Gaza dalam Kesaksian Jean-Pierre Filiu: Ketika Perang Meluluhlantakkan Solidaritas dan Kemanusiaan

Ketika sepotong roti tak bisa dibagi, solidaritas pun roboh. Filiu mencatat bukan hanya rumah yang hancur, tapi juga jalinan keluarga, martabat, dan peradaban yang dicabut perlahan.

Ada tragedi yang lebih senyap dari ledakan bom. Ia tidak terekam kamera, tidak mengundang headline, dan tak pernah diumumkan oleh juru bicara militer. Tragedi itu bernama keruntuhan ikatan sosial.

Di Gaza, Prof. Jean-Pierre Filiu menyaksikan sendiri bagaimana satu demi satu fondasi kebersamaan rakyat Palestina ambruk, bukan karena mereka menyerah, tetapi karena segala sesuatu yang menopang hidup mereka—pangan, listrik, air, tempat aman, bahkan harapan—dicabut hingga habis.

“Bahkan mereka yang ingin berbagi makanan tak lagi bisa melakukannya,” tulis Filiu. “Bukan karena tidak mau, tetapi karena seluruh keluarganya sendiri juga sedang kelaparan.”

Gaza dulunya dikenal dengan solidaritas sosialnya yang luar biasa. Ikatan kekerabatan, jaringan kerabat jauh, sistem gotong royong—semua itu menjadi pelindung tak resmi masyarakat dari krisis.

Tapi kini, menurut Filiu, semua itu mengerut menjadi lingkaran keluarga terkecil. Dulu, para paman, bibi, dan sepupu sangat dekat satu sama lain. Sekarang, semua orang hanya fokus menyelamatkan anak dan istri mereka sendiri.

Ini bukan keegoisan. Ini adalah mekanisme bertahan hidup terakhir. Ketika setiap butir nasi menjadi taruhan hidup, bahkan sekadar menawarkan bantuan menjadi kemewahan moral yang tak mampu dilakukan siapa pun.

Namun di tengah kehancuran dan kelaparan itu, ada serpihan kemanusiaan yang membuat mata Filiu berkaca. Ia menceritakan anak-anak kecil yang berbagi remah roti mereka dengan kucing-kucing liar yang sama laparnya.

Ketika ditanya mengapa mereka melakukannya, jawaban mereka sederhana dan menghantam jantung: “Kami tahu rasanya lapar. Kami tidak ingin kucing-kucing itu merasakannya juga.”

Lalu ada penyintas yang membersihkan tenda di tengah reruntuhan, membuang sampah seperti hendak menjaga harga diri rumah yang sudah tak ada.

Ada juga keluarga yang menggantung pakaian mereka di balkon bangunan yang nyaris roboh, seolah berkata bahwa mereka masih hidup, masih manusia. Dan ada tenda-tenda warna-warni yang memantulkan cahaya di atas lanskap abu-abu—seperti doa visual untuk tetap eksis.

Di Gaza, orang mati tidak lagi bisa dikubur layak. Pemakaman dihancurkan. Rumah sakit menolak mayat. Dan orang-orang, dalam putus asa, mulai menulis nama-nama orang mati di reruntuhan rumah sebagai peringatan terakhir.

“Berkabung sudah beku, tidak pernah utuh,” kata Filiu. Jika korban adalah anak-anak, sering kali disertai gambar kecil di samping namanya: sepatu kecil, boneka, atau simbol sederhana sebagai tanda cinta yang tak sempat diungkapkan.

Filiu menggambarkan realitas kebersihan dan sanitasi sebagai “perjuangan untuk bertahan hidup”. Lubang-lubang di pasir menjadi toilet yang ditutupi kanvas.

Air minum didapat dari sumur-sumur yang digali di sudut tenda. Sampah berserakan, belum sempat diangkut karena pengangkutnya pun telah terbunuh. “Setiap kebutuhan dasar manusia di sini adalah pertarungan,” tulisnya.

Penyakit menyebar: diare, infeksi kulit, hepatitis. Perempuan lebih terdampak. Mereka tak punya ruang aman, tak punya sabun, dan tak punya waktu untuk sekadar merasa malu.

Bahkan cuaca menjadi pembunuh. Pada malam Natal, bayi bernama Sila meninggal karena kedinginan di usianya yang baru tiga minggu. Dalam beberapa pekan itu saja, lima anak lain mati karena hal serupa.

Inilah kematian tanpa peluru, tanpa suara ledakan. Tapi hasilnya sama: jiwa yang melayang, keluarga yang hancur.

Namun Gaza tak sepenuhnya sunyi. Ada badut medis yang masih berkeliling rumah sakit, mencoba memancing senyum dari anak-anak yang terluka.

Ada anak perempuan kecil dengan tas sekolah lusuh, muncul dari lorong-lorong sempit menuju madrasah yang disokong oleh Kesultanan Oman.

Mereka bukan simbol perlawanan. Mereka adalah saksi bahwa kehidupan masih mencoba bertahan, bahkan ketika dunia memilih menutup mata.

Yang paling menghancurkan dari laporan Filiu bukan hanya deskripsi kehancuran fisik. Tapi peta psikososial dari satu masyarakat yang pelan-pelan kehilangan sesuatu yang bahkan lebih mendasar dari rumah atau makanan: kehilangan jalinan sesama manusia.

Gaza telah dibuat tak hanya kelaparan, tapi kesepian. Mereka dibiarkan hidup dalam dunia di mana tidak ada yang bisa menolong siapa pun lagi.

Dan itu, menurut Filiu, adalah tujuan tersembunyi dari blokade: membuat rakyat Palestina merasa sendirian, tidak layak ditolong, dan akhirnya kehilangan satu sama lain.

Gaza dalam Kesaksian Jean-Pierre Filiu: Geng Abu Shabab, Senjata Israel di Tengah Kekacauan yang Dirancang

Di tengah kelaparan dan kekacauan, Israel justru mempersenjatai geng penjarah. Abu Shabab jadi dalih baru: menjarah bantuan, membantai sesama, dan memperkuat alasan genosida. Ini bukan kekacauan, ini rancangan.

Ketika sebuah negara, demi mencapai tujuan militernya, justru mempersenjatai kelompok kriminal brutal untuk melawan musuhnya sendiri, lalu berharap hasilnya akan mendekatkan pada “kemenangan”, maka yang sebenarnya sedang dibangun bukanlah stabilitas, melainkan neraka berlapis.

Inilah yang disaksikan Prof. Jean-Pierre Filiu di Gaza: munculnya geng Abu Shabab—organisasi paramiliter bercorak mafia, brutal, oportunis, dan… disokong Israel.

Abu Shabab bukan sekadar geng jalanan. Mereka adalah hasil mutasi dari penderitaan yang terus-menerus: kelaparan, kehancuran, dan kekacauan yang disengaja.

Dalam laporan Filiu, geng ini memonopoli bantuan yang masuk ke Gaza. Mereka menjarah truk-truk bantuan, menjual barang-barangnya di pasar gelap, dan menciptakan situasi “hukum rimba” yang makin menghancurkan warga sipil Gaza.

Tapi yang membuat kisah ini benar-benar gelap adalah kenyataan bahwa Israel menyuplai senjata kepada mereka —sebuah kebijakan yang menurut Filiu adalah “paradoks tragis.”

“Satu dari contoh paling tajam dari kebutaan yang berbahaya adalah dukungan Israel terhadap geng Abu Shabab.”

Geng ini tidak hanya melemahkan Hamas —yang memang menjadi musuh utama Israel— tapi juga menghancurkan tatanan sipil dan kepercayaan sosial warga Gaza.

Bukannya memperlemah perlawanan, Abu Shabab justru memperkuat narasi Hamas sebagai satu-satunya pihak yang ‘masih berani menjaga ketertiban’.

Filiu mencatat secara detail malam penuh horor pada 4 Desember. Ia terbangun pukul 02:30 dini hari oleh tembakan hebat. Di luar tenda daruratnya, terjadi baku tembak antara penjaga konvoi bantuan (yang identitasnya tak jelas) dengan geng penjarah Abu Shabab, disokong oleh drone IDF (Israel Defense Forces).

Hasilnya tragis:

  • 11 orang tewas: lima dibunuh oleh tentara, enam lainnya dalam baku tembak antara Abu Shabab dan Hamas.
  • 50 dari 70 truk bantuan dijarah.
  • Barang-barang jarahan itu keesokan harinya dijual dengan harga selangit di pasar Muwasi.

Filiu menyaksikan sendiri bagaimana lingkaran kejahatan ini menciptakan inflasi buatan, membuat makanan makin langka dan mempercepat kelaparan.

Lingkaran setan kejahatan terorganisir ini menyebabkan lonjakan harga barang-barang pokok di pasar Gaza, dan mendorong warga biasa untuk ikut dalam penjarahan terorganisir.

Ironisnya, kehadiran Abu Shabab justru memberi pembenaran bagi Hamas untuk bertindak represif. Hukuman keras dari Hamas terhadap para penjarah—biasanya publik, kejam, dan tanpa proses —diterima masyarakat sebagai “kebutuhan darurat.”

Dalam kondisi keputusasaan, rakyat lebih membenci para penjarah daripada penguasa bersenjata. Di tengah kelaparan, tindakan keras Hamas justru dianggap sebagai bentuk perlindungan.

Filiu mencatat bahwa mayoritas warga Gaza membenci Abu Shabab. Banyak dari mereka dikucilkan oleh keluarganya sendiri. Tapi lebih mengerikan lagi adalah bahwa Israel menggantungkan kontrol wilayah pada orang-orang buangan ini.

“Saya bahkan tidak bicara dari sisi etika. Tapi dari sisi operasional, ini adalah kebijakan yang gila,” tulis Filiu.

Satu pengakuan mengejutkan dari Filiu adalah bahwa untuk pertama kalinya ia merasa benar-benar terancam di Gaza, bukan oleh bom atau tentara, tetapi oleh para anggota Abu Shabab.

Mereka digambarkannya sebagai “gangster sejati” —penuh ancaman, tak bisa diprediksi, dan beroperasi dengan kekejaman lepas kendali.

Dalam satu kejadian, ia tak sengaja berdiri terlalu dekat dengan para anggota geng ini. Dan saat itulah, untuk pertama kalinya, ia sadar: di antara reruntuhan Gaza, tidak semua kekerasan datang dari langit.

Apa yang ingin dicapai Israel melalui Abu Shabab? Pelemahan Hamas? Penaklukan sosial? Atau sekadar menciptakan kekacauan agar bisa tetap menyalahkan korban?

Yang terjadi justru sebaliknya:

  1. Abu Shabab menghancurkan sisa-sisa solidaritas warga Gaza.
  2. Membuat warga sipil makin tergantung pada Hamas.
  3. Dan memperlihatkan pada dunia bagaimana Israel bersedia bekerja sama dengan kekuatan kriminal brutal, selama bisa mendistorsi struktur sosial Gaza dari dalam.

Dalam sejarah konflik, ini bukan pertama kalinya kekuatan penjajah mempersenjatai pihak ketiga untuk menabur kekacauan. Tapi dalam konteks Gaza, akibatnya jauh lebih merusak: kepercayaan runtuh, logika moral ambruk, dan semua itu terjadi di hadapan dua juta manusia yang tinggal di antara tenda, puing, dan mayat.

Walhasil, Filiu tak menyamakan Israel dengan geng Abu Shabab. Tapi ia memperlihatkan bagaimana strategi negara yang membiarkan geng tumbuh, mempersenjatainya, dan memanfaatkannya sebagai alat, justru memantulkan wajah baru dari kekuasaan: kekuasaan yang tak hanya brutal, tapi juga tidak tahu malu.

Apa yang terjadi di Gaza bukan hanya soal perang. Ini soal penghancuran tatanan sipil lewat metode yang tak bisa lagi dibedakan dari kejahatan terorganisir.

Dan yang menyedihkan: dunia melihat, tapi tak bereaksi.

Menyingkap Noda Sejarah: Menguak Ulang Kisah Teungku Daud Beureueh, Sang Nasionalis yang Terluka

Dituduh pemberontak, padahal ia yang memasak semangat republik di dapur kemerdekaan. Daud Beureueh bukan durhaka. Dia hanya kecewa karena dapurnya diobrak-abrik pusat.

Konon, sejarah ditulis oleh para pemenang. Tapi di negeri ini, yang kalah pun sering menulis ulang sejarah —asal dapat restu politik. Maka jangan heran kalau suatu saat tokoh yang dicap “pemberontak” bisa berubah jadi “pahlawan nasional”.

Syaratnya, asalkan framing-nya cocok dan nuansanya tidak mengganggu stabilitas politik terbaru. Dan kalau ada satu nama yang patut dijemput kembali dari pojok sejarah yang berdebu, itu adalah Teungku Muhammad Daud Beureueh.

Lho, bukankah dia pemimpin pemberontakan DI/TII Aceh? Tunggu dulu. Jangan buru-buru mencelupkan orang ke dalam tinta hitam sejarah tanpa mengecap dulu rasanya: pahit kecewa, asin dikhianati, pedas karena janji pusat yang dibakar angin.

Daud Beureueh itu —kalau boleh jujur— adalah seorang nasionalis yang lebih republiken daripada banyak yang hari ini memelintir republik demi tender. Ia bukan ulama yang mendadak angkat senjata karena lapar kekuasaan.

Sungguh, dia seorang pejuang yang sudah melawan Jepang dan membabat Belanda. Dialah yang berseru lantang menyambut proklamasi 1945, saat sebagian tokoh Aceh masih bimbang antara mau merdeka sendiri atau lanjut jadi protektorat kolonial.

Maka ketika Bung Karno datang ke Aceh tahun 1946 dan Daud Beureueh menyodorkan permintaan agar Aceh dijadikan provinsi dengan keistimewaannya, Bung Karno setuju. Bahkan, tak main-main: beliau diangkat sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo dengan pangkat tituler Mayor Jenderal.

Kalau mau disebut pemberontak, logikanya bisa ditarik mundur ke Bung Karno juga. Tapi tentu itu absurd. Yang sesungguhnya terjadi adalah janji-janji pusat yang kerap berubah warna seperti bunglon kena pancaran sorot politik Jakarta.

Kisahnya mirip drama sinetron epik: pada 1950, status Aceh sebagai provinsi dicabut secara sepihak oleh pusat. Daud Beureueh kecewa, tapi tetap sabar. Ketika Natsir datang membujuk, dia berkata, “Nasi sudah jadi bubur.” Tapi bubur yang dimaksud bukan menu sarapan biasa. Ini bubur politik, disajikan dingin, tanpa topping keadilan.

Lalu Gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) meletup. Tahun 1953, Daud menyatakan perlawanan terbuka terhadap pusat. Tapi siapa yang memulai provokasi? Apakah yang mengangkat senjata lebih bersalah dari yang mengingkari perjanjian?

Sebagaimana disampaikan Yusril Ihza Mahendra dalam seminar nasional terbaru di Banda Aceh, akar dari semua ini bukan semangat separatisme, melainkan kekecewaan terhadap pusat. Kalau negara ini punya hati, mestinya bisa merasakan luka lama itu.

Daud Beureueh bukan hanya Gubernur. Ia ulama kharismatik, pemimpin yang dihormati rakyat Aceh. Sejarawan seperti Anthony Reid hingga George McTurnan Kahin mencatat bahwa Daud adalah bagian penting dari dinamika pembentukan republik di daerah.

Ia ikut membentuk struktur pemerintahan sipil dan militer di Aceh yang menopang eksistensi RI di masa-masa genting. Kalau ini yang disebut pemberontakan, maka republik ini lahir dari pemberontakan juga: terhadap penjajahan, terhadap ketidakadilan, terhadap dominasi pusat atas daerah.

Dalam banyak buku sejarah versi resmi negara —termasuk kurikulum sekolah— DI/TII hampir selalu dicatat sebagai pemberontakan bersenjata terhadap Republik Indonesia. Tak hanya di Aceh, tapi di sejumlah daerah.

Nama-nama seperti Kartosuwiryo menggerakkan DI/TII di Jawa Barat, Kahar Muzakkar di Sulawesi, dan Daud Beureueh di Aceh. Dalam buku sejarah, mereka dimasukkan dalam satu kotak hitam bernama “separatisme Islam.”

Narasi ini muncul kuat terutama pada era Orde Baru, yang secara sistematis membungkus segala bentuk ketidakpuasan daerah terhadap pusat sebagai ancaman terhadap kesatuan nasional. Stigma pemberontakan dilekatkan pada mereka.

Padahal, banyak sejarawan kritis seperti Prof. Djajadiningrat atau bahkan pengamat luar negeri seperti Harold Crouch mencatat bahwa gerakan DI/TII bukanlah semata ekspresi separatisme ideologis.

Menurut mereka, gerakan itu merupakan reaksi terhadap pengingkaran janji politik, marginalisasi daerah, dan kekecewaan terhadap pemerintahan pusat.

Dalam kasus Aceh, keterlibatan Daud Beureueh dalam DI/TII lebih tepat dibaca sebagai upaya mempertahankan martabat dan konsistensi terhadap cita-cita awal perjuangan kemerdekaan. Itu bukan semangat untuk membelah republik.

Yusril benar: sejarah Daud Beureueh perlu ditulis ulang. Seperti Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara, yang dulu sempat dicap pemberontak karena bergabung dengan PRRI, kini mereka sudah direhabilitasi dan diberi gelar Pahlawan Nasional. Padahal perjuangan mereka juga karena rasa kecewa terhadap praktik kekuasaan yang menelikung nilai-nilai demokrasi.

Daud Beureueh bahkan tidak pernah menyatakan niat memisahkan Aceh dari Indonesia. Ia hanya ingin janji ditepati, martabat dihargai, dan Aceh diberi tempat yang layak sebagai provinsi yang berjasa menyelamatkan republik di awal kemerdekaan.

Akhirul kalam, sejarah bukan luka yang perlu disembunyikan dengan balsem narasi penguasa. Ia, seperti seharusnya ditulis ulang oleh Menteri Kebudayaan, harus disorot terang-terangan, dibaca dengan utuh, dan diakui apa adanya.

Kalau benar republik ini berdiri atas dasar kejujuran dan keadilan, maka sudah waktunya Daud Beureueh dibebaskan dari stigma pemberontakan dan dikenang sebagaimana mestinya: sebagai pahlawan yang terluka, tapi tidak pernah lari dari semangat republik.

Toh hari ini, banyak yang lebih parah dari pemberontak, tapi dielu-elukan sebagai negarawan —asal modalnya kuat dan kontennya viral.

Rubaiyat Den Sastro: Warisan Tersembunyi Sapardi Djoko Damono dalam Sajak Empat Baris dari Amplop Cokelat

“Yang fana adalah waktu.
Kita abadi: memungut detik demi detik,
Merangkainya seperti bunga
Sampai suatu hari kita lupa untuk apa.”
~ Sapardi Djoko Damono, Rubaiyat Den Sastro

Catatan ini tentang karya terakhir penyair Sapardi Joko Damono yang baru saja terbit. Tapi sebelum kita menyentuh denyut lembut Rubaiyat Den Sastro, mari kita buka-buka dahulu lemari tua peradaban sastra Islam yang diakrabi sang penyair bertopi pet khas ini.

“Rubaiyat” bukan sekadar kata indah untuk judul buku. Ini bentuk puisi klasik yang lahir dari semesta sastra Persia, dengan struktur khas: empat baris (quatrain) dengan rima aaba —ringkas, tajam, dan sering kali memuat filsafat hidup yang lebih pekat daripada khutbah panjang saat salat Jumat terakhir Ramadan.

Paling masyhur tentu nama Umar Khayyam, astronom-penyair-epikurean dari abad ke-11. Rubaiyat Khayyam —yang kemudian digubah secara liar dan romantik oleh Edward FitzGerald pada abad ke-19—menjadi legenda sastra lintas benua.

Puisi Khayyam sering terdengar seperti bisikan lembut di telinga penyair mabuk yang sedang berpikir soal anggur, nasib, dan waktu. Namun Khayyam bukan satu-satunya. Rumi, meski lebih dikenal lewat masnawi panjangnya, juga bermain-main dalam bentuk rubai.

Begitu pula Hafez, juga menulis syair rubaiyat, dengan metafora-metafora sufistik yang mampu membikin para pemabuk dan ahli tafsir saling curiga bahwa mereka sedang membicarakan Tuhan atau perempuan atau, mengerikan sekali, politik.

Masuklah Sapardi Djoko Damono. Dia penyair Indonesia yang puisi-puisinya sering dikutip untuk status WhatsApp usai bulan Juni, saat hujan pertama turun setelah kemarau panjang.

Kita kira dia sudah selesai, sudah pensiun dari menulis, dan tinggal menemani hujan dari teras rumah sambil menyeruput kopi pahit. Lalu wafat dengan tenang, setenang puisinya. Ternyata tidak.

Diam-diam, dua puluh tahun sebelum wafatnya, Sapardi menyelipkan sebuah amplop cokelat ke tangan sahabatnya, Reda Gaudiamo. Isinya: 24 puisi pendek yang kemudian diberi nama Rubaiyat Den Sastro.

Amplop wasiat itu tak diumumkan, tak dipublikasikan, bahkan isinya tak boleh dimusikalisasi. Aneh, sebab Reda dan Sapardi dikenal sebagai duet maut puisi dan nada. Reda-lah yang mendendangkan puisi-puisi sobatnya hingga menusuk sel-sel otak dan menyesap dalam kalbu.

Tapi begitulah Sapardi: diam-diam mendalam, misterius macam pernyataan cinta yang tidak pernah dikirim. Dalam satu larik, Sapardi menulis:

“Aku sudah selesai bicara. Kini giliran kalian mendengarkan.”

Sapardi Djoko Damono lahir di Surakarta pada 20 Maret 1940, dan wafat di Jakarta pada 19 Juli 2020. Ia dikenal sebagai penyair yang memilih bisikan dibanding teriakan, lirih daripada gaduh —sosok yang memuliakan kesunyian dalam sajak.

Karyanya yang paling populer, Hujan Bulan Juni, menjadi semacam kitab kecil bagi generasi pencinta puisi, lengkap dengan metafora hujan, rindu, dan diam yang tajam.

Sapardi bukan hanya penyair, tetapi juga akademisi sastra yang lama mengajar di Universitas Indonesia, serta pelopor dalam memperkenalkan sastra liris Indonesia yang modern dan reflektif.

Ciri khas puisi-puisinya adalah kesederhanaan bentuk, namun sarat dengan kedalaman makna. Ia menulis seperti orang memetik daun: pelan, nyaris tak terdengar, tapi menyisakan jejak. Dalam dunia yang semakin bising, Sapardi adalah suara sunyi yang justru paling didengar.

Dan barangkali kita memang harus diam sejenak, bukan untuk tafakur nasional, tapi untuk menyimak gaya pamit paling puitis yang pernah dilakukan sastrawan Indonesia. Ia pamit selamanya lewat Rubaiyat Den Sastro.

Jangan bayangkan Den Sastro di sini seperti tokoh fiktif dalam sinetron kolosal, atau tokoh flamboyan dari novel Pramoedya. Den Sastro di sini adalah topeng Sapardi sendiri —suara batinnya yang jenaka, kontemplatif, dan menggelitik dalam kesenyapan. Dialah si Sastro, sang sastrawan dengan panggilan “Den” khas dalam keluarga Jawa.

Rubaiyat Den Sastro memang berisi 24 sajak pendek, tapi bukan sekadar bermain format. Sapardi bicara tentang waktu, tentang kehilangan, tentang cinta yang tak perlu teriak. Ia menulis:

“Kau bilang aku datang dari kabut,
Padahal aku hanya terlambat bangun
Karena semalam mimpi terlalu panjang
Tentang hidup yang kau kira candaan.”

Sederhana. Ringan. Tapi menyisakan beban di dada. Seperti tahu isi yang digigit terlalu cepat: hangat, mengejutkan, dan sedikit menyakitkan.

Yang membuat kisah ini makin mistis adalah kenyataan bahwa Rubaiyat Den Sastro nyaris hilang. Keluarga Sapardi sudah kehilangan naskahnya, lenyap dari komputer.

Untunglah, ia disimpan Reda selama dua dekade, kadang dibukanya diam-diam, dibaca sembunyi-sembunyi, lalu akhirnya dipertemukan dengan pembacanya lewat Indonesia Tera, penerbit yang pernah dibantu dirintis oleh Sapardi sendiri. Sebuah siklus sunyi yang nyaris sufistik.

Tak hanya satu, buku ini muncul dalam dua versi:

  1. Rubaiyat Den Sastro – berisi puisi-puisi Sapardi.
  2. Akhirnya, Rubaiyat Den Sastro Tiba – berisi kisah dari sahabat dan murid Sapardi, seperti catatan kenangan, atau upacara kecil melepas guru besar yang diam-diam menulis pamitnya.

Ilustrasi dalam buku digarap oleh Iwan Effendi dari Papermoon Puppet Theatre. Seperti sering kita lihat dalam majalah sastra Horison, ilustrasi dibuat dengan arang. Cover buku seperti oretan-oretan, melingkar-lingkar, menandakan perjalanan panjang kehidupan.

Gambar-gambar ilustrasi bukan untuk menjelaskan sajak, tapi untuk membisikkan ruang imajinasi. Misalnya, Iwan bahkan bingung bagaimana menggambar “aspal yang basah”. Dan memang sebaiknya kita membiarkan pembaca membasahi imajinasi masing-masing.

Sementara banyak tokoh publik berpamitan lewat konferensi pers atau unggahan penuh air mata, Sapardi berpamitan lewat metafora dan amplop cokelat. Tak ada panggung, tak ada gemuruh. Hanya larik-larik halus yang menyentuh lubuk paling hening dari para pembacanya.

Buku Rubaiyat Den Sastro menjadi semacam doa dalam bentuk sajak, sekaligus warisan kebudayaan yang mengingatkan kita bahwa bahkan kepergian pun bisa dituliskan dengan nada elegan dan sederhana.

Buku ini bukan hanya karya sastra. Ia adalah kesaksian tentang persahabatan, tentang amanah yang disimpan lama, dan tentang bagaimana satu koper bisa lebih penting dari semua rak buku di perpustakaan negara.

Akhirul kalam, kalau Umar Khayyam menutup puisinya dengan anggur dan waktu yang fana, Sapardi memilih kopi dan hujan. Dua penyair dari dua zaman, dua bahasa, dan dua kosmologi, bertemu dalam satu bentuk: rubaiyat.

Dan kita, para pembaca yang tersisa, kini memungut bait demi bait peninggalan sang maestro. Bukan untuk dikenang saja, tapi untuk didengarkan dalam hening.

“Tak perlu aku datang ke peringatan
Kau sudah tahu rasanya kehilangan
Cukup kuselipkan puisi di lipatan
Agar rindu tak terlalu terang.”

Catatan Akhir
📖 Rubaiyat Den Sastro
📚 Penerbit: Indonesia Tera
💰 Harga: Rp 55.000-85.000
🖋 Ilustrator: Iwan Effendi
🎶 Editor Kehidupan: Waktu dan Kesabaran

Sumber:
Tempo.co, Hypeabis.id, wawancara Reda Gaudiamo, peluncuran M Bloc, dan tentunya, amplop cokelat yang nyaris jadi artefak nasional.

Pilkada Gado-Gado: Mencari Jalan Tengah Demokrasi di Tengah Wacana Pemilihan Lewat DPRD

Kalau dulu rakyat memilih langsung kepala daerahnya, kini ada yang hendak kembali ke zaman “musyawarah mufakat elite”. Katanya demi efisiensi, tapi benarkah itu solusi?

Presiden Prabowo Subianto tampaknya bukan hanya ingin mengubah cara kita memilih, tapi juga cara kita berpikir soal memilih. Dalam berbagai kesempatan, dia menyuarakan bahwa pemilu serentak —baik nasional maupun daerah— terlalu berat, terlalu mahal, dan tidak otomatis menghasilkan pemimpin yang berkualitas.

Pernyataannya yang paling menggema saat pidato ulang tahun Partai Golkar di Sentul, 12 Desember 2024. Di hadapan para kader dan elit partai, Prabowo menyebutkan bahwa pilkada lewat DPRD layak dipertimbangkan sebagai solusi mengurangi beban logistik dan kelelahan demokrasi.

Sekitar setengah tahun setelah itu, Mahkamah Konstitusi (MK) pun mengetuk palu. MK membuat keputusan dalam sebuah kasus judicial review yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah. Putusan fenomenal MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang tertanggal 26 Juni 2025 kontan menghangatkan wacana politik nasional.

Putusan MK ini membuka peluang besar, sekaligus celah lebar perbaikan kualitas demokrasi. Para politisi DPR pun bereaksi, ada yang negatif dan ada pula yang positif. Bahkan, seperti ada yng mendapat inspirasi langit. Fraksi PKB, misalnya, langsung mengajukan wacana pilkada lewat DPRD saat revisi UU Pilkada.

Alasannya? “Lebih sederhana,” ujar Muhammad Khozin, anggota DPR dari PKB. Lebih demokratis, tambah Jazilul Fawaid —karena dipilih secara demokratis lewat wakil rakyat. Alasan-alasan lain, jika Anda setuju, silahkan Anda tambah sendiri. Ah, demokrasi memang punya banyak tafsir. Dan kalau tafsirnya bisa digoreng, mengapa tidak?

Mari kita buat analogi yang sederhana. Bayangkan pemilu itu seperti pesta rakyat. Semakin banyak menunya, semakin ramai undangannya, semakin berat kerja dapurnya. Nah, pilkada langsung itu seperti pesta rakyat dengan sistem “prasmanan terbuka”. Capek? Pasti. Ribet? Jelas. Tapi setidaknya rakyat tahu apa yang mereka makan.

Kini, dengan wacana pilkada lewat DPRD, pesta rakyat itu ingin diubah jadi dinner eksklusif undangan khusus. Mewah, tenang, dan hemat tenaga. Tapi masalahnya: yang masak, yang makan, dan yang memilih menunya jangan-jangan orang-orang yang sama. Hanya variasinya saja yang dibuat seolah kerja dapur terbuka.

Inilah yang dikhawatirkan banyak pihak. Dari dosen tata negara UGM, Yance Arizona, hingga ahli hukum Unand, Charles Simabura, semua kompak bilang: “Ini demokrasi mundur gear.” Bahkan mereka menganggapnya sebagai bentuk manipulasi putusan MK.

Karena toh, menurut mereka, MK sudah pernah menyatakan—dalam putusan Nomor 14/PUU-XI/2013—bahwa pilkada langsung adalah bagian dari demokrasi konstitusional. Artinya, jika pilkada dialihkan ke DPRD, bukan hanya prosedur yang berubah, tapi juga ruh demokrasi yang dipreteli.

Namun, di tengah kecemasan itu, muncul gagasan alternatif yang menarik —dan, boleh dibilang, khas Indonesia: Pilkada Gado-Gado. Apa itu?

Ini bukan soal salad sayur dengan bumbu kacang. Tapi ide tentang pilkada yang memadukan mekanisme serentak nasional (untuk Pilpres, DPD, DPR) dengan pemilu daerah. Yang daerah ini, melalui mekanisme selektif lokal, yang melibatkan stakeholder kultural dan komunitas daerah dalam menyeleksi calon kepala daerah sebelum dipilih DPRD.

Model ini mengakui realitas sosiologis bahwa setiap daerah punya sistem nilai, struktur sosial, dan logika kepemimpinan yang berbeda-beda. Di Madura, misalnya, kekuatan lokal bisa jadi berada di tangan kiai dan pesantren. Di Papua, bisa dipegang oleh kepala suku. Di Minang, oleh LKAAM dan ulama adat.

Maka, keterlibatan masyarakat adat atau komunitas lokal bisa menjadi tameng terhadap oligarki elite lokal yang sering kali menjual “aspirasi rakyat” demi cek kosong di hotel bintang lima. Dengan kata lain, pilkada gado-gado ini bisa jadi win-win solution —asal disusun dengan prinsip:

  • Seleksi terbuka dan transparan,
  • Melibatkan lembaga adat, tokoh agama, dan kelompok masyarakat sipil,
  • Mekanisme pengawasan independen atas proses pengusulan calon.

Kalau tidak, maka pilkada lewat DPRD hanya akan jadi bursa politik lokal, dengan fraksi sebagai makelar dan calon sebagai komoditas. Pilihan rakyat pun jadi transaksi kamar.

Walhasil, benar bahwa pemilu serentak itu berat. Tapi mengubah mekanisme pilkada hanya demi kepraktisan administratif adalah reduksi atas hak rakyat. Demokrasi bukanlah sistem paling efisien, tapi ia paling membuka ruang kontrol, partisipasi, dan akuntabilitas.

Walakin, jika pilkada lewat DPRD hendak dipaksakan, maka sebaiknya disusun dengan prinsip demokrasi yang kreatif, bukan yang reaktif. Libatkan adat, komunitas, dan nilai-nilai lokal untuk menyeimbangkan dominasi elite. Kita tak butuh demokrasi yang hanya efisien bagi penguasa, tapi yang efektif bagi rakyat.

Toh, kalau yang kita cari hanya efisiensi, lebih baik semua pemilu kita adakan di satu ruangan saja. Di hotel. Di meja bundar. Dengan voting terbuka dan amplop tertutup. Tapi itu bukan demokrasi. Itu stand-up comedy yang tragis.

You’ll Never Walk Alone: Kemanusiaan di Balik Tragedi Kepergian Diogo Jota

Bendera setengah tiang berkibar di Anfield, tapi rasanya langit seluruh kota Liverpool pun turut mendung. Bukan karena kabut industrial klasik ala Inggris, tapi karena kabut duka yang menyelimuti hati jutaan pecinta sepak bola.

Diogo Jota, penyerang mungil tapi penuh daya dobrak, telah tiada. Ia bukan sekadar kehilangan untuk Liverpool —ia adalah kehilangan untuk kemanusiaan. Jota dan adiknya Andre Silva tewas dalam perjalanan menuju Inggris dari darat menyambung kapal feri.

Sepak bola memang sering disebut “the beautiful game”, tapi hari-hari ini ia terasa seperti drama klasik penuh tragedi, kehilangan, dan air mata. Bukan karena kalah 7-0 dari tim tetangga, tapi karena satu dari mereka yang mengenakan jersey merah itu takkan kembali lagi.

Ya, Jota pergi selamanya, dan tak mungkin kembali. Tidak untuk latihan, tidak untuk merayakan gol, dan tidak pula untuk menyeka air mata fans cilik di pinggir lapangan.

Ketika mendengar kabar duka ini, banyak dari kita berharap ini hanya salah satu hoaks yang biasa berseliweran di media sosial. Tapi ketika Presiden Portugal sendiri melayat, dan Virgil van Dijk memeluk istri Jota dengan mata sembab, kita tahu: ini nyata. Terlalu nyata.

Di satu nyanyian legendaris “You’ll Never Walk Alone,” ada satu janji: “When you walk through a storm, hold your head up high…” Kini, badai duka sedang menyapu keluarga Jota. Tapi mereka tidak berjalan sendiri. Ada Liverpool di belakang mereka. Bukan hanya klub, tapi institusi kasih sayang.

Di dunia sepak bola modern, pemain adalah aset. Kontrak ditulis dalam angka yang membuat ahli matematika bingung. Bonus dibayarkan per gol, per assist, bahkan per senyuman di sesi foto jersey baru.

Tapi ketika Diogo Jota mengembuskan napas terakhirnya, Liverpool tidak melihat angka. Mereka melihat keluarga. Dan mereka merespons bukan dengan kalkulator, tapi dengan hati.

Gaji 140.000 pound per pekan? Serahkan semuanya pada istrinya. Bonus yang belum sempat ditransfer? Masukkan ke dalam paket cinta. Dan itu berlaku untuk dua tahun sisa masa kontrak, berarti total sekitar Rp 325 miliar. Pendidikan ketiga anak Jota? Biar kami yang tanggung.

Bahkan, menurut bisik-bisik yang belum sepenuhnya dikonfirmasi, mereka akan tetap dianggap sebagai bagian dari keluarga besar The Reds. Tak ada klausul “berakhir saat napas berhenti”. Karena bagi Liverpool, cinta tidak mengenal masa kontrak.

Banyak klub lain akan menyerahkan soal tersebut pada asuransi. Sistem sudah mengaturnya. Tapi Liverpool tak sekadar menjalankan sistem. Mereka membangun makna. This Means More, begitu semboyan mereka. Dan sekarang kita tahu, itu bukan hanya slogan iklan.

Jota bukan Messi. Ia bukan Ronaldo. Tapi ia adalah Jota. Seorang yang mencetak gol tak hanya di lapangan, tapi di hati para fans. Ia adalah pemain yang tidak banyak gaya, tapi banyak kerja. Tidak banyak drama, tapi banyak cinta.

Lihatlah caranya menyapa fans, memberi jersey untuk anak-anak kecil yang mengelu-elukan Liverpool di pinggir lapangan. Jota tak segan menolong rekan setim yang jatuh. Bahkan ketika tidak mencetak gol, ia mencetak simpati.

Sekarang, Anfield kehilangan bukan hanya seorang striker. Tapi juga seorang panutan. Seorang suami, ayah, teman, dan inspirasi. Seorang yang tetap menunduk saat dielu-elukan, dan tetap berlari kencang bahkan saat tertinggal.

Langkah Liverpool untuk hadir di pemakaman Jota bukan protokoler. Itu personal. Van Dijk tak perlu bicara, matanya cukup berkata-kata. Andy Robertson tak perlu mencetak umpan, kehadirannya di sisi keluarga Jota sudah cukup jadi pelipur lara.

Bahkan tampak hadir Arne Slot, pelatih baru yang belum sempat benar-benar mengenal Jota, berdiri di barisan paling depan. Ia menunjukkan bahwa di Liverpool, pelatih bukan bos, tapi bagian dari keluarga.

Mereka datang bukan sebagai pesepakbola. Tapi sebagai manusia. Mereka tidak membawa bola, tapi membawa pelukan. Tidak membawa strategi, tapi membawa simpati.

Diogo Jota telah pergi, tapi ia meninggalkan warisan. Bukan hanya statistik dan medali, tapi nilai. Bahwa sepak bola bukan hanya soal menang atau kalah, tapi soal peduli. Soal loyalitas yang tetap hidup, bahkan ketika orangnya telah tiada.

Apa amal yang pernah dilakukan Jota semasa hidupnya? Barangkali ia tidak membuka panti asuhan atau membangun rumah ibadah. Tapi ia telah menunjukkan kebaikan dalam keseharian. Ia tersenyum. Ia memberi. Ia rendah hati. Dan ia tidak pernah menyombongkan diri walau dipuja ribuan orang. Itu cukup untuk menjadikannya teladan.

Terima kasih, Diogo Jota. Terima kasih, Liverpool. Dalam dunia yang semakin dingin dan legalistik, kalian mengingatkan kami bahwa cinta dan kemanusiaan masih punya tempat. Dan ya, Jota: You’ll Never Walk Alone. Bahkan dalam kepergianmu di usia 28 tahun.

Janji Kampung Haji: Mimpi Klasik yang Tak Kunjung Berwujud di Tanah Suci

Setiap kali Presiden RI bersalaman dengan Raja atau Putra Mahkota Saudi Arabia, rakyat Tanah Air langsung bisa menebak dua kalimat pembukanya: “Yang Mulia. Bolehkah kami… minta tambahan kuota haji? Dan, ehm… soal perumahan jamaah, bagaimana kabarnya?”

Seakan-akan, Presiden Indonesia —dari Bung Karno sampai Pak Prabowo— telah mewarisi semacam kitab wasiat diplomatik yang berisi dua mantra sakral: “kuota haji” dan “pemondokan jamaah.” Itu saja yang diulang sejak Indonesia merdeka.

Kalau ada yang penasaran, “kenapa sih pembicaraannya selalu itu-itu aja?” jawabannya sederhana: karena belum pernah tuntas. Ibarat skripsi yang bab pendahuluannya ditulis ulang oleh lima generasi mahasiswa tapi tak pernah sampai sidang.

Presiden Soekarno mungkin lebih sibuk dengan geopolitik dunia ketiga ketimbang kamar mandi jamaah. Tapi bahkan di era beliau, urusan haji sudah jadi persoalan serius. Jamaah Indonesia datang lewat laut, transit di Jeddah, dan menginap di “Makzah”—semacam rusunawa musim haji dengan fasilitas tebak sendiri.

Lalu datang Pak Harto, yang haji lewat program percontohan. Gus Dur? Membuka pintu haji khusus. Megawati? Lebih banyak mengurusi haji politik di dalam negeri. SBY mengusulkan perbaikan manajemen. Jokowi menambah kuota sampai 221 ribu jemaah. Dan kini Prabowo, dengan gempita militernya, menjanjikan: Kampung Haji.

Iya, Anda tidak salah baca. Kampung Haji. Dalam kunjungan terakhir ke Arab Saudi, dia menyampaikan tekad mulia: Indonesia segera membentuk tim khusus untuk membangun Kampung Haji di Tanah Suci. Bukan kampung sembarangan, tapi kampung di mana seluruh jamaah Indonesia bisa ngumpul, ngopi, dan shalat berjamaah.

Tentu ide ini revolusioner. Tapi juga mengundang pertanyaan mendasar: kok baru sekarang?

Sebab, jika kita hitung sejak kemerdekaan hingga kini, sudah delapan presiden berganti. Dari proklamator, pendekar reformasi, sampai jenderal yang kuda naiknya ke mana-mana. Tapi masalah perumahan jamaah? Masih saja tergantung di langit Arab seperti doa tak kunjung turun hujan.

Masalahnya bukan niat, tapi lahan. Perluasan Masjidil Haram bahkan telah menyingkirkan banyak penginapan rakyat jelata. Daerah strategis berubah jadi hotel-hotel bintang sembilan yang tarifnya bisa bikin jamaah biasa puasa sebelum masuk Ramadhan. Pemerintah Saudi, tentu, lebih senang menjual ruang kepada investor kakap.

Lalu muncul sistem syarikah, semacam biro perjalanan versi kerajaan. Alih-alih mempermudah, syarikah malah membuat rombongan Indonesia tercerai-berai. Satu kloter bisa terdiri dari 10 lokasi berbeda. Seorang jamaah asal Tasikmalaya bahkan sehari bisa pindah tiga lokasi hanya demi mencari kasur.

Selain itu, soal antrean panjang. Indonesia punya waiting list alias daftar tunggu haji sampai 47 tahun di beberapa provinsi. Ini berarti: jika Anda daftar umur 25, insya Allah berangkat umur 72 —kalau masih ingat niat ihram. Karena itu, kuota menjadi hal sakral, bahkan lebih sakral dari piring pecah saat acara walimah.

Maka wajarlah jika setiap presiden merasa wajib membicarakan ihwal kouta. Seperti semacam sumpah jabatan tak tertulis: “Saya bersumpah akan memperjuangkan kuota dan memondokkan rakyat saya secara layak.”

Di atas kertas, rencana Kampung Haji terdengar seperti mimpi indah: satu kawasan khusus, lengkap dengan masjid, warung padang, puskesmas, dan satpam yang bisa bahasa Banjar. Tapi realisasinya? Indonesia harus mengurus lahan, perizinan lintas negara, pembiayaan, dan tentu —komitmen dari pihak Saudi.

Tantangan terbesarnya adalah: niat baik tanpa desain konkret. Jangan sampai “tim kajian khusus” hanya jadi tempat parkir para pejabat pensiun. Rakyat ingin lihat blueprint, bukan lagi breaking news dengan pose jabat tangan. Solusinya?

  1. Negosiasi paket: Tambahan kuota dibarter dengan izin membangun kawasan hunian tetap.
  2. Bangun modular: Tempat tinggal semi permanen, bisa dipakai tahunan, dibongkar pasca musim haji.
  3. Digitalisasi data jamaah: Agar kloter tidak tercerai berai seperti potongan puzzle.
  4. Konsorsium Indonesia–Saudi: Badan resmi yang urus logistik, bukan sekadar kirim surat ucapan terima kasih.
  5. Investasi jangka panjang: Manfaatkan dana haji (yang triliunan itu) untuk membiayai pembangunan nyata, bukan hanya kajian.

Ibadah haji adalah puncak spiritual umat Islam. Tapi manajemennya jangan dibiarkan jadi drama musiman. Sudah saatnya Indonesia berhenti hanya jadi “tamu yang baik” dan mulai menjadi “mitra yang strategis.” Apalagi dengan populasi muslim terbesar dunia, kita bukan cuma penonton —kita pemain utama.

Maka jika Prabowo benar-benar ingin dikenang bukan sekadar presiden yang “pernah mengusulkan Kampung Haji”, tapi presiden yang mewujudkannya, silakan lanjutkan. Tapi jangan lupa: rakyat menanti bukan pertemuan di Riyadh, tapi rumah di Mina yang bisa ditinggali dengan damai.

Sebab kuota bisa ditambah, tapi kenyamanan ibadah hanya bisa dicapai jika niat, dana, dan tindakan selaras. Dan kalau bisa, tolong jangan bentuk “tim kajian” lagi. Sudah terlalu banyak kajian, terlalu sedikit bangunan.

Ekonomi Tumbuh Loyo: Potret Ketimpangan dan Asa yang Terancam Stagnan

“Pertumbuhan ekonomi Indonesia terendah dalam beberapa dekade terakhir.” Kalimat itu dilontarkan oleh calon Deputi Gubernur Bank Indonesia di hadapan Komisi XI DPR RI dalam sebuah sesi fit and proper test yang berlangsung di gedung mewah bercat putih, Senayan.

Sesi itu mestinya menjadi ajang adu gagasan, tapi yang terjadi justru mirip pidato perpisahan seorang pejabat: banyak mengeluh, minim usul. Yang hadir mendengarkan dengan penuh takzim, seolah yang disampaikan adalah takdir, bukan hasil kebijakan.

Lalu publik dibuat bingung: ini forum uji kelayakan atau seminar motivasi gagal? Yang terdengar adalah paparan angka dan pernyataan galau: ekonomi Indonesia kini stagnan di 4-5%, bahkan disebut sebagai yang terendah sejak era 1970-an.

Tapi tak satu pun yang bertanya keras: kenapa bisa begini? Apa yang salah? Dan, lebih penting lagi, bagaimana jalan keluarnya?

Padahal dampaknya terasa nyata. Misalnya, harga beras medium di pasar rakyat kini menembus Rp15 ribu per kilogram, padahal upah harian buruh tani di banyak desa masih di kisaran Rp60 ribu.

Seorang ibu rumah tangga di Cirebon bercerita, sekarang harus mencampur beras dengan jagung pipil agar cukup sebulan. Itu bukan nostalgia zaman Jepang, tapi kenyataan hari ini. Tapi, trik ini bolehlah, campuran jagung bikin nasi lebih sehat.

Bicara soal pertumbuhan ekonomi, para pejabat masih saja mengagungkan GDP seperti jimat. Mereka suka menyebut bahwa Indonesia masih “tumbuh positif,” padahal yang tumbuh sebenarnya adalah selisih antara kelas atas dan kelas bawah.

GDP bisa naik karena sektor tambang menggeliat, padahal rakyat di sekitar tambang di Kalimantan justru kehilangan akses air bersih dan tanah tani. Penduduk lokal menonton alat berat bekerja siang-malam, sementara anak mereka tetap sekolah sambil bertelanjang kaki.

Ada yang menyebut, GDP kita dulu pernah menyentuh 7,5% berkat oil boom. Itu benar. Tapi siapa yang menikmati boom tersebut? Ketika harga minyak naik di tahun 1970-an, pembangunan memang digenjot, tapi korupsi juga ikut menggeliat. Sementara itu, nelayan di pesisir Sulawesi tetap hidup tanpa listrik dan akses pasar.

Kemudian, ketika industri manufaktur jadi motor ekonomi, pertumbuhan menjadi 6,3%. Tapi lihat sekarang, banyak pabrik sepatu di Tangerang pindah ke Vietnam. Tenaga kerja Indonesia kehilangan pekerjaan, sedangkan pelatihan vokasi yang dijanjikan pemerintah hanya menghasilkan sertifikat, bukan keahlian.

Kini, ekonomi kita disokong sektor komoditas. Tapi sektor ini fluktuatif. Ketika harga sawit naik, perusahaan eksportir untung besar. Tapi ketika harga jatuh, petani kecil yang menanggung rugi. Seorang petani sawit di Riau mengaku harus menebang sebagian lahannya dan mengganti dengan pisang, karena ongkos panen lebih mahal dari harga jual buah.

Yang lebih menyedihkan, pemerintah belum juga belajar bahwa pertumbuhan tanpa pemerataan hanya akan memperbesar jurang sosial.

Data BPS sendiri menunjukkan bahwa rasio gini Indonesia masih di angka 0,39 —yang artinya ketimpangan belum beranjak jauh dari garis bahaya. Di Menteng Jakarta, satu keluarga bisa memiliki empat rumah kosong untuk investasi, sementara di Jatinegara banyak buruh menyewa kamar triplek 3×3 meter yang disekat tirai dan tanpa jendela.

Sementara itu, pada era Jokowi, program-program besar seperti IKN (Ibu Kota Negara) terus digelontorkan dananya. Proyek jalan tol, kereta cepat, dan berbagai infrastruktur mewah tetap dilanjutkan.

Tapi coba tanya warga perbatasan di NTT: mereka masih berjalan kaki belasan kilometer untuk mencapai Puskesmas. Petani garam di Madura? Mereka masih mengandalkan cuaca, bukan teknologi, karena bantuan alat dari kementerian hanya datang menjelang pemilu.

Solusi dari para pejabat seringkali terdengar normatif: sinergi, kolaborasi, hilirisasi, peningkatan kapasitas SDM. Tapi rakyat sudah kenyang dengan istilah-istilah semacam itu.

Yang dibutuhkan bukan sinergi di atas kertas, tapi harga pupuk yang bisa dibeli. Bukan kolaborasi antar lembaga, tapi saluran irigasi yang tak macet.

Seorang petani cabe di Magelang mengeluh, selama musim tanam ia menghabiskan Rp1 juta untuk pupuk, tapi saat panen, harga cabe hanya Rp7 ribu per kilo. Daripada rugi ongkos panen, ia biarkan tanamannya membusuk. Ironisnya, tiga bulan kemudian harga cabe di kota bisa melonjak jadi Rp70 ribu per kilo. Petani tetap merugi, konsumen juga menjerit.

Beberapa pemikir alternatif mengusulkan agar kita tak lagi mengejar pertumbuhan semata. Yang lebih penting adalah arah pertumbuhan itu sendiri.

Jika pertumbuhan ditopang sektor tambang dan konsumsi kredit, maka itu seperti membangun rumah dengan pondasi pasir. Pemerintah seharusnya bisa mengalihkan insentif dan perhatian ke sektor yang menyerap lebih banyak tenaga kerja, seperti pertanian dan perikanan.

Di beberapa negara Skandinavia, pendekatan semacam ini sudah dilakukan. Bahkan ada yang secara terbuka mengadopsi konsep de-growth, yakni pertumbuhan negatif demi menjaga keberlanjutan alam dan keseimbangan sosial.

Tentu, kebijakan seperti ini butuh keberanian politik. Tapi apa gunanya kekuasaan bila hanya untuk menyenangkan pasar dan melayani oligarki?

Rakyat tidak butuh pertumbuhan 8% kalau mereka tetap tak bisa makan ikan segar. Rakyat tidak butuh sinyal optimisme dari Istana kalau harga sewa lapak kaki lima saja kini bisa setara UMR.

Fit and proper test itu seharusnya menjadi tempat menguji keberanian moral, bukan sekadar mengulang grafik ekonomi. Tapi sayangnya, yang terjadi hanyalah presentasi PowerPoint tanpa api.

Para calon pejabat bicara seolah sedang menghadapi dewan direksi, bukan wakil rakyat. Dan anggota DPR pun lebih sibuk mengejar waktu reses, daripada mengejar penjelasan.

Akhirnya, rakyat hanya bisa menyaksikan dari balik layar: ekonomi tumbuh loyo, janji tetap oyo-oyo, dan hidup terus berjalan seperti biasa.

Bila kita tak segera membalik arah, maka jangan salahkan jika suatu hari nanti yang stagnan bukan cuma ekonomi —melainkan juga harapan.

Tanda-Tanda Perang Israel-Iran Akan Kembali: Gencatan Senjata Sekadar “Snooze Alarm”?

Israel kembali belanja. Bukan baju musim panas di Tel Aviv atau kurma khas Ramadan, tapi bom. Ya, bom. Dan bukan sembarang bom, tapi guidance kits seharga 510 juta dolar (Rp. 8,25 Triliun) dari toko senjata favoritnya: Amerika Serikat. Diskon? Tidak disebutkan. Mungkin pakai sistem cicilan, atau bundling dengan “bonus” Hellfire Missiles.

Tentu saja, pembelian ini bukan untuk festival kembang api 17 Agustus —Israel tidak ikut— melainkan untuk “persiapan menghadapi ancaman masa depan.” Begitu bunyinya. Kalau dibaca perlahan sambil ngopi, “masa depan” itu sepertinya maksudnya: Iran. Si tetangga jauh yang sejak dulu akrabnya seperti Tom & Jerry – lengkap dengan gergaji, panci, dan kadang, rudal.

Padahal baru beberapa minggu lalu dunia sempat bernapas lega. Gencatan senjata Israel-Iran pada 25 Juni 2025 terasa seperti rehat iklan dalam film horor. Tapi rupanya, seperti semua rehat iklan, kita kembali disuguhi adegan berbau darah. Atau lebih tepatnya: ancaman adegan berdarah.

Mari kita mundur sebentar ke Februari 2025. Kala itu, Israel belanja besar-besaran: 7,4 miliar dolar (Rp 118,4 Triliun) untuk bom dan misil. “Mumpung diskon?” Mungkin. Atau karena stok mereka habis dipakai untuk “mengerjakan” Gaza. Rupanya itu juga jadi modal perang melawan Iran. Presiden Biden sempat ogah mengirim bom 907 kg —apalagi yang 13 ton— karena terlalu mematikan.

Namun begitu Trump kembali ke Gedung Putih, bom itu pun meluncur —secara harfiah dan administratif. Dunia tak pernah tahu, apa sebenarnya deal bisnis antara Trump dan Netanyahu, sampai-sampai dia menjatuhkan bukan hanya satu bom penembus bumi 60 meter, tapi tiga sekaligus ke fasilitas penyimpanan bahan nuklir di Fordow, Iran.

Namun, Israel tetap porak-poranda. Dan kini, di bulan Juli, mereka kembali membeli bom —senilai “hanya” setengah miliar dolar— yang terasa seperti belanja harian di minimarket. Kok sedikit? Karena dompet Israel sudah sobek.

Perang dua belas hari dengan Iran bukan hanya menghancurkan radar, pangkalan, dan ego, tapi juga anggaran Israel. Dengan senjata Rp 118 Triliun saja Israel kewalahan melawan Iran, apalagi hanya dengan senjata seharga Rp 8,25 Triliun, Israel pasti keok lawan Iran, bisa-bisa langsung rata dengan tanah, maksudnya habis dari muka bumi.

Seorang ahli dari King’s College London, Andreas Krieg, menyebut gencatan senjata ini ibarat tali sepatu yang sudah usang: bisa putus kapan saja. Apalagi jika Iran merasa waktunya membalas, Israel merasa waktunya menyerang lagi, dan negara-negara Teluk sibuk buka puasa bersama, berbagi hadiah, sambil main diplomasi.

Tapi jangan bayangkan perang selanjutnya hanya bakal seperti film perang tahun 1940-an. Kita sekarang hidup di zaman ghost war —perang yang tak kasatmata tapi tetap bisa bikin mati. Serangan siber, pembunuhan ilmuwan nuklir, sabotase pom bensin, hingga gangguan GPS —semua masuk daftar “do it quietly” ala Mossad.

Lalu, kenapa Israel rajin banget belanja senjata padahal gencatan senjata masih hangat? Jawabannya bisa jadi: karena Benjamin Netanyahu. Sang perdana menteri (yang sebetulnya sudah bisa buka warung sendiri saking seringnya menjabat) tampaknya tidak ingin perang berhenti terlalu lama.

Ada tekanan politik dalam negeri, ada ekspektasi dari fans-nya di sayap kanan, dan tentu saja: ada Trump. “Gencatan senjata” tampaknya hanya digunakan Netanyahu seperti kita menggunakan tombol snooze di alarm pagi hari: sekadar menunda sebentar, bukan mematikan. Itu berarti sirene perang siap-siap berbunyi lagi?

Sementara itu di pihak seberang, Iran tampak sedang bermain catur. Serangan balasan mereka selama konflik Juni terbilang “bermartabat”: kirim drone ke pangkalan Al-Udeid di Qatar (yang kebetulan milik AS), ganggu sinyal satelit, dan mengirim ancaman ke langit-langit diplomasi.

Tapi jangan salah: di balik layar, IRGC (Korps Garda Revolusi Islam) kini diisi pemain-pemain baru yang menurut para analis jauh lebih agresif dan jauh lebih “tidak sabaran.” Mereka adalah generasi muda yang digembleng dengan ideologi kesyahidan dan glorifikasi imperium Iran.

Dan jangan lupakan variabel paling eksplosif dari semuanya: nuklir. Iran mungkin sedang berpikir keras, “Kalau Korea Utara bisa selamat karena nuklir, kenapa kami tidak?” Dunia mungkin berpikir ini gila. Tapi bagi mereka, ini logika bertahan hidup. Negara sebesar Amerika dan Eropa boleh sombong, tapi Iran rupanya bukan kaleng-kaleng.

Namun jangan salah sangka. Di balik kata “gencatan senjata” yang terdengar manis seperti janji kampanye, kenyataannya situasi lebih mirip perjanjian dua preman pasar: kita damai, tapi kalau lo nyenggol, gua ledakin.

Laporan dari Newsweek menyebutkan bahwa hanya beberapa hari setelah kesepakatan gencatan senjata diteken oleh Presiden Trump (tentu dengan gaya dramatis dan caps lock), keduanya sudah mulai saling tuding dan saling tembak.

Iran mengebom Beersheba dan bilang, “Itu sebelum gencatan, sumpah.” Israel tak kalah responsif: “Kita balas dong, pakai airstrike presisi. Kan presisi, jadi boleh.” Bahkan beberapa drone misterius beterbangan di atas Iran, entah kiriman siapa —mungkin dari Mossad, mungkin dari lapak online.

Dan ini belum masuk ke bab covert operation, alias operasi diam-diam yang tak pernah benar-benar diam. Iran mengklaim telah menangkap lebih dari 700 orang yang katanya kerja sambilan sebagai agen Mossad. Ada yang diadili dengan tuduhan mata-mata, beberapa bahkan sudah dihukum mati dengan cara digantung.

Sementara itu, pembunuhan ilmuwan nuklir, ledakan misterius, dan bom mobil jadi rutinitas terjadi di Iran, seperti sinetron yang tayang tiap malam. Kalau Anda pikir ini cerita film, salah. Ini berita. Dan sayangnya, berdasarkan kisah nyata.

Lalu ada pula parade retorika. Netanyahu menyebut operasi terakhir sebagai “kemenangan bersejarah,” seolah-olah ia baru saja menang olimpiade. Tak mau kalah, Presiden Iran Masoud Pezeshkian menyebut serangan balik Iran sebagai “kemenangan besar.”

Meski apa yang dimenangkan tidak terlalu jelas—selain harga minyak yang ikut naik. Keduanya tampak sedang lomba pidato dengan tema “Siapa Paling Suka Perang?”, lengkap dengan jargon dan dada dibusungkan.

Sementara itu, kata para analis, program nuklir Iran masih hidup dan sehat, meski sempat digebukin Israel dan AS. Malah kini lebih tersembunyi dan sulit dilacak. IAEA dibatasi aksesnya, dan persediaan uranium Iran makin banyak.

Bahasa kerennya: enrichment, alias pengayaan uranium, terus berjalan. Kalau ini terus dibiarkan, Israel bisa saja besok kembali berteriak, “Nuclear! Danger! Strike!” dan kita semua kembali ke babak baru drama Timur Tengah ini —episode ke-999.

Walakin, artikel ini tidak untuk jualan bom, tidak menawarkan solusi instan, dan tidak dibayar oleh Pentagon. Tapi ia mengingatkan kita: jika dunia terus membiarkan dendam ditambal dengan bom, maka satu-satunya yang akan tumbuh bukan perdamaian, tapi pasar senjata.

Dan seperti yang kita tahu, pasar ini tidak pernah tutup —apalagi saat sedang diskon konflik. Itu semua pertanda permainan perang belum akan pernah benar-benar tutup layar.

Nyeker Ala TikTok hingga Jurnal Ilmiah: Benarkah Grounding Bisa Transfer Elektron dari Bumi?

Baru-baru ini, saat sedang rebahan sambil scrolling Instagram, saya tersesat di sebuah reels dari akun bernama @ry_arsd —entah siapa, entah dari planet mana. Ia memaparkan sesuatu yang terdengar seperti bisikan alam, dengan mengajarkan anak kecilnya, untuk kita juga.

Menyuruh sang anak berjalan di atas rumput, ia ukur tegangan listrik tubuhnya. Kesimpulannya: “Berjalan di atas rumput bisa menstabilkan muatan listrik dalam tubuh, memperbaiki siklus tidur, menyehatkan kaki, menyeimbangkan sistem saraf, dan meredakan stres.”

Lho, kok bisa? Yang lebih mengejutkan, dalam video pendek itu diklaim bahwa elektron dari bumi bisa menetralkan muatan tubuh manusia, yang katanya sering kelebihan muatan positif —mungkin karena kebanyakan berpikir positif sambil stres mikirin cicilan KPR.

Kesan pertama saya: ini seperti campuran antara National Geographic, Naruto, dan Spiritual Healing TikTok Edition. Tapi karena saya tak mau langsung menertawakan tanpa dasar, maka saya pun melakukan hal lumrah di dunia kewartawanan: membuka jurnal ilmiah.

Pertama, saya mencoba mencari tahu apakah benar ada yang namanya “transfer elektron dari bumi ke tubuh manusia.” Ternyata, ini dikenal dengan istilah grounding atau earthing, dua istilah yang banyak digunakan di dunia kelistrikan dan kesehatan.

Maksud keduanya, praktik berjalan telanjang kaki di tanah, rumput, atau pasir dengan keyakinan bahwa kita akan terhubung secara langsung dengan energi bumi. Kedengarannya seperti ritual kuno suku druid, tapi ternyata sudah masuk jurnal ilmiah juga!

Saya menemukan bahwa teori ini populer karena tokoh-tokoh seperti James L. Oschman dan Gaétan Chevalier telah menerbitkan sejumlah studi sejak awal 2000-an. Mereka mengembangkan teori tentang transfer elektron dari bumi ke tubuh manusia sebagai mekanisme penyembuhan.

Oschman, ahli biologi sel dan biofisika, banyak menulis tentang pendekatan alternatif dan integratif dalam kesehatan. Sementara Chevalier, fisikawan dan peneliti di bidang bioelektrik dan psikofisiologi, aktif bereksperimen tentang efek grounding terhadap fisiologi manusia.

Bahkan ada satu karya Chevalier dengan judul jurnal yang sangat khusyuk: “Earthing: Health Implications of Reconnecting the Human Body to the Earth’s Surface Electrons” (Chevalier et al., 2012). Seperti judul film Marvel alternatif.

Tapi tunggu dulu. Apakah ini hanya teori belaka? Bagaimana dengan data yang lebih mutakhir?

🧪 Februari 2025 – Studi double-blind placebo controlled dari Advances in Integrative Medicine menunjukkan bahwa grounding dengan matras khusus bisa memperbaiki kualitas tidur secara signifikan. Artinya, ini bukan cuma efek “plasebo nyeker”, tetapi memang ada perubahan ritme sirkadian pada peserta.

🛌 2022 – Studi pada penderita Alzheimer ringan menunjukkan bahwa grounding selama 12 minggu memperbaiki tidur secara signifikan, walau belum bisa memperbaiki mood yang kadung suram karena hilangnya ingatan atau mungkin karena mereka belum diberi tahu ini bukan iklan sandal.

💥 2023 – Pada pasien yang baru menjalani operasi tulang belakang, grounding malam hari menurunkan kadar peradangan (CRP, CK) dan mengurangi rasa nyeri dibandingkan kelompok yang tidak grounding. Jadi, nyeker bukan hanya baik untuk yang galau, tapi juga yang baru disayat skalpel.

📉 Bahkan tingkat kortisol, hormon stres yang biasanya melonjak saat kita membaca komentar netizen, juga ditemukan menurun setelah grounding. Sistem saraf simpatis (yang bikin kita panik) pun jadi lebih kalem, seperti habis dipeluk bumi.

Tapi, benarkah ada “transfer elektron”? Nah, ini bagian yang menggelitik sekaligus rumit. Para pendukung grounding percaya bahwa elektron bebas dari bumi masuk ke tubuh dan menetralisir radikal bebas. Ibarat bumi sedang bersedekah elektron ke tubuh kita yang “kemiskinan muatan negatif”.

Namun, menurut artikel The Guardian (Februari 2025), para ilmuwan skeptis berkata: “Hanya karena ada arus mikro nano-ampere, tidak berarti itu punya efek biologis signifikan.” Bahkan dikatakan, “Jika grounding benar-benar menyembuhkan hanya karena nyeker,” maka kita semua sudah tidak butuh BPJS.

Sains masih belum sepakat soal mekanisme persisnya, tapi sebagian sepakat bahwa mungkin bukan “elektron” yang menyembuhkan, melainkan efek kontak dengan alam, relaksasi, aktivitas fisik ringan, dan melepaskan diri dari medan elektromagnetik digital.

Dan, siapa bilang orang kota tak bisa nyeker? Di Jepang, “forest bathing” alias shinrin-yoku dipraktikkan luas —orang berjalan di hutan untuk menenangkan jiwa. Di beberapa taman kota Eropa, ada zona khusus untuk nyeker. Bahkan di Jakarta, kadang kita terpaksa grounding mendadak kalau sandal jepit putus di taman kota.

Dan benar saja, jalan telanjang kaki di rumput pagi hari —selain bisa bikin kita terhindar dari stres, juga menghindarkan kita dari pelupa: karena langsung ingat bahwa rumput itu bisa ada tai kucingnya. Jadi grounding tidak hanya menyadarkan sistem saraf, tapi juga menyadarkan kewaspadaan.

Setelah menyusuri hutan jurnal ilmiah dan gurun hoaks, saya sampai pada kesimpulan bahwa berjalan di atas rumput dengan kaki telanjang memang memberikan manfaat, terutama untuk tidur, stres, dan pemulihan.

Namun, klaim tentang “transfer elektron bumi” masih belum terbukti kuat secara ilmiah. Jadi, jangan langsung percaya kalau ada yang bilang, “Saya sudah sembuh dari insomnia, asam urat, dan mantan, semua karena grounding.”

Walhasil, grounding bisa jadi membantu, seperti kesimpulan di Instagram tadi. Tapi jangan lupa: bersentuhan dengan bumi harus dibarengi dengan berpijak pada akal sehat. Jangan sampai sibuk menyalurkan muatan listrik, tapi lupa menyalakan nalar.

Kalau mau sehat, ya silakan nyeker —asal jangan nyeker ke kantor, ke ATM, atau ke seminar nasional. Alam memang menyehatkan, tapi jangan sampai nyeker dijadikan dalih untuk malas pakai sepatu. Setidaknya, pakailah sandal jepit.

Jika Anda tertarik mencoba grounding, silakan. Tapi perhatikan juga faktor kebersihan, keselamatan, dan kenyamanan. Dan jika Anda merasa tidak lebih rileks setelah nyeker, mungkin Anda memang butuh grounding yang lain: grounding dari overthinking.