Kafalah Yatim-Dhuafa
Bea Siswa Mahasantri
Walisongo Tanggap

Daging Waliyullah dan Ulama Beracun

Jatiwibowo, Senin, 9 Juni 2025 05:51 WIB

Dalam tradisi keilmuan Islam, terutama di lingkungan pesantren dan kalangan yang memahami nilai-nilai spiritual, seringkali terdengar sebuah adagium yang sangat kuat: “Daging waliyullah dan ulama itu beracun.” Ungkapan ini, yang mungkin terdengar ekstrem jika ditafsirkan secara harfiah, sejatinya adalah metafora yang sarat akan makna dan peringatan keras bagi umat. Apa sebenarnya pesan di balik kalimat ini?

Ungkapan ini tidak merujuk pada substansi fisik daging yang beracun, melainkan kepada konsekuensi spiritual dan duniawi yang amat berbahaya bagi siapa pun yang berani mencela, menghina, memfitnah, atau menyakiti hati para wali dan ulama. Mereka adalah hamba-hamba pilihan Allah, penjaga ilmu, dan penuntun umat di jalan kebenukan dan kebenaran. Menyakiti mereka berarti menabuh genderang permusuhan dengan ajaran agama itu sendiri.

Hakikat “Racun” yang Tersembunyi

Metafora “racun” di sini mengisyaratkan dampak negatif yang fatal bagi pelakunya. Dampak ini tidak hanya terbatas pada masalah duniawi seperti hilangnya keberkahan hidup, sulitnya menerima ilmu, atau kemerosotan moral, tetapi juga ancaman azab Allah SWT di akhirat kelak. Racun ini bekerja secara perlahan namun pasti, merusak jiwa dan spiritualitas seseorang hingga membuatnya jauh dari rahmat ilahi.

Salah satu rujukan populer mengenai ungkapan ini datang dari seorang ulama besar, Sufyan Ats-Tsauri, yang pernah berkata:

“Daging ulama itu beracun. Siapa yang menciumnya (membicarakannya dengan niat buruk) ia sakit, dan siapa yang memakannya ia mati.”

(Dikutip oleh Imam Ibnu Najjar al-Baghdadi dalam kitabnya Tarikh Baghdad wa Dzailuhu wa al-Mustafad, Juz 20, halaman 288, penerbit Maktabah al-Thaqafah al-Diniyah, Kairo, cetakan tahun 2004).

Perkataan Sufyan Ats-Tsauri ini menggambarkan tingkatan bahaya. “Mencium,” yang berarti sekadar menggunjing atau membicarakan keburukan ulama/wali, sudah dapat mendatangkan “sakit” atau masalah dalam hidup. Sedangkan “memakannya,” yang bermakna memfitnah secara terang-terangan, merendahkan martabat, atau bahkan memusuhi mereka, akan berujung pada “kematian” spiritual, kehinaan, atau akhir yang buruk.

Baca Juga  Fadhilah Puasa Tarwiyah dan Arafah dalam Tradisi Tasawuf Walisongo

Wali dan Ulama: Kekasih Allah dan Pewaris Nabi

Posisi waliyullah dan ulama dalam Islam sangatlah mulia. Para ulama adalah orang-orang yang mewarisi ilmu para nabi dan bertugas melanjutkan dakwah serta membimbing umat. Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi.” (Hadis riwayat Abu Dawud dan At-Tirmidzi).

Oleh karena itu, menghormati ulama adalah bentuk penghormatan terhadap ilmu, syariat, dan risalah kenabian. Sementara itu, waliyullah adalah kekasih-kekasih Allah yang telah mencapai derajat spiritual tinggi melalui ketakwaan, ibadah, dan kecintaan mendalam kepada-Nya. Allah SWT sendiri telah memberikan peringatan tegas dalam sebuah hadis qudsi:

“Barang siapa memusuhi kekasih-Ku (wali-Ku), maka Aku mengumumkan perang terhadapnya.” (Hadis riwayat Bukhari).

Ancaman perang dari Allah SWT adalah puncak dari murka dan kemarahan-Nya, sebuah peringatan yang sangat serius bagi siapa pun yang berani menyakiti hamba-hamba pilihan-Nya.

Kisah: Adab Orang Tua dan Berkah Ilmu Anak di Zaman Syekh Abdul Qadir al-Jailani

Kisah ini sering diceritakan berkaitan dengan masa Syekh Abdul Qadir al-Jailani, seorang ulama besar dan waliyullah yang sangat dihormati. Diceritakan ada seorang yang berniat buruk ingin memfitnah Syekh Abdul Qadir. Ia mengintip dan melihat Syekh tengah makan ayam bersama salah satu muridnya. Syekh memakan separuh bagian ayam, dan separuh lainnya diberikan kepada murid.

Orang yang berniat jahat ini kemudian mendatangi ayah si murid. Ia bercerita dengan nada provokatif, “Apakah Anda tahu bagaimana Syekh Abdul Qadir memperlakukan anak Anda? Ia memperlakukan anak Anda seperti pembantu atau bahkan seperti kucing, hanya diberi sisa makanan!”

Ayah murid itu, tanpa tabayyun (verifikasi), langsung marah. Ia mendatangi Syekh Abdul Qadir dan dengan nada kesal menuduh beliau memperlakukan anaknya tidak pantas. “Wahai tuan Syekh, saya mengirim anak saya ke sini untuk menuntut ilmu, bukan untuk menjadi pembantu atau diperlakukan seperti kucing!” kata sang ayah. Syekh Abdul Qadir hanya menjawab singkat, “Kalau begitu, ambillah anakmu.”

Baca Juga  Filantropi Digital Meningkat Tajam: Generasi Muda Jadi Motor Zakat dan Sedekah Era Baru

Sang ayah pun membawa anaknya pulang. Dalam perjalanan, ia iseng bertanya beberapa hal mengenai ilmu syariat kepada anaknya. Betapa terkejutnya sang ayah, anaknya menjawab semua pertanyaan dengan tepat, rinci, dan penuh pemahaman yang luar biasa. Ia menyadari betapa dahsyatnya ilmu yang telah didapatkan anaknya dari Syekh Abdul Qadir.

Sang ayah segera membalikkan badan dan membawa anaknya kembali ke hadapan Syekh Abdul Qadir. Dengan penyesalan yang mendalam, ia bersimpuh meminta maaf, “Wahai tuan Syekh, terimalah kembali anak saya. Ampuni kekhilafan saya yang telah menuduh tanpa dasar. Saya melihat keberkahan ilmu yang luar biasa pada anak saya saat ia bersamamu.”

Syekh Abdul Qadir kemudian menjelaskan, bahwa keberkahan ilmu yang diterima anak itu terancam hilang karena adab sang ayah yang buruk terhadap guru anaknya. Kisah ini menegaskan bahwa adab dan penghormatan orang tua terhadap guru anaknya sangat memengaruhi keberkahan ilmu yang didapatkan sang anak. Mencela atau meremehkan guru, bahkan oleh orang tua, dapat mencabut keberkahan ilmu dari sang murid.

Ibrah (Pelajaran) yang Dapat Dipetik

Peringatan “daging waliyullah dan ulama itu beracun” mengandung pelajaran berharga bagi kita semua:

  1. Menjaga Lisan dan Adab: Kita harus selalu menjaga lisan dari ucapan buruk, ghibah, atau fitnah terhadap para wali dan ulama. Sikap dan tindakan kita juga harus mencerminkan penghormatan terhadap mereka.
  2. Mencari Keberkahan dan Ilmu: Sebaliknya, berkhidmat, memuliakan, dan mengambil ilmu dari mereka adalah jalan untuk mendapatkan keberkahan dalam hidup dan kedalaman pemahaman agama.
  3. Menjaga Keharmonisan Umat: Penghormatan terhadap wali dan ulama adalah kunci menjaga keharmonisan dan persatuan umat. Melemahkan posisi mereka berarti merusak pilar-pilar kekuatan umat Islam.
Baca Juga  Semangat Religi dalam Islam: Meneladani Api Dakwah Para Wali

Semoga kita semua senantiasa diberikan kesadaran untuk memuliakan para waliyullah dan ulama, serta dijauhkan dari segala perbuatan yang dapat mendatangkan bahaya dan murka Allah SWT. Aamiin.

Sharing is Caring