Dzikir “Lā ilāha illā Allāh” Menurut Sunan Ampel
Tim Redaksi Walisongo, Selasa, 3 Juni 2025 17:18 WIB
Di tengah gempuran budaya dan keyakinan non-Islam di tanah Jawa, Sunan Ampel — salah satu Walisongo yang dikenal sebagai muassis (pendiri) pondasi dakwah Islam di Jawa — mengajarkan satu kalimat yang menjadi inti dari seluruh ajaran:
Lā ilāha illā Allāh — Tiada Tuhan selain Allah.
Bagi Sunan Ampel, kalimat ini bukan sekadar syahadat, tetapi juga dzikir utama untuk menapaki suluk (jalan spiritual) menuju tazkiyatun nafs (penyucian jiwa).
Kalimat Tauhid Sebagai Pilar Dakwah
Dalam berbagai sumber, termasuk Babad Ampel dan tradisi lisan pesantren, disebutkan bahwa Sunan Ampel menjadikan kalimat tauhid sebagai dasar pengajaran akidah kepada masyarakat Jawa yang masih kental dengan kepercayaan animisme-dinamisme dan Hindu-Buddha.
Sunan Ampel memperkenalkan dzikir Lā ilāha illā Allāh kepada murid-muridnya bukan sekadar untuk dibaca, tapi untuk dihayati, dirasa, dan dijadikan nafas hidup.
“Barang siapa yang senantiasa berdzikir ‘Lā ilāha illā Allāh’, maka ia telah mengetuk pintu langit dengan kunci tauhid.”
(Wejangan Sunan Ampel dalam tradisi pesantren Jawa)
Dzikir Tauhid: Sarana Penyucian Jiwa
Sunan Ampel menekankan bahwa dzikir ini bukan hanya untuk lisan, melainkan juga untuk:
- Membersihkan hati dari syirik tersembunyi (riya’, ujub, sum’ah)
- Menghapus pengaruh hawa nafsu dan cinta dunia
- Menumbuhkan rasa hanya bergantung kepada Allah semata
Beliau sering mengajarkan kepada murid-muridnya (termasuk Sunan Giri, Sunan Bonang, dan lainnya) agar melakukan dzikir ini secara istiqamah, khususnya di waktu malam, sebelum tidur, atau selepas shalat.
Dzikir Lā ilāha illā Allāh dalam Suluk Walisongo
Dalam tradisi suluk, dzikir ini disebut sebagai dzikir tajrid — dzikir yang menggugurkan semua selain Allah. Bagi Sunan Ampel, ketika kalimat tauhid ini diulang dengan penuh kesadaran (hudhur), maka:
- Hati akan bersinar,
- Diri akan berada dalam penjagaan Allah,
- Dan ruh akan ditarik menuju cahaya makrifat.
Sunan Ampel juga mengaitkan dzikir ini dengan maqām ikhlāṣ, yaitu maqam tertinggi dalam penghambaan, yang hanya mungkin dicapai jika hati sepenuhnya lebur dalam makna “Tiada Tuhan selain Allah”.
Dzikir Sebagai Perlawanan Spiritual
Selain sebagai ibadah, dzikir tauhid bagi Sunan Ampel juga menjadi perlawanan terhadap penyembahan berhala, kekuasaan tirani, dan penghambaan kepada materi.
“Lā ilāha illā Allāh adalah senjata orang beriman, dan perisai orang lemah dari penjajahan nafsu dan dunia,”
– (Tradisi Lisan Suluk Ampeldenta)
Ajaran Praktis Sunan Ampel:
Untuk murid dan masyarakat awam, Sunan Ampel menganjurkan dzikir ini dalam bentuk berikut:
- 100/165 kali selepas Subuh dan Maghrib
- 300 – 10.000 kali dalam khalwat (menyepi) malam hari
- Dibaca perlahan sambil duduk tenang, mata terpejam, hati tertuju pada Allah
Dzikir Lā ilāha illā Allāh dalam Aksara Jawa (Tradisi Walisongo):
ꦭꦲꦶꦭꦲꦃꦆꦭ꧀ꦭꦲꦭ꧀ꦲ — Lā ilāha illā Allāh
(Tiada Tuhan selain Allah – dzikir agung para Wali)
Warisan Spiritual Sunan Ampel
Hingga hari ini, ajaran Sunan Ampel tentang dzikir tauhid masih diwarisi di banyak pesantren Jawa, seperti di:
- Pesantren Ampeldenta Surabaya
- Pesantren Giri Kedaton Gresik
- Tradisi wirid tahlil dan ratiban di masjid-masjid kampung