kompleks Makam Sunan Giri yang terletak di atas bukit dan kini menjadi tujuan utama ziarah Walisongo.

Warisan Abadi Sunan Giri

Sunan Giri mewariskan semangat:

  • Pendidikan Islam berbasis rakyat
  • Ketegasan terhadap kezaliman
  • Kreativitas dalam dakwah budaya

Beliau adalah contoh ulama yang berilmu, berani, dan berjiwa pemimpin, sekaligus pecinta damai yang menyebarkan Islam dengan hikmah dan kasih sayang.

Maulana Malik Ibrahim – Pelopor Dakwah Walisongo di Jawa

Maulana Malik Ibrahim, dikenal pula dengan sebutan Sunan Gresik, adalah tokoh pertama dari jajaran Walisongo yang menyebarkan Islam di tanah Jawa. Beliau bukan sekadar ulama, tetapi juga pelopor dakwah kultural, pendidik, dan pembuka jalan bagi berkembangnya Islam di Nusantara secara damai dan berakar dalam kehidupan masyarakat.

Asal Usul dan Perjalanan ke Jawa

Maulana Malik Ibrahim diperkirakan berasal dari wilayah Samarkand atau Kashan (Persia), dan memiliki garis keturunan dari Sayyidina Husain bin Ali, cucu Rasulullah ﷺ. Beliau dikenal luas sebagai seorang alim dan ahli pengobatan. Dalam tradisi lain, beliau juga disebut pernah berdakwah di Gujarat (India) sebelum berlayar menuju Nusantara.

Sekitar akhir abad ke-14, Maulana Malik Ibrahim datang ke Gresik, sebuah kota pelabuhan yang ramai dikunjungi para pedagang asing dan tempat pertemuan berbagai budaya. Di sinilah beliau memulai dakwah Islam kepada masyarakat Jawa dengan pendekatan sosial dan budaya.

Metode Dakwah: Damai, Humanis, dan Bertahap

Berbeda dari pendekatan konfrontatif, Sunan Gresik lebih menekankan pada dakwah melalui keteladanan dan pengabdian sosial. Ia dikenal sebagai tabib yang mengobati masyarakat tanpa memandang latar belakang agama. Beliau juga mengajarkan pertanian, irigasi, dan keterampilan hidup yang membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Dengan akhlaknya yang mulia, Sunan Gresik berhasil membangun kepercayaan masyarakat, sehingga mereka terbuka menerima ajaran Islam tanpa paksaan. Ia juga mendirikan surau dan madrasah untuk mengajarkan tauhid, fikih, serta ilmu akhlak.

Perintis Generasi Walisongo

Maulana Malik Ibrahim bukan hanya dai perintis, tetapi juga pendidik generasi penerus dakwah. Banyak muridnya yang kelak menjadi tokoh penting penyebaran Islam di berbagai daerah. Salah satunya adalah Raden Rahmat (Sunan Ampel), yang diyakini sebagai putra atau keponakannya, tergantung versi sejarah yang dirujuk.

Melalui bimbingan dan strategi dakwahnya, formulasi Islam Nusantara mulai terbentuk — Islam yang santun, menghargai budaya, dan mudah diterima masyarakat lokal.

Wafat dan Makam

Maulana Malik Ibrahim wafat pada tahun 1419 M (822 H), jauh sebelum para Wali Songo lainnya aktif berdakwah. Ia dimakamkan di Gapurosukolilo, Gresik, dan makamnya hingga kini menjadi tempat ziarah dan napak tilas sejarah Islam di Indonesia.

Pada nisannya tertulis dengan huruf Arab dan bahasa Persia:

“Hadzal qabr al-marhum al-ghaib, asy-syaikh Maulana Malik Ibrahim, wafat sanah tsamaniyah wa ‘isyriin wa tsamaniah mi’ah.”
(“Inilah makam almarhum yang ghaib, Syekh Maulana Malik Ibrahim, wafat tahun 822 H.”)

Warisan dan Keteladanan

Sunan Gresik meninggalkan warisan dakwah damai, spiritualitas yang merakyat, dan keteladanan hidup sebagai pelayan umat. Dakwahnya tidak dibangun di atas kekuasaan, tapi pada fondasi kasih sayang dan keteladanan akhlak — ciri utama dakwah Walisongo.