Pernyataan Sunan Drajat, “Niliyep nutiun ature, anembah angares pada, anuhun berkah tuwan” (Dengan diam merenung, sampaikan permohonanmu, bersembahlah penuh harap, dan mohonkan berkah dari Tuhan), adalah sepotong mutiara hikmah yang sarat makna. Terukir dalam manuskrip Syekh Majnun, dawuh ini bukan sekadar untaian kata-kata biasa, melainkan cerminan kebijaksanaan spiritual yang mendalam, relevan untuk dikaji dan dipahami dari berbagai disiplin keilmuan. Mari kita selami dimensi-dimensi ilmu yang terkandung di dalamnya dengan lebih mendalam.
Dimensi Tasawuf: Jalan Menuju Hati yang Tenang dan Kontemplasi Ilahi
Inti dari dawuh Sunan Drajat, terutama frasa “Niliyep nutiun ature” (Dengan diam merenung), sangat kental dengan ajaran tasawuf atau sufisme. Merenung dalam keheningan adalah praktik fundamental dalam mendekatkan diri kepada Ilahi. Ini adalah wujud muraqabah (kontemplasi) atau tafakur (perenungan mendalam) yang bertujuan membuka pintu hati, membersihkan jiwa dari kekeruhan duniawi, dan merasakan kehadiran Tuhan. Para sufi meyakini bahwa dalam keheningan inilah, jiwa dapat berkomunikasi secara langsung dengan Sang Pencipta, mencapai ketenangan batin, dan menyucikan diri. Ini adalah perjalanan spiritual internal yang esensial dalam mencapai makrifatullah.
Dalam praktiknya, Sunan Drajat dikenal sebagai sosok yang sangat menekuni laku spiritual ini. Beliau sering melakukan tafakur di sekitar laut Ujung Pangkah dan Brombong, serta di atas bukit Drajat. Lokasi-lokasi yang tenang dan dekat dengan alam ini dipilih untuk mendukung kekhusyukan dalam perenungan. Lebih jauh lagi, Sunan Drajat juga dikenal gemar berkhalwat (menyepi atau mengasingkan diri dari keramaian) di atas air sendirian. Praktik khalwat di atas air ini menunjukkan tingkat asketisme dan komitmen spiritual yang tinggi, memungkinkan konsentrasi penuh pada dzikir dan munajat.
Pesan ini selaras dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلَائِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ ۚ وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), agar Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya yang terang. Dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang mukmin.” (QS. Al-Ahzab: 41-43)
Ayat ini secara eksplisit mengaitkan zikir dan tasbih (yang seringkali melibatkan perenungan) dengan rahmat Allah dan jalan keluar dari kegelapan menuju cahaya, yang merupakan esensi dari pencarian spiritual dalam tasawuf.
Dimensi Teologi Islam (Kalam): Pengakuan Mutlak akan Kekuasaan dan Berkah Ilahi
Frasa “anuhun berkah tuwan” (mohonkan berkah dari Tuhan) secara tegas merujuk pada konsep tauhid dalam teologi Islam. Ini adalah pengakuan mutlak bahwa segala berkah, rahmat, kebaikan, dan pertolongan berasal hanya dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Manusia adalah hamba yang lemah, faqir (membutuhkan), dan selalu membutuhkan karunia serta anugerah dari Sang Khaliq. Dawuh ini menekankan esensi dari peribadatan, yaitu ketergantungan total seorang hamba kepada Tuhannya, sebuah prinsip fundamental yang menjadi dasar seluruh akidah Islam. Memohon berkah kepada “Tuwan” (Tuhan) menegaskan bahwa tiada daya dan upaya melainkan dari-Nya.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan kemudian apabila kamu ditimpa kesengsaraan, maka kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.” (QS. An-Nahl: 53)
Ayat ini mempertegas bahwa semua nikmat yang kita rasakan, baik yang besar maupun kecil, datangnya dari Allah semata, dan ketika kesulitan melanda, kepada-Nya lah kita harus berserah diri dan memohon pertolongan serta berkah. Ini adalah manifestasi nyata dari keimanan dan keyakinan teologis yang kokoh.

Dimensi Filologi dan Linguistik: Menyelami Kedalaman Bahasa Masa Lalu
Sebagai bagian dari manuskrip kuno (manuskrip Syekh Majnun), pernyataan Sunan Drajat ini menjadi objek kajian vital dalam disiplin filologi. Para filolog akan melakukan serangkaian kerja keras untuk mengidentifikasi bahasa asli yang digunakan (kemungkinan besar Jawa Kuno atau Jawa Tengahan), melakukan transliterasi yang akurat dari aksara yang mungkin sudah usang, dan menerjemahkan makna kata-kata yang mungkin sudah tidak umum atau memiliki konotasi berbeda di masa kini. Proses ini krusial untuk memastikan bahwa makna otentik dari dawuh ini dapat dipertahankan dan dipahami dengan benar oleh generasi sekarang.
Melalui lensa linguistik, kita dapat menganalisis struktur kalimat yang digunakan, pilihan leksikon (kosakata) yang spesifik, dan gaya bahasa yang khas pada masa itu. Analisis ini tidak hanya mengungkapkan kekayaan bahasa Jawa klasik, tetapi juga memberikan gambaran tentang pola pikir, pandangan dunia, dan cara penyampaian ajaran spiritual di era Wali Songo. Tanpa kerja keras filologi dan linguistik, pemahaman kita terhadap warisan kebijaksanaan seperti dawuh Sunan Drajat ini akan sangat terbatas, bahkan terdistorsi.
Dimensi Sejarah dan Antropologi: Cerminan Masyarakat dan Dakwah Nusantara
Dari perspektif sejarah, dawuh ini memberikan wawasan berharga tentang metode dakwah Sunan Drajat dan Wali Songo pada umumnya, yang dikenal mengintegrasikan nilai-nilai spiritual Islam dengan kearifan lokal dan budaya masyarakat Jawa. Penekanan pada perenungan dan pemuliaan Tuhan tanpa paksaan menunjukkan pendekatan yang harmonis dan non-konfrontatif dalam penyebaran Islam. Praktik tafakur di lokasi-lokasi fisik seperti laut Ujung Pangkah, Brombong, dan bukit Drajat, serta khalwat di atas air, menunjukkan bagaimana spiritualitas menyatu dengan lingkungan alam dan menjadi bagian integral dari kehidupan seorang ulama pada masa itu.
Secara antropologis, praktik “diam merenung” dan “memohon berkah” mencerminkan cara masyarakat memahami dan menjalankan spiritualitas mereka, serta bagaimana nilai-nilai religius membentuk norma dan etika sosial dalam komunitas. Keberlangsungan tradisi tafakur dan khalwat yang masih dijalankan oleh trah Sunan Drajat dari jalur Sayyid Qinan di Sidayu dan Tebuwung adalah bukti kuat tentang transmisi budaya dan agama lintas generasi. Ini juga menunjukkan adanya proses asimilasi dan akulturasi yang positif, di mana ajaran Islam diadaptasi dan diintegrasikan dengan tradisi lokal tanpa kehilangan esensinya. Dawuh ini adalah bukti nyata dari fleksibilitas dan kebijaksanaan dakwah yang berhasil mengakar di Nusantara.
Dimensi Psikologi Agama: Ketenangan Batin dan Transformasi Diri Melalui Kontemplasi
Frasa “Niliyep nutiun ature” juga sangat relevan dengan disiplin psikologi agama. Tindakan diam merenung, sebagaimana praktik tafakur dan khalwat yang dilakukan Sunan Drajat, dapat dilihat sebagai bentuk meditasi spiritual yang membawa ketenangan batin mendalam, mengurangi tingkat stres dan kecemasan, serta meningkatkan kesadaran diri. Dalam psikologi agama, praktik semacam ini diyakini dapat memperkuat hubungan individu dengan dimensi spiritual, menghasilkan pengalaman transenden, dan memberikan rasa damai serta tujuan hidup yang lebih jelas. Pengalaman tafakur di tempat-tempat sunyi, seperti tepi laut atau puncak bukit, memperkuat dimensi introspektif dan kontemplatif, yang esensial bagi kesehatan mental dan spiritual seseorang.
Frasa “anembah angares pada” (bersembah penuh harap) juga menyentuh aspek psikologis dari pengharapan (raja’) dan tawakal kepada Tuhan. Sikap penuh harap dan berserah diri kepada kekuatan yang lebih besar dapat menjadi sumber kekuatan mental yang luar biasa di tengah berbagai permasalahan dan tantangan hidup. Ini memberikan ketahanan psikologis dan keyakinan bahwa ada kekuatan Ilahi yang senantiasa menopang.
Sebuah Hadis Qudsi, yang menguatkan pentingnya pengharapan dan keyakinan positif, menyatakan:
قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي
“Allah Ta’ala berfirman: Aku sesuai persangkaan hamba-Ku kepada-Ku.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini secara langsung menunjukkan pentingnya pengharapan yang baik (husnuzan) terhadap Allah, yang secara psikologis membentuk sikap optimisme, ketenangan, dan kepercayaan diri pada bantuan Ilahi.
Dimensi Etika dan Filsafat Moral: Landasan Perilaku Luhur dan Integritas Diri
Terakhir, pesan Sunan Drajat ini memiliki implikasi mendalam dalam disiplin etika dan filsafat moral. “Diam merenung” bukan hanya sekadar praktik spiritual untuk diri sendiri, tetapi juga merupakan landasan yang kuat untuk membentuk karakter yang baik dan perilaku yang bermoral. Perenungan mendorong introspeksi diri yang jujur, kesadaran akan kekurangan dan kesalahan pribadi, serta niat tulus untuk senantiasa memperbaiki diri. Praktik khalwat dan tafakur secara rutin mencerminkan disiplin diri yang tinggi dan komitmen etis untuk selalu menyucikan hati dan pikiran.
Frasa “anembah angares pada” (bersembah penuh harap) dan “anuhun berkah tuwan” (mohonkan berkah dari Tuhan) mengajarkan sikap kerendahan hati, rasa syukur yang mendalam, dan ketergantungan yang sehat pada Kekuatan Yang Maha Tinggi. Nilai-nilai ini adalah fondasi moral yang kokoh untuk perilaku yang berlandaskan spiritualitas, mendorong individu untuk bertindak dengan integritas, kejujuran, dan kebaikan dalam setiap aspek kehidupan. Filosofi di balik dawuh ini adalah bahwa kedekatan dengan Tuhan akan tercermin dalam akhlak mulia dan manfaat bagi sesama.
Tata Cara Praktik Dawuh dan Makna Berkah
Dawuh Sunan Drajat ini tidak hanya berupa teori, melainkan panduan praktis yang telah dijalankan oleh beliau dan diteruskan oleh keturunannya. Tata cara mempraktikkan dawuh “Niliyep nutiun ature, anembah angares pada, anuhun berkah tuwan” secara umum meliputi:
- Merenung dalam Keheningan (Tafakur/Muraqabah): Ini adalah langkah awal untuk menenangkan pikiran dan hati. Sunan Drajat melakukannya di tempat-tempat sunyi seperti tepi laut, bukit, atau bahkan di atas air, menunjukkan pentingnya mencari lingkungan yang mendukung konsentrasi spiritual. Keturunannya, seperti trah Sayyid Qinan di Sidayu dan Tebuwung, juga melanjutkan tradisi tafakur dan khalwat ini, seringkali di tempat-tempat yang dianggap memiliki energi spiritual atau ketenangan alam. Praktik ini bisa berupa duduk hening, memusatkan perhatian pada nafas, atau merenungkan kebesaran ciptaan Allah.
- Menyampaikan Permohonan dengan Diam (Munajat Batiniah): Setelah hati tenang, permohonan disampaikan bukan hanya dengan lisan, tetapi juga dengan batin yang khusyuk. Ini adalah bentuk munajat yang mendalam, di mana segala hajat dan harapan diserahkan sepenuhnya kepada Allah dengan penuh kesadaran dan kehadiran hati.
- Bersembah Penuh Harap (Ibadah dengan Raja’): Aspek “anembah angares pada” mengacu pada ibadah yang dilakukan dengan penuh pengharapan akan rahmat dan karunia Allah, bukan sekadar rutinitas. Ini mencakup salat, dzikir, dan doa dengan keyakinan kuat bahwa Allah akan mengabulkan.
- Memohon Berkah dari Tuhan: Puncak dari praktik ini adalah permohonan berkah. Berkah (dari bahasa Arab: بركة, barakah) secara harfiah berarti “tambahan kebaikan”, “pertumbuhan”, “peningkatan”, atau “keberkahan”. Ini adalah karunia ilahi yang membuat sesuatu menjadi lebih baik, lebih bermanfaat, dan lebih langgeng, meskipun secara kuantitas mungkin tidak banyak.
Berkah dapat datang dari berbagai sumber, yang semuanya pada hakikatnya bersumber dari Allah SWT:
- Berkah Langsung dari Allah SWT: Ini adalah berkah yang diberikan Allah secara langsung kepada hamba-Nya tanpa perantara, sebagai hasil dari ketaatan, doa, dan keikhlasan. Contohnya adalah rezeki yang tak terduga, kesehatan yang prima, atau ketenangan hati yang datang tiba-tiba.
- Berkah Melalui Rasulullah SAW: Rasulullah SAW adalah sumber berkah terbesar bagi umatnya. Berkah ini didapatkan melalui mengikuti sunah-sunahnya, mencintai beliau, bersalawat kepadanya, dan mengamalkan ajaran yang beliau bawa. Kehidupan beliau adalah teladan berkah, dan syafaat beliau adalah berkah di akhirat.
- Berkah Melalui Waliyullah (Para Wali Allah): Para wali adalah kekasih Allah yang dianugerahi kedekatan dan karamah. Berkah dapat mengalir melalui mereka karena kesalehan dan kedekatan mereka dengan Allah. Ini bisa berupa doa mereka yang mustajab, nasihat mereka yang menenangkan hati, atau bahkan keberadaan mereka yang membawa kebaikan bagi lingkungan sekitar. Menghormati dan mengambil pelajaran dari para wali adalah cara untuk memperoleh berkah ini.
- Berkah Melalui Kedua Orang Tua: Ridha Allah terletak pada ridha orang tua. Berbakti kepada kedua orang tua, mendoakan mereka, dan memenuhi hak-hak mereka adalah jalan utama untuk mendapatkan berkah dalam hidup, baik dalam rezeki, keturunan, maupun urusan dunia dan akhirat. Doa orang tua adalah salah satu doa yang paling mustajab.
- Berkah Melalui Guru: Guru adalah pewaris para nabi dalam menyampaikan ilmu. Berkah ilmu dan kehidupan seringkali didapatkan melalui adab yang baik kepada guru, menghormati mereka, dan mengamalkan ilmu yang diajarkan. Ilmu yang berkah adalah ilmu yang bermanfaat, membawa kebaikan, dan terus berkembang.
Dawuh Sunan Drajat ini, dengan demikian, adalah sebuah peta jalan spiritual yang komprehensif, mengajarkan pentingnya introspeksi, pengharapan, dan kesadaran akan sumber segala berkah dalam hidup.
Dawuh Sunan Drajat, “Niliyep nutiun ature, anembah angares pada, anuhun berkah tuwan,” adalah warisan berharga yang terus relevan dan tak lekang oleh waktu. Melalui lensa berbagai disiplin ilmu—mulai dari tasawuf yang mendalam, teologi yang kokoh, filologi yang teliti, sejarah dan antropologi yang kaya, psikologi agama yang mencerahkan, hingga etika dan filsafat moral yang luhur—kita dapat menggali kedalaman maknanya. Pesan ini mengajak kita untuk kembali pada esensi spiritual, menemukan kedamaian dalam kontemplasi, dan senantiasa bersandar pada berkah Tuhan dalam setiap langkah hidup.

Referensi:
- Tasawuf: Al-Ghazali, Imam. Ihya’ Ulumuddin. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, jilid 4, hlm. 300-305.
- Teologi Islam (Kalam): Al-Maturidi, Abu Mansur. Kitab at-Tauhid. Kairo: Dar Ihya’ Al-Kutub Al-Arabiyah, hlm. 120-125.
- Filologi dan Linguistik: Florida, Nancy K. Javanese Literature in Surakarta Manuscripts: Introduction and Manuscripts of the Karaton Surakarta. Ithaca: Cornell University Southeast Asia Program, 1993, hlm. 45-50.
- Sejarah dan Antropologi: Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008, hlm. 35-40.
- Psikologi Agama: Glock, Charles Y., and Rodney Stark. Religion and Society in Tension. Chicago: Rand McNally & Company, 1965, hlm. 180-185.
- Etika dan Filsafat Moral: Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan Pustaka, 1999, hlm. 250-255.
- Al-Qur’an dan Terjemahan. Kementerian Agama Republik Indonesia.
- Bukhari, Imam. Shahih Bukhari.
- Muslim, Imam. Shahih Muslim.