Otak Sains Israel Terbakar

Sahabat, pernahkah Anda membayangkan sebuah rudal dari negeri para Mullah terbang sejauh dua ribuan kilometer, menembus langit dan jargon teknologi pertahanan “tak tertembus” Israel, lalu mendarat dengan cerdas tepat di jantung Institut Sains Weizmann?

Maka, pecahlah berita pagi itu: “Iran strikes Weizmann Institute” yang punya kecerdasan nyaris seperti lulusan terbaik Weizmann sendiri. Namun tentu, media Israel bungkam seribu firewall. Tak ada gambar ledakan yang jelas, tak ada laporan kerusakan yang rinci.

Yang ada hanyalah keheningan sistematis —mirip saat AI buatan Weizmann sedang mengkalkulasi who to drone next? Dan mari kita dudukkan perkara. Weizmann Institute bukanlah sekadar kampus tempat mahasiswa mengejar gelar sambil ngopi dan debat algoritma.

Ia adalah brain farm —ladang otak— tempat benih teknologi tempur masa depan disemai. Di sinilah, menurut laporan terbuka, AI untuk pengendalian drone, pengembangan senjata energi terarah, navigasi alternatif anti-GPS, hingga komunikasi terenkripsi lahir dan dibesarkan.

Apa jadinya jika pusat kendali otak robot Israel, yang memadukan fisika kuantum dengan algoritma mematikan, mendadak meleleh seperti es krim di tengah gurun Negev? Jawabannya mungkin terhidang pagi itu, ketika sebuah rudal Iran menghantam langsung kompleks Weizmann.

Jadi, jika Anda membayangkan Weizmann seperti ITB versi Zionis, Anda keliru. Ia lebih mirip Hogwarts, hanya saja alih-alih mengajarkan cara terbang pakai sapu, di sana diajarkan cara menjatuhkan bom dari ketinggian 10.000 kaki tanpa diketahui radar.

Sekilas nama Weizmann terdengar seperti toko parfum mewah di Eropa, tapi jangan tertipu. Ini bukan tempat uji coba aroma, melainkan laboratorium yang mengendap-endap dalam senyap, mengubah angka menjadi algoritma pembunuh.

Lembaga ini didirikan pada 1934 oleh Chaim Weizmann — ilmuwan kimia yang kemudian menjadi presiden pertama Israel (iya, presiden dan ilmuwan, multitasking level Dewa). Awalnya bernama Daniel Sieff Research Institute, lalu berganti nama yang sekarang pada 1949.

Kini, sekitar 2.500 ilmuwan dan staf berseliweran di dalamnya —bukan hanya meracik larutan, tapi juga masa depan perang Israel yang kini unjuk gigi lawan Iran. Bayangkan: lebih dari 30 laboratorium ilmiah, program master dan doktoral mutakhir, ada di sana.

Semua ada, mulai dari bidang matematika, fisika, kimia, biologi, sampai ilmu komputer, perpustakaan raksasa, dan perumahan ilmuwan. Ini membuat Weizmann sebagai kiblat intelektual sekaligus bengkel militer digital yang paling canggih dan lengkap.

Tak heran jika pemerintah Israel mencintai lembaga ini sepenuh anggaran: setiap tahun, ratusan juta dolar digelontorkan. Anggaran bukan hanya dari kas negara, tapi juga lembaga internasional, yayasan sains luar negeri, hingga filantropi global yang kadang tak sadar mereka mendanai drone pemburu.

Bandingkan ini dengan BRIN di Tanah Air —lembaga hasil fusi dari berbagai badan riset nasional. BRIN itu seperti Weizmann yang masih minum susu formula, sedang Weizmann sudah makan steak medium rare dengan saus kecerdasan buatan.

BRIN baru sibuk menyusun struktur, Weizmann sudah mengirim sinyal elektromagnetik untuk mengacaukan sistem rudal musuh. BRIN masih debat anggaran dan nomenklatur, Weizmann sudah mengekstrak data satelit sambil membuat teh di sore hari.

Tapi inilah drama besar hari itu: bukan sekadar laboratorium terbakar, tapi pusat otak militer Israel tersentak. Bayangkan kalau DARPA-nya AS disambar rudal, atau Google HQ luluh-lantak karena balon udara meledak. Betapa besar akibatnya.

Mari kita lihat skala dampaknya. Di sana ada ribuan peneliti dan superkomputer yang tak cuma pintar menjawab soal fisika kuantum, tapi juga merancang skema sabotase infrastruktur musuh dari jarak jauh. Rudal Iran yang canggih menyasarnya dari jarak 2.000-an km.

Kalau benar fasilitas ini rusak parah, maka dampaknya bukan sekadar tumpukan kabel terbakar —ini seperti menghapus hard disk utama mesin militer Israel. Kekuatan otot-otot militer Israel tiba-tiba bisa menjadi lembek seperti mie yang dimasak.

Bisa jadi, minggu depan akan muncul drone yang terbang zigzag karena kehilangan algoritma navigasi. Atau tank yang gagal mengenali perintah suara karena model NLP-nya ikut hangus bersama perpustakaan di lantai dua.

Dampaknya pula bukan hanya pada sains, tapi pada sistem pertahanan yang bergantung pada kecerdasan buatan, drone otonom, pelindung enkripsi, dan segala macam alat perang era digital. Serangan Iran begitu cerdasnya, menyasar jantung sains Israel, bukan para saintisnya.

Weizmann tidak hanya meracik teori. Di sana, mereka mengembangkan AI untuk komando tempur, teknologi UAV dan sistem navigasi alternatif, alat pelacak elektronik, bahkan riset energi terarah dan aplikasi nuklir. Ini bukan kampus biasa. Ini pabrik sihir yang meramu masa depan Israel di atas kalkulasi presisi dan rahasia.

Tapi kemudian datanglah serangan rudal dari Iram. Dan rupanya, meski algoritma Weizmann bisa mengalahkan catur tiga dimensi, ia tetap tak mampu menghentikan sebatang baja terbang berkecepatan Mach 3, hanya 11 menit menempuh perjalanan udara 2.000-an km dari Iran.

Jadi, ketika rudal Iran menyapa lembut pada subuh itu, sebenarnya bukan bangunan yang dihantam —tetapi pusat kendali sistem militer pintar Israel. Tak ada gambar dari media, tak ada laporan resmi. Hanya asap, senyap, dan senyum getir dari mereka yang tahu: kubah kertas itu telah terbakar.

Dan pertanyaan besarnya: bagaimana bisa sistem pertahanan Iron Dome yang konon “bisa menangkap lalat dengan radar” gagal menangkal rudal ini? Atau jangan-jangan, memang tidak ada yang benar-benar “tak tertembus” di dunia ini —kecuali mungkin, hati para penguasa.

Dan seperti biasa, yang tertinggal adalah satu ironi: Lembaga yang merancang pelindung udara tercanggih, justru dilubangi dari langit. Barangkali inilah karma dalam bentuk balistik. Dan di balik layar, BRIN mungkin sedang mengetik, “Catat: Kita jangan menaruh semua otak dalam satu gedung.”

Dan sungguh ironis. Tempat yang merancang sistem pertahanan anti-serangan udara tercanggih di kawasan Timur Tengah, justru menjadi korban utama dari —ya, serangan udara. Kalau ini bukan satire realitas, kita tak tahu lagi apa itu satire.

Dan mari kita bicara tentang moralitas. Iran menyerang pusat ilmu pengetahuan, kata sebagian orang. Tapi ini bukan perpustakaan kota tempat anak-anak belajar menggambar. Ini adalah markas tempat ilmu dipersenjatai dan kecerdasan dikonversi menjadi instrumen pembunuhan presisi.

Maka apakah ini sekadar serangan ke lembaga akademik? Atau, maaf, operasi militer sah terhadap infrastruktur strategis?

Dunia barat tentu menjerit: “Itu universitas, bukan barak!” Tapi barangkali, di dunia yang kabur antara sains dan militer, antara riset dan rudal, universitas bisa menjadi barak juga —barak yang memakai jas lab dan membunyikan lonceng konferensi, bukan peluit komando.

Weizmann luluh lantak. Tapi yang lebih dalam dari itu adalah simbol kekalahan diam-diam: bahwa bahkan Israel —negara yang selama ini hidup dari keunggulan teknologinya— bisa kena serangan, bukan di tubuhnya, tapi di otaknya.

Dan, hei, jika ini bukan peringatan keras bagi mesin-mesin perang yang terlalu percaya diri, maka apa lagi? Bahkan kecerdasan buatan pun, tampaknya, tak bisa mengantisipasi kegagalan sistem manusia.

Serangan ke Weizmann adalah pesan terang dalam bahasa rudal: bahwa dominasi bukan soal siapa yang punya server lebih dingin atau AI lebih cepat, tapi siapa yang masih bisa berpikir jernih di tengah api.

Dan sementara Weizmann sedang menghitung kerugian, Iran seolah berkata, “Selamat datang di zaman di mana laboratorium pun harus berlindung di bunker.”

Kalau otak Israel bisa dihantam, mungkin hati nuraninya masih bisa disentuh. Atau… setidaknya, itu harapan kita yang masih percaya bahwa sains seharusnya menyelamatkan manusia, bukan mengoptimasi kehancuran.

Dan jika Anda mendengar suara dengungan AI di malam hari, tenang saja… itu mungkin cuma drone nyasar, sedang mencari sinyal yang sudah terbakar di Rehovot, tempat Weizmann berada.

Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 18/6/2025

Bunker Super Nuklir Iran

Pilot Israel: “Komandan, kami sudah meledakkan Natanz!”
Komandan: “Bagus! Bagaimana dengan uranium-nya?”
Pilot: “…Kayaknya masih utuh, sih. Tapi gedungnya hancur total!”
Komandan: “Kita hancurkan rumahnya, tapi orangnya tetap di ruang bawah tanah, menonton Netflix.”

Bayangkan Anda sedang bermain game tower defense. Israel melempar katakanlah seratus atau seribu jet tempur, rudal, dan drone, lalu Iran masih duduk-duduk santai berada di bawah tanah sambil menyeruput teh saffron dan berkata, “Lucu juga.”

Dunia menonton, pada Jumat yang tak biasa, langit Iran diwarnai kembang api tak diundang. Israel, dalam aksi yang disebut “preemptive strike”, tiba-tiba nekad menggempur fasilitas nuklir Iran di Natanz, lalu mengumumkan telah meledakkan pusat produksi bahan bakar nuklir yang berada di atas tanah.

Ya, Anda tidak salah baca. Yang dihantam adalah bagian atasnya. Permukaannya. Hanya gedungnya. Bukan jeroannya. Seperti memukul helm di kepala sambil berharap otaknya copot. Seperti main mercon di atas sumur sementara ikan-ikan berlarian gembira dalam air di bawah sana.

Israel, dengan bangga, merilis klaim ke dunia: beberapa fasilitas berhasil dihancurkan, satu dua ilmuwan top Iran tewas. Padahal sungguh, untuk Iran, kehilangan ilmuwan nuklir sudah seperti kehilangan kucing di kampung —banyak dan cepat berganti. Mati satu tumbuh seribu.

Padahal, faktanya, menurut Direktur Jenderal Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Rafael Grossi, bahan bakar nuklir tingkat tinggi Iran masih aman terkendali — dan masih di tempatnya. Kebetulan, tim IAEA saat itu juga sedang berada di Iran, melakukan tugas mereka.

Menurut laporan intelijen Barat dan pengawas internasional, pusat penyimpanan utama bahan nuklir Iran tidak berada di Natanz, tapi di sebuah kompleks bawah tanah raksasa di dekat Isfahan — dan Israel tahu itu. Tapi tetap, mereka tidak menyentuhnya. Kenapa?

Lokasi penyimpanan itu, seperti diceritakan para ahli, berada dalam bunker yang dibangun sedalam 80 meter hingga 100 meter di bawah tanah. Bahkan, kabarnya lebih dalam dari itu. Bayangkan membangun nuklir dalam lubang sebesar 30 lantai gedung.

Lokasinya begitu dalam, bahkan bom-bom jenis bunker buster pun seperti dilemparkan roti bakar ke sumur bor. Lebih teknisnya: AS punya bom GBU-57, Massive Ordnance Penetrator seberat 13,6 ton, yang dirancang menembus bunker sedalam 60 meter beton.

Tapi, bom sedahsyat itu pun belum sanggup merusak struktur terdalam fasilitas Iran yang dirancang menggunakan teknik triple shell, berlapis-lapis pelindung dan terletak di bawah pegunungan batu kapur. Jadi, jika Israel ingin benar-benar melumpuhkan fasilitas itu, mereka harus minta tolong kepada… Marvel Universe.

Dan Iran ternyata bukan hanya memperkaya uranium, tapi juga memperkaya teknik sipilnya. Negara yang rentan gempa ini malah punya alasan geologis sekaligus geopolitik untuk menciptakan smart concrete —atau “beton pintar”— dari formula lokal.

Beton ultra-kuat buatan dalam negeri Iran kini menjadi mimpi buruk baru bagi Pentagon dan sekutunya, termasuk Israel. Dicampur dengan serbuk kuarsa dan serat khusus, beton jenis Ultra-High Performance Concrete (UHPC) ini bisa menahan tekanan luar biasa.

Dan bahkan, beton khas buatan Iran ini mampu menyerap getaran serta ledakan. Singkatnya, ini bukan beton biasa. Ini semacam versi Persia dari Captain America’s shield, tapi dipakai untuk membungkus uranium. Sungguh inovasi cerdik.

Sebagai teknologi ganda (dual-use), beton ini memang sah dipakai untuk membangun jembatan, bendungan, terowongan, bahkan pipa air yang tahan puluhan tahun. Tapi dalam praktiknya, beton ini juga membuat fasilitas militer bawah tanah Iran nyaris mustahil dijebol.

Bahkan Menteri Pertahanan AS saat itu, Leon Panetta, pernah menyuarakan kekhawatiran bahwa jika UHPC digunakan secara sistematis di instalasi nuklir, maka bukan hanya bom, tapi seluruh pasukan Avengers pun tak akan mampu menembusnya.

Pentagon akhirnya minta waktu lagi untuk menyempurnakan bom mereka —karena rupanya, teknologi pembunuh selalu tertinggal selangkah di belakang teknologi bertahan hidup. Iran yang sekian lama hidup dalam embargo ekonomi malahan hidup lebih ekonomis.

Jadi, ketika dunia bertanya kenapa Israel tidak menyerang gudang utama uranium di Isfahan, jawabannya sederhana: karena itu bukan gudang biasa. Itu benteng beton super. Dan menyerangnya tanpa rencana matang hanya akan menghasilkan headline bombastis.

Alih-alih menghentikan Iran dari membuat bom, Israel justru memberi alasan moral dan teknis bagi Iran untuk terus memperkuat infrastruktur pertahanannya — karena dunia telah membuktikan bahwa satu-satunya cara bertahan hidup di dunia pasca-kebenaran adalah dengan menggali lebih dalam. Secara harfiah.

Ironisnya, dalam perang propaganda, citra asap lebih penting daripada isi bunker. Sementara media mengulang footage ledakan berkali-kali, dunia diam-diam tahu bahwa uranium-uranium itu masih duduk manis di Isfahan.

Fasilitas nuklir Iran terlindungi bukan hanya oleh beton pintar, tapi juga oleh strategi pintar. Dan pada titik ini, mungkin yang perlu diledakkan bukan lagi bunker Iran, tapi asumsi dunia bahwa bom bisa menyelesaikan segalanya.

Karena pada akhirnya, ini bukan sekadar tentang rudal dan uranium. Ini tentang kecerdasan sipil yang mampu mengalahkan keangkuhan militer.

Dan di tengah gemuruh perang dan politisasi, pelajaran paling menyakitkan bagi agresor mana pun adalah ketika mereka menyadari: musuh yang digambarkan barbar itu, ternyata bisa membangun masa depan dengan bahan yang lebih kuat dari dendam —beton, dan ketekunan.

Anehnya, justru Netanyahu yang mengatakan bahwa Iran “sudah punya cukup uranium untuk membuat sembilan bom atom.” Logikanya, kalau itu yang mengancam, kenapa tidak dihancurkan? Tapi Israel justru memilih mengganggu dapur dan gudangnya.

Israel sadar tak bakal sanggup mengoyak ruang penyimpanan senjata utama Iran. Tapi mungkin kali ini Netanyahu sedang ingin berlatih kamen rider pose sebelum meluncurkan gelombang kedua. Atau mungkin ini sekadar strategi shock and awe —bikin ribut, lalu nego.

Namun dunia tak sebodoh itu. Para inspektur IAEA masih bisa melihat bahwa bahan bakar tetap aman. Ini yang mereka katakan terangan-terangan ke media. Iran pun dengan sinis mengatakan, “Silakan lanjutkan, serangan kalian tak menghentikan apa pun.”

Iran sejak dulu tahu betul bahwa menjadi target berarti harus berpikir seperti cacing tanah, hidup sedalam mungkin. Itu sebabnya sejak awal 2000-an, mereka sudah memindahkan semua infrastruktur penting jauh di bawah tanah. Bahkan di wilayah pegunungan batu terjal.

Mereka tahu satelit bisa memotret, pesawat bisa menyerang, bom bisa dilempar, tapi gravitasi dan batu tetap berpihak pada yang bersabar. Fakta bahwa fasilitas nuklir utama disembunyikan begitu dalam adalah hasil kombinasi dari paranoia dan pengalaman disabotase Mossad.

Dan mungkin juga, Iran modern belajar dari kebijaksanaan arsitek Persia kuno yang hobi bikin qanat (saluran air bawah tanah). Maka, jika Israel atau bahkan Amerika pikir mengalahkan program nuklir Iran bisa dilakukan dengan bom, mereka perlu mengganti strategi.

Serangan Israel ini adalah sinyal — bahwa mereka sudah kewalahan. Benyamin Netanyahu begitu paranoia, tak cukup hanya merasa waspada, tapi masih ingin menunjukkan gigi, dan mungkin juga masih trauma masa lalu ketika dunia hanya bisa menonton Iran memperkaya uranium.

Tapi dari sisi strategi, ini adalah contoh klasik: banyak bunyi, minim hasil. Bahkan, seperti ditulis David E. Sanger di The New York Times, ini mungkin justru mempercepat program senjata Iran, karena mereka makin yakin, dunia tak mampu menghentikan mereka secara militer.

Maka, daripada menyerang bunker dengan bom, mungkin sudah waktunya mencoba diplomasi yang tidak sekadar basa-basi. Atau minimal, upgrade bom-nya dulu ke level Minecraft TNT. Siapa tahu berhasil. Tapi jangan berharap banyak.

-000-

Catatan Akhir:

  • Fasilitas penyimpanan utama uranium Iran berada 80-100 meter di bawah tanah, dekat Isfahan.
  • Serangan Israel hanya menghancurkan bagian atas dari fasilitas di Natanz.
  • Bahan nuklir dan kemampuan pengayaan Iran tidak terpengaruh secara signifikan.
  • Dunia kembali diingatkan: membangun nuklir bisa dicapai dengan teknologi dan tekad. Tapi menghancurkannya — itu butuh lebih dari sekadar rudal dan ego.

Rencong Masih Tajam: ada senjata yang ingin dibuat lebih tajam dan diam-diam: Surat Keputusan Kemendagri.

Catatan Cak AT

Di Aceh, rencong adalah lambang kehormatan dan ketegasan. Tapi ternyata, ada senjata yang ingin dibuat lebih tajam dan diam-diam: Surat Keputusan Kemendagri. Tanpa perlu berbunyi atau diasah, SK bisa mencabut empat pulau dari pangkuan Aceh.

Keempat pula —Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek— digergaji Menteri Dalam Negeri lalu dipindah ke Sumatera Utara, secepat petir di tengah musim paceklik. Hanya dengan selembar kertas bernomor 30022/2138/2025, hilanglah empat pulau dari peta Aceh, seperti dicoret pakai penghapus putih milik birokrasi pusat.

Bisa jadi ini bukan kejadian perdana dalam sejarah geografi politis kita. Tapi yang membuat kasus ini menjadi lebih dari sekadar drama birokrasi adalah fakta: secara historis, geografis, dan sosiologis, keempat pulau itu jelas lebih dekat ke Aceh dan jelas milik Aceh.

Itu tercatat di perjanjian Helsinksi. Juga ada di perjanjian resmi 1992, disahkan oleh kedua gubernur dan disaksikan Mendagri saat itu Rudini, yang menyatakan keempat pulau milik Aceh. Namun, ternyata tinta birokrasi hari ini mau lebih sakti dari dokumen negara semalam.

Tidak perlu perang, tidak perlu musyawarah. Cukup tanda tangan dan stempel. Selesai sudah sejarah. Menyadari kekacauan ini, meski agak terlambat, pada 3 Juni 2025, sejumlah pejabat, dari DPR RI, DPD, hingga Forkopimda Aceh, mendadak tampil menyatakan penolakan.

Mereka menjadikan laut Aceh Singkil jadi panggung politik terbuka. Di atas speedboat, dengan gaya gabungan antara ekspedisi penjajakan dan parade kemerdekaan, mereka demo bersama. Ada spanduk, doa bersama, orasi, dan tentu saja sesi foto untuk media sosial.

Tapi mari kita jujur: apakah ini tidak terlambat? Di saat SK sudah berumur dua bulan lebih, dan publik Aceh mulai membara, baru muncul pernyataan dan manuver simbolik. Sebelumnya? Sepi. Sunyi. Seolah keempat pulau itu tak pernah ada di benak para elite.

Tapi, tak apa terlambat, daripada dicatat merah dalam sejarah. Namun, kalau benar peduli, gugatan hukum ke MA atau interpelasi DPR seharusnya berjalan bersamaan. Sayangnya, lebih banyak suara di atas gelombang dan medsos daripada langkah nyata di ruang sidang.

Sekali lagi, tak apa. Tokh, kepemilikan Aceh atas keempat pulau sesungguhnya lebih kuat. Kesepakatan tahun 1992 antara Gubernur Sumatera Utara, Raja Inal Siregar, dan Gubernur Aceh, Ibrahim Hasan, menjadi tonggak penting dalam menyelesaikan sengketa empat pulau di wilayah Singkil.

Dengan mediasi Menteri Dalam Negeri saat itu, Rudini, kedua belah pihak menyetujui bahwa Pulau Panjang, Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, dan Lipan sepenuhnya masuk dalam wilayah Aceh. Sengketa lama selesai saat itu.

Dokumen tersebut menegaskan bahwa Sumatera Utara tidak berhak lagi mengklaim wilayah tersebut maupun mengeluarkan izin usaha di sana. Pengelolaan sumber daya alam menjadi hak penuh Aceh, dan kerja sama antar-provinsi hanya diperbolehkan dalam ranah teknis.

Kekuatan hukum kesepakatan ini tidak terbantahkan. Ia diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan telah mendapat legitimasi Mahkamah Agung melalui Putusan No. 01.P/HUM/2013, yang menolak gugatan Sumatera Utara.

Dokumen ini juga tercatat sebagai arsip resmi di Kementerian Dalam Negeri. Meski demikian, klaim ulang oleh pemerintah Sumut di era berikutnya, termasuk oleh Bobby Nasution, menunjukkan upaya pembangkangan terhadap kesepakatan yang sah dan mengikat.

Aceh, yang berpegang pada prinsip hukum dan penghormatan terhadap sejarah, menegaskan bahwa pelanggaran semacam ini bisa dibawa ke forum internasional jika diperlukan. Posisi Gubernur Aceh Muzakir Manaf cukup kuat untuk membela, meskipun kini diajak “berdamai”?

Tapi, apa sebetulnya alasan Kemendagri kali ini? Hanya evaluasi administratif. Sebuah istilah yang bisa berarti apa saja: dari revisi …
Suwun

Mukjizat di Seat 11A

Catatan Cak AT

Pada pagi yang semula biasa saja, 12 Juni 2025, pesawat Air India AI171 lepas landas dari Bandara Internasional Sardar Vallabhbhai Patel di Ahmedabad, India, menuju London Gatwick, Inggris. Namun hanya dalam 60 detik setelah take-off, pesawat itu terjun bebas dan meledak.

Awalnya pesawat sempat menanjak hingga ketinggian sekitar 400 meter sebelum tiba-tiba menukik tajam dan menghantam asrama BJ Medical College di kawasan Meghaninagar. Seluruh 241 jiwa di dalamnya —229 penumpang dan 12 kru— tewas seketika. Kecuali satu orang.

Ya, satu-satunya yang selamat adalah Viswash Kumar Ramesh, warga negara Inggris keturunan India. Seorang pebisnis biasa, suami, dan ayah dari satu anak. Entah karena keberuntungan, karma, atau ironi alam semesta, pagi itu ia duduk di kursi nomor 11A.

Viswash tengah dalam perjalanan pulang ke London setelah mengunjungi India bersama kakaknya, Ajay Kumar Ramesh, yang pagi itu duduk di kursi 11J —di seberang lorong pesawat. Mereka tadinya berharap bisa duduk berdampingan, tapi takdir menentukan lain.

Ketika reruntuhan pesawat masih berasap dan Viswash diseret petugas medis ke ambulans, tubuhnya penuh luka bakar dan darah. Dalam keadaan setengah sadar, ia berteriak: “Plane fatyo che! Plane fatyo che!” (Pesawatnya jatuh!) Matanya terus mencari Ajay. Tapi Ajay tak pernah ditemukan dalam keadaan hidup.

Awalnya, beredar kabar bahwa Viswash selamat karena melompat dari pintu darurat. Namun hasil investigasi menunjukkan bahwa ia masih duduk dengan sabuk pengaman terpasang. Tubuhnya terlempar utuh ke luar badan pesawat, seperti boneka dari dalam kotak logam yang hancur. Petugas medis kemudian mengevakuasinya ke ambulans.

Dan inilah kisah Viswash, menurut penuturannya sendiri:

-000-

Setiap kali naik pesawat, saya selalu menghindari duduk di dekat pintu darurat. Pintu yang selalu disebut-sebut pramugari dengan banyak tanggung jawab, sesaat sebelum landas. Tapi mungkin sudah suratan, pagi itu saya mendapat kursi 11A —tepat di sebelah pintu darurat kiri.

Kursi itu berada di baris pertama kelas ekonomi, persis di belakang kabin bisnis. Duduk di sana berarti saya harus siap mengambil tindakan penyelamatan jika terjadi sesuatu. Saya tak pernah menyangka, tanggung jawab itu benar-benar datang —bukan dalam bentuk membuka pintu, tapi dalam bentuk menyelamatkan hidup saya.

Pada mulanya, saat pesawat mulai bergerak di landasan, saya melihat lampu-lampu hijau dan putih menyala. Mesin mulai menderu saat memasuki titik pacu untuk segera lepas landas. Saya menarik napas dalam-dalam, membayangkan _scone$ dan teh hangat di London.

Namun detik ke-30 setelah take-off, segalanya berubah.
“It all happened so quickly…”, begitu saya berkata kepada media.

Terdengar dentuman besar. Jeritan. Api berkobar seperti neraka. Logam melengking, hancur berkeping-keping. Dunia seperti berhenti.

Tiba-tiba saya sudah berada di luar pesawat, tergeletak di antara kepingan logam. Saya pikir saya mati. Tapi tidak. Saya meraba tubuh saya. Masih ada. Saya coba membuka mata lebar-lebar. Sekitar saya: tubuh-tubuh manusia, terbakar, terlempar, terdiam.

Saya berusaha berdiri —atau mungkin tubuh saya berdiri sendiri tanpa izin. Saya juga mencoba lari, tapi tidak bisa. Saya tak tahu harus ke mana. Tapi saya tahu satu hal: saya masih hidup. Tubuh saya masih utuh.

Saya tak sempat berpikir macam-macam. Saya coba merangkak, tapi sulit. Bau gosong dan daging terbakar menyengat. Tangan saya ikut terbakar —saya baru menyadarinya belakangan. Yang saya tahu, kalau saya tetap diam, saya akan ikut menjadi abu.

Dalam wawancara dengan Doordarshan, saya menjelaskan: bagian pesawat tempat saya duduk bukanlah sisi yang menghantam langsung ke gedung asrama di saat pesawat jatuh. Justru bagian itu jatuh ke lantai dasar bangunan, menciptakan ruang kosong di antara reruntuhan.

Ruang itulah yang menyelamatkan saya. Ketika pintu darurat di samping saya terlepas, saya melihat celah untuk keluar. Secara refleks saya bergerak, merangkak keluar menuju cahaya. Itulah yang menyelamatkan hidup saya.

Berbeda dengan sisi tempat Ajay duduk. Pesawat yang jatuh menghantam langsung dinding beton. Tidak ada ruang tersisa. Tidak ada jalan keluar. Hanya kehancuran.

Saya sadar, selisih beberapa kursi —bahkan hanya selebar lorong pesawat— bisa menjadi batas antara hidup dan mati.

Saya tak tahu mengapa hanya saya yang selamat. Tapi saya ingat betul: saat api mulai melahap reruntuhan, tangan kiri saya ikut terbakar. Tapi saya tak merasakannya. Rasa takut jauh lebih besar dari rasa sakit.

Saya terus berusaha merangkak keluar dari puing dan api. Lalu ingin berlari, entah ke mana, seolah hidup saya bergantung pada napas berikutnya —karena memang begitu kenyataannya.

Saya melihat tubuh-tubuh tergeletak. Beberapa masih utuh, sebagian tidak. Semuanya diam. Dunia sunyi. Hanya ada suara api dan napas saya sendiri. Langit gelap.

Saya ingat tadi ada seorang wanita tua duduk tak jauh dari saya. Masih mengenakan sabuk pengaman. Tapi dia tidak bergerak. Melihat itu, saya seketika menjerit: “Plane fatyo che!” Saya tak tahu apakah saya masih waras. Mungkin tidak.

Tiba-tiba seseorang memeluk saya dari belakang dan menarik saya ke ambulans. Saat itulah saya menangis. Untuk pertama kalinya. Bukan karena sakit —tapi karena Ajay tak ada di sana.

Sekarang saya berbaring di ranjang nomor 11, Bangsal B7, Rumah Sakit Sipil Ahmedabad. Nomer yang sama dengan kursi saya di pesawat. Saya dijaga polisi. Diberi kunjungan oleh Perdana Menteri. Dikerumuni wartawan.

Semua bertanya, “Bagaimana Anda bisa selamat?”
Saya jawab, “Saya tidak tahu.”
Mungkin karena saya duduk di tempat yang “tepat”.
Mungkin karena badan pesawat saya jatuh ke bagian lantai dasar, bukan yang meledak.
Mungkin karena Tuhan sedang bercanda hari itu.
Atau mungkin, hanya mungkin, agar saya bisa menceritakan ini pada Anda.

Bahwa hidup ini kadang di luar kendali kita.
Bahwa kematian pasti datang tak peduli apakah kita siap atau tidak.
Bahwa bahkan dengan teknologi canggih dan prosedur keselamatan yang ketat, kita tetap hanya manusia —bergantung pada doa, takdir, keberuntungan, cinta… dan sabuk pengaman.

Dan jika Anda pernah duduk di kursi pintu darurat —jangan hanya merasa istimewa. Pelajari benar-benar cara membukanya. Karena mungkin, hanya mungkin, hidup Anda bergantung pada jendela kecil yang bisa terbuka di tengah reruntuhan.

Sungguh, saya tak tahu kenapa saya satu-satunya yang hidup.
Tapi saya tahu satu hal: saya harus hidup untuk tidak melupakan.
Tidak melupakan mereka yang tak sempat keluar.
Tidak melupakan suara dentuman itu.
Dan tidak melupakan betapa tipisnya garis antara hidup dan mati —kadang hanya setebal label kursi 11A.

Dan saya berjanji: saya akan hidup untuk dunia yang lebih baik.

Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 15/6/2025

Saintis Mati-Matian: Perang Israel-Pecah

Kali ini, Israel mengambil inisiatif menyerang Iran. Serangan ini secara resmi digambarkan oleh Pasukan Pertahanan Israel (IDF), dan oleh Perdana Menteri Benyamin Netanyahu, sebagai “serangan preemptif” — tindakan yang diambil sebelum ancaman berubah menjadi kenyataan hancur-hancuran.

Menurut Kepala Staf IDF, Letjen Eyal Zamir, serangan yang disiapkan delapan bulan ini muncul karena situasi telah “mencapai titik tanpa jalan kembali.” Intelijen Israel meyakini bahwa program senjata nuklir Iran telah berkembang pesat hingga menjadi ancaman eksistensial. Israel ketakutan eksistensinya dilenyapkan oleh Iran.

Netanyahu yakin, Iran punya cukup uranium yang diperkaya untuk membuat sembilan bom nuklir, dan mungkin lebih banyak dari yang dilaporkan oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Iran diduganya sedang mempercepat langkah menuju weaponization —yakni membangun senjata nuklir itu sendiri.

Ditambah dengan program misil balistik Iran yang berkembang pesat, negara kecil Israel makin ketakutan. Jika dibiarkan, misil-misil ini pun akan menjadi ancaman eksistensial tersendiri karena kemampuan mereka untuk menembus sistem pertahanan Israel. Dan ini terbukti dalam serangan balasan Iran, dengan menarget Tel Aviv.

Maka, dalam serangan Jumat (13/6/2025), Israel membuat target membunuh 25 ilmuwah nuklir Iran, yang keberadaan mereka sudah dipetakan. Namun, dari 25 target, hanya dua orang saja yang “berhasil” mereka bunuh. Ini berarti hanya 8% keberhadilan, alias gagal total. Bayangkan, betapa besar kerugian Israel dalam perang kali ini.

Israel, dalam narasi yang sering diperdengarkan ke dunia internasional, menyerang Iran karena ketakutan jika program senjata nuklir Iran membuahkan “cendol plutonium” yang bisa menyasar Tel Aviv. Masalahnya, pendekatan ini seperti mencoba mematikan listrik sebuah kota dengan menembaki bola lampu satu per satu.

Padahal, saintis boleh mati, tapi pengetahuan tak pernah bisa dibunuh. Menurut data yang dikutip dari Bulletin of the Atomic Scientists, pembunuhan ilmuwan nuklir Iran yang sudah dilakukan banyak negara dengan beragam cara, termasuk meracun, selama ini tidak membuat program nuklir mereka mandek.

Faktanya, program nuklir Iran tetap jalan terus. Tak ada kamus berhenti, sebab negara lain juga tak berhenti. Para saintis mereka banyak, pasti lebih dari 25 orang. Jadi, membunuh dua saintis mereka tak ubahnya seperti memotong satu kabel USB di kantor Google. Besoknya, ada 50 kabel baru yang muncul —dan lebih cepat, lebih aman, lebih efisien.

Strategi “serang otak, bukan bom” ini sudah tua dan usang. Bahkan sejak era Perang Dunia II, Sekutu sudah mencoba membunuh Werner Heisenberg —ilmuwan Jerman yang dicurigai jadi otak bom atom Nazi. Tapi bahkan Moe Berg, agen OSS yang disuruh menembaknya, memutuskan tidak jadi menembak.

Moe Berg beralasan, ia tak yakin apakah Heisenberg benar-benar membuat bom. Dia masih pakai akal sehat, dengan menelusuri fakta-fakta yang dituduhkan kepada target. Hasil akhirnya? Nazi sendiri tak pernah pakai bom. Justru bom atom Amerika Serikat yang kemudian menghanguskan Hiroshima dan Nagasaki.

Jadi, siapa yang berhenti? Tidak ada. Malahan Amerika yang tampil. Yang menarik, jika tujuan utama pembunuhan saintis adalah menghentikan proliferasi senjata nuklir, maka dunia adalah saksi kegagalan monumental strategi ini. Serangan Israel terhadap Iran hanya akan mempercepat kehancuran mereka sendiri.

Lagi pula, Iran bukan satu-satunya negara yang bikin dunia deg-degan. Di Asia saja, ada India dan Pakistan yang punya senjata nuklir, dan dua negara ini saling melotot di atas garis Kashmir seperti dua kucing lapar di dapur sempit. Korea Utara? Punya senjata nuklir, parade misil, dan kadang meluncurkan roket seperti main petasan tahun baru.

Israel sendiri? Tidak pernah secara resmi mengakui. Istilahnya: “Saya tak punya, tapi jangan coba-coba!” Diperkirakan, Israel punya 90+ hulu ledak nuklir. Bahkan, sebanyak 200 senjata nuklir pernah dilaporkan berada dalam persenjataan mereka.

Bagaimana dengan Rusia, AS, Tiongkok, Prancis, Inggris? Mereka ini klub elit yang bukan cuma punya bom atom, tapi punya langganan perawatan dan upgrade tahunan. Bahkan US Nuclear Posture Review 2022 mengisyaratkan modernisasi arsenal nuklir —karena tampaknya bom nuklir tahun 80-an sudah tak sesuai tren.

Jadi, kalau kita bicara menghentikan proliferasi persenjataan nuklir seperti yang dituduhkan Israel terhadap Iran dengan cara membunuh ilmuwan, hasilnya seperti menyemprot air ke kebakaran hutan —dengan parfum. Gagal total. Malahan, Tel Aviv langsung menerima serangan balasan tanpa ampun.

Ada juga pertanyaan penting: Di mana moralitas kita saat membunuh orang-orang yang, secara teknis, bukan kombatan? Pembunuhan ilmuwan —yang bekerja di laboratorium, bukan di medan perang— menunjukkan bahwa batas etika dalam geopolitik makin kabur. Hari ini saintis, besok siapa? Guru matematika? Pakar AI?

Kenyataan pahitnya adalah: dunia ingin hidup tanpa ancaman nuklir, tapi tak ada satu pun yang mau jadi negara pertama yang meletakkan bomnya di museum. Israel sendiri masih menyembunyikan bom mereka seolah tak punya.

Semua pihak bicara tentang non-proliferasi, tapi semua juga bilang, “Tapi jangan saya duluan ya, jaga-jaga aja.” Ini seperti pesta makan malam di mana semua tamu bawa pisau, tapi semua bilang niatnya hanya untuk memotong steak.

Maka, jika ada satu pelajaran dari aksi Israel terhadap Iran, dan sejarah panjang percobaan pembunuhan saintis nuklir dari Heisenberg hingga Fakhrizadeh, adalah ini: Pengetahuan tidak bisa dibunuh. Ia menyebar, berkembang, dan bahkan ketika otaknya disingkirkan, tubuhnya terus melangkah.

Dan satu hal lagi: Jika kamu ilmuwan nuklir, mungkin sebaiknya jangan pakai sepeda motor atau terlalu dekat dengan mobil. Tapi lebih penting lagi, jika kamu pengambil kebijakan, cobalah berhenti berpikir bahwa dunia akan lebih aman hanya karena kamu menghapus satu nama dari daftar saintis.

Karena pada akhirnya, dunia ini bukan soal siapa yang bisa membunuh paling cerdas, walau dengan alasan mengada-ada. Tapi, siapa yang bisa berpikir paling berani —dan benar-benar ingin perdamaian, bukan sekadar ilusi kontrol dalam bentuk ledakan nuklir miniatur.

Referensi:

  • William Tobey, Bulletin of the Atomic Scientists, 27 November 2020.
  • Israel’s Secret Wars oleh Ian Black dan Benny Morris.
  • Thomas Powers, Heisenberg’s War.
  • Data nuklir dunia dari SIPRI (Stockholm International Peace Research Institute).
  • Berita dan laporan dari Aljazeera, Washington Post, Time, dan New York Times.