Sebuah video yang menonjolkan kekayaan budaya Nusantara kembali memantik perdebatan sengit di jagat maya. Berawal dari seorang anak yang bangga memperkenalkan keris, dupa, blangkon, hingga situs-situs religi di Jawa seperti Pringgondani dan Gunung Lawu sebagai “tanah suci para leluhur,” video ini justru dituding menyindir keyakinan tertentu. Pemicunya? Perbandingan biaya wisata religi lokal yang jauh lebih murah dibanding perjalanan ke “tanah suci” yang konon puluhan juta dan antrean panjang.
Analisis Mendalam: Suara Anak Bangsa dan Gejolak Identitas
Transkrip percakapan dalam video itu membedah akar permasalahan yang lebih dalam:
- “Punya keris kok takut sama kembang?” Pernyataan ini muncul sebagai hak jawab dan apologetika budaya. Sang anak seolah mereaksi stigma “musyrik” yang sering dilekatkan pada praktik budaya Jawa. Ketika sebagian Muslim merasa tersinggung, mengklaim itu larangan agama bukan rasa takut, narasumber video justru membalikkan: “mereka yang merasa tersinggung itu sebenarnya memang takut, fobia.” Ini mencerminkan tarik-menarik antara praktik budaya dan tafsir agama yang ketat. Secara hukum, ini masuk ranah kebebasan berekspresi, namun perlu dibedakan dengan hasutan kebencian.
- “Modal sejuta udah bolak-balik [ke tanah suci leluhur]. Orang-orang mah mau ke tanah sucinya kudu bayar puluhan juta.” Inilah inti perbandingan yang paling sensitif. Penggunaan istilah “tanah suci” dan “umroh” untuk situs lokal dianggap mengerdilkan ibadah haji/umrah dalam Islam. Namun, di sisi lain, narasumber video mengklaim bahwa ini adalah balasan atas cap “musyrik” yang sering dilontarkan pada ziarah lokal. Fakta biaya yang terangkum dalam video ini memang sulit dibantah, sehingga potensi tersinggungnya sebagian pihak bisa jadi karena kebenaran itu sendiri. Dalam kacamata hukum, perbandingan ini bisa jadi abu-abu. Ia adalah fakta ekonomi, namun pengemasan kata-katanya bisa memicu interpretasi yang berbeda.
- “Muslim tidak diajarkan [empati]… Mereka diajarkan bahwa mereka adalah umat Allah yang terbaik. Umat agama lain dibenci oleh Allah.” Pernyataan ini adalah bagian paling berbahaya dan provokatif dalam transkrip. Ini adalah generalisasi yang tendensius dan stereotipisasi terhadap seluruh penganut agama Islam. Mengklaim bahwa suatu ajaran agama secara inheren mengajarkan kebencian adalah bentuk ujaran kebencian yang berpotensi melanggar UU ITE Pasal 28 ayat (2). Pernyataan semacam ini harus dihindari dalam diskusi publik, karena hanya akan memperdalam jurang perpecahan.
Sikap Jawara: Buya Munawwir Tegas Menolak Provokasi
Menyikapi polemik ini, Ketua Umum Jam’iyyah Walisongo Nusantara (Jawara), Buya Munawwir al-Qosimi, tampil lugas. Beliau dengan tegas menyatakan bahwa video tersebut murni provokasi yang sengaja dirancang untuk merendahkan agama lain dan memecah belah. Buya Munawwir menekankan bahwa Islam tidak pernah mengajarkan untuk menyinggung atau merendahkan agama lain.
“Pernyataan yang secara generalisir menyinggung atau merendahkan keyakinan agama lain, apalagi mengklaim adanya ajaran kebencian, adalah tindakan yang sangat kami sesalkan dan tolak,” tegas Buya Munawwir. “Ini bukan lagi soal promosi budaya, melainkan sebuah provokasi yang tidak bertanggung jawab yang berpotensi merusak kerukunan beragama di Indonesia.”
Buya Munawwir menjelaskan bahwa Jawara, sebagai bagian dari tradisi Islam Nusantara, tetap melestarikan budaya lokal seperti keris dan blangkon, dan tidak pernah mengharamkan kunjungan ke situs-situs sejarah seperti Borobudur.
“Sikap intoleran yang muncul dari video tersebut, serta narasi yang menyudutkan agama lain, justru menunjukkan kekerdilan berpikir dan kurangnya pemahaman terhadap esensi Bhinneka Tunggal Ika,” lanjut Buya Munawwir. “Kami di Jawara meyakini bahwa kebanggaan akan warisan leluhur dapat berjalan beriringan dengan penghormatan terhadap keyakinan agama lain. Tidak ada alasan untuk saling merendahkan.”
Solusi ke Depan: Promosi Inklusif dan Tanpa Menghina
Polemik ini adalah cermin dari ketegangan identitas di Indonesia. Pemerintah dan masyarakat perlu mengambil langkah konkret, memastikan bahwa promosi, baik itu wisata, agama, maupun aliran kepercayaan, tidak boleh menghina atau merendahkan agama atau aliran lain.
- Literasi Lintas Budaya dan Agama: Kementerian Agama dan lembaga pendidikan harus intens mengedukasi masyarakat tentang pluralisme budaya dan agama. Pemahaman akan adanya hak setiap kelompok untuk berekspresi dan berapologetika adalah kunci. Ini harus dibarengi dengan pemahaman bahwa kebebasan berekspresi memiliki batas, terutama ketika menyangkut sensitivitas agama.
- Penegakan Hukum Berbasis Konteks: Aparat penegak hukum, terutama dalam kasus UU ITE, harus melihat konteks dan niat di balik sebuah konten. Membedakan antara kritik konstruktif atau hak jawab dengan hasutan kebencian murni adalah esensial untuk menjaga kebebasan berekspresi sekaligus mencegah perpecahan. Setiap promosi harus menghindari narasi yang menyudutkan atau menghina keyakinan lain.
- Dialog Inklusif: Organisasi kemasyarakatan dan tokoh agama harus memfasilitasi dialog terbuka untuk membahas isu-isu sensitif ini, bukan malah memperkeruh suasana. Fokus pada titik temu dan kebersamaan, bukan perbedaan. Prinsip saling menghormati harus menjadi landasan utama dalam setiap interaksi.
- Promosi Positif Budaya Lokal: Kampanye promosi budaya lokal sebaiknya lebih fokus pada keindahan dan nilai intrinsik dari warisan tersebut, tanpa perlu perbandingan yang berpotensi memicu gesekan. Jelaskan keunikan dan kekayaan budaya sendiri, tanpa perlu membandingkan atau menjelekkan praktik budaya atau keyakinan lain.
Insiden ini menjadi pengingat bahwa kebanggaan terhadap warisan leluhur adalah hak asasi, yang perlu diwadahi dengan bijak. Bagaimana kita, sebagai bangsa, dapat memastikan bahwa kekayaan budaya kita dapat lestari tanpa harus terbelenggu oleh ketakutan dan tafsir agama yang kaku, serta selalu menjunjung tinggi etika dalam berekspresi?